54. YUGO PANDU PRANADIPA
Selalu ada kata pulang ketika kita punya tempat untuk kembali.
🍭🍭🍭
Yugo sedang meneliti beberapa lembar kertas di tangannya, sebelah tangan yang bebas memijat pelipisnya pelan. Yugo berkutat memutar otaknya untuk mengambil keputusan apakah perlu menambah karyawan lagi atau memaksimalkan karyawan yang ada.
Atensi Yugo teralihkan saat pintunya diketuk. Setelah mempersilakan masuk, seorang wanita cantik datang menghampirinya.
"Maaf ganggu, Pak. Di bawah ada tamu katanya mau cari Pak Yugo," ucap salah seorang resepsionis di kantor Yugo.
"Atas nama siapa?"
"Beliau bilangnya atas nama Arga."
Yugo terkekeh mengingat salah satu temannya itu. "Baik, sebentar lagi saya turun. Tolong kasih suguhan dulu buat dia," titah Yugo pada karyawannya itu.
Sejak lulus kuliah Yugo yang mengambil alih perusahaan ayahnya. Terhitung sudah empat tahun sejak om Anwar ditetapkan tersangka kasus penculikan dan percobaan pembunuhan pada kekasihnya.
Kekasih? Masih berlakukah kata itu?
Yugo tersenyum tipis saat melihat foto yang dipigura putih di mejanya. Tampak gambar ia dan kekasihnya dulu saat pertama kali berfoto. Yugo masih ingat jelas bagaimana foto itu tercipta.
Manisnya kata cinta yang pernah ia rasa tak pernah bisa tertukar dengan rasa mana pun. Hanya Seiza yang bisa menciptakan makna cinta di hatinya, tak ada yang lain. Bahkan sampai hari ini dan detik ini pun masih nama Seiza Denaya yang ada di palung hati seorang Yugo Pandu Pranadipa.
Tahun demin tahun berselang tak pernah mengubah semua makna itu. Dan Yugo masih sanggup menunggu untuk kebahagian seorang Seiza.
Ya, kebahagiaan Seiza.
Entah dalam bentuk apa pun itu, Yugo siap dan sanggup menunggu, walaupun harus mendapat kabar atau bahkan menerima undangan pernikahan dari gadis yang paling ia cinta.
Empat tahun bukan waktu yang sebentar bagi Yugo untuk menunggu Seiza. Kabarnya setelah lulus kuliah Seiza mencari kerja paruh waktu di Inggris. Bundanya sudah pulang tahun lalu lebih dahulu.
Bunda Santi mengatakan bahwa Seiza sudah jauh membaik kondisinya, bahkan ia sudah bisa ditinggal dan berani untuk bepergian sendiri. Hal itu pula yang membuat bunda Santi lega untuk pulang lebih dulu.
Selamat empat tahun ini Yugo hanya bisa mendapat sekilas kabar tentang gadisnya itu. Terakhir dapat kabar dari Riko yang habis honey moon di Paris dan sempat bertemu dengan Seiza sekitar lima bulan lalu. Namun, Riko tidak banyak cerita tentang Seiza, hanya memberi kabar kalau Seiza sehat dan sedang sibuk kerja paruh waktu di sebuah toko kue.
Lamunan Yugo buyar saat ia keluar lift dan melihat Arga melambaikan tangan padanya. Ia tersenyum melihat temannya itu.
"Hai, Bro! Long time no see," sapa Yugo.
Yugo mendekat dan menyambut tangan Arga untuk saling merangkul. Mereka tertawa kemudian saling bertukar cerita setelahnya.
"Beda ya, kalau udah jadi bos begini," canda Arga sambil menyeruput kopi buatan office boy di kantor Yugo.
"Apaan, sih, lo! Gak gitu juga kali." Yugo ikut meminum kopi juga. "Lo gimana? Jadi mau nikah sama cewek pilihan bokap lo?"
Arga terbahak mendengar pertanyaan itu. "Gila lo! Mana bisa gue nikah sama orang asing begitu."
"Ya, kirain aja lo mau."
