Bab 14

Selamat membaca.





"Mbak Sekar cantik banget."

"Kamu juga cantik," balas Sekar sambil menatap adik bungsunya lewat cermin rias. Sesaat kemudian beralih memperhatikan diri sendiri. Bukan maksud terlalu percaya diri, tapi yang dikatakan adiknya memang benar.

Polesan make up artis yang disewa iparnya berhasil menyamarkan jerawat di wajahnya. Pun kulit tetap dibuat sesuai warna asli. Meski tidak pernah ke salon sebelumnya, dia yakin kakak Gani mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk membuatnya tampak mempesona.

Bahkan dia lebih suka riasan sekarang daripada ketika akad, dimana kulitnya diubah menjadi lebih terang. Katanya biar lebih cantik seperti pengantin lainnya. Padahal dengan warna kulit apapun perempuan tetap cantik jika bisa merawat diri. Hal yang belum bisa dia lakukan mengingat banyak kebutuhan yang harus diutamakan daripada skincare.

"Bajunya juga cantik banget."

Sekar yang telah berganti baju, menunduk untuk memperhatikan penampilannya. Gaun model A-line biru muda yang penuh payet dari atas sampai bawah menyempurnakan penampilannya. Belum lagi headpiace berbentuk bunga dengan mutiara di tengahnya memberikan kesan anggun, tapi tak terlalu mewah.

Seluruh apa yang dipakainya saat ini lagi-lagi pilihan iparnya. Dia hanya sekali ke butik untuk mengukur badan. Setelahnya tak ada fitting karena tak bisa terus-terusan ijin kerja. Jadi semalam begitu sampai vila—tempat diadakannya resepsi—dia sampai terpana saking cantiknya gaun yang akan dia gunakan.

"Kalau sampai bulik tahu penampilan Mbak Sekar saat ini, pasti langsung sewot. Apalagi kemarin pas Mbak Lisa nikah udah gembor-gembor kalau itu pernikahan termegah di kampung kita."

"Ngga boleh ngomong gitu!"

"Biarin kali, mbak. Sekali-kali kita harus pamer sama keluarga itu, biar ngga diinjak-injak terus. Lagian aku masih kesel, masak perkara ngga diajak ke sini kita sampai di omongin ke seluruh kampung."

Sekar meringis mendengar Kamila mengeluarkan unek-unek. Tebakannya benar, ternyata keluarga besarnya tidak terima dengan keputusan jika hanya keluarga inti yang diajak ke acara resepsi.

Bukannya pelit, toh Gani telah menawarkan akomodasi untuk mengangkut sanak saudaranya. Hanya saja dia menolak sebab tak mau orang-orang itu membuat kerusuhan. Dia paham tabiat keluarga ayahnya. Saudara senang akan dipepet, jika sebaliknya maka akan dianggap sampah.

"Iya, mbak tau. Tapi kalau ibu tahu pasti kamu kena tegur."

"Ibu kenapa, sih kok masih baik sama mereka? Harusnya ibu berbangga hati karena Mbak Sekar punya suami mapan, yang bersedia bantu renovasi rumah kita."

Sekar yang awalnya tidak begitu peduli dengan perdebatan adik-adiknya, terkejut mengetahui satu fakta yang dilontarkan Kamila. "Maksud kamu apa, La?"

"Ada yang ngetuk pintu. Kayaknya acara mau mulai." Hana melingkarkan tangan di lengan kakaknya, lalu memberi kode agar Kamila mengikuti. Tak lupa memberi sang adik peringatan lewat mata, agar jangan sampai keceplosan lagi.

"Sudah siap, kan?" tanya Gina yang merupakan kakak mempelai pria. Perempuan itu tersenyum puas melihat penampilan iparnya saat ini.

"Tante cantik."

"Terima kasih, Alea juga cantik," ujar Sekar. Senyum lebar dia berikan walau terkesan kaku. Dengan adik-adiknya saja dia kesulitan berinteraksi. Apalagi dengan gadis yang menggunakan kebaya cokelat susu di depannya. Warna yang dipilih sebagai seragam keluarga. "Alea dan Bisma sudah siap?"

"Siap, dong." Gadis berusia delapan tahun itu mengangkat keranjang kecil di tangannya. Ada kelopak mawar dengan berbagai warna di dalamnya. Tugas Alea adalah menaburkan bunga tersebut ketika nanti berjalan di depannya.

