Bab 13
Selamat membaca.
"Gimana rasanya?"
"Sekar ditanya itu!"
Perempuan yang mau menyeruput jus jeruknya sampai harus menghentikan niatnya akibat mendapat pukulan di lengan. "Apa mbak?" Dia memperhatikan sekeliling, pada meja panjang yang ditempati rekan-rekannya.
Makan siang selalu menjadi ajang berkumpul, dan begosip tentu saja. Dari membicarakan masalah pribadi sampai menyangkut orang yang ada di sekitar mereka. Sekar tau hal tersebut umum dilakukan, tapi sejauh ini dia hanya diam. Menjadi pendengar lalu menyimpan dan mengubur berita itu dalam otaknya.
Hidupnya terlampau rumit. Menambahi beban pikiran dengan kehidupan orang jelas bukan kesenangannya. Lebih baik waktunya dia buat untuk memetakan masalah dan mencari solusinya.
Dia sudah sering mendengar orang-orang menjulukinya sok alim atau apalah itu. Bukan hanya di belakang, tapi terang-terangan menyindir juga ada. Sekali lagi itu bukan hal besar, toh dia di sini niatnya bekerja. Selama uang gaji masih didapat, dia akan berusaha menulikan telinga mendengar pernyataan ini.
Ini tidak terjadi begitu saja. Jalan hidup yang berliku menempanya menjadi sosok yang bisa mematikan hatinya untuk kata-kata yang tak seharusnya di pikirkan. Cukup fokus pada diri sendiri dan semuanya akan baik-baik saja.
"Sekar mana mau cerita, mbak. Pasti dia golongan orang-orang yang menganggap urusan ranjang itu adalah privasi."
Nah, kan! Sekar memang tidak bisa menghindar dari kalimat seperti itu.
Oke, jika yang mengatakan itu menunjukkan raut bercanda pasti Sekar tidak akan berpikir negatif. Namun, salah satu bibir yang terangkat serta mata yang memincing cukup memberi kesimpulan jika dia tengah diejek.
Lagipula apa salahnya menganggap urusan rumah tangga itu privasi? Bukankah seharusnya memang demikian?
Saling menutupi kekurangan dan menjaga harga diri pasangan, adalah hal wajar kan? Dan juga dia pernah mendengar jika ada masalah pernikahan dan kesulitan menyelesaikannya lebih baik dibicarakan pada ahlinya. Sebab menceritakan pada banyak orang hanya akan memperumit masalah.
"Eh, Mbak Dina beneran sudah hamil?"
Sekar yang tak menanggapi pernyataan salah satu rekannya menyebabkan meja itu mengalami kecanggungan. Untung saja, Gendis melempar pertanyaan lain demi mengembalikan suasana menjadi kondusif.
"Iya. Padahal baru lepas KB bulan lalu, eh langsung isi juga."
"Kok bisa, ya? Katanya kalau belum pernah hamil terus KB jadi susah punya anak."
Sekar mencengkeram erat sendok di tangannya. Tidak membuat pergerakan sama sekali, takut rekannya tau jika dirinya tengah merekam baik-baik pembicaraan yang terjadi.
"Kalau kata Dina, sih itu ngga bener. Dia udah cari-cari infonya, tapi ya ngga tau lagi." Perempuan yang paling senior di antara mereka itu mengedikkan bahu. Lalu mengamati satu per satu rekan kerjanya. Dan berhenti pada wajah Gendis dan Reta. "Jangan macam-macam, ya kalian! Meski udah tau KB ngga bahaya, jangan sampai menggunakan itu sebelum nikah!"
"Enggak!"
"Mana pernah aku pakai begitu, mbak!"
Dua jawaban keluar bersamaan dari bibir dua gadis yang masih melajang itu. Sementara Sekar seperti yang lainnya. Menertawakan wajah masam Gendis dan Reta.
"Kalau Sekar gimana? Mau langsung gas apa pending dulu?"
