38. LUKA LAMA
Pelan-pelan aja yah bacanya, hehehe
😘😘😘💙💙💙
Everyone has a secret.
But I want yours so bad.
~ Yugo Pandu Pranadipa ~
🍭🍭🍭
Senyum manis dari bibir tipis Seiza Denaya sudah terbit sejak ia membukakan kedua matanya pagi ini. Bahkan sepertinya sang mentari pun ikut berseri mewakili bahagianya dua pasang hati, terbukti dengan hangatnya sinar yang menyinari bumi.
Seusai melakukan rutinitas paginya di kamar, kini Seiza bergegas menyiapkan sarapan untuknya dan sang pujaan hati.
Dahi Seiza sedikit berkerut saat tak menemukan Yugo di sofa. Ia mengedarkan pandangannya, tetap tak ditemukan si pemilik tubuh tegap dengan tambahan otot yang terbentuk itu.
Pikiran jelek yang sempat mengusik akhirnya enyah ketika ia suara gemercik air di kamar mandi belakang terdengar. Untung saja apartemen Delia ini dilengkapi dua kamar mandi, satu di kamar dan satu lagi di dekat ruang makan.
Saat Seiza sedang menyiapkan menu spesial untuk sarapan, saat itu pula Yugo datang setelah mengganti pakaiannya, untung saja ia selalu siap sedia pakaian di mobilnya, jadi jika sewaktu-waktu menginap di luar ia tak kebingungan.
Perlahan Yugo menghampiri Seiza dan ketika sudah berada tepat di belakang Seiza, ia mencondongkan tubuhnya sedikit agar dapat melihat wajah gadisnya itu.
Tak lupa juga Yugo menyibakkan rambut Seiza yang terurai dan mengecup sekilas pipi Seiza.
"Morning, Sunshine."
Seiza hanya mampu tersenyum manis karena sedikit terkejut dengan perilaku Yugo yang entah mengapa tiba-tiba romantis seperti ini.
"Masak apa, Sayang?"
"Aku mau bikin sandwich beef cheese mayo, kamu suka gak?"
"Apa pun yang kamu bikin aku suka, asalkan jangan gosong," jawab Yugo seraya mengusap lembut belakang kepala Seiza dan Seiza hanya terkekeh mendengar itu.
🍭🍭🍭
"Maaf, yah, aku jadi repotin kamu. Semalam aku benaran lagi panik banget," ucap Yugo seusai sarapan dan kiri mereka sudah di sofa ruang tengah.
"Kamu sama sekali gak ngerepotin. Lagian aku senang ada kamu di sini." Seiza membalas dengan ucapan lembutnya ditambah dengan senyum manis yang melekat.
Yugo tak bisa untuk tidak tersenyum apabila gadisnya itu sedang tersenyum, seolah dunianya langsung berporos pada senyuman itu. Ia pun tak bisa untuk tidak menyentuh salah satu pipi gadisnya dan mengusap penuh kelembutan.
"Aku takut terjadi sesuatu hal yang sama kayak aku kehilangan mamah dulu." Yugo menghirup napas lebih dalam sebelum ia kembali berkata, "Di dalam mimpi aku, kamu persis kayak mamah. Ditembak di bagian bahu."
Seiza terkesiap mendengar pernyataan itu, ditambah dengan satu tangan Yugo yang terbebas mengusap bahunya.
"Mamah dibunuh dengan cara ditembak tepat di bahu. Sampai saat ini belum tahu apa motif si pelaku. Dan yang paling bikin aku stress aku gak tau harus balas dendam gimana sama pelaku sebenarnya."
Seiza mengambil tangan Yugo yang ada di bahunya, ia menggenggam erat tangan itu dengan air mata yang mulai menggenang di kedua mata indahnya. "Ta-tapi kamu tau siapa pembunuhnya?"
Yugo kembali menarik oksigen sebanyak mungkin. "Masih praduga. Aku gak berani ambil kesimpulan sebelum buktiin sendiri kenyataannya. Baru sekarang ini aku berani cari kenyataan itu, Za." Yugo kemudian menunduk dalam untuk menyembunyikan kesedihannya. "Aku takut kalau aku ungkap, hasilnya gak sesuai keinginan aku. Aku takut menghancurkan sesuatu dan aku takut kehilangan sesuatu. Aku belum siap ambil risiko apa pun."
Seiza larut dalam cerita Yugo, ia tak kuat lagi untuk membendung air matanya, kini bening kristal itu mulai lolos dari tempatnya. "Kamu yakin buat lakuin ini? Kalau kamu masih ragu kayak gini, mending jangan. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa."
Entah karena hal apa, justru Seiza yang terisak hebat karena memikirkan nasib prianya itu. Ia seperti sedang berdiri di depan cermin besar dan di balik cermin itu terdapat Yugo yang ikut bercermin. Mereka sama.