Sementara bocah laki-laki yang berada di sisi Alea tampak cemberut tidak suka dengan tugasnya. Menurut cerita Gani, keponakannya itu tak suka jika menjadi pusat perhatian. Sekar jadi merasa bersalah karena bagaimana pun ini adalah acaranya, tapi malah menyusahkan anak kecil yang baru berumur lima tahun itu. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa sebab konsepnya telah diatur Gina yang notabenenya adalah ibu Bisma.

Mereka berjalan perlahan karena takut Sekar  tersandung mengingat mempelai tersebut kesulitan berjalan. Sekar memang belum terbiasa menggunakan sepatu berhak tinggi. Bahkan bisa dihitung dengan jari berapa kali dia memakainya.

Rombongan kecil itu melewati tangga yang juga dihiasi aneka bunga. Padahal acara inti berada di halaman belakang, tapi setiap sudut vila dihias sedemikian rupa. Sesampainya di pintu kaca yang menjadi penghubung, Sekar melihat kursi dan meja yang tertata rapi. Para tamu mulai memperhatikannya sambil mendokumentasikan acara.

Sekar paling tak suka jadi pusat perhatian. Namun, demi menghormati semuanya dia berusaha keras menarik bibirnya selebar mungkin. Fokusnya pun ke depan, pada sosok yang dua minggu ini selalu menemaninya.

Sang suami tampak gagah dengan balutan jas  warna biru muda juga. Pria yang sehari-hari gemar tersenyum itu, menunjukkan jelas kebahagiannya.

"Cantik," bisik Gani setelah duduk di pelaminan bersama istrinya. Jika bukan karena harus menyalami tamu, dia enggan melepaskan pandangan dari Sekar.

"Terima kasih, Mas." Sekar berusaha menetralkan hati. Membuang sejenak pertanyaan tentang keterlibatan Gani dengan keluarganya. Setidaknya dia harus menunggu sampai mereka berdua saja.

***

Mari Gani bergerak mengikuti kemana arah Sekar berjalan. Sampai kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi. Ada yang aneh. Sekar memang pendiam, tapi tadi seakan ada beban yang tengah dipikul hingga istrinya terlihat membatasi diri. Tidak lepas seperti akad mereka dulu.

Apa dia ada salah?

Namun, semalam mereka masih baik-baik saja. Mengobrol berbagai topik ketika perjalanan ke vila. Seluruh pembicaraan didominasi olehnya dan Sekar menanggapinya dengan baik.

Lima belas menit berlalu, akhirnya Sekar keluar. Rambut hitamnya basah, serta tak ada lagi bekas make up. Wajah itu kembali polos seperti biasanya.

"Mas ngga mandi?"

Terlalu larut dengan pikirannya sendiri, Gani tak menyadari telah memperhatikan Sekar dalam waktu lama. Pantas saja kening istrinya berkerut dalam dan pandangan penuh tanya diberikan padanya.

"Ini mau mandi."

"Aku siapkan baju." Sekar membongkar ransel milik suaminya. Kecanggungan tak lagi menguasi ketika pakaian dalam Gani berada di tangannya. Berbeda dengan beberapa waktu lalu, tangannya tremor gara-gara benda tersebut.

Meletakkan baju ganti itu di atas tempat tidur, Sekar mengambil pengering rambut yang merupakan salah satu fasilitas hotel. Hadiah spesial dari sahabat suaminya, menginap di honeymoon suite yang terletak tak jauh dari lokasi resepsi.

Walau ada hiasan handuk yang dibentuk layaknya angsa dan ucapan selamat berbulan madu, dia bersyukur tidak ada kelopak bunga di atas kasur. Tak bisa membayangkan badan lelah, tapi harus mengurusi bunga.

Berbeda dengannya, Gani menghabiskan waktu di kamar mandi hanya lima menit. Dua minggu menjadi istri, dia mulai tahu sosok suaminya. Termasuk Gani adalah orang yang tidak suka keribetan. Segala sesuatunya jika bisa akan dibuat mudah saja.

Pun ketika Gani selalu berganti baju di kamar, dia mulai terbiasa. Meski ada keinginan untuk mencubit lengan pria itu kala mulai menggoda dengan pura-pura mau melepas handuk. Seperti saat ini.

"Masih aja malu, udah tau semuanya juga."

Sekar menatap kesal sang suami yang menaik turunkan alis. "Cepat ganti baju, Mas! Aku mau istirahat!"

Bisa-bisanya sang suami menyamakan dua keadaan yang jelas berbeda. Tentu saja biasanya dia tak malu karena otaknya sedang kehilangan kewarasan. Nah, sekarang? Dia dalam seadaan sadar! Wajar, kan malu?

