6. Cendana: Kelompok
Allan mempermainkanku. Aku tidak tahu apa yang bersarang di kepalanya, tapi anak laki-laki itu tiba-tiba menghapiriku, duduk di hadapanku, memamerkan senyum, dan mulai memakan makan siangnya. Berkat tingkah aneh Allan, separuh siswa SMA Sengkawa yang sebelumnya sibuk menghabiskan makan siang masing-masing, di kantin, kini melayangkan tatapan takjub padaku.
"Ada apa ini?" Laila yang duduk di sampingku menyenggol siku dan berbisik. Teman baikku itu mungkin mengira aku punya hubungan spesial dengan Allan. Tunggu, mungkin tidak hanya Laila, tapi seluruh penghuni kantin! Ini tidak bagus, rumor-rumor miring pasti akan bermunculan, dengan banyak bumbu dan karangan, seperti rumor yang menyebut Allan sebagai anggota mafia atau vampir jadi-jadian.
"Kenapa tidak beli teh?" Allan terdengar tidak senang ketika laki-laki yang pagi tadi ia rundung datang bersama dua botol air mineral. Sementara aku menggeleng menanggapi pertanyaan Laila.
"Habis." Anehnya, anak laki-laki yang seingatku bernama Naga nampak tidak takut dengan Allan. Ia duduk di hadapan Laila dan dengan santai mencuri sosis dari bekal Allan. Bukankah ia dirundung oleh Allan? Aku jelas melihat keduanya berselisih pagi tagi. Terkesan sengit, sampai Allan memukuli Naga beberapa kali.
"Aku suka sosinya!" Allan merengek dan aku semakin bingung melihat Naga bertingkah seolah tidak pernah ada tindak kekerasan di antara ia dan Allan. Anak laki-laki itu lantas mengeluarkan supit dari saku kemejanya dan merebut kotak bekal Allan. "Cih, katanya kamu mau tidur!"
"Iya." Naga menjawab sambil memamah nasi goreng sosis milik Allan. Ia menyemprot meja kantin dengan sanitizer dan menyapukan tisu basah beberapa kali, setelah memamah dua suap makan siang Allan. "Di sini." Ia lantas menenggelamkan kepalanya di antara lengan.
"Anggap saja dia tidak ada, dia memang aneh." Itu yang Allan ucapkan, ia tidak menyadari bahwa dirinyalah yang paling tidak bisa dipahami.
Aku melirik Laila, sesekali, lantas berganti pada Allan yang masih memasang senyum. Ia pasti sedang menunggu waktu yang tepat untuk memerasku menggunakan kejadian kemarin. Aku tidak ingin dimanfaatkan tapi aku lebih tidak ingin Laila, temanku yang baik, terseret dalam perseteruanku dengan Allan. "Ayo bicara, berdua," ucapku mantap.
Naga yang sepertinya terganggu dengan keberanianku mendongak sambil memberikan tatapan tidak senang. Ia tidak bicara apa-apa sementara Laila memberikan lirikan cemas sebelum undur diri dengan tiba-tiba.
"Aku tidak akan membocorkan rahasiamu, jadi tolong anggap saja kejadian kemarin tidak pernah ada." Aku memberikan tawaran paling adil dan masuk akal.
Allan nampak terkejut dan Naga membetulkan duduknya sambil menggeleng. "Kamu, bodoh ya?" Anak laki-laki dengan wajah mengantuk itu baru saja mengataiku. Aku hendak melayangkan protes, memberitahu Naga bahwa aku termasuk dalam jajaran sepuluh besar di kelas, tapi Allan lebih dulu menyela.
"Jangan begitu!" Nada bicaranya sedikit meninggi dan ia menepuk punggung Naga. Cukup keras, sebab aku bisa mendengar suaranya dengan jelas.
"Coba kamu pikirkan, dengan otakmu." Naga melanjutkan dan Allan kembali menghentikannya dengan tepukan di punggung.
"Tentu saja, aku juga akan diam, tapi ada baiknya kamu mengucapkan terima kasih, kamu bisa saja mati tenggelam kemarin." Sebuah senyum janggal terpasang di wajah Allan. Ia tersenyum tetapi tidak benar-benar tersenyum, aku yakin itu. "Oh, dan anak ini cuma bercanda tadi." Agensiku pernah mengundang guru teater, mereka mengajariku cara berakting, seperti itu, seperti yang Allan lakukan.
