28. LINGKARAN RUMIT
Yesterday is history.
Tomorrow is a mistery.
And today is reality.
🍭🍭🍭
Sejuknya embun pagi menemani Yugo yang baru saja turun dari mobil merah di garasi rumah milik Halim―papa Yugo. Baru saja Yugo membuka pintu berwarna putih dengan aksen keemasan itu, suara Anwar langsung menyudutkan.
"Dari mana kamu? Jam segini baru pulang!"
"Yugo nginap di rumah Sadam, Om," jawab Yugo tenang.
"Kamu gak bohongin Om, kan?"
"Om bisa tanya sama Sadam."
"Tapi kamu bisa aja, kan, udah calling Sadam buat sama-sama bohong?"
"Om, Yugo benar dari rumah Sadam. Yugo kemaleman pulang dari acaranya Maura," jelas Yugo yang sebenarnya memang berbohong.
"Harus berapa kali Om bilang. Jangan dekat dengan wanita itu lagi, dia gak baik buat kamu, Yugo!"
"Iya, Om. Yugo akan jauhi Maura kalau memang itu mau Om Anwar."
"Kamu harus jauhi wanita mana pun, karena Om yang akan carikan calon istri untuk kamu kelak."
Yugo mengernyit tak paham. "Maksud Om?"
"Kamu gak perlu repot cari pendamping hidup, karena nanti Om yang akan pilihkan untuk kamu."
"Om! Yugo gak mau dijodohin! Om apaan, sih!"
"Yugo! Orang tua kamu saja menikah karena perjodohan. Dan kamu lihat sekarang, kehidupan kamu sangat layak, bukan?"
"Yugo mau nikah sama orang yang Yugo cinta! Yugo gak peduli dengan latar belakangnya kayak gimana, yang penting Yugo cinta dia dan dia cinta sama Yugo. That's enough!" ucap Yugo tegas.
"Bullshit! Persetan dengan yang namanya cinta, Yugo! Jangan pernah percaya cinta! Kamu masih terlalu dini untuk hal ini."
"Om bisa bilang gitu karena―"
"Udahlah! Om gak mau pagi ini debat sama kamu. Dua minggu ke depan Om ada urusan bisnis di Thailand. Kamu nanti akan ditemani Jeki, orang suruhan Om. Dan itu mobil baru buat kamu, mobil yang biasa kamu bawa akan Om pakai." Lalu Anwar berjalan kembali ke kamarnya.
Setelah Anwar berangkat, Yugo mengajak Jeki bermain PlayStation dan selama bermain Yugo berhasil membujuk Jeki agar dia segera pergi menemui pacarnya yang berada di Depok, sehingga Yugo bisa terbebas dari pengawasan bodyguard Anwar yang paling bisa dibodohi itu.
Yugo akan memanfaatkan waktu dua minggu tanpa Anwar dengan mengajak sang papa untuk berobat menemui dokter yang biasa menanganinya. Yugo pun ingin memastikan terkait nama Soni yang ia tahu pernah mengantarnya membeli rumah secara diam-diam. Yugo ingin menyelidiki kenapa Soni sampai dipecat. Dan satu hal lagi yang ingin Yugo cari tahu, yaitu mencari tahu lebih lanjut tentang seseorang yang sudah berani mengganggu gadisnya.
Ya! Yugo ingin mengulik lebih lanjut tentang siapa Julian sebenarnya. Oleh karenanya dia akan memanfaatkan waktu dua minggu ini untuk melancarkan aksinya dengan bantuan Sadam dan Bobby, serta Yugo pun harus rela untuk meninggalkan perkuliahan terlebih dahulu dan menahan hasrat rindu untuk bertemu dengan gadisnya, Seiza Denaya.
🍭🍭🍭
Ini adalah hari keempat Yugo mengikuti ke mana pun Riko pergi. Berbekal mobil barunya sehingga Riko tidak curiga bahwa Yugo selalu menguntit aktivitas kesehariannya. Hal ini Yugo lakukan karena dia yakin bahwa Julian pun melakukan hal yang sama. Julian pasti mengikuti Riko untuk mengetahui keberadaan Seiza.
Tepat seperti dugaannya, selama empat hari itu pula ada mobil sedan hitam yang selalu mengikuti ke mana pun Riko pergi. Yugo sudah memastikan bahwa orang itu memang benar adalah Julian dan anak buahnya. Dan karena hal itu ia meminta bantuan Sadam dan Bobby agar waspada ketika di kampus untuk menjaga Seiza lebih ketat.
Yugo melihat mobil sedan hitam itu berhenti di salah satu kedai kopi, ada empat pria yang keluar dari mobil. Yugo ikut masuk dan mengambil duduk di sebelah meja mereka dengan sengaja untuk mendengarkan percakapannya.
"Gimana, yah, caranya masuk ke kampus Artha kalau kita gak ada identitas anak kampus sana?" ucap Galih, salah satu dari mereka membuka percakapan.
"Lo minta tolong siapa kek gitu biar dibikinin ID Card palsu, Bos," sahut yang lain.
"Iya, Bos. Kalau lo gak gerak cepat, dia bakal lari lagi nanti. Terus proyek kita gagal buat dapat uang ratusan juta."
"Lo semua gak usah ngajarin gue. Dari kemarin juga gue lagi mikir. Gue gak mau proyek menguntungkan ini gagal. Gue harus dapat keuntungan banyak dengan cara bikin Seiza gak bisa ngomong lagi. Selain duit yang bos besar janjikan, gue juga pengin cobain gimana rasanya tubuh mulus Seiza." Julian menjabarkan dengan seringai jahat.