"Siap, Nyonya."

Ini salah satu yang Sekar tidak siap. Gani semakin terang-terangan jika menjahilinya. Dan dia merasa asing.

Tak menghiraukan suaminya yang masih terkekeh, Sekar mulai menyiapkan tempat tidur. Hanya sekedar mengibas-ngibaskan, sesuai kebiasaan sebelum tidur.

"Sekar aku boleh bertanya?"

"Apa?" Sekar bersila di atas tempat tidur. Memandang sang suami penuh tanya. Lalu mengikuti pergerakan Gani yang mendudukkan diri di sampingnya.

"Ada yang kamu pikirkan?" tanya Gani. Tak suka menebak-nebak sendiri. Lagipula suasana hati mereka sedang baik, jadi sekarang waktu yang pas berbicara hal serius.

"Tidak ada."

Untung saja Gani sudah kebal pada sifat Sekar. Hingga dialah yang lebih banyak inisiatif bertanya. "Tapi sejak pesta tadi kamu seperti ingin menanyakan sesuatu. Ayo, kita bicarakan."

Sekar terdiam. Jujur, dia iri. Bagaimana bisa Gani segampang ini mengutarakan pikiran. Sedangkan dia kesulitan, kadang rasanya ada yang mengganjal tenggorokan sampai susah bicara.

"Sekar?"

"Apa yang Mas Gani kasih pada keluargaku?"

"Maksudnya?"

"Mas Gani berencana merenovasi rumahku?"

"Oh, itu .... " Gani menggaruk kepalanya, panik. Tak menyangkan sang istri tau secepat ini. "Kamu tau darimana?"

"Benar atau tidak?"

Gani mendengkus. Sekar memang istri penurut, tapi jika dalam mode serius sanggup membuatnya ketar-ketir. Bukannya takut, hanya saja dia harus memikirkan pemilihan kata yang baik agar sang istri tak kembali menarik diri. Badan Sekar boleh saja dia miliki seutuhnya, tapi dirinya sadar kepercayaan dan hati belum sepenuhnya didapat.

"Iya, tapi aku minta kamu jangan salah paham karena tak berdiskusi dulu. Aku takut kamu menolak, sementara aku ingin memberi yang terbaik untuk keluarga kita tanpa maksud apapun. Semuanya murni karena sekarang mereka juga keluargaku."

"Terima kasih."

Gani mengembangkan senyum, mengira niatnya telah disetujui. Namun, bukan Sekar jika tanpa kejutan. Detik selanjutnya kalimat yang keluar dari bibir itu mampu meruntuhkan kebahagiaannya.

"Tapi aku mohon jangan teruskan, kalau Mas Gani sudah memberi uang perbaikan rumah pada ibu. Nanti akan aku kembalikan."

"Kamu?" Gani mengembuskan napas kencang. Mencoba mengontrol amarah yang mulai naik ke permukaan. Jika Sekar hanya menolak dia tak masalah, pelan-pelan bisa dibujuk.

Namun, mengembalikan uangnya? Yang benar saja! Dia merasa tak dianggap sebagai suami. Rasanya seperti orang asing dalam hidup Sekar. "Kita sudah menikah Sekar! Dan bukankah wajar jika aku membantu keluargamu?"

"Tapi kita belum ada satu bulan menikah."

"Apa hubungannya?"

"Kita tak tau apa yang akan terjadi ke depannya."

"Dengan kata lain kamu pesimis pada hubungan ini? Merasa jika sewaktu-waktu kita bisa berpisah?" Gani tak lagi menutupi kekesalannya. Tangan terkepal erat dan rahang yang mengatup menjadi buktinya.

"Bukan seperti itu maksudku, Mas. Aku ... hanya tak mau nanti keluargaku terlalu bergantung pada kamu," ujar Sekar. Matanya menatap ke segala arah. Kebingungan menjelaskan perasaannya pada Gani.

"Mereka boleh bergantung kepadaku Sekar. Ibumu adalah ibuku, begitu juga adik-adikmu. Kenapa sulit sekali kamu menerima hal ini?" Tanpa sadar Gani menaikkan suaranya membuat Sekar berjingkat, kaget.

Tidak mau kesalahan yang sama terulang, karena menyakiti Sekar sama sekali bukan keinginannya, Gani bangkit dari tempat tidur dan berjalan cepat menuju pintu setelah menyambar dompet dan ponsel yang terletak di atas nakas. "Aku keluar dulu, jangan tidur terlalu malam."





Jangan lupa bintangnya, ya.

Terima kasih sudah membaca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top