3. KEJUTAN
Setiap awal pertemuan pasti memiliki kisah tersendiri. Dan kisah itulah yang menjadikan titik cerita untuk melahirkan kisah-kisah baru.
🍭🍭🍭
Sepulang sekolah, Seiza langsung bergegas menuju ruang ekskul musik. Ini adalah kunjungan ketiganya Seiza ke ruangan itu untuk berlatih. Ada 12 siswa yang tergabung dalam ekskul musik dengan 1 tutor yang membimbing jalannya latihan.
Saat sedang asyik berlatih, pintu ruangan yang awalnya terbuka sedikit tiba-tiba terbuka lebar dengan cepat.
Sebuah bola basket masuk ke dalam ruangan dan membentur piano di sudut kanan, untung saja tidak mengenai Seiza yang sedang memainkannya, karena posisi Seiza tertutup lid piano yang terbuka ke atas.
Muncul seorang pria dengan tubuh jangkung yang rambutnya sedikit berantakan dan agak kemerahan akibat sering terkena sinar matahari, kulitnya terlihat putih dan sorot matanya tajam seperti mata samurai yang ingin menebas musuh.
"Permisi, saya mau ambil bola basket itu," izinnya sambil melirik ke arah larinya bola basket tadi.
"Kamu, nih, main basketnya kok bisa sampai ke sini, sih." Bukan jawaban iya atau tidak, tapi sang pembina ekskul justru terlihat kesal karena latihannya sedikit terganggu. "Ya udah, ambil sendiri bolanya." Akhirnya sang pembina mengizinkan.
Sang pria berjalan menuju bola basket yang sudah bergulir semakin jauh yang ternyata sudah berada di dekat kursi Seiza, masih ada tiga langkah lagi untuk mengambil bola, tapi bola sudah terangkat oleh sepasang tangan.
Seiza berdiri dan mengulurukan tangannya, seketika mata mereka bertemu. Ada makna yang tersirat dari tatapan kedua insan itu dan hanya masing-masing mereka yang tahu artinya.
Belum sampai lima detik adegan tatap-tatapan itu, sang pembina menginterupsi. "Ayo, cepat, kamu lama sekali ambil bola saja seperti—" Ucapan sang pembina tertahan karena sang pria langsung menimpali.
"Bu, kalau saya mau ikut ekskul ini gimana caranya?" tanya sang pria yang kembali menatap Seiza.
"Kamu ini datang tiba-tiba, terus sekarang mau masuk ekskul musik juga tiba-tiba! Seleksinya sudah ditutup dari minggu lalu," jawab sang pembina apa adanya.
"Jadi saya ditolak, nih, Bu? Padahal saya jago banget main gitar," celetuk sang pria.
"Kalau mau gabung, nanti saja kamu ikut seleksi semester depan."
"Ya udah kalau Ibu gak bolehin saya gabung ekskul ini sekarang, tapi ...." Sang pria menggantung ucapannya seraya berjalan menghampiri Seiza sambil mengambil bola di tangannya lalu berkata, "Boleh, kan, kalau saya lihatin cewek ini latihan main piano?"
"Kamu mau godain Seiza?" Sang pembina bertanya balik.
"Oh, jadi namanya Seiza?" Pria itu mengangguk-angguk sambil menatap Seiza. Lalu mengulurkan tangan kanannya yang bebas dari bola basket seraya berucap, "Hai, Seiza. Kenalin, gue Yugo. Yugo Pandu Pranadipa. Gue harap lo gak pernah lupa nama gue."
🍭🍭🍭
"Yugo Pandu Pranadipa," ucap pria bertubuh jangkung dengan paras tampan itu.
Setelah mendengar jawaban itu, Tita hanya menganggukkan kepalanya saja. Berbeda dengan wanita yang duduk di sebelah kanannya, dia duduk tegak mematung, tak mampu berbicara, seperti ada yang menahan bibirnya untuk berucap dan hanya mampu membuka sedikit bibirnya untuk bergumam pelan, "Yugo?"