Aku hendak menjawab dengan lantang bahwa Cendana tidak pernah meminta diselamatkan. Tetapi kantin sedang ramai dan murid-murid lain yang mengamati mungkin akan mendengar betapa Cendana telah dikalahkan oleh banyak kekhawatiran. "Terima kasih."
"Dasar bodoh." Samar, aku bisa mendengar ejekan Naga. "Kenapa berterimakasih, kamu kan tidak butuh dan tidak minta ditolong," Naga melanjutkan. Nadanya tidak jelas, seperti berada di antara meminta persetujuan atau sekedar membeberkan informasi yang sulit dibantah.
"Kamu tidak perlu menyebarkan pikiran jelekmu, tidak ada yang mau dengar." Allan mengakhiri dengan banyak ketukan di meja. Ia tersenyum, ralat berusaha tetap tersenyum, meski aku bisa melihat bagaimana kesalnya ia dengan ucapan Naga.
Begitu akhirnya, aku pikir urusanku dengan Allan sudah selesai, kami sepakat untuk tidak saling membeberkan rahasia, aku bahkan mengucapkan "terima kasih" atas pertolongan yang tidak pernah aku minta. Tetapi mungkin, Allan tidak berpikir demikian, anak laki-laki itu terus menggangguku sepanjang jam istirahat. Menyeret Naga untuk duduk di sampingku, mencuri lauk makan siangku, dan bicara melantur tentang hal-hal aneh.
Allan mungkin tidak sadar, tapi ia telah berhasil menciptakan sebuah kelompok aneh. Berisi sepasang anak laki-laki yang nampak tidak akur, seorang artis yang tidak terkenal, dan anak perempuan baik hati sebagai satu-satunya makhluk waras, tentu saja Laila.
"Kamu harus ikut!" Ini hari ke-5 sejak aku dan Allan bersepakat untuk saling menjaga rahasia. Tetapi seperti kataku tadi, permasalahan di antara kami seperti belum usai, dan anak laki-laki aneh itu terus mengajakku menghadiri pertemuan klubnya, kelompok diskusi konsentrasi atau yang terdengar sejenis. "Siang nanti, sepulang sekolah, di lab biologi."
Ia terdengar sangat bersemangat dan ajakannya semakin sulit ditolak. "Aku tidak tertarik."
"Laila pasti tertarik kan? Hari ini kami akan membahas hidung piramida." Allan juga bersikeras mengajak Laila dan aku harap teman baikku itu bisa mengutarakan penolakan dengan lebih jelas.
"Spinx." Naga menyela di antara kantuknya. Omong-omong, Allan dan Naga nampak semakin akur, mereka jarang bertengkar akhir-akhir ini. Allan tidak lagi memukuli punggung Naga, atau memarahinya, atau menyebut Naga aneh. Aku pikir, mungkin sejak awal Allan tidak merundung Naga, mungkin mereka hanya berselisih paham tempo hari, dan kini sudah berbaikan. Anak laki-laki memang begitu bukan? Berapi-api, mudah marah, dan berkelahi, tapi dengan mudahnya juga menjadi akrab kembali.
"Ah, terima kasih tawarannya, tapi aku punya rencana lain." Laili menolak dengan sopan, seperti tidak ingin menghadiri perkumpulan tidak jelas milik Allan, tapi enggan menolak.
Dipikir lagi, memang hanya Laili teman dekatku yang nyata-nyata berkelakuan baik dan mungkin bisa menerima kegilaanku. Mungkin, sebab sampai saat ini aku belum memiliki cukup keberanian untuk menceritakan pokok permasalahan yang secara ajaib mendekatkanku dengan pasangan aneh Allan-Naga, meski Laila kerap bertanya dan mungkin menebak-nebak.
Mungkin lain kali, saat Laili kembali mengangkat isu itu, aku akan menjawab dengan jujur.
__________
Sudah lama tidak menulis
Tentu saja gaya bahasanya jadi sedikit berbeda
Tapi ya ... ya udah lah
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top