Seiza segera meraih kepala Yugo yang masih tertunduk tadi, ia bawa ke dalam pelukan, mengusap perlahan kepala prianya untuk menenangkan, tapi entah kenapa Seiza semakin terisak, tubuhnya semakin bergetar.
Yugo pun terkejut dengan sikap gadisnya yang tiba-tiba seperti ini, namun ia tak bisa menampik perasaan nyaman berada dalam pelukan ini apalagi dengan usapan lembut dari tangan mungil di kepalanya, sungguh membuat hatinya merasa sejuk.
Yugo membiarkan sejenak waktu berjalan seperti ini, ia tak ingin kehilangan kenyamanan ini secara cepat sebelum akhirnya ia terbangun dan mengusap kedua pipi gadisnya yang sudah berlinang air mata.
"Kamu gak usah khawatir, aku akan ungkap secepatnya."
"Janji jangan sampai kamu kenapa-kenapa, yah. Aku takut kam―" Ucapan Seiza terpotong karena sekarang Yugo yang merengkuhnya.
"Ssttt ... aku janji semuanya akan baik baik aja, Za."
Lalu setelahnya Seiza menangis sekuatnya, ia menumpahkan segala beban yang ia topang selama bertahun lamanya. Luka lama yang ia coba tenggelamkan, kini kembali muncul ke permukaan.
Sakit! Satu kata yang bisa mewakilkan itu. Dan Seiza tak ingin mengalaminya kembali, sama seperti ia kehilangan sosok ayah tercintanya, sosok cinta pertamanya pada dunia, sosok pahlawan nyata yang kini telah tiada.
Menit demi menit berlalu, Seiza masih saja belum bisa meredakan tangisannya membuat Yugo khawatir. "Sayang kamu kenapa? Aku, kan, di sini." Yugo melihat sekilas wajah Seiza yang masih dipelukmya itu.
Seiza masih enggan berkata, seolah mulutnya terkunci rapat tak ada celah.
"Sayang ...." Yugo melepaskan pelukannya dan menangkup kedua pipi Seiza. "Kamu kenapa, hm? Ada yang kamu pikirin?"
Karena masih saja bungkam, Yugo mengecup puncak kepala Seiza cukup lama dan merengkuhnya kembali, berharap tangis gadisnya mereda.
"Maaf kalau aku justru bikin kamu sedih gini." Yugo jadi merasa bersalah.
"A-aku cuma, Yugo. Aku takut kamu ngalamin apa yang aku alami dan aku takut kamu pergi." Lalu Seiza kembali terisak.
Yugo sempat terdiam sejenak untuk mencerna kata-kata gadisnya tadi.
Mengalami apa yang dia alami? Yugo sedikit berpikir keras. Memangnya apa yang gadisnya ini telah alami?
"Maksud kamu gimana, Sayang?" Yugo kembali memastikan. Namun, sangat disayangkan Seiza kembali bungkam dan itu membuat Yugo semakin penasaran.
"Kamu ngalamin apa, Sayang? Please jangan bikin aku khawatir gini."
Seiza menggeleng lalu ia menarik dirinya dari rengkuhan Yugo, ia mengusap pipinya sendiri yang basah. "Gak apa-apa, kok. Ya udah aku mau ganti baju dulu, yah. Kita jadi mau ke tempat kumpul anak buah kamu, kan?" Lalu Seiza bangkit dari duduknya.
Bukan Yugo namanya kalau ia akan mengabaikan masalah yang belum terselesaikan, maka ia menarik tangan Seiza agar kembali duduk di sebelahnya.
"Aku gak suka kalau kamu tutupin sesuatu dari aku. Bilang sama aku! Kenapa? Apa yang udah kamu alami?" tanya Yugo beruntun dengan nada tegas dan tatapan seperti ingin menghujam.
Seiza takut melihat Yugo yang begini, ia menggigit sedikit bibir bawahnya dan itu adalah hal yang justru membangkitkan gairah Yugo, oleh karenanya Yugo pun segera melumat bibir gadisnya itu secara dalam dan tergesa.
Hanya saja hal itu tak terjadi lama, karena Yugo sadar ini bukan momen untuk menyalurkan egonya. Ia segera menarik diri dan mengusap bibir Seiza yang menjadi lebih merah akibat ulahnya.
"Please, Sayang ... bilang sama aku kenapa. Aku khawatir banget sama kamu."
Seiza kembali menumpahkan air matanya mengingat luka lama itu. "Sama halnya kayak kamu Yugo. Aku punya trauma." Seiza menundukkan kepalanya dan terisak. "Trauma yang bikin aku takut."
"Trauma apa itu? Kamu trauma kenapa? Ceritain sama aku semuanya, yah. Jangan ada yang ditutupin, please."
