39. ALASAN BELAKA
Kalau bukan kita sendiri yang mencari, lalu kapan kebahagiaan itu akan datang menghampiri. Jangan terus menunggu datangnya keajaiban, karena semesta tak kan selalu terus mengizinkan.
🍭🍭🍭
"Oke, thanks, Al buat infonya." Begitulah respon Yugo ketika Almer berhasil menyampaikan informasi yang didapatnya.
Almer memberitahu bahwa memang Delia adalah wanita yang pernah ditolong Dirga ketika di Bandung. Keadaan ini semakin rumit karena membuat Yugo dan anak buahnya harus lebih ekstra mencari info.
Apakah Dirga dibunuh oleh orang yang sama dengan pembunuh ibunya, atau justru Dirga dibunuh oleh orang yang sebelumnya ingin mencelakai Delia?
"Gimana? Ada gambaran?" tanya Seiza yang sedang menunggu Yugo sambil duduk di kursi yang sudah disediakan di atas rooftop.
"Masih abu-abu. Mungkin setelah aku temui Arga nanti semoga ada pencerahan," jawab Yugo seraya ikut duduk di sebelahnya. "Kamu gak apa-apa bolos kuliah hari ini?"
"Sesekali mah gak apa-apa, atuh." Seiza menatap sekeliling. "Aku suka main di sini, bisa lihat awan lebih jelas," ucap Seiza sambil menunjuk ke arah langit yang hari ini membiru berhiaskan awan dengan berbagai bentuk.
Yugo menarik tangan Seiza dan membawanya ke pinggir tembok pembatas gedung itu. "Nanti aku ajak kamu ke sini kalau malam, deh. Pemandangannya lebih bagus lagi." Mereka berdiri dengan tangan berada pada tembok yang tingginya sebatas bahu Seiza. "Ini spot favorit aku. Dari sini aku bisa lihat cahaya kota malam hari."
Seiza melihat sekeliling dengan takjub. "Aku sebenarnya takut ketinggian, Yugo. Tapi, kalau pemandangannya asik kayak gini takutnya bakal hilang."
Yugo yang semula berdiri berdampingan dengan Seiza kini berpindah menjadi di belakang tubuh semampai itu.
Anggaplah Yugo lancang, namun ia tak tahan untuk tidak memeluk tubuh gadisnya itu dari belakang dan membiarkan tangan kekarnya melingkar di bagian perut. Lalu ia mendaratkan dagunya pada bahu Seiza. "Jadi selain takut tidur siang sama kolam renang, kamu juga takut ketinggian, yah. Terus takut apa lagi, hm?"
"Aku ...." Seiza menjeda sebentar ucapannya, lalu ia berbalik menghadap Yugo, yang otomatis membuat tangan Yugo sekarang berada di pinggangnya. Seiza menatap mata Yugo yang sedang menatapnya juga. "Aku takut kehilangan."
Satu tangannya Yugo angkat untuk menyentuh pipi Seiza dan tersenyum hangat. "Setelah ini, aku pastikan kamu gak akan kehilangan lagi, Sayang."
Salahkan angin yang berembus mesra membelai kulit keduanya, ditambah sinar sang surya yang sedikit meredup membuat mereka nyaman dengan cuaca. Karena pada detik setelahnya mereka siap saling mengecap rasa.
Yugo mendorong sedikit tubuh Seiza sehingga membentur tembok pembatas itu, dengan gerakan lambat Yugo memiringkan wajah agar memudahkan bibirnya mencium bibir Seiza.
Hanya lumatan kecil yang Yugo berikan sebelum akhirnya Seiza mengalungkan kedua tangannya pada leher Yugo. Seiza pun dengan lihainya membuka mulut agar lidah mereka bisa bertemu dan saling menjelajah isi rongga mulut masing-masing.
🍭🍭🍭
Baru saja tubuhnya turun dari mobil mewah berwarna merah itu, pria dengan mata tajam ini langsung dihadiahi pertanyaan menikam. "Habis dari mana aja kamu? Gak kuliah kamu, Yugo?"
Yugo membuang napas kasar, nampaknya ia sedikit lelah karena harus berkendara bolak-balik hari ini. Ia tak mengindahkan pertanyaan itu dan langsung saja memasuki rumah. "Yugo mau mandi dulu, Om."
"Om lagi tanya, Yugo. Apa susahnya tinggal jawab!"
Terlihat Yugo sedikit berpikir akan pertanyaan itu, dalam benaknya ia mengingat sebuah pesan yang pernah ia dapat beberapa tahun lalu dan sepertinya ia harus sedikit berimprovisasi kali ini. "Yugo abis dari tempat Maura, Om." Akhirnya pilihan Yugo jatuh pada Maura sebagai alasan belakanya.
"Perempuan itu lagi? Ada hubungan apa kamu sama dia? Bukannya Om sudah bilang kalau―"
"Kalau dia gak baik karena kasus orang tuanya. Itu, kan, yang mau Om kasih tau ke Yugo?"
"Kalau kamu tau kenapa masih aja dilakuin, kamu itu bukan anak SD lagi, Yugo, sudah dewasa. Terus kamu bolos kuliah hari ini, iya?"