Kabarnya bahwa Arga dijodohkan karena sampai saat ini belum pernah mengenalkan wanita ke orang tuanya. Bukan tanpa alasan, hanya saja ia belum bertemu lagi dengan wanita yang mungkin sudah mengutuknya itu. Delia, Arga masih mencari wanita itu. Wanita yang sudah Arga hancurkan kehidupannya.
Nasib Arga dan Yugo tak jauh berbeda. Mereka menghancurkan kehidupan gadis mereka dan menyebabkan mereka ditinggalkan. Setiap mereka bertemu pasti saling menguatkan dan mendoakan yang terbaik atas penyesalan.
"Menurut lo ... emang gue bakal bisa hidup atas rasa bersalah ini? Gak akan bisa, Go. Gue gak mungkin bisa lanjut hidup bahagia sebelum ada kata maaf yang gue sampaikan ke dia," lirih Arga.
Yugo tersenyum tipis. Kalimat Arga menyadarkan dirinya juga.
"Lo dan gue gak jauh beda, Go. Lo sendiri juga sama, kan?"
"Ya, seperti yang lo tahu. Gue gak akan bisa hidup bahagia tanpa lihat dia bahagia dulu, Ga."
"Nah, itu dia. Makanya gue gak pernah mau kalau dijodohin sama bokap gue. Lagian santai aja deh, masih usia segini juga. Buru-buru nikah juga mau ngapain, kan? Toh gue dulu sering tidur sama cewek, jadi udah pernah rasain," jujur Arga yang berujung mendapat pukulan dari Yugo.
"Menikah bukan cuma urusan tidur-meniduri kali, Ga! Gila banget lo."
"Ya, justru itu! Gue aja belum becus ngurus diri sendiri, apalagi ngurus anak orang dan anak gue nanti. Makanya gue mau berkarir dulu aja."
Yugo akhirnya mengeluarkan sebuah kartu nama dari saku kemejanya.
"Tuh, hadiah buat lo. Lo harus berterima kasih sama gue nanti."
Arga mengambil dan menelitinya.
"Kartu nama siapa ini, Go?"
"Bokapnya Delia."
"S-seriusan?"
Yugo mengangguk. "Tunjukin niat baik lo untuk meminta maaf. Syukur-syukur dikasih kesempatan lebih ya, kan?"
Arga mengamini. "Thanks, Bro. Gak salah emang gue minta bantuan lo. Dan gue juga mau balas budi langsung, nih."
"Gimana maksud lo?" Yugo tak mengerti maksud Arga.
"Cewek lo."
Raut wajah Yugo langsung berubah. Ada sengatan kecil di hatinya.
"Kenapa Seiza?" tanya Yugo yang sebenarnya sedang harap-harap cemas.
"Lo harus berterima kasih sama gue nanti," balas Arga membalikkan ucapan Yugo tadi.
"Sial! Buruan! Apaan?" kesal Yugo yang ditertawai Arga.
"Santai aja kali, Bro."
Untuk urusan Seiza, Yugo memang tidak bisa santai. Ia selalu berada di baris terdepan untuk hal ini.
"Tujuan gue ke sini sebenarnya mau kasih kabar penting buat lo. Kemarin gue ketemu sama teman yang baru pulang dari Inggris, beruntungnya ternyata dia kenal sama cewek lo. Tempat tinggal mereka katanya dekat. Nih, benar cewek lo, kan?"
Kemudian Arga menunjukan sebuah foto pada Yugo. Benar saja itu adalah foto Seiza bersama seorang wanita lainnya. Dalam foto itu tampak Seiza sedang tersenyum manis dengan menggunakan syal merah, kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Yugo ikut tersenyum hanya karena melihat foto gadisnya. Dalam hatinya ia bersyukur melihat Seiza sudah semakin baik.
"Thanks untuk infonya. Lihat kayak gini aja gue udah senang banget," jujur Yugo.
"Tapi, bukan itu inti hal yang mau gue kasih tau, Go."
"Lho? Memang ada hal apa lagi?"
"Teman gue bilang kalau Seiza mau pulang minggu depan."
Bagaikan oasis di padang pasir, Yugo menemukan pelepas dahaga akan cintanya. Bagaikan musim kemarau panjang yang tersiram hujan, kekeringan di hatinya sudah berakhir. Kabar yang Arga berikan benar-benar obat penawar bagi kerinduan Yugo pada Seiza.