Ditatapnya lekat wajah pria yang bernama Yugo itu, terlihat pria itu menggunakan celana jeans biru dan jaket kulit warna hitam yang ritsletingnya dibuka, di dalamnya dia lapisi dengan kaus putih polos. Rambutnya masih tidak banyak berubah dari terakhir Seiza lihat di hari itu. Kulitnya terlihat lebih putih dan tubuhnya lebih berotot dari dua tahun yang lalu.
Sungguh semakin tampan.
Sorot matanya pun masih sama, hanya saja caranya menatap sungguh berbeda. Seiza tak mengenali tatapan itu. Sangat berbeda dengan yang dulu tatapannya teduh dan menyejukkan bagi Seiza. Yang Seiza lihat sekarang adalah tatapan datar dan seperti tak berperasaan.
Yugo Pandu Pranadipa. Seiza terus mengulang nama itu dalam hatinya. Mengingatkannya saat pertama kali bertemu dengan Yugo di ruang seni kala sekolah.
Ya, tidak salah lagi. Seiza pikir hanya ada satu nama itu yang pernah Seiza kenal. Benar. Itu kekasihnya. Kekasih yang meninggalkannya tanpa sebab yang pasti.
Ini kesempatan Seiza untuk menanyakan alasan Yugo pergi saat itu. Seiza harus dapat penjelasan dan Seiza harus dapat kepastian.
🍭🍭🍭
Setelah beberapa lagu sudah diputuskan untuk mengisi acara sosial nanti, para anggota segera meninggalkan ruang latihan. Sekarang hanya tersisa Seiza dan Manda yang dari tadi mengoceh akibat bertengkar dengan Bobby. Bobby tak berhenti mengisengi Manda dengan cara menyemprotkan parfum Bobby ke hampir semua baju Manda, alhasil sekarang Manda seperti habis mandi parfum yang sebenarnya menusuk di hidung Manda dan Seiza, dan ternyata ini adalah aroma kasturi yang sering dipakai kakeknya.
"Lo tunggu di sini sebentar, jangan ke mana-mana, awas lo!" ancam Manda yang sebenarnya takut kalau ditinggal sendirian di toilet.
Sambil menunggu Manda yang sedang mengganti bajunya, Seiza menatap pantulan dirinya di cermin, mengingat tingkah Yugo yang sepertinya tak menganggap bahwa Seiza ada di satu ruangan yang sama ketika berdiskusi tadi. Seiza masih tidak paham akan situasi ini.
Seiza berpikir apa salahnya? Sampai Yugo bertindak sejauh ini.
Seiza ingin menyapa terlebih dahulu, tapi relung hatinya tak mengizinkan. Ia seperti takut untuk sekadar berkata ''Hai" atau pun "Hallo" pada Yugo.
Sebenci itu kah kamu sama aku? Sampai aku gak dianggap ada. Batin Seiza bertanya-tanya.
"Woy! Ngelamunin apa, lo?" Manda membuyarkan pikiran pikiran Seiza.
"Ayo, Man. Udah selesai belum?" tanya Seiza saat melihat Manda baru keluar dari toilet wanita habis mengganti bajunya dengan sweater milik Sadam. Untung Sadam berbaik hati mau meminjamkan.
"Iya, sebentar gue lipat baju gue dulu." Manda keluar dan melipat bajunya dengan alas tas yang dia letakkan di lantai. "Yuk, kita cabut, gue lapar. Gara-gara tadi pas istirahat kita ngerumpi jadi gue gak sempat makan deh," ujar Manda dan menarik Seiza meninggalkan wilayah toliet.
Ketika sudah keluar dari lift tiba-tiba langkah Manda menjadi lebih pelan, Seiza agak sedikit heran karena justru tadi Manda yang buru-buru mengajaknya lebih cepat.
"Pelan-pelan jalannya, Za," pinta Manda.
"Kenapa gitu? Bukannya tadi kamu bilang lapar dan pengin buru-buru."
"Lo gak lihat itu depan ada tiga kunyuk sialan." Manda berbicara sedikit agak jutek sambil menunjuk ketiga pria yang berdiri sekitar 50 meter di depannya, ada Sadam, Yugo dan Bobby.