Yugo mencari posisi ternyaman untuknya dan untuk gadisnya. Ia mendaratkan tubuhnya pada sofa dan menjadikan pinggirannya sebagai bantalan, kaki jenjanganya ia luruskan sampai terantuk pada pinggiran yang lain, lalu ia bawa tubuh gadisnya agar ikut merebahkan tubuhnya dan kepalanya bersandar pada dada bidang Yugo, membuatnya lebih leluasa memeluk sang gadis. Berterimakasihlah pada sofa yang tersedia di apartemen Delia ini.
Yugo mengusap lembut rambut gadisnya sambil menghirup aromanya
"Sayang ...." panggil Yugo masih menunggu Seiza bercerita.
Seiza menarik napas cukup dalam, satu tangannya kini ia naikkan ke dada Yugo dan mengetuk-ketukan jarinya di sana. Seiza masih ragu untuk bercerita, ia takut traumanya akan semakin menjadi.
"Kamu gak perlu takut, ada aku di sini yang selalu jagain kamu apa pun yang terjadi." Seolah Yugo dapat membaca pikiran Seiza dan akhirnya Seiza mengangguk mantap, membuat Yugo tersenyum lega.
"Kita sama, Yugo." Baru tiga kata yang keluar dari bibir gadisnya saja sudah membuat Yugo meneguk salivanya sendiri, entah kenapa perasaan aneh muncul dalam benak Yugo, seperti perasaan takut dan gelisah.
"Kita pernah kehilangan orang yang paling berharga dalam hidup kita. Kamu kehilangan mamah kamu dan aku kehilangan ayah aku." Seiza sedikit bergetar mengucapkannya, namun ia tak gentar melanjutkan karena tangan Yugo tak berhenti membelai kepala hingga punggungnya membuat semakin nyaman.
"Hal yang buat kita semakin sama adalah cara kematian orang tua kita."
Belaian dari tangan Yugo sempat terhenti karena ia terkejut. "Maksud kamu ... dengan cara ...."
"Tertembak!" ucap Seiza. "Eh, bukan! Lebih tepatnya ditembak!"
Percayalah kalau bukan sedang memeluk tubuh gadisnya, pasti saat ini Yugo sudah berteriak karena terkejut.
"Yang bikin aku semakin trauma cukup dalam yaitu karena aku lihat semua kejadian itu, Yugo. Aku lihat gimana ayah ditembak sampai akhirnya ayah pingsan dan dari situ aku kabur karena aku ketauan." Air mata Seiza kembali luruh dan kini suaranya semakin sumbang akibat tangisnya. "A-aku lihat semuanya, Yugo! Aku lihat!"
Oleh karena tangis Seiza yang semakin kencang, Yugo pun semakin mengeratkan pelukannya dan mencium puncak kepala gadisnya semakin lama sampai Seiza kembali tenang.
"Semua orang gak ada yang percaya sama apa yang aku lihat. Sampai akhirnya aku ketemu sama teman ayah, tapi aku gak tau siapa namanya. Dia datang waktu pemakaman ayah, dia bawain aku banyak hal. Mulai dari lollipop, cokelat, es krim dan semua hal yang bikin aku senang. Dia bilang kalau itu pesan dari ayah sebelum ayah meninggal di rumah sakit."
"Aku cerita sama om itu tentang apa yang aku lihat, Yugo. Cuma sama om itu aku berani cerita, karena kalau sama bunda aku kasian takut bunda jadi kepikiran. Bunda coba tutupin kalau ayah meninggalnya ditembak, jadi bunda bilang kalau ayah itu kena serangan jantung."
Yugo sedikit memotong cerita Seiza karena penasaran, "Terus apa yang om itu bilang waktu kamu ceritain semua?"
"Om itu bilang bakal cari tau sebenarnya. Om itu janji sama aku kalau mau ungkap semua." Seiza meremas baju Yugo di bagian dada dan kembali berkata, "Tapi sampai sekarang om itu gak pernah kembali. Dia bohong." Seiza menumpahkan segala kekecewaannya dengan tangisannya kembali.
"Setelah itu justru trauma aku semakin bertambah. Karena bukannya kasus itu terpecahkan, aku justru jadi korban penculikan."
"Kamu diculik? Sama siapa?" tanya Yugo dengan suara yang sedang menahan emosi.
"Sama orang yang udah bunuh ayah dan bunuh seorang lagi, tapi aku gak tau siapa."
"Seorang lagi? Maksud kamu bukan cuma ayah kamu yang dibunuh?" Yugo semakin menggebu-gebu.
Seiza menganggukkan kepalanya. "Ada perempuan yang ditembak lebih dulu, aku gak lihat wajahnya dan aku juga gak kenal siapa."