"Bagi-bagi lah, Bos, sama kita. Kita juga pengin rasain gimana rasanya cewek cantik kayak Seiza itu."
"Lo nanti dapat sisa dari gue," ucap Julian lalu menyeruput kopi miliknya.
Tanpa mereka berempat sadari, Yugo sudah mengepalkan kedua tangannya dan siap menghabisi mereka. Namun, Yugo tahan agar ia bisa mencabut akar dari pemasalahan ini.
Hari ini Yugo tahu satu hal lagi, bahwa Julian juga sebenarnya orang suruhan, hanya saja siapa yang menyuruh Julian? Lalu atas dasar apa Seiza menjadi incaran seperti ini? Apakah Seiza pernah melakukan kesalahan? Tapi rasanya mustahil. Lalu apa tujuan orang-orang itu?
"Ck! Sial! Ini benar-benar kayak lingkaran. Terlalu rumit menemukan titik masalahnya!" Yugo bergumam pelan dan berjanji dalam hati bahwa ia akan menemukan dalang dari permainan ini.
🍭🍭🍭
Sudah hari kedelapan Seiza tak melihat batang hidung pria yang sudah mengambil ciuman pertamanya itu. Ada sedikit resah yang menggumpal dalam hati, ia takut terjadi sesuatu pada Yugo. Namun, info dari Sadam sedikit mengobati keresahannya bahwa Yugo sedang menemani sang papa berobat.
Seiza bersyukur karena Sadam dan Bobby jadi sering mengikutinya, bahkan ketika pergi ke salon bersama Manda dan Sindy pun mereka ikut menunggu di luar, walaupun akan ada pertikaian antara Bobby dengan Manda.
"Riko!" Seiza berteriak ketika melihat Riko dengan mengenakan jersey basketnya berjalan cepat meninggalkan lapangan basket indoor.
Sesungguhnya Seiza rindu dengan Riko, karena biasanya ke mana-mana selalu dengan adik tampannya itu. Namun, karena takut mudah ditemukan Julian, Seiza harus jaga jarak dengan Riko. Padahal Riko sudah pernah bertemu Julian dan mengatakan bahwa Seiza tidak kuliah di sini. Dan Julian tidak percaya, ditambah dengan adanya kejadian di mall kala itu yang mempertemukan Julian dan Seiza semakin menguatkan Julian bahwa Seiza tinggal di kota ini.
"Riko tunggu!"
"Kak Seiza? Ngapain lo nyamperin gue. Gue mau balik, nih. Mending lo nunggu kak Bobby aja di ruang musik."
"Tapi aku kangen sama kamu," ungkap Seiza jujur. "Eh Riko! Itu bibir kamu kenapa berdarah?"
"Gue juga kangen sama lo, Kak. Tapi Julian terus-terusan buntuti gue, jadi gue gak bisa dekat sama lo dulu." Riko menuduk dan memegang bibirnya. "Barusan gue abis ribut sama Mario si ketua basket, mulai hari ini gue keluar dari tim basket, Kak. Gue udah muak sama si Mario yang kerjaannya menindas para anggota yang kontra sama dia!" Mendengar perkataan dari Riko ini Seiza menarik napas panjang dan mengusap sudut bibir Riko sebentar karena Riko langsung bergegas pulang. "Gue duluan, yah, Kak"
"Heh, Pecundang! Mau ke mana lo? Main kabur aja. Urusan kita belum selesai." Suara teriakan itu menggema di sepanjang koridor membuat Riko mengurungkan niatnya untuk pergi
"Ck! Mau apa lagi lo? Gue, kan, udah keluar dari tim basket," balas Riko. Lalu di belakang Riko datang Sadam dan Bobby yang sudah menggendong tasnya bersiap pulang.
"Eh siapa, nih?" Mario meneliti gadis cantik di depannya. "Kayaknya gue ingat ... lo yang waktu itu ke kelas gue, kan, buat ketemu si Yugo?" ucap pria itu mendekat pada Seiza.
"Gak usah deketin kakak gue, Mario!" Riko membentak Mario dan menarik Seiza ke belakangnya.
Seiza ingat sekarang, Mario ini adalah teman sekelas Yugo yang pernah menggodanya saat Seiza sedang menjalankan misi cupcake.
"Gimana kalau kita tanding sekali lagi? Terus kalau lo menang, lo boleh masuk lagi ke tim basket dan gue akan lupain masalah kita barusan." Kemudian Mario berjalan mendekati Seiza. "Tapi, kalau lo kalah lagi kayak barusan, gue boleh kali ajak jalan kakak lo yang cantik ini. Dan gue jamin sebagai kapten tim basket, gue bakal menang untuk kedua kalinya," ucap Mario dengan gaya tengilnya.
"Sombong banget lo! Mana prestasi dari tim basket? Udah satu tahun gak ada sumbang satu pun piala. Apa karena tingkah lo yang semena-mena kayak yang anak lain bilang, yah, makanya banyak yang keluar dari tim basket kita." Sadam ikut menginterupsi pertikaian itu.
"Diam lo! Jangan mentang-mentang anak pemilik kampus ini, lo jadi ikut campur urusan tim gue! Urus aja tim musik lo itu!"
"Yang gue tau, kemampuan lo gak ada apa-apanya dibanding teman gue, Mar! Jadi jangan terlalu sombong lo