8. HAMPIR SAJA
Sejatinya cinta tak selalu datang dengan sendirinya, bukan? Maka dari itu perlu perjuangan untuk mendapatkan cinta. Karena dari perjuangan itulah akan diketahui sejauh mana cinta dapat diuji.
🍭🍭🍭
"Yugo―"
Tepat saat pintu lift terbuka, tiba-tiba terdengar suara decitan ban mobil yang menggema di kawasan parkiran itu, tak lama suara keras lainnya terdengar.
Kotak makan yang berada di tangan Seiza jatuh seketika. Dan Seiza masih berdiri di tempat tanpa bergerak sedikit pun. Matanya terpejam sempurna dengan kencang yang ditutup oleh kedua tangannya. Tubuh Seiza gemetar seketika dan dia sama sekali tak mampu bergerak untuk saat ini. Seakan seluruh ototnya melemas saat itu juga.
"Lo gak apa-apa, kan?" tanya si pemilik mobil yang sekarang sudah keluar dan berdiri di sebelah Seiza.
Seiza masih menutup wajahnya menggunakan tangan. Dia benar-benar merasa ketakutan karena hampir saja sebuah mobil menabrak dirinya. Dia sungguh tak berani membuka matanya, karena takut terjadi sesuatu di luar dugaannya.
"Hei, lo gak apa-apa, kan?" Karena tak ada jawaban, pria itu menyentuh bahu Seiza dan menggoyangkannya pelan.
"I-iya, gak apa-apa kok. Maaf." Akhirnya Seiza mampu membuka tangan dari wajahnya dan matanya terbulat ketika mengenali siapa yang hampir menabraknya tadi.
Dari arah lain terlihat gerombolan mahasiswa keluar dari lift, sehingga lift sekarang kosong dan sudah pasti yang menunggu di luar tadi seharusnya masuk ke dalam dan Seiza sadar akan hal itu, dia yakin pasti Yugo sudah menaiki lift.
"Kak Arga?"
"Lo?"
"Seiza, Kak. Anak musik."
"Oh iya, gue ingat." Lalu Arga mengambil kotak makan Seiza yang tadi sempat terjatuh, untung saja tidak berceceran karena tutupnya sangat rapat.
"Maaf yah Kak, aku udah―"
"Nih. Kotak makan lo jatuh. Gak usah minta maaf. Gue yang salah kok," tegas Arga sambil menyerahkan kotak makan berwarna biru itu.
"M-makasih, Kak. Sekali lagi aku minta maaf."
"Makanya, lo jangan lari-larian di parkiran. Kayak bocah aja lo."
"Iya, Kak. maaf, tadi aku lagi ngejar ...." Ucapan Seiza terhenti ketika dia mengingat tadi sedang mengejar Yugo.
"Ngejar apa?"
"Eh, engga kok, Kak, bukan apa-apa. Aku duluan yah, Kak. Sekali lagi maaf." Setelah itu Seiza berjalan menuju lift dan akhirnya cupcake yang dia buat tak berhasil diberikan kepada Yugo.
Di sisi lain tanpa Seiza sadari, kejadian yang hampir menyebabkan dirinya terluka itu sempat berhasil menggagalkan Yugo menaiki lift saat terbuka tadi dan Yugo berdiri mematung melihat tubuh Seiza yang gemetar akibat rasa syoknya.
Saat itu dia ingin menghampiri, tapi lebih dulu Arga yang datang menenangkan Seiza. Dalam hatinya agak kesal kenapa gadis itu ceroboh sekali sampai tak menyadari ada mobil yang hampir menabraknya.
"Dasar gadis bodoh!"
🍭🍭🍭
"Gila! Kalau gini caranya nilai MK pajak gue pasti bakal dapat C," teriak Manda saat keluar dari kelas setelah selesai kuis dilaksanakan.
Dua jam mata kuliah dihabiskan hanya untuk kuis lisan dan setelah semuanya selesai, pak Burhan mengumumkan hasilnya. Dan benar saja, hanya dua orang yang berhasil lulus dengan nilai baik, siapa lagi kalau bukan salah satunya Seiza dan yang satu laginya adalah Reza yang memang pintar juga di kelas itu.