Setelah berbincang panjang dan saling bertukar informasi serta saling berterima kasih, Arga pamit untuk melanjutkan tugas dinasnya yang kebetulan dekat dengan kantor Yugo.
Yugo kembali ke ruangannya dengan perasaan bahagia yang tak bisa diungkapkan. Ia banyak mengucap syukur atas kebahagiaan ini. Semoga akan menjadi hal baik untuk selanjutnya.
🍭🍭🍭
Keesokan harinya Yugo kembali disambangi seseorang di kantornya. Kali ini Yugo cukup terkejut melihat orang itu. Pasalnya sudah lama sekali tak melihat sosok itu.
"Mau apa lo datang ke sini?" tanya Yugo sinis.
"Y-yugo ...."
"Gue gak punya banyak waktu, sebentar lagi mau ketemu client."
"Hm ... a-aku bingung mau ngomong dari mana."
"Oke, kalau gitu gue akan pergi sekarang juga," tukas Yugo.
"Tunggu, Yugo! Aku datang ke sini mau m-minta maaf sama kamu," ujarnya.
"Minta maaf atas hal apa? Gue rasa kita gak pernah ada urusan sampai lo harus minta maaf kayak gini."
"Maaf aku udah khianati kamu. Maaf karena aku udah buat kamu kecewa. Maaf juga karena buat hubungan kita jadi renggang kayak gini."
"Hubungan kita? Hubungan mana yang lo maksud, Maura?"
Maura gelagapan ketika ditanya seperti itu.
"Gue juga gak merasa dikhianati. Kecewa banget juga enggak. Dan untuk urusan hubungan pun gue gak pernah menganggap lo lebih dari sekadar teman."
Maura menggigit bibirnya untuk menahan tangis. "Yugo ...." lirih Maura.
"Apa pun itu, gue gak mau perpanjang urusan. Cukup buat gue kalau lo sekadar teman, gak lebih. Lalu untuk urusan om gue, lo urus sendiri aja sama dia."
"Aku udah gak ada hubungan lagi sama om kamu."
"Karena om Anwar udah masuk penjara gitu, ya?" Yugo kemudian tersenyum sinis. "Gue paham lo manfaatin uangnya aja, kan?"
Maura menunduk, tak bisa berkutik.
"Sekarang lo gak perlu temui gue lagi, Ra. Urusan kita udah selesai. Lo silakan lanjutkan kehidupan lo, dan gue harap lo gak pernah jual tubuh lo lagi hanya karena uang. Masih banyak cara halal yang bisa lo lakuin. Semoga lo bisa hidup lebih baik lagi."
Setelah itu Yugo pergi meninggalkan Maura dan keluar kantor untuk menyelesaikan urusannya.
Yugo mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ingin segera bertemu dengan seseorang yang sepertinya sudah lama tak ia temui.
Sesampaikan di tempat tujuan, Yugo langsung meminta izin dan mengisi daftar tamu. Ia menunggu sebentar sampai orang yang dimaksud datang.
"Ngapain kamu ke sini?"
Yugo menatap sebentar sebelum ia mengeluarkan dokumen yang dari tadi ia pegang.
"Om apa kabar? Di sini lebih baik, kan, dibanding di dunia luar yang harus dicemari oleh tangan Om?"
Anwar mencebik tak terima sindiran itu. "Cepat! Apa tujuan kamu ke sini?"
"Oke kalau Om mintanya kayak gitu. Silakan tanda tangani ini."
Yugo kemudian menyerahkan beberapa dokumen penting yang harus ditandatangani Anwar. Dokumen yang berisikan bahwa seluruh aset yang ia simpan di luar negeri kini sudah sepenuhnya milik Yugo. Sehingga setelah ini tidak ada lagi campur tangan Anwar di kehidupannya dan tentu ayahnya yang kebetulan sudah semakin baik kondisinya.
"Licik juga kamu, ya," sindir Anwar saat membaca dokumen yang Yugo berikan.
