5. INI COKELAT
Ketika indera pengecap kita (lidah) mampu merasakan manisnya sebuah rasa, maka dapat dipastikan pula dapat merasakan sebuah rasa pahit. Begitu juga dengan hidup, kadang terasa teramat manis, namun kadang juga terasa sangat pahit.
🍭🍭🍭
"Ko, antar aku ke kantin dulu, yuk. Persediaan cokelatku habis, terus hari ini aku ada praktik di jam pertama, jadi aku butuh asupan," ajak Seiza sambil menarik Riko ke arah kantin saat tiba di kampus.
Riko yang ditarik tangan kirinya itu hanya menurut sambil tak lepas pandangan dari ponselnya. Seiza bersyukur karena Riko tak sempat melihat sekitar, terutama rombongan pria yang berdiri antri di depan lift lantai 1. Yang mana rombongan itu ada Yugo.
"Tumbenan banget bisa sampai kehabisan cokelat, gitu, Kak?" tanya Riko.
"Iya soalnya semalam aku habis nonton drama Korea, jadi semua cemilannya aku makan."
"Jangan bilang lo semalam habis begadang lagi?" Seiza hanya menjawab dengan anggukkan. Dan Riko masih lanjut bertanya. "Sampai jam berapa?"
"Jam 2 malam," ucap Seiza dengan cengiran manis dan merasa tidak bersalah.
"Mau sampai kapan lo ubah kebiasaan buruk lo itu? Gak baik, Kak."
"Habisnya tanggung, Ko. Ini lagi episode klimaksnya, kalau dilewat besok lagi nanti kurang gereget sensasi nontonnya." Seiza membela diri.
"Iya, tapi itu gak baik buat kesehatan tubuh sama mata lo, Kak. Gak bisa apa nontonnya pas siang aja?" tanya Riko mulai protektif. "Oh, iya, Kak, nanti pulangnya gue mau ke sekretariat basket dulu. Lo tunggu di parkiran aja," ucap Riko setelah mereka sampai di kantin.
"Aku tunggu di ruang seni aja, deh. Aku mau sekalian main piano di sana, soalnya udah dikasih judul lagu baru nih buat latihan."
"Hari ini lo latihan?"
"Engga, kok. Aku cuma mau sedikit pelajari lagu yang mau aku mainkan nanti, sambil tunggu kamu. Daripada tunggu di parkiran, panas."
"Ya udah nanti kalau udah selesai gue kabarin lo," ucap Riko dan bergegas menuju kelasnya.
Seiza bersyukur karena kepindahannya ke sini dia tidak sendirian, karena ada Riko yang bersedia menemaninya. Walaupun memang Riko harus berkorban untuk kuliah di Universitas Arthajaya, tapi Riko sangat bangga karena bisa kuliah di kampus swasta paling bergengsi di ibu kota ini.
🍭🍭🍭
Sesuai dengan persetujuan tadi pagi dengan Riko, Seiza lebih memilih bergegas ke ruang seni dibanding dia harus menunggu Riko di parkiran. Lagi pula Riko belum tentu akan datang sekitar 15 menit.
Setelah keluar dari lift di lantai 3, Seiza berjalan menyusuri koridor di sana sambil melihat ke arah taman yang ternyata ada bunga matahari yang mulai mekar, Seiza tersenyum melihat itu, ada getaran tersendiri di dalam hatinya ketika mengingat dulu dia pernah diberi bunga matahari oleh sang kekasih─yang tak lain adalah Yugo─ketika Seiza sedang berulang tahun.
Bayangan momen indah itu terus memenuhi pikiran Seiza sampai dia tiba di depan ruang seni. Sejenak Seiza membuka ritsleting tas selempangnya, lalu tangan kanannya merogoh ke dalam untuk mengambil kunci ruangan itu, yang sebelumnya sudah dipercayakan Sadam padanya dengan alasan Seiza ingin sesekali mengisi waktu luangnya dengan berlatih piano karena di tempat kos dia tidak ada piano sehingga hanya di ruang seni ini lah dia mampu menghafal not-not pada lagu yang sudah dipilih untuk acara sosialnya nanti. Saat akan memasukkan kunci ke lubangnya, tiba-tiba dia mendengar suara petikan gitar dari dalam ruangan. Sejenak Seiza terdiam mematung.
Seiza bergidik ngeri membayangkan hal menyeramkan. Namun, dia urungkan untuk memasukkan kunci itu, dia tarik kembali tangannya, lalu dengan tangan yang masih memegang kunci dia memutar kenop pintu dan membukanya perlahan.
Setelah pintu terbuka cukup lebar, mata Seiza pun menangkap punggung seorang pria yang sedang memangku gitar sambil memainkannya. Tampak dari belakang pria itu mengenakan kaus warna hitam dan celana jeans birunya. Pikir Seiza sepertinya pria itu melepas jaket yang dipakai pagi tadi dan ternyata benar, mata Seiza menangkap jaket hijau putih itu di kursi yang terletak di sebelah kiri ruangan.