"Kok tiga kunyuk? Bukannya yang abis berantem sama kamu cuma Bobby. Terus Sadam malah kasih pinjam sweaternya, dan Yugo kayaknya diam aja?" tanya Seiza yang masih heran kenapa Manda mengatai ketiga pria itu dengan sebutan kunyuk sialan.
"Lo, sih, gak tau gimana usilnya tuh anak bertiga kalau udah kumpul." Manda diam sejenak seolah berpikir keras. "Eh, tapi kalau sekarang kayaknya beda, deh. Paling yang usil cuma Sadam dan Bobby aja."
"Yugo gak ikutan usil?"
"Dulu, sih, mereka itu sebelas-dua belas-tiga belas, sama semuanya, geng kunyuk sialan."
"Dulu, kamu bilang?" tanya Seiza.
"Iya, dulu. Waktu kita SMA."
"Ooh, jadi Yugo pindah ke SMA kamu?" ucap Seiza mulai menjurus ke arah pertanyaan yang selama ini bersarang dalam pikirannya.
"Eh. Kok lo tau kalau Yugo pindah?" tanya Manda dengan tatapan penuh selidik.
"Eh, m-maksudku Yugo satu sekolah gitu sama kamu?" Seiza belum mau berkata jujur.
"Iya, kita satu sekolah dulu berempat, satu kelas malah. Cuma Yugo anak baru, dia pindahan. Tapi kita semua gak ada yang tau dia pindah dari mana," celoteh Manda mulai bercerita tentang masa SMA nya.
"Kok bisa gak tau?"
"Iya, gitu ... soalnya si Yugo tertutup banget sama kehidupannya." Jawaban singkat Manda membuat otak cerdas Seiza langsung beraksi dan menyimpulkan bahwa ternyata tidak hanya pada dirinya dan teman-teman di Bandung saja Yugo bersikap tertutup, tapi ternyata dengan teman-teman barunya di Jakarta.
"Tapi kalian bisa berteman baik, gimana ceritanya?" Seiza mulai menginterogasi.
"Gue, Sadam, sama Bobby sebenarnya udah berteman dari awal masuk SMA. Kalau Sadam sama Bobby mah jangan tanya deh." Manda bercerita panjang tentang persahabatan mereka bertiga. "Nah, kalau sama Yugo, memang kita baru dekat waktu kelas XII. Yugo orangnya supel, gampang berteman dengan siapa pun, jadi kita bertiga juga gak canggung sama dia." Penuturan Manda diangguki oleh Seiza, karena Seiza yang lebih tau betul kalau sebenarnya Yugo lebih dari itu.
"Tapi, kok, kayaknya Yugo dari tadi diam aja?"
"Memang. Yugo yang sekarang beda." Perkataan Manda berhasil membuat alis Seiza bertaut.
"Kenapa memangnya?"
"Yugo sekarang jadi sangat amat pendiam, ngomong seperlunya banget, hampir mirip kak Arga gitu. Semuanya berubah 180 derajat."
"Maksud kamu berubah?"
"Ini semua karena kecelakaan sekitar delapan bulan yang lalu. Yugo kecelakaan tunggal, bahkan motor sportnya aja hampir jadi tak berbentuk. Terus ...." Manda menjeda terlebih dahulu dan menarik napas panjang. "Dia hilang ingatan. Dia amnesia." Wajah Manda lesu ketika mengatakan itu.
"Amnesia?" Seiza kaget bukan main, matanya membelalak dan menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya. Air mata Seiza mulai menggenang dan Seiza dengan kuat menahannya. Sungguh tak bisa dipercaya. Sebuah kejutan yang sangat tidak ingin Seiza dapatkan.
Yugo hilang ingatan? Itu berarti hilang semua kenangan yang pernah terukir dalam ingatan Yugo. Hilang semua kisah tentang bagaimana dulu Yugo berjuang untuk menarik perhatian Seiza. Hilang semua perasaan yang pernah Yugo curahkan seutuhnya untuk Seiza. Seluruh perasaannya, perhatiannya, tingkah manisnya, tatapan matanya, kasih sayangnya dan kecupan lembutnya. Hilang semua dari ingatan Yugo.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top