Yugo mengedikan bahu. "Om yang mengajarkan aku untuk licik. Om aja bisa, kenapa aku gak bisa."
"Kamu lihat aja kalau serakah kayak gini pasti akan ada malapetaka di depan kamu nanti!"
"Yugo bukan serakah mengambil hak orang, Om. Yugo kayak gini mengambil hak Yugo dan papa. Dan tenang aja, Yugo akan sisakan sedikit untuk Om Anwar nanti. Itu pun kalau Om masih bisa menikmatinya, karena kayaknya Om bakal menghabiskan sisa hidup Om di sini, kan?" sindir Yugo telak.
Raut wajah Anwar memerah akibat kesal. Dengan kasar ia merebut dokumen yang dibawa Yugo dan menandatanganinya secara terpaksa.
"Selamat menikmati hukuman atas semua perbuatan Om. Semoga di dalam penjara Om bisa bertaubat dan berubah. Terima kasih juga sudah pernah mengurus Yugo selama ini. Sampai ketemu nanti, Om."
🍭🍭🍭
Kabar Seiza akan pulang ternyata sudah tersebar di antara orang-orang terdekatnya, tapi tidak untuk Yugo. Bahkan Sadam dan Bobby pun sudah tahu, hanya saja mereka sengaja menyembunyikan hal itu dari Yugo. Bukan tanpa sebab, karena memang Seiza sendiri yang mengatakan bahwa ia tidak mengabari Yugo dan meminta agar tidak memberitahu Yugo akan kepulangannya.
Ketika teman-teman bertanya kenapa tidak memberi tahu Yugo, Seiza hanya menjawab, "Yugo gak perlu tahu kalau aku pulang."
Maka alasan itulah yang membuat Yugo kini duduk termenung di kamarnya. Sedih, gelisah dan ada sedikit kecewa yang meradang di perasaan Yugo. Ia bingung atas kenyataan ini.
Jika memang Seiza masih hilang ingatan, kenapa semua teman dekatnya dihubungi sedangkan ia tidak. Lalu, jika memang Seiza sudah sembuh dari amnesianya dan tidak mengabari dirinya, apakah itu jawaban bahwa Seiza benar-benar tidak menganggap seorang Yugo lagi?
Banyak spekulasi yang Yugo pikirkan. Apakah begini, apakah begitu, apakah karena ini, apakah karena itu?
Tak terhitung sudah berapa kali Yugo mengacak rambutnya karena kesal sendiri. Apalagi sejak Sadam mengabari kalau hari ini teman-temannya akan menjemput Seiza di bandara.
"Go, yakin gak mau ikut?" tanya Bobby yang baru saja keluar dari toilet di kamar Yugo.
Bobby awalnya tak mau ikut menjemput Seiza, tapi perintah Yugo mengalahkan rasa malasnya itu. Pasalnya sejak lulus kuliah Bobby meneruskan bisnis orang tuanya sambil menjalankan bisnisnya sendiri di bidang kuliner dan retail. Sehingga sayang saja kalau ia harus menutup tokonya.
Lain halnya dengan Sadam yang saat ini meneruskan kepemilikan aset keluarganya. Setelah lulus S2, Sadam kini yang mengelola kampus milik keluarganya yang sudah turun temurun itu. Ia seringkali disibukan dengan pertemuan dengan para petinggi lainnya. Walaupun usianya masih terbilang muda, Sadam sudah lihai dalam memimpin suatu organisasi. Sehingga tidak sulit bagi Sadam ketika diamanahi untuk mengelola Artha University yang mana di sana ia menempuh sarjana bersama teman-temannya, Yugo dan Bobby.
"Biarin aja, Bob. Nanti dia juga nyesel sendiri," sahut Sadam yang baru masuk ke kamar setelah mengambil minum di dapur.
"Jadi benar lo mau mundur gitu aja? Yakin gak mau kejar Seiza lagi?" tanya Bobby menegaskan.
"Udah gak cinta kali, Bob," celetuk Sadam dengan sengaja untuk melihat reaksi Yugo.
Yugo meneguk habis semua susu steril kalengnya sebelum ia berkata, "Gue mundur bukan karena gue udah gak cinta lagi sama Seiza. Seiza berhak atas hidupnya dan dia berhak menentukan pilihannya. Jadi ... gue mau lihat di bahagia dengan pilihannya."