"Perempuan?" Yugo memastikan kembali.
"Iya, Yugo." Dan cerita Seiza itu membuat pikiran Yugo semakin berkelit. Di atas kepala Seiza yang kini ia cium kembali, Yugo menahan tangisnya sendiri, menahan emosinya agar tak menjadi.
"Terus waktu kamu diculik, gimana ceritanya?" Yugo segera mengalihkan pikiran kacaunya.
"Waktu itu bunda lagi beli peralatan buat pesanan jahitannya. Aku ditinggal sendiri di rumah, tapi ada Riko yang temani aku. Rumah aku sama Riko itu sebelahan. Kita main bareng di depan rumah, sampai akhirnya Riko ketiduran. Aku pikir karena Riko tidur, aku juga ikutan tidur di teras. Tapi pas aku bangun, aku ada di pinggir kolam renang yang entah di mana."
"Aku pikir itu cuma mimpi aja, tapi ternyata pria yang nembak ayah datang sama tiga orang lainnya. Dia ancam aku. Dia bilang aku akan mati hari itu juga karena udah lihat kejadian yang semestinya gak aku lihat. Waktu itu aku takut banget, Yugo. Aku pikir kenapa mimpi aku ini kayak nyata, sampai akhirnya pria jahat itu dorong aku ke kolam renang."
"Aku gak bisa berenang, Yugo, kamu juga tau itu, kan? Waktu itu aku terus berdoa kalau memang itu cuma mimpi aku di siang hari, aku terus berharap aku bangun dari tidur siang aku. Tapi nyatanya enggak. Aku gak ingat apa pun lagi dari situ. Yang aku ingat waktu aku bangun, aku ada di rumah sakit. Untungnya aku selamat."
Yugo menelan salivanya kembali entah untuk yang keberapa kali karena menahan emosi. "Siapa yang selamatin kamu?" tanya Yugo akhirnya.
"Om Soni."
"Om Soni?" Akhirnya pikiran Yugo berkeliaran lagi.
Soni? Om Soni? Bukankah itu nama yang sama dengan yang selama ini pernah menjadi orang kepercayaan papanya, tapi kini sudah dipecat karena dianggap lalai membiarkan Yugo pergi dan terjadi kecelakaan yang membuatnya amnesia. Dan bahkan bukankah om Soni juga yang mengantar Yugo membeli rumah rahasianya itu. Om Soni adalah orang yang selama ini menemani Yugo dan ... ternyata pernah menyelamatkan gadisnya juga? Apakah itu om Soni yang sama?
"Iya, om Soni yang selama ini bantu aku sama bunda. Setelah aku diculik, aku pindah ke Tasikmalaya tempatnya bunda. Di sana aku sampai lulus SD. Terus SMP aku pindah lagi ke Bandung, tapi bukan di rumah lama aku. Aku sama bunda ngontrak di dekat sekolah. Sampai akhirnya om Soni bilang keadaan udah aman, aku sama bunda pindah lagi ke rumah lama, di sebelah rumah Riko itu waktu masuk SMA."
"Tapi ... sampai sekarang aku gak pernah ketemu lagi sama om Soni. Terakhir aku ketemu om Soni itu waktu ...." Seiza menjeda ucapannya sejenak.
"Waktu apa, Sayang?"
"Terakhir aku ketemu om Soni itu waktu aku terakhir ketemu pacar aku dulu. Hari yang sama ketika dia tinggalin aku gitu aja. Hari itu aku lagi dan lagi kehilangan pria yang aku sayang, pria yang udah lindungi dan sayangi aku." Kini isakan Seiza kembali terekam di indra pendengar Yugo dan entah kenapa justru terdengar lebih menyakitkan dari yang sebelumnya.
"Itu kenapa aku trauma sama yang namanya tidur siang, aku gak mau tidur siang karena aku takut saat aku bangun justru berada di tempat yang gak aku inginkan. Dan setiap kali aku maksa buat tidur siang, aku pasti mimpi buruk. Pengalaman itu juga yang bikin aku trauma sama kolam renang. Aku benci kolam renang dan tidur siang, Yugo."
Tak ada yang mampu Yugo lakukan saat ini selain memeluk, membelai dan mencium gadisnya itu. Sepertinya ketiga hal itu yang paling ampuh ia lakukan untuk memberi kehangatan, memberi cinta, kasih saying dan memberi rasa aman pada gadisnya.
Yugo berniat ingin menghabiskan waktu siang ini dengan tidur bersama gadisnya. Hanya tidur, tak ada yang lain. Ia ingin membuktikan bahwa ia mampu menghapuskan sedikit demi sedikit trauma gadisnya itu.
"Seiza ... Aku janji bakal hapus semua trauma kamu, Sayang."
.
.
.
Gimana? Udah ada pencerahan?🤭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top