53. SEIZA DENAYA
Siapkan diri kalian!!!🥳
Ikhlas akan menjadi jalan pembuka untuk kisah yang baru, cerita yang harusnya akan lebih baik dan lebih indah.
🍭🍭🍭
"Pagi, Bun," sapa Yugo saat Santi membuka pintu rumahnya.
Setelah Seiza sadar dari komanya dan mendapatkan perawatan intensif dari rumah sakit terbaik dan mereka akhirnya kembali ke rumah lama. Santi memutuskan untuk merawat Seiza di Bandung, karena kebetulan daerah rumahnya masih lumayan sejuk sehingga bisa sedikit membantu terapi yang Seiza lakukan.
"Lho? Tumben Yugo pagi banget ke sini. Bunda kira nanti agak siang."
Yugo terkekeh sambil menggaruk tengkuknya. "Gak apa-apa, Bun. Yugo sebenarnya udah datang dari kemarin, cuma ada perlu dulu sama Riko."
Santi mengangguk sambil menyuruh Yugo masuk dan memberi suguhan.
"Seiza udah siap-siap dari tadi. Kamu temui aja di kamarnya."
Mendengar hal itu Yugo otomatis tersipu. "Boleh, Bun?"
Santi tersenyum sambil mengangguk perlahan. Bahkan senyumnya semakin melebar ketika ia melihat Yugo yang bergegas menuju kamar putrinya.
Santi tahu benar bagaimana perjuangan Yugo untuk anak semata wayangnya. Yugo sampai cuti kuliah untuk ikut mengurus Seiza. Bahkan ia saat ini sering tinggal di rumah sebelah―rumah Riko―hanya agar bisa dekat dengan Seiza.
Yugo sering bulak-balik Jakarta-Bandung. Karena bagaimanapun di Jakarta masih ada ayahnya yang harus ia urus juga. Di Jakarta ia sering mengantar ayahnya untuk terapi penyembuhan pada saraf-sarafnya, begitu pula di sini pada Seiza.
Saat di Bandung, Yugo yang lebih sering mengantar Seiza ke rumah sakit untuk kontrol dan terapi ingatannya. Ia tak pernah mengeluh untuk orang-orang tersayangnya.
Baginya, ayahnya dan Seiza adalah dua orang yang harus ia perjuangkan dalam hidupnya, sebagaimana mereka sudah berjuang untuk hidupnya juga.
Yugo ingin membalas apa yang sudah mereka perjuangkan, maka saat ini ia harus berjuang untuk kesembuhan ayahnya dan kekasihnya.
Yugo berdeham sebentar menetralkan suaranya. Ia mengetuk pintu kamar Seiza dua kali. Membuat sang pemilik kamar menoleh ke sumber suara, kemudian kembali menunduk melanjutkan aktivitasnya.
Yugo melihat gadisnya sedang membuka sebuah kotak yang berisi berbagai macam benda. Sekilas Yugo tahu apa isi kotak itu, ia tersenyum karena mengingat benda-benda yang dulu pernah ia berikan rupanya disimpan begitu rapi oleh gadisnya.
Seiza duduk di pinggir kasurnya dengan kaki menjuntai ke lantai. Yugo kemudian mengambil duduk tepat di dekat kaki Seiza di karpet kamar itu.
"Serius banget, sih. Lagi buka apa?" tanya Yugo membuka pembicaraan.
Walaupun berkali-kali bundanya bilang, bahwa Yugo orang baik dan merupakan kekasihnya, namun Seiza masih belum yakin.
Ia belum bisa percaya siapa pun selain bundanya dan dokter yang menanganinya.
Sejak divonis bahwa ia mengalami amnesia akibar gegar otak yang ia alami karena ditabrak mobil malam itu, Seiza jadi gadis yang semakin pendiam dari yang dulu. Ia belum bisa mengingat sedikit pun memori lamanya. Bahkan memori dengan bundanya pun belum bisa ia ingat dengan sempurna. Hal ini membuat ia sedih dan hanya bisa mengandalkan bundanya.
Yugo mengambil diari yang saat ini Seiza pegang. Ia membuka lembar tengah yang mana ia ketahui ada foto di situ.