Yugo kemudian mengambil kunci mobil di laci nakasnya. Dia menaruh kunci itu di meja kecil dekat sofa yang diduduki Sadam dan Bobby.
"Lo berdua buruan gih ke bandara. Nanti Seiza bingung cariin lo semua. Pakai mobil gue aja, tolong antar Seiza sampai rumahnya dengan selamat," titah Yugo sebelum ia mendudukan diri di kasurnya kemudian mengambil stik Play Station dan memainkannya.
🍭🍭🍭
Sepeninggal Sadam dan Bobby, Yugo masih betah dengan beberapa game yang ia mainkan. Sudah terhitung dua jam sejak mereka pamit untuk menjemput Seiza.
Yugo merasa lapar karena sejak tadi ia sibuk pada game hingga lupa kalau perutnya belum diisi makanan berat sejak pagi.
Ia berjalan gontai menuju dapur, menuruni beberapa anak tangga. Setelah mengambil stok air mineral dan beberapa camilan, Yugo kembali lagi ke kamar untuk memeriksa pekerjaannya yang sempat tertunda.
Sejak mengambil alih pekerjaan di perusahaan peninggalan ayahnya, Yugo menjadi pribadi yang workaholic, bukan karena ia ingin hal itu, namun tanggung jawab yang ia pikul sangatlah besar. Banyak karyawan yang bergantung padanya, pada pekerjaan di kantornya, sehingga bagaimanapun ia harus menjaga agar perusahaan tetap berjalan dengan baik dan menghasilkan tujuan semaksimal mungkin.
Beberapa lembar kertas ia beri tanda agar keesokan harinya bisa ia tanya ke karyawannya. Ia sadar ini hari libur, oleh karenanya ia pun tak ingin mengganggu para karyawannya.
Setelah lelah memeriksa beberapa laporan bulan lalu, Yugo mengambil duduk di dekat jendela kamarnya. Ia tarik kursi agar setengah pandangannya dapat melihat tanaman di balkonnya.
Terlintas pikiran bahwa ia ingin menyusul Bobby dan Sadam, tapi nurani mengalahkannya.
Seperti yang ia katakan sebelumnya, ia bukannya sudah tidak cinta, tapi ia ingin Seiza bahagia. Hanya saja, Yugo masih tak habis pikir kenapa Seiza mengabaikannya. Apakah Seiza lakukan itu karena Seiza sangat membencinya? Atau karena Seiza sudah memiliki kehidupan yang baru? Sudah adakah yang menggantikan posisi Yugo di hati Seiza?
Yugo meneguk air mineral di gelasnya, ia mengenyahkan pikiran buruk itu, pikiran yang beberapa tahun ini menggerogoti batinnya. Pikiran yang selalu membuat dirinya merasa bersalah, hingga rasanya tak mampu untuk menebus kesalahan itu.
Yugo memalingkan pandangannya pada pintu kamarnya yang terbuka, ia sepertinya lupa menutupnya kembali setelah dari dapur tadi.
Lama ia memandang ke arah sana, asik dalam lamunannya sendiri. Hingga entah dari mana fatamorgana itu datang begitu saja. Sosok gadis yang ia selama ini menghiasi benaknya tiba-tiba berdiri di depan pintu kamarnya.
Yugo menarik napas panjang, seolah menandakan ia lelah jika fatamorgana ini sering sekali datang. Entah yang ke berapa kali ia selalu mengkhayal akan kehadiran Seiza. Apalagi bayangan itu kali ini tampak semakin nyata, terlebih saat lamunan Yugo semakin dalam menyelam melihat bayangan Seiza yang semakin dekat menghampirinya dengan senyuman.
"Kamu ngapain ngelamun gitu? Kok gak sambut aku? Gak senang aku pulang?"
Suara itu masuk ke indera pendengar Yugo. Suara yang amat seperti nyata, seperti benar adanya. Namun sekali lagi, Yugo sadar akan halusinasinya sehingga membuatnya tak berani menjawab. Karena pernah ia menjawab suara itu, tapi kemudian hilang kembali. Sehingga untuk saat ini ia ingin membiarkan delusinya berjalan sendiri. Dan Yugo cukup sadar diri untuk tidak meladeni, ia tak ingin patah hati lagi.