"Cuma kali ini aja, besok gak lagi." Yugo sedang malas berdebat, memang salahnya juga tidak izin terlebih dahulu. Dan saat Yugo ingin beranjak, Om Anwar kembali berucap.
"Gimana kamu mau lulus dengan nilai terbaik kalau kuliah aja bolos, Yugo. Jangan sampai berpengaruh sama nilai kamu. Ingat tujuan kamu mau jadi yang terbaik dan kamu sudah Om rekomendasikan ke rekan Om untuk kerja di BUMN pilihan kamu."
Yugo menjilat bibirnya yang sedikit kering, ia tak mau ambil pusing karena sepertinya sudah menemukan jawaban yang tepat. "Yugo berubah pikiran, Om. Kalau dipikir-pikir ... buat apa Yugo kerja di perusahaan orang, sedangkan Yugo sendiri punya perusahaan, kan? Setelah lulus nanti, Yugo akan ambil alih perusahaan Papa. Dan Om cukup bantu Yugo aja nanti."
Anwar terkejut mendapat jawaban itu, ia berjalan mendekati keponakan satu-satunya seraya berucap, "Kamu masih terlalu muda untuk memimpin sebuah perusahaan. Biar perusahaan Papa kamu, Om yang handle, kamu cukup kuliah yang benar lalu kerja di perusahaan BUMN, kamu mau bidang apa? Listrik, gas, telekomunikasi, atau konstruksi? Om punya banyak channel. Kamu gak perlu susah payah tes nanti, karena dipastikan kamu bisa langsung jadi manajer minimal."
Yugo kembali membuang napasnya kasar. "Om! Sekali lagi Yugo tegasin, Yugo mau memimpin Pranadipa Grup dan keputusan itu sudah bulat." Cukup perdebatan kali ini, karena Yugo sudah sangat lelah dan secara tidak sopan ia meninggalkan Anwar yang sepertinya ingin melontarkan beberapa pernyataan lagi.
"Dasar anak zaman sekarang suka plin-plan sama omongannya. Tapi, kamu berbicara dengan orang yang salah Yugo, karena bagaimanapun Om akan memegang ucapan pertamamu, jadi Pranadipa Grup harus tetap Om yang pegang." Seringai muncul dari bibir tebal Anwar, ia merogoh saku jas kerjanya untuk mengambil benda pipih di sana dan saat teleponnya sudah tersambung ia menitah, "Yugo sekarang mulai membangkang, jadi kamu cari tau siapa orang ditemui Yugo belakangan ini. Dan kirimkan latar belakangnya ke saya secepatnya."
🍭🍭🍭
Kafe merupakan salah satu tempat favorit untuk menghabiskan waktu para remaja berkumpul bersama temannya atau bahkan kekasihnya. Jumlah kafe saat ini sudah merebak di penjuru berbagai kota di negara ini, termasuk di dekat rumah Sadam yang baru saja dibuka kafe baru bertema luar angkasa. Karena dapat dilihat dari berbagai aksesori yang dipakai kafe itu menggambarkan isi luar angkasa dan di sini pula para anak musik menghabiskan malam setelah sore tadi latihan.
"Eh, guys, nanti setelah acara ultah kampus selesai, kita bakal adain liburan dan destinasinya mungkin ke Lombok, gimana?" Sadam memulai pembicaraan setelah mereka selesai memesan beberapa menu andalan kafe ini.
"Gue ikut aja, deh," sahut Bobby.
"Boleh juga Lombok, gue setuju." Manda ikut membuka suara.
"Yang lain gimana?" tanya Sadam kembali.
"Oke gue ikut kalau ke Lombok." Giliran Yugo menjawab.
"Yugo mau ke Lombok? Aku ikut!" Suara memekikkan itu menggema di belakang kumpulan anak musik.
"Hadeeeh, males banget gue. Si bitch satu itu kenapa harus ada di sini juga, sih," ledek Sindy terang-terangan.
"Kita memang jodoh yah, Yugo. Gak salah berarti aku ikuti saran mami buat ke sini. Ternyata benar aja ketemu kamu, Sayang."
Sindy semakin mencebikkan bibirnya kesal karena kedatangan wanita itu, Manda pun tak kalah menampilkan raut kesa ldan Bobby pun ikut meledek wanita itu. "Heh, ngapain lo ke sini? Ngerecokin aja lo!"
"Apaan sih, lo semua sirik mulu." Katakanlah Maura beruntung karena Yugo duduk di kursi paling pinggir sehingga ada tempat kosong di sebelah kanannya, alhasil kesempatan itu dimanfaatkan oleh Maura dengan menarik kursi kosong dan meletakkanya di sebelah Yugo. "Kamu tuh kenapa, sih, jarang balas chat aku. Sibuk apa, Sayang?"
Yugo merasa risi karena tangan Maura yang tiba-tiba merangkul sebelah tangannya dan kalau sebelumnya ia hanya pasrah kini ia harus sedikit bertindak, karena ia tak ingin gadis yang duduk di sebelah kirinya ini cemburu. Dengan cepat ia melepaskan rangkulan tangan Maura dan menggeser duduknya lebih merapat pada Seiza.