"Halah, ngapain takut sama nilai C. Paling nanti juga suruh remedi biar dapat B." Selalu saja Sindy terlihat santai kalau urusan nilai. Dalam kamusnya, tak masalah nilai kecil, yang penting hidupnya bahagia. Cukup sederhana. Nilai hanya sebuah angka yang tertera di lembaran kertas.
"Udah ah, pusing gue. Pengin cari yang seger. Kantin yuk!" ajak Manda sambil merangkul bahu Sindy dan Seiza.
"Yuk, lah. Lagian MK selanjutnya diundur satu jam lagi. Kita nunggu di kantin aja."
"Gue mau makan bakso yang super pedes ah," ucap Manda yang tampak bersemangat.
"Eh. Kayaknya aku mau ke perpus aja deh." Kali ini Seiza menolak ajakan kedua sahabatnya.
"Ah, gak asik lo," kesal Manda.
"Mau ngapain sih memangnya di perpus? Ada tugas?" tanya Sindy saat sudah di depan pintu.
"Gak apa-apa, aku cuma mau istirahat aja. Kepalaku agak pusing." Seiza jadi lemas sejak peristiwa di parkiran tadi, mungkin karena ia terkejut.
🍭🍭🍭
Suasana di kantin sudah ramai dengan mahasiswa dari berbagai jurusan. Kantin ini terletak di tengah kawasan kampus, sehingga mahasiswa dari gedung A, B dan C tidak terlalu jauh untuk berkunjung. Dan letaknya persis berdekatan dengan wilayah parkir.
"Dam, ikut pesan siomay, sih. 2 porsi yah," pinta Bobby ketika mereka sudah duduk di kursi bagian tengah.
"2 porsi?" tanya Sadam yang mengertukan dahinya.
"Iya, buat usus gue satu. Buat lambung gue satu, biar adil mereka gak rebutan," jawab Bobby kali ini berniat melucu di depan kedua sahabatnya itu.
"Gak lucu, sumpah!" ledek Sadam sambil berjalan menuju kios penjual siomay.
"Bodo amat, yang penting udah usaha buat ngelucu, yah, kan, Go?" Kali ini Bobby mencari sekutu, tapi yang ditanya hanya melirikkan mata tajamnya saja. Bobby pun tak berniat melanjutkan candaannya karena melihat ekspresi Yugo yang seperti singa mau menerkam mangsanya.
Tak lama kemudian Sadam kembali dengan membawa tiga botol air mineral dingin sambil berucap, "Lo gak pesan makan, Go?"
"Enggak," jawab Yugo yang sedang sibuk dengan ponselnya.
"Gak lapar?" tanya Bobby ikut menimpali.
"Enggak."
"Puasa lo?"
"Enggak." Masih tak mengalihkan pandangan dari ponsel.
"Enggak, enggak, mulu nih. Perlu ganti baterai kali yah biar banyak dikit ngomongnya," gumam Bobby sambil mendelik heran dan Yugo hanya diam tak menanggapi.
Pesanan pun tiba saat dari arah lain muncul kedua gadis yang semangatnya sudah kembali tumbuh ketika mencium aroma menggiurkan dari berbagai makanan di kantin.
"Eh iya, tumben lo cuma berdua? Seiza mana?" tanya Sadam pada Sindy dan Manda.
Saat nama Seiza disebut, aktivitas Yugo yang tengah asik memainkan ponsel tiba-tiba berhenti sesaat.
"Dia ke perpus tadi," jawab Manda.
"Wah beda yah, anak pintar istirahatnya aja di perpus. Makan buku kali yah tuh anak." Lagi lagi Bobby berusaha melucu.
"Kenapa gak ikut ke sini?" tanya Sadam lagi.
"Katanya dia agak pusing, mukanya pucat banget dari tadi." Jawaban Sindy hanya diangguki saja oleh Sadam dan Bobby.