Seketika jantung Seiza memompa darah lebih cepat dari biasanya, bahkan debarannya mungkin akan terdengar bila ada orang yang berdiri di hadapan dia. Seiza sungguh gemetaran, dia tak tahu apa yang harus dilakukan. Seiza ingin mengurungkan niatnya untuk memainkan piano di ruang seni itu. Namun, hati kecilnya ingin melihat permainan gitar dari pria yang masih belum menyadari kehadirannya itu dan masih asik memetik gitar dengan nada sembarang.
"Mmm ... permisi," sapa Seiza yang akhirnya memberanikan diri.
Sadar akan kehadiran orang lain, pria itu berbalik dengan malas sambil memasang wajah tak suka. "Mau apa lo di sini?"
"A-aku ... mau latihan piano. Boleh gabung?" Entah kenapa ucapan Seiza menjadi terbata-bata hanya karena dipandang oleh pria itu.
Tak ada jawaban yang didapat Seiza, justru pria itu membalikkan badannya kembali dan mulai memetik gitar akustiknya.
"Aku boleh gabung, kan, Yugo?" tanya Seiza kembali sambil mengambil posisi duduk dekat jaket Yugo yang tergeletak di kursi. Kini jarak antara Seiza dan Yugo tidak terlalu jauh dan Seiza dapat melihat wajah pria itu dari samping, sehingga tampak terlihat jelas bentuk hidung mancung Yugo.
Lagi-lagi tak ada jawaban dari Yugo dan Seiza masih betah menatap Yugo dengan penuh tanya. Semakin campur aduk perasaan Seiza saat ini, matanya sudah mulai memroduksi genangan air, tapi sekuat tenaga Seiza tahan agar tak lolos keluar. Ini adalah kali keduanya mereka berjumpa kembali setelah sekian lama dan dalam keadaan yang berbeda.
"Ini bukan jadwal latihan." Suara itu membuyarkan pikiran Seiza, dengan kikuk Seiza langsung mengerjap dan mengalihkan pandangannya karena saat itu juga Yugo menatapnya tajam.
"Aku udah izin ke Sadam. Lagi pula aku pegang kunci juga," tutur Seiza.
"Oke, kalau gitu, gue yang keluar." Seketika dengan gerakan cepat dan raut wajah yang menampakkan sedang menahan marah, Yugo berdiri dan membuat Seiza panik.
Padahal baru saja dia sedikit senang karena bisa berduaan dengan Yugo dalam satu tempat yang sama. Namun, lagi-lagi harapannya bisa lebih lama dengan Yugo harus dikubur dalam. Sontak dengan refleks yang baik Seiza pun ikut berdiri seraya berkata, "Eh, g-gak usah, Yugo. Biar aku aja yang keluar."
Yugo yang awalnya sudah mau melangkah ingin menaruh gitar pada tempat penyimpanan di sudut kanan ruangan harus tertahan karena mendengar ucapan Seiza dan dengan ekor matanya dia pun melihat Seiza sudah berdiri. Namun, ternyata bukannya melangkahkan kaki ke arah pintu, Seiza justru berajalan mendekati Yugo.
Langkahnya perlahan tapi pasti dan setelah empat langkah kaki Seiza berjalan, dia berdiri tepat di sebelah kursi yang memisahkan tubuhnya dan Yugo. Tangan kanannya dia masukkan ke dalam tas dan mengeluarkan sesuatu dari sana.
Seiza menarik napas dalam dan mengembuskannya secara perlahan agar Yugo tak mendengar. Sesaat setelah dapat mengatur napasnya dengan baik, Seiza mengulurkan tangannya dan menaruh sesuatu di kursi yang tadi diduduki Yugo.
"Ini cokelat buat kamu, dimakan, yah, Yugo," ucap Seiza setelah berhasil menaruh dua cokelat batang yang dia beli tadi pagi di kantin. Lalu Seiza kembali berkata, "Seseorang pernah bilang sama aku, kalau cokelat bisa bikin mood kita lebih baik. Dan kayaknya saat ini mood kamu lagi kurang baik." Seiza mengakhiri perkataannya dengan senyum mengembang di bibirnya.
Dia mampu berkata seperti itu karena dia tahu betul kalau ekspresi yang Yugo perlihatkan itu adalah ekspresi ketika Yugo sedang banyak masalah. Setidaknya apabila kebiasaan itu tak berubah dengan waktu dulu. Walaupun raganya sama, tapi ingatannya yang berbeda.
Setelah itu Seiza membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju pintu. Sesaat dia membuka kembali kenop yang belum lama dia buka. Baru saja Seiza ingin melangkahkan kakinya keluar, tiba-tiba terdengar suara dari dalam.
"Lo ...." Baru satu kata yang terucap dari bibir Yugo, tapi berhasil menghentikan langkah Seiza.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top