"Yugo?" panggil suara itu lagi.
Yugo masih betah memandangi sosok cantik yang kini semakin mendekat.
"Kamu tuh dipanggil kok diam aja sih? Sengaja ya?"
Dalam delusinya ia melihat Seiza sudah berada tepat di hadapannya. Ia berdiri dengan wajah cemberut, berbeda dengan saat ia lihat di pintu tadi.
"Kamu jahat ih! Aku datang kok dicuekin!" rajuk Seiza. "Kalau tau gitu aku mending langsung pulang aja tadi!"
Suara itu semakin kencang memenuhi telinganya, Yugo tak kuat, ia tak kuasa menahan berjuta rindunya. Membuat air matanya luruh tanpa diminta.
"K-kamu kok nangis?"
Semakin sering suara itu terdengar, semakin sakit perasaan Yugo.
Tak ada yang pernah tahu bagaimana Yugo berjuang seorang diri menunggu gadisnya, menunggu dalam sepi, menunggu dalam doa dan menunggu tiada henti.
"Yugo?" lirih Seiza memanggilnya kembali.
Yugo memejamkan matanya, meraup wajahnya dan menangis dalam diam menahan serangan perih dan rindu yang bersamaan.
"Seandainya aja ini nyata," ucap Yugo yang hampir tak terdengar.
"K-kamu ngomong apa?" tanya Seiza.
Lagi dan lagi suara itu.
"Kenapa? Kenapa bayangan kamu selalu hadir saat aku lagi terpuruk, Za? Saat aku benar-benar butuh sosok kamu, saat aku benar-benar hampir jatuh, bayangan kamu datang gitu aja. Aku bahkan sempat merasakan bahagia yang luar biasa dengan hadirnya kamu, tapi saat aku sadar ... kamu hanya khayalanku. Kamu hanya delusiku. Bayangan yang nyatanya hanya fatamorgana di mataku."
"Kamu punya pengaruh besar di hidupku, Za. Bahkan sekadar bayangan aja aku udah bahagia walaupun hanya sebentar. Kehadiran kamu di delusiku cukup untuk mengobati rinduku, meskipun nyatanya hatiku semakin ngilu," celoteh Yugo mengungkapkan perasaannya.
Yugo mengangkat pandangannya yang semula menunduk, matanya saling bertatapan dengan mata sayu Seiza. Sambil tersenyum Yugo berkata. "Terima kasih sudah datang lagi. Lain kali datangnya harus benar-benar ya, Za, jangan cuma bayangan gini."
Saat Yugo ingin mengusap air matanya sendiri, tangan pucat Seiza terangkat dan menahan tangannya. Sebelah tangan Seiza yang kosong ia gerakan menuju pipi Yugo dan kemudian menghapus jejak tangis di sana.
"Kamu curhat? Sedih banget sih curhatannya." Kini kedua tangan Seiza mengusap kedua pipi Yugo bersamaan.
"Kasihan banget sih pacar aku kok jadi kayak gak kerawat begini, kamu kelihatan agak kurus ya? Hmmm ... tapi kamu makin dewasa, aku jadi makin suka."
Yugo mengernyit, mencerna halusinasinya sendiri. Biasanya ia tak berkhayal sejauh ini. Terlebih saat ini dalam penglihatannya Seiza duduk di pangkuannya. Merentangkan tangannya, lalu memeluknya. Membuat Yugo kelimpungan dibuatnya.
Hatinya semakin tergores luka rindu, namun egonya berharap ini kenyataan.
"Aku kangen kamu," lirih Seiza yang terdengar semakin kencang. "Maaf karena terlambat pulang."
Lagi dan lagi Yugo hanya mampu terdiam. Ia tak berani memupuk harapan, kali ini ingin ia enyahkan walau sebenarnya batin menginginkan kenyataan.
Yugo baru saja ingin mengangkat tubuhnya untuk menghindari pikirannya, sampai akhirnya ia menyadari kenapa tubuhnya berat sekali.