Suara kursi bergeser terdengar dan menghentikan obrolan mereka.
"Mau ke mana lo, Go?" tanya Sadam saat melihat Yugo mulai berdiri.
Yugo masih saja tak menjawab dan mereka pun saling melirik melihat Yugo yang mulai berjalan keluar kantin.
"Woy, Go! Mau pergi ke mana? Kan, lo udah gak ada kelas? Sebentar lagi kita latihan musik," teriak Bobby saat Yugo mulai menjauh.
"Ke mana pun, asalkan gue gak dengar ocehan lo!" sarkas Yugo yang membuat Bobby mati kutu sambil mengusap dada.
🍭🍭🍭
Seiza lebih memilih pergi ke karena di sana suasananya lebih tenang dan tidak ada asap rokok. Dia sengaja duduk di kursi paling belakang yang lebih sedikit ditempati oleh mahasiswa. Sebenarnya tujuan utama dia ke sini bukan semata-mata untuk belajar atau mencari buku referensi. Dia sungguh ingin menenangkan diri karena insiden tadi pagi yang sampai saat ini masih membuatnya syok.
Hampir sepuluh menit dalam posisi seperti itu sampai akhirnya terusik karena kehadiran seseorang di hadapannya.
"Hai, Kak" sapa seseorang ketika sudah duduk tepat di depan Seiza.
Seiza mengangkat kepalanya dan dia menemukan seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang dengan warna sedikit kecokelatan dan terurai.
"Hai, Delia," ucap Seiza setelah menyadari bahwa di depannya kini duduk adik tingkatnya itu.
"Kak Seiza kenapa, kok mukanya pucat gitu?"
"Aku gak apa-apa kok, Del. Mungkin karena aku belum sarapan aja."
Seiza dan Delia memang sudah akrab setelah pertemuan pertama mereka, Delia sering meminta bantuan Seiza dalam mengerjakan tugas atau sekedar meminta diajarkan materi yang masih Delia tak paham.
"Dari tadi aku chat kak Seiza, tapi gak terkirim." Kali ini Delia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas.
"Oh iya maaf, HPku lowbat."
"Eh ini apaan, kak?" Saat mengambil ponselnya, Delia melihat totebag sebelah tasnya.
"Buka aja gak apa-apa."
Saat itu juga Delia mengambil kotak makan yang ada di dalam totebag dan membukanya.
"Waah ... cupcake." Mata Delia berbinar-binar ketika melihat cupcake berukuran sedang dengan warna cokelat yang menggiurkan itu.
"Cobain deh," ucap Seiza dengan senyuman manisnya.
"Kakak yang bikin?" Pertanyaan Delia itu hanya diangguki oleh Seiza.
"Ya ampun kakak, ini cupcake terenak yang pernah aku coba," puji Delia dan akhirnya berhasil memakan dua cupcake.
"Habisin aja. Lagian orang yang mau aku kasih juga kayaknya gak mau." Raut wajah Seiza kembali muram.
"Memangnya Kakak mau kasih ini ke siapa?" Mulut Delia penuh dengan cupcake yang ketiganya.
"Tadinya mau aku kasih buat seseorang."
"Siapa? Pacar? Gebetan? Mantan?" tanya Delia beruntun.
"Ada deh pokoknya seseorang. Tapi gagal rencananya."
"Lho, kenapa?"
"Tadi aku hampir aja ketabrak pas lagi kejar dia, terus pas aku cari, dia udah pergi." Entah kenapa Seiza lebih terbuka dengan Delia saat ini. Mungkin karena Delia yang belum mengenal Yugo sehingga Seiza lebih leluasa untuk menceritakannya.
"Hah! Siapa yang mau tabrak Kakak?"
"Kamu gak akan kenal, Del."
"Jangan salah, kak. Walaupun teman aku di kampus ini cuma sedikit, tapi aku banyak tau kok tentang anak-anak di sini. Apalagi kalau cowok ganteng," celoteh Delia membuat Seiza heran mengapa wanita yang terlihat sempurna seperti Delia ini justru tidak memunyai banyak teman. Padahal Delia cantik dan terlihat modis dalam berpakaian, lalu dia pun dari kalangan keluarga berada.