"Kamu kenapa ih jauh jau, gitu?" Maura pun ikut merapatkan duduknya pada Yugo sehingga Yugo benar-benar terhimpit antara Seiza dan Maura. "Gak keberatan, kan, kalau aku ikut. Atau gimana kalau kita berdua dulu yang survey tempat ke sana? Aku kangen liburan bareng berdua sama kamu." Maura mengetukkan jari telunjukknya pada dagu seolah sedang berpikir. "Terakhir kita liburan itu waktu kamu lagi terapi amnesia kamu ke Bandung, kan? Aku senang banget bisa liburan berdua gitu, apa lagi kita pernah satu kamar, kan, waktu itu," ucap Maura kegirangan.
Seiza yang mendengar itu hanya mengernyitkan dahinya, lain hal dengan Yugo yang gelagapan karena Maura membicarakan hal yang berlebihan, lantas Yugo menoleh pada gadisnya karena khawatir Seiza akan marah.
"Lo kalau ngomong suka dilebih-lebihkan tau, gak. Perasaan Yugo cerita sama gue waktu itu cuma temani lo sampai tidur karena lo beralasan lihat hantu, kan? Halah lebay lo! Ketemu saudara aja pakai takut!" Dan perkataan Bobby tadi sukses membuat semuanya tertawa tak terkecuali Yugo.
"Ih, Yugo! Kamu kok ikut ketawa, sih?" rajuk Maura. "Aku memang ketakutan waktu itu. Ya, kan, Sayang?"
"Gak usah panggil sayang, Ra. Aku gak mau semua orang salah paham. Kita gak ada hubungan apa-apa," ucap Yugo tegas.
"Yugo kok kamu ngomongnya gitu?" Raut wajah Maura berubah kesal.
"Memang gitu, kan, kenyataannya."
"Terus apa maksud kamu bilang ke Om kamu kalau kemarin kamu seharian sama aku? Kamu bilang ke Om kamu kalau kamu abis kunjungin aku. Aku mau mempertanggungjawabkan ucapan kamu sama Om kamu itu!" Nada bicara Maura sedikit agak meninggi.
"Ka-kamu tau darimana kalau aku kasih alasan itu ke Om Anwar?" Bukan hanya Yugo yang bingung, yang lainnya justru lebih bingung karena tak paham maksud obrolan mereka.
"Kamu gak perlu tau akan hal itu! Sekarang antar aku pulang, Yugo! Aku mau pulang!"
"Heh! Tadi lo datang sendiri, jadi lo pulang juga sendiri, dong!" titah Bobby.
"Diam lo! Gue gak ngomong sama lo!"
"Heh, bitch! Lama-lama gue muak setiap ada lo semuanya jadi rusuh, kenapa gak musnah aja sih lo!" kesal Manda.
"Memang bitch satu ini tukang cari ribut, Man. Gak aneh, deh," sahut Sindy semakin memanasi.
"Heh, lo semua―"
"Stop, Maura!" Yugo berdiri menengahi. "Oke aku antar kamu pulang. Ayo!"
Maura berdiri dengan pongahnya dan tersenyum puas seolah menang kali ini, menyebabkan semuanya terkejut dengan keputusan Yugo, termasuk Seiza.
Yugo yang sudah berdiri kini terduduk kembali dan mengusap puncak kepala Seiza lembut. "Aku antar Maura sebentar, yah, nanti aku ke sini lagi buat jelasin. Kamu gak apa-apa, kan, Sayang."
Seiza yang mendapat perlakuan manis di depan teman-temannya itu agak tersipu malu, ia menunduk dalam dan sebenarnya bingung mau menjawab apa, tapi hati kecilnya tidak mengizinkan.
"Apa tadi kamu bilang? Sayang?" Maura yang mendengar dan melihat itu lalu duduk kembali dan melihat sosok 'Sayang' yang tadi disebut Yugo.
"Ya udah, gak apa-apa, Yugo. Jangan lama-lama, yah," jawab Seiza lalu tersenyum.
Yugo mengembuskan napas lega. "Makasih, Sayang." Lalu mencium puncak kepala gadisnya itu, jangan tanya bagaimana respon yang lain yang melihat adegan itu, karena setelahnya ia langsung menarik paksa lengan Maura untuk segera enyah dari kafe itu.
Tepat saat Yugo akan menaiki mobilnya, dari mobil sebelah keluar Arga yang baru datang untuk bergabung, pasalnya sore tadi ia tak ikut latihan karena sedang ada perlu, Arga datang bersama Alex.
"Ke mana aja lo? Ada yang mau gue omongin sama lo," ungkap Yugo penuh penekanan. Yugo sejenak lupa bahwa ia ingin mengantar Maura.
"Ngomong apa? Serius amat muka lo. Tentang Delia lagi? Lo udah nemuin dia di mana?" tanya Arga.
"Bukan. Bukan tentang Delia."
Arga mengernyit bingung. "Terus?"
"Tentang Dirga. Ada hubungan apa lo sama Dirga?"
Pertanyaan dari Yugo sontak membuat Arga menegang seketika.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top