"Ini foto pertama kita, Za. Waktu itu kita kelas XI dan aku baru selesai tanding basket. Kamu nonton di sana, terus kamu masih sabar tunggu aku sampai aku selesai. Pulang tanding ini, kita jalan untuk yang pertama kali setelah kita pacaran. Aku ajak kamu foto di taman ini."
Dengan diari yang masih ia pegang di tangan kanan, tangan kirinya merogoh saku belakang. Diari tadi ia pangku karena kedua tangannya sibuk membuka dompet cokelat miliknya.
Ia mengeluarkan selembar foto yang rupanya sama dengan foto yang ada di diari Seiza.
"Ini ... aku juga masih simpan foto ini," tutur Yugo dengan nada lirih. Pasalnya ia benar-benar menahan tangis.
Yugo merasa terluka akibat ulahnya. Ia merasa bersalah atas hidup gadisnya.
Lama ia menunduk dekat lutut Seiza.
"Kamu kenapa jadi diam?" tanya Seiza yang melihat Yugo hanya menunduk.
Yugo menetralkan napasnya dan mengerjapkan matanya cepat agar buliran di matanya lekas tenggelam kembali.
"Gak apa-apa, Sayang. Aku cuma keingat masa itu."
"Aku minta maaf ya, atas semua hal yang terjadi sama kamu. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya untuk kesembuhan kamu, Sayang."
Kali ini Yugo tak dapat membendung perasaannya. Tubuhnya tertumpu pada lutut Seiza.
Seiza pun hanya bisa diam tak berkutik melihat pria di dekatnya ini menenggelamkan wajahnya di dekat lututnya.
Yugo tersedu, ia menumpahkan segala rasa bersalahnya pada gadis yang ia cintai. Meminta maaf atas segala hal yang pernah ia lakukan dengan sengaja kala itu. Yugo menyesali semua perbuatannya. Namun, kini rasa sesalnya terlambat. Karena ketika ia mengakui kesalahannya, Seiza sudah tidak lagi peduli. Jangankan untuk peduli, mengingat Yugo dengan baik saja tidak.
Yugo menarik tubuhnya sambil mengusap air matanya sendiri. Tak ada usapan penenang dari Seiza, tak ada ucapan kehangatan. Yang ada Seiza hanya menunduk bingung dengan tingkah Yugo.
Seiza bergumam pelan kemudian berucap, "Maaf sebelumnya, tapi boleh gak kalau kamu gak perlu panggil pakai kata Sayang? Soalnya ...." Seiza menggantungkan kalimatnya melihat air wajah Yugo. Karena bagaimanapun Seiza terlahir dan tumbuh sebagai anak baik, maka ia selalu memikirkan perasaan orang yang berinteraksi dengannya.
Seiza meneguk sedikit salivanya sebelum ia kembali melanjutkan kalimatnya. "Soalnya aku ngerasa gak nyaman kalau dipanggil gitu sama kamu."
Hati Yugo bagai disengat aliran listrik, ada rasa kejut luar biasa yang ia rasa.
Dulu, ketika ia memanggil Seiza dengan sapaan penuh kasih sayang, ia selalu melihat raut gadisnya menjadi tersipu dengan pipinya yang merona. Namun, tidak berlaku untuk sekarang. Gadisnya dengan gamblang menolak sapaan itu.
Yugo kemudian mengangguk lemah. "Oh ... oke. Maaf ya, Za."
"Maaf, Yugo. Kamu bisa gak duduknya di kursi itu aja," pinta Seiza sambil menunjuk kursi belajarnya. "Aku ngerasa risi kalau kamu duduk terlalu dekat kayak gini. Sekali lagi maaf ya, Yugo."
Dengan tubuh lemas, ia mengangkat tubuhnya dan mendudukan diri di kursi yang Seiza pinta tadi.
"Besok-besok kamu gak perlu antar aku ke rumah sakit lagi. Nanti aku kontrolnya sama bunda aja."
"Tapi Za, aku ma―"
"Aku mohon, Yugo. Jujur aja kalau aku merasa terganggu dengan adanya kamu. Aku benar-benar cuma mau ditemani bunda."
Sejak amnesia, Seiza lebih sering mengungkapkan perasaannya. Ia lebih sering jujur, walaupun terkadang kejujuran Seiza membuat hati Yugo tergores, namun Yugo tetap menerima itu.