"Yugo mau ke mana sih? Aku lagi kangen-kangenan gini kok kamu malah mau berdiri," kesal Seiza yang akhirnya bangun dari duduknya di pangkuan Yugo. "Sebal ih! Yugo gitu banget!"
Yugo kembali melamun, ia masih bingung kenapa kali ini delusinya semakin jadi.
"Jadi benar nih? Kamu anggap aku gak nyata? Gitu?"
Yugo memiringkan kepalanya sedikit, otaknya masih dalam proses. Namun, akhirnya rasa penasaran itu terjawab ketika pinggangnya merasakan perih sebuah cubitan tangan perempuan.
Yugo mengaduh dengan tangan di pinggang sambil menilik orang di hadapannya. "Kamu ...."
Seiza memajukan bibirnya tanda kesal. Sangat manis di mata Yugo, membuat tangannya terulur dan perlahan meraih satu sisi pipi Seiza.
"Kamu ...." Lagi, kalimat Yugo tak terselesaikan.
Seiza menemukan kehangatan kala tangan kekar itu menyentuh pipinya. Ia memiringkan kepalanya ke arah tangan itu, bersandar dengan nyaman.
"K-kamu ... kamu benar Seiza?"
Tak ada jawaban, cukup sebuah senyuman yang terukir dengan kedua tangan Seiza mengamit sebelah lagi tangan Yugo yang bebas.
Tangan itu kemudian Seiza tarik hingga si pemilik mendekat. Selanjutnya Seiza mengangkat tubuhnya untuk berjinjit. Kemudian secara perlahan dan penuh kelembutan Seiza mengecup bibir Yugo.
"Iya, ini aku. Terima kasih sudah mau tunggu aku selama ini. Dan maaf karena kamu menunggu lama. Maaf juga selama ini aku gak ada kabar. Banyak hal yang aku akan ceritakan ke kamu nanti." Seiza menjeda kalimatnya. Ia mendekat pada Yugo dan mendekap tubuh itu.
"Hmmmm ... Kamu pernah bilang, kalau nanti aku sembuh, kamu ingin aku hidup lebih baik, lebih layak dan lebih bahagia, kan? Maka dari itu, aku mau wujudkan hal itu. Aku mau harapan kamu juga terkabulkan. Tapi, aku mau mewujudkan semua itu cuma sama kamu, Yugo. Aku mau hidup aku lebih baik dan lebih bahagia lagi, dan hal itu harus sama kamu. Aku gak mau sama yang lain. Aku cuma mau sama kamu."
"Selama apa pun aku pergi, sejauh apa pun aku melangkah, tapi rumahku tetap kamu. Cinta dan perasaan aku cuma bisa berpusat sama kamu. Jadi ... setelah ini kita mulai sama-sama lagi, ya. Memulai hidup yang sebagimana kamu inginkan. Kita harus bisa lebih baik dan lebih bahagia lagi."
Seiza menarik tubuhnya kemudian mendongak menatap wajah pria kesayangannya.
Yugo hanya mengikuti gerakan gadis di hadapannya ini, gadis yang sekian purnama tak pernah ia jumpai, tapi selalu menghiasi mimpi-mimpi.
Mereka menatap satu sama lain, menyalurkan kerinduan yang kini menemukan persemayamannya. Saling menggenggam dan menguatkan bahwa esok dan seterusnya bisa tetap bersama baik suka maupun duka.
Dalam keadaan yang masih setengah percaya, Yugo dihadapkan pada kenyataan yang akhirnya ia dambakan. Senyum kebahagiaan terukir manis setelah Seiza kembali mendekap hangat tubuhnya.
Tak mau buang kesempatan, Yugo pun membalas pelukan itu untuk menyalurkan berjuta kasih sayang. Hingga akhirnya Seiza berucap penuh lantang, menghancurkan keraguan yang masih bersarang.
"I love you so much and now I'm coming home, Yugo Pandu Pranadipa."
.
.
.
Alhamdulillah 💙🤍💙🤍💙
Finally!!
Mungkin tinggal final chapternya ya Teman-Teman.
Mohon dukungannya.💙🤍💙🤍💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top