"Kak Arga. Kamu tau?"
"Kak Arga? Yang anak teknik mesin itu?"
"Aduh, aku gak tau dia anak apa." Seiza benar-benar tidak tahu jurusan kuliah Arga.
"Kak Arga yang berteman sama kak Okta dan kak Alex, kan?"
"Iya benar, kok kamu tau?"
"Kakak kenal sama Kak Arga?" cicit Delia sambil melirik kembali ke Seiza.
"Iya kenal. Kenapa gitu?"
"Demi apa!" teriak Delia refleks sambil membulatkan matanya.
"Aku sama dia bareng di organisasi musik."
"Serius?" Untungnya kali ini Delia dapat mengontrol suaranya menjadi lebih pelan. Dan untung saja pilihan Seiza tepat untuk mengambil duduk di paling belakang, sehingga mereka mengobrol pun tidak banyak yang dengar. "Kak ... please ... aku pengin ikutan masuk ke organisasi musik juga dong. Please, bantuin aku ...." Delia memegang kedua tangan Seiza dengan mata sayunya, berharap belas kasihan dari Seiza.
"T-tapi, aku bukan siapa-siapa di sana. Aku gak punya wewenang untuk masukin seseorang." Seiza sebenarnya punya firasat bahwa Delia menyukai Arga.
"Please, Kak. Aku mohon banget bantuin aku. Gimana pun caranya. Please."
"Kamu punya keahlian musik apa? Karena untuk masuk organisasi, kamu otomatis harus bisa main alat musik," tutur Seiza menjelaskan beberapa persyaratan untuk dapat bergabung ke organisasi bergengsi di kampusnya itu.
"Aku jago main biola, Kak. Dulu papa aku pernah kursusin aku biola." Mendengar jawaban Delia membuat Seiza berpikir sejenak, dia baru ingat bahwa di organisasi musiknya itu memang tidak ada pemain biola. Sedangkan alat musik biola sudah disediakan. Terlintas ide yang muncul dalam benak Seiza.
"Oke, aku usahain yah, semoga berhasil."
"Aku bakal kabulin apa pun permintaan dari Kak Seiza kalau Kakak berhasil buat aku masuk organisasi musik." Tawaran ini tak sedikit pun Seiza gubris, karena pikirnya dia belum membutuhkan apa pun untuk saat ini.
Dengan tatapan mata Delia yang masih menunggu jawabandan tangannya tak henti memegang erat tangan Seiza, akhirnya terlintas satu hal dalam benak Seiza.
"Benar aku boleh minta apa pun?"
"Benar. Apa yang Kak Seiza butuh?"
"Nanti kalau aku udah bisa buat kamu masuk ke organisasi musik. Aku bakal kasih tau."
"Asik! Berarti Kak Seiza mau bantuin aku, kan?" Mata Delia sedikit berkaca-kaca dan Seiza menjawab dengan menganggukkan kepalanya membuat Delia berdiri dan memeluk bahu Seiza.
"Makasih. Kak Seiza memang paling the best. Udah cantik, baik, pintar, jago main piano pula. Eh, jago bikin cupcake juga." Delia mengakhiri kalimatnya dengan senyuman yang mengembang sempurna.
Seiza pun ikut tersenyum walaupun dia masih menahan pusing dan masih berpikir bagaimana cara untuk dia membawa Delia masuk ke organisasi musiknya.
Tanpa mereka sadari, di balik dua rak buku yang berjejer di sisi kanan mereka, ada yang diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka dengan seksama.
Kini orang itu berdiri dari duduknya dan melihat kedua wanita yang masih asik berbincang dari celah rak buku. Ketika melihat senyum Seiza sudah kembali ceria, pria itu tidak sadar ikut mengangkat sedikit ujung bibirnya.
Ah, senyuman itu. Syukurlah senyuman itu masih sama. Ucap orang itu dalam hati dan sesaat setelahnya dia langsung berjalan keluar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top