Berbeda dengan tadi, sekarang Sekar menjawab suka rela pertanyaan tersebut. Mengingat si penanya merupakan sosok yang tulus membantunya selama ini. "Sedikasihnya aja, mbak."
"Iya, sih. Kita cuma bisa berencana, soal dapat cepet apa engga tergantung yang di Atas. Lagipula kamu masih muda."
Sekar mengangguk. Melanjutkan makannya yang masih separuh. Gado-gado dengan bumbu kacang yang melimpah selalu sukses menambah nafsu makannya. Meski bukan pemilih, ada jenis makanan tertentu yang menjadi favoritnya.
"Eh, tapi Mas Gani kan usianya udah matang. Semoga saja kalian segera punya anak."
Perempuan yang tadi menyindir Sekar, kembali melontarkan kalimat yang menyebabkan suasana hatinya memburuk dalam waktu singkat. Rasa bersalah perlahan menjalar di hati, padahal rencannya belum terlaksana.
Dia semakin pening mendengar orang-orang mengaminkan ucapan tersebut.
***
Seharian ini Sekar sama sekali tak fokus bekerja. Dikala temannya berhasil menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, ada beberapa kaos yang belum dia diobras. Dan konsekuensinya dia pulang sedikit terlambat.
Tersenyum tipis menanggapi rekannya yang berpamitan. Kaki dan tangannya terus bekerja, sementara otaknya berusaha keras memusatkan perhatian pada kain di depannya. Jangan sampai menyebabkan kesalahan, bisa kena tegur nantinya.
"Tumben banget kamu ngga selesai-selesai. Kalau di pikir-pikir ini pertama kalinya aku nunggu kamu, ngga kayak biasanya. Kenapa? Capek, ya?"
Sekar melirik sekilas pada sahabatnya. Bukan hanya Gendis, semua pun heran pada cara kerjanya yang lambat hari ini. Tak urung godaan pengantin baru dia dapatkan, kurang lebih sama seperti yang dilakukan Gendis. "Capek lah, namanya kerja."
"Jangan sok ngga ngerti! Mumpung kita cuma berdua, jujur ngga masalah kali."
"Aku udah jujur itu!"
Gendis tampak tak puas. Bibirnya mencebik menanggapi jawaban sang sahabat yang tak sesuai keinginannya. "Nikah enak ngga, sih?"
Mesin berhenti. Kaos masih menggantung di tepian akibat Sekar menghentikan tindakannya. Pertanyaan Gendis sungguh mengusik.
Bahagia?
Entahlah dia masih kesulitan meraba perasaannya. Ada saat kenyamanan dia rasakan jika berada dekat sang suami, tapi disisi lain ketakutan menyerbu. Menghancurkan rasa senang yang harusnya lebih mendominasi.
Ternyata menjalani pernikahan dengan baik dan sesuai alur itu sulit. Baru beberapa hari, tapi overthinking-nya sudah kumat. Bagaimana kalau Gani akhirnya sadar jika dia bukan yang terbaik?
Bagaimana jika sang mertua tak bisa menerima dia seterusnya?
Bagaimana dengan keluarganya? Apakah dia masih bisa membantu meski statusnya tak lagi sama?
"Kalau ada orang lain yang lihat wajahmu sekarang, pasti mereka berpikir kamu korban perjodohan yang tak bahagia."
"Aku cuma capek. Kamu tahu sendiri, kan proses yang kami lalui terlalu cepat. Dan mempersiapkan semuanya menguras banyak tenaga." Sekar kembali melakukan aktifitasnya. Menyangkal apa yang dikatakan sahabatnya. Ya, sedekat apapun dia dan Gendis, prinsipnya tetap sama. Rumah tangga bukan sesuatu yang pantas diumbar.
"Iya, iya," cibir Gendis. Tak percaya ucapan sahabatnya. "Cepat selesaikan, biar kita bisa pulang."
"Yang ngajak aku ngobrol dari tadi siapa?" tanya Sekar tidak habis pikir. Kakinya kembali bergerak, secepat mungkin berusaha menyelesaikan pekerjaan. Ada tempat yang akan dia tuju sebelum pulang.