Ia sadar bahwa dulu dirinya pun pernah berbuat jahat pada Seiza. Yang lebih jahatnya lagi, hal itu ia lakukan karena kesengajaan, ia lakukan itu atas kesadaranya. Berbeda dengan Seiza saat ini yang benar dinyatakan amnesia. Sedangkan ia dulu? Berbohong!
🍭🍭🍭
"Ayo dimakan dulu dong. Yugo pasti belum sarapan, kan?" ajak Santi saat mereka bertiga sudah di meja makan.
Santi merasa ada atmosfer berbeda dari yang sudah-sudah. Entah kenapa ia melihat raut Yugo yang sedikit sendu dibanding biasanya. Yugo yang selalu memulai pembicaraan di antara mereka kini memilih untuk diam.
"Ayo dimakan."
Yugo seketika tersadar dari lamunannya. "Oh iya, Bun."
Mereka sarapan dengan hening. Seiza pun sadar kalau perubahan Yugo akibat ulahnya, namun Seiza hanya mengutarakan keinginannya. Karena sejujurnya ia memang merasa tak nyaman ketika Yugo terus menemuinya.
Beribu kali bundanya, sahabatnya, bahkan Yugo sendiri menjelaskan, bahwa Yugo merupakan kekasihnya, namun hati kecilnya saat ini belum siap menerima kenyataan itu.
Setelah keluar dari rumah sakit, Seiza mulai sering terapi. Namun, memori yang muncul hanya saat bersama bundanya saja. Oleh karena itu, ia sedikit menutup diri dari orang lain.
Dering ponsel Yugo berbunyi nyaring membuat atensi berporos padanya. Dengan sigap ia menerima panggilan itu sambil berlalu.
"Sayang? Ada apa sama kalian?" tanya Santi saat melihat Yugo keluar ruangan.
"Ada apa gimana maksudnya, Bun?"
"Yaa ... gitu. Kalian kok kelihatannya saling diam?"
"Emang harusnya gimana, Bun?"
"Sayang ... Yugo itu pacar Seiza. Dia udah berkorban banyak buat kita. Buat Seiza dan bunda. Jadi Seiza jangan cuek sama Yugo ya, Nak," nasihat Santi.
"Tapi Bunda, aku ngerasa gak senang kalau Yugo di sini. Aku cuma mau sama Bunda."
"Bunda paham kalau Seiza masih belum bisa terima orang, tapi gak ada salahnya, kan, kalau Seiza terima Yugo. Dia pasti bantu Seiza sampai sembuh."
"Aku gak sakit, Bun. Aku udah sehat. Luka di badan aku juga udah membaik. Bunda juga tau kalau sekarang aku lagi belajar biar aku bisa lanjut kuliah lagi."
Menurut dokter, Seiza kemungkinan mengalami Amnesia Disosiatif, namun untuk ingatan implisitnya masih sangat baik. Sehingga walaupun ia lupa akan memori dengan seseorang, namun tidak berarti menghilangkan kemampuan yang ia miliki. Terbukti ketika Seiza dihadapkan pada piano, ia dengan lihai tetap bisa memainkannya.
Seiza berencana akan melanjutkan kuliahnya di tahun depan, sisa waktu saat ini ia gunakan untuk memulihkan kondisi fisiknya dan mengisi ingatannya dengan materi perkuliahan. Ia tak ingin ada hal lain yang mengganggunya, termasuk ... pacar?
"Bunda harap Seiza bisa baik-baik sama Yugo, ya," pinta Santi sekali lagi.
"Bunda, jangan paksa aku. Aku tau Yugo baik sama aku dan Bunda. Aku tau dia yang bayar semua biaya hidup dan pengobatan aku. Tapi, bukannya emang itu keharusannya, ya? Dia sendiri yang bilang kalau aku sakit akibat perbuatannya. Jadi udah seharusnya dia bertanggungjawab, kan, Bun?"
"Perkara gimana masa lalu aku dan dia, harusnya udah beda perihal lagi. Dan harusnya dia paham akan hal itu dong, Bunda. Aku cuma berharap dia bertanggungjawab atas perbuatannya, lalu ketika tanggung jawab itu udah terpenuhi, yaa seharusnya dia pergi. Selesai, kan, Bun?"
"Seiza! Bunda gak pernah ajarin kayak gitu."