Jika tadi ketika berangkat dia diantar oleh sang suami. Maka sekarang Sekar duduk manis di jok belakang sepeda sahabatnya. Gani tidak bisa menjemput karena masuk siang. Dan dia merasa mendapat kesempatan emas kali ini.
"Berhenti di apotek sebentar, ya."
"Mau beli apa?"
Sekar sedikit memajukan tubuh agar bisa mendengar jelas suara sahabatnya. Angin yang cukup kencang serta ramainya kendaraan, benar-benar perpaduan bagus yang menyebkan telinganya tak bekerja maksimal. "Obat, persediaan obatku habis."
Perempuan berkulit sawo matang itu tersenyum ketika tidak mendapatkan pertanyaan lagi. Dia yakin alasannya bisa diterima Gendis. Obat-obatan adalah salah satu benda yang wajib berada di kamarnya. Maklum, tinggal sendiri tanpa keluarga membuat dia harus mempersiapkan segala sesuatunya.
"Mau nitip sesuatu, ngga?"
"Ngga ada."
"Oke. Tunggu bentar, ya." Sekar melepas helmnya dan menitipkan benda itu pada Gendis. Mengayunkan langkah sedikit berlari, dia mendorong pintu kaca untuk masuk dalam apotek yang tak begitu ramai.
Mendekati etalase yang berjejer, dia langsung disapa oleh salah satu pegawai. Menyebutkan nama obat yang dia dapatkan dari internet, jemarinya bergerak mengetuk etalase. Gugup mulai melingkupi kala sudut hatinya berkata ini salah. Harusnya dia berdiskusi lebih dulu, tapi entah kenapa sulit memulai topik ini pada Gani.
"Ini mbak."
Sekar tersentak. Sibuk berpikir menjadikan dia tak sadar gadis muda yang melayaninya telah berada di depannya lagi. "Berapa?" tanyanya sembari mengeluarkan dompet dari dalam tas.
"210.000 mbak."
Menyerahkan tiga lembar uang ratusan, Sekar tersenyum kecut karena ada pengeluarkan lain yang harus dia lakukan. Entah bagaimana dia berpikir jika barang mahal pasti bagus karenanya setelah mencari tahu berbagai merk, dia memilih yang harganya menguras kantong.
Semoga saja apa yang dia baca benar, jika pil tersebut juga bisa mencegah jerawat. Ya, semestinya dia konsultasi dengan dokter bukan menerka-nerka sendiri. Namun, dia tak punya banyak waktu. Belum lagi sekarang kemana-mana perlu ijin Gani. Cukup dia tak mengatakan yang sebenarnya tentang masalah ini. Tak mau menambah lagi kebohongan yang menyebabkan kegelisahan.
"Udah?"
"Iya, ayo!" Sekar memasang helmnya. Menunggu Gendis mengikuti instruksi tukang parkir, baru setelahnya naik.
Sampai di kamar dengan tubuh lengket. Bukannya mandi, Sekar justru merebahkan diri di kasur. Kenapa melelahkan seperti ini hidupnya?
Maunya tak mengeluh. Tapi, kenapa susah?
Dia tak bisa berpura baik-baik saja jika tengah sendiri. Emosi yang bisa dia jaga, selalu meluap jika tak ada orang lain. Seperti sekarang, tiba-tiba air matanya mengalir tanpa bisa dicegah. Ah, menyebalkan sekali!
Baru lima menit dia menangis, ponselnya meraung minta perhatian. Malas-malasan, dia mengeluarkan benda itu dari dalam tas.
Nama sang suami terpampang jelas di layarnya. "Assalamu'alaikum," jawabnya setelah berdeham. Berharap suaranya tidak terdengar serak.
"Wa'alaikumsalam. Kenapa pesanku ngga dibales?"
"Oh, itu ... " Sekar mengulum bibir, bingung. Kebiasaannya yang jarang mengecek ponsel, harus segera diubah. "Maaf mas, belum sempat ngecek ponsel. Ada apa? Ada yang penting?"
"Ya, kan ngga harus ada yang penting dulu baru kita komunikasi. Cuma mau tau kabar kamu saja."
Sekar mendadak merinding. Ini pertama kalinya dia bicara receh lewat ponsel, dengan lawan jenis pula. "Iya, Mas."
Dia ikut mengela napas kala seseorang di seberang sana melakukan itu. Mungkin, suaminya kesal sebab jawabannya yang terlalu irit. Tapi, mau bagaimana lagi, dia bingung!
"Sudah makan?"
"Belum, nanti setelah mandi. Ehm, tapi aku cuma beli nasi bungkus satu."
"Ngga apa-apa, aku pulang malam juga kan? Ya sudah kamu mandi sana, aku mau lanjut kerja."
Panggilan telah berakhir beberapa saat lalu. Layar ponsel Sekar pun sudah hitam, tapi perempuan itu masih betah memandangi benda itu. Saling mengabari dengan seseorang, sungguh aneh rasanya.
Lelah dengan otaknya yang tak berhenti berisik, Sekar lanjut melaksanakan hal yang diperintah suaminya. Mandi.
Niat awal Sekar menunggu suaminya pulang, batal. Selepas makan dan membereskan kamar, dia justru tertidur lelap. Sampai kemudian, dia merasakan ada beban yang menimpa pundaknya. Disusul kecupan ringan di leher yang otomatis membuat matanya terbuka lebar dan kantuknya hilang seketika.
Sontak dia duduk dan menatap ngeri ke arah belakang. Napasnya yang memburu, perlahan surut begitu melihat Gani tengah meggaruk kepala. Tak hanya itu, wajah laki-laki bertubuh jangkung itu merah padam. Apa suaminya tengah salah tingkah?
"Maaf, membuat kamu kaget."
"Aku yang tidurnya terlalu nyenyak sampai ngga tau kalau Mas Gani pulang." Sekar tanpa sadar mengusap lehernya. Tepat dibagian yang dicium Gani. Astaga, dia merasa panas dingin sekarang!
"Kamu pasti capek banget, ya?" Gani tersenyum lembut. Perasaannya sudah kembali normal, jadi dia berani mengusap wajah sang istri. "Sampai pintunya lupa dikunci."
Sekar mengangguk. Ah, jadi karena itu sang suami bisa masuk kamarnya.
"Besok kita gandakan kunci masing-masing, ya. Biar kamu punya kunci kamarku, begitu juga sebaliknya."
Lagi-lagi Sekar mengangguk.
"Kalau sekarang kita melakukan itu, kamu mau?"
Hampir saja Sekar mengangguk. Untung kali ini otaknya bisa memproses dengan cepat. "Malu, Mas," ujarnya lirih. Meski tadi dia mulai mengkonsumsi pil kontrasepsi, tapi membayangkan melakukan itu sekarang rasanya mendebarkan.
"Rosa dan Wulan masuk malam."
"Darimana mas tau?" tanya Sekar. Dua nama yang disebutkan oleh Gani adalah tetangga kamarnya.
"Tadi ketemu, terus bahas kerjaan. Lalu ya gitu, tiba-tiba jadi tau kalau mereka masuk malam."
Alih-alih percaya, Sekar justru curiga. Apalagi penyebabnya jika bukan senyum lebar sang suami yang terlihat janggal dan aneh.
"Jadi ... boleh, ya? Kita pelan-pelan saja."
Jika sudah begitu, bagaimana bisa Sekar menolak. Maka sebagai jawaban, dia tersenyum dan mengangguk perlahan.
"Terima kasih."
Sekar mengerjap. Tak menyangka pada reaksi suaminya yang begitu antusias. Lihat lah, mata yang berbinar itu. Sungguh mengingatkannya pada anak adiknya yang gembira mendapatkan hadiah.
Semoga yang dia diberikan malam ini, sedikit mengurangi rasa bersalahnya. Semoga.
Jangan lupa bintangnya.
Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top