"Bunda ...."
"Seiza bener kok, Bun," sela Yugo di perbincangan mereka. Yugo berjalan gontai menuju meja makan.
"Nak Yugo, maafin Seiza, ya," lirih Santi.
Seiza terkejut dan merasa terpojokan. "Kok Bunda minta maaf, sih? Salahku apa?"
Yugo tersenyum tipis. "Bunda gak perlu minta maaf. Di sini memang Yugo yang salah. Dan Seiza benar, aku harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi sama Seiza dan Bunda. Maka dari itu, maksud Yugo pagi ini datang mau menyampaikan suatu hal ke Seiza dan Bunda."
"S-sesuatu hal apa, Yugo?" tanya Santi yang mendadak memiliki perasaan tidak enak.
Yugo meneguk salivanya sebelum ia tersenyum penuh ketulusan dan kepedihan.
Tidak ada yang tahu bagaimana luka yang Yugo peroleh, apalagi dengan Seiza yang sekarang, Seiza yang murni amnesia dan melupakan semua kenangan mereka.
Namun, Yugo tersadar ia pun pernah melakukan hal itu pada Seiza, melakukannya dengan sengaja. Yugo sadar telah sengaja melukai hati gadisnya dengan perkataan bahkan perbuatan kasar. Lalu kini ... Tuhan dengan adil membalas Yugo secara tunai.
Dengan Seiza yang menganggap kehadirannya mengganggu, tidak senang bila Yugo mendekat, merasa risi, itu sudah cukup menggores hati Yugo yang jujur saja saat ini butuh pengobat dari lukanya.
Yugo sudah berjanji akan membahagiakan gadisnya dengan apa pun kondisinya, maka janji itu harus ia penuhi. Walaupun ia tahu seperti apa risikonya. Dan ia pun sadar apa risiko terberatnya.
Seperti saat ini, dengan hati yang berat ia ingin menyampaikan hal yang menurutnya sulit, tapi tidak untuk Seiza. Yugo yakin, keputusan ini akan membuat gadisnya senang dan menemukan semangat baru. Maka jalan ini yang Yugo ambil. Yugo siap berpisah dengan Seiza, kekasihnya yang paling ia cintai sejak lama.
Yugo berdeham sebentar. "Bunda, Seiza. Barusan Yugo dapat telepon dari teman Yugo yang udah Yugo suruh sebelumnya buat bantu. Dan barusan dia kasih kabar, kalau ...." Mendadak Yugo berat mengucapkannya. Ia bahkan harus menarik napas dalam-dalam berulang kali.
Kegelisahan Yugo dapat terlihat jelas di mata Santi. Santi yakin bahwa kekasih anaknya sedang menahan kegundahan yang menjerat. Namun, ia bisa apa? Ia hanya bisa menjadi penengah di antara keduanya.
"Kalau apa?" tanya Seiza
"Seiza," panggil Yugo dengan nada parau.
"Hm?"
"Aku udah siapkan banyak hal buat kamu. Hal ini aku lakukan untuk menebus semua kesalahan aku sama kamu, Za. Aku tahu mungkin kesalahan aku gak akan termaafkan, tapi aku masih berusaha buat bayar semua kesalahan itu."
Yugo kemudian mengambil tas di ruang tamu dan mengambil sesuatu di sana. Ia menyerahkannya pada Seiza.
"Aku udah daftarin pengobatan untuk kamu di rumah sakit Salford Royal. Kebetulan di sana ada teman papaku, dan aku juga udah daftarin kamu untuk lanjut kuliah di sana juga, di Salford University. Untuk tempat tinggal juga udah aku siapin. Kamu bisa tinggal di sana sama Bunda selagi pengobatan dan kuliah, biar kamu di sana ada yang temani. Karena gak mungkin juga aku yang di sana, kan?" tutur panjang Yugo kemudian ia terkekeh.
Santi dan Seiza saling beradu pandang. Mereka mencoba mencerna maksud Yugo walau penuh kebingungan.
"Salford itu di mana, Yugo?" tanya Seiza mencoba memahami maksud kalimat Yugo.
"Di Inggris, Za."
"Inggris?!" ucap Santi dan Seiza bersamaan yang semakin terkejut.
Entah untuk yang ke berapa kali Yugo tersenyum penuh luka sambil mengangguk sebagai jawaban.
"Yugo, apa ini gak berlebihan?" tanya Seiza penuh selidik.
"Enggak ada yang berlebihan kalau untuk kamu, Za. Seperti yang kamu bilang, ini sebagai bentuk tanggung jawab aku."
Yugo kemudian menyerahkan beberapa dokumen penting pada Seiza untuk persiapan di Inggris nanti.
"Tadinya aku mau kasih ini nanti, tapi kayaknya lebih cepat lebih baik. Apalagi kamu udah gak nyaman dengan kehadiranku, kan, Za?"
"T-tapi gak harus kayak gini juga, kan, Yugo? Inggris itu jauh banget. Aku juga gak mau bebani kamu kayak ini. Biaya pengobatan, kuliah dan hidup di sana pasti gak murah, Yugo."
Yugo kemudian mengeluarkan buku tabungan beserta kartu ATM miliknya, ia serahkan pada Seiza sebagai bukti kalau apa yang ia ucapkan mampu ia realisasikan.
"Ini untuk pegangan kamu selama di sana. Kalau seumpamanya kurang kamu tinggal bilang aja."
Seiza membelalak ketika melihat isi tabungan yang Yugo berikan.
"Yugo! Apa-apaan sih. Ini berlebihan tau gak? Aku gak suka cara kamu kayak gini!"
Seiza merasa serba salah. Ia jujur dengan perasaannya kalau ia tak nyaman dengan kehadiran Yugo, bukan berarti ia harus berada sejauh ini. Seiza tahu dan sadar akan kondisinya. Namun, Seiza pun tak pernah menyerah. Ia selalu rutin akan pengobatannya, ia ingin sembuh, ia ingin semua ingatannya kembali lagi, tapi bukankah itu semua butuh waktu?
Seiza berdiri kemudian menyerahkan kembali semua dokumen serta buku tabungan tadi.
"Aku gak mau! Aku gak mau tinggal di Inggris. Aku mau di sini aja sama Bunda," ucap Seiza final dan kemudian berlari ke kamarnya.
Yugo hanya bergeming melihat Seiza yang semakin menjauh.
"Yugo. Kamu gak perlu seperti ini. Seiza pengobatan di sini juga udah cukup. Sampai saat ini juga udah banyak perubahan, kan? Jadi gak perlu jauh-jauh ke Inggris. Bunda gak mau terus-terusan repotin Yugo."
"Bunda. Yugo sama sekali gak merasa direpotin kok. Yugo cuma mau yang terbaik untuk Seiza. Jadi Yugo mohon, bantu bujuk Seiza ya, Bun," pinta Yugo.
Kemudian Yugo meminta izin untuk bertemu dengan Seiza kembali di kamar.
🍭🍭🍭
Yugo mengetuk pintu sebelum ia membukanya. Ia melihat Seiza sedang duduk di tepi kasurnya seperti tadi. Padangannya mengarah kosong ke arah jendela kamarnya.
"Seiza," panggil Yugo.
Seiza bergeming, ia sungguh sedang tidak ingin diganggu. Hatinya masih terdapat ribuan gemuruh yang tak bisa ia jabarkan.
"Aku lagi gak mau diganggu, Yugo."
"Aku tahu."
"Aku lagi benar-benar mau sendiri."
"Tapi aku mau ngomong sama kamu, sebentar aja."
"Jangan sekarang ya, Yugo," jawab Seiza mulai gemetar.
"Gak ada waktu lagi, Za."
"Masih banyak, Yugo."
Yugo tersenyum getir. Ia berjalan gontai ke arah gadisnya. Menarik napas sedalam mungkin sebelum ia duduk di sebelah Seiza.
"Za,"
"Please, Yugo."
"Seiza," panggil Yugo pelan kemudian ia menggenggam tangan kanan Seiza. "Sekali lagi aku minta maaf, Za. Maaf karena pergi tinggalin kamu malam itu. Maaf karena pertemuan pertama kita lagi. Maaf atas kebohongan tentang amnesia aku. Maaf atas sikap kasar aku juga waktu itu. Maaf karena dengan sengaja pura-pura gak kenal kamu, bentak kamu dan jauhi kamu. Maaf udah menyebabkan kamu dalam bahaya karena ulah om Anwar. Maaf karena buat kamu terluka dan sekarang kamu yang benar-benar amnesia. Maaf karena aku udah rusak hidup kamu. Maafin aku, Za. Maaf atas segala hal ini. Dan ...." Yugo menggantungkan ucapannya, ia tak tak bisa menahan sesak di dadanya, kemudian ia menyeka air mata yang jatuh di pipinya sendiri. "Dan maaf juga karena buat kamu jadi gak nyaman atas kehadiran aku."
"Aku lakuin semua ini karena sebenarnya aku mau lindungi kamu. Sejak awal niatku tinggalin kamu waktu sekolah karena mau selesaikan masalahku sendiri. Bahkan aku gak pernah nyangka bakal ketemu kamu di kampus. Di luar dugaan aku, ternyata semua rencanaku meleset sampai akhirnya kamu yang jadi korban. Maafin aku ya, Za. Aku menyesal karena keegoisan aku, kamu jadi kayak gini. Izinin aku tebus semua kesalahan aku. Izinin aku tebus rasa bersalah aku. Dan aku mohon kamu terima niat dan maksud aku. Aku mau kamu hidup lebih baik lagi, Za. Aku mau kamu hidup lebih layak dan lebih bahagia ... walaupun nanti bukan sama aku."
"Cuma satu hal yang harus kamu tahu, Za. Entah sampai kapan, kamu tetap akan ada di hati aku. Kamu tetap jadi yang pertama buat aku dan tetap jadi gadis yang aku cinta. Cepat sembuh ya, Za. Walaupun nanti saat kamu kembali akan ada kehidupan baru, tapi tetaplah jadi Seiza yang aku kenal. Seiza yang baik hatinya, Seiza yang penyayang, pemaaf, Seiza yang lembut dan jago masak. Jadi ... aku mohon, Za. Mau, ya, untuk pengobatan dan kuliah di Inggris. Kamu gak perlu khawatir karena doaku selalu ada buat kamu. Aku mau kamu sembuh seutuhnya. Dan setelah itu aku harap kamu bisa hidup bahagia, maka aku akan ikut bahagia. Janji sama aku, kamu jaga kesehatan di sana ya, Za."
Yugo berlutut sebentar di depan Seiza yang sejak tadi tak bisa menahan isak tangisnya. Bukan hanya Yugo yang tak mampu menahan pilu, karena Seiza pun merasakan hal yang sama.
Jika Yugo merasakan sakit karena kondisi Seiza yang tak bisa mengingat dirinya, maka Seiza pun merasa sakit karena dirinya tak bisa mengingat bagaimana sosok Yugo baginya. Mereka merasakan sakit yang sama, namun dengan kondisi yang berbeda.
Bukan Seiza tak mau bersama dengan Yugo, namun entah kenapa hatinya belum tergerak untuk menerima kehadiran pria di depannya ini. Seiza hanya belum siap, bukan mau berpisah.
"Seiza ...."
"Stop, Yugo. A-aku mohon." Seiza sungguh tak kuasa menahan tangisnya.
"Hari ini juga, aku ikhlaskan kamu dan kehidupan kamu. Aku cuma mau kamu hidup dengan baik, sebaik-baiknya. Sehat selalu ya, Za. Perlu kamu ingat, kalau aku akan selalu cinta sama kamu. Aku cinta kamu, Seiza Denaya."
Yugo mengangkat tubuhnya, ia mengecup sebentar tangan Seiza. Kemudian ia menyeka air mata Seiza di pipi pucat itu. Yugo ikut terisak kembali saat air mata gadisnya semakin bercucuran.
Yugo menyatukan kedua kening mereka, saling terisak karena menahan sakit yang mereka rasakan. Saling mencoba ikhlas atas pahitnya kenyataan. Dan saling memberi kekuatan untuk melanjutkan kehidupan.
Setelah puas saling menumpahkan perasaan, Yugo beranjak. Ia kemudian mengecup sebentar kening Seiza dan melepas tautan tangan mereka.
"I love you so much and ... See you, Seiza Denaya," ucap Yugo penuh ketulusan sebelum akhirnya ia meninggalkan Seiza yang masih terisak di kamarnya.
.
.
.
Jadi gimana, Teman-Teman? END beneran gak nih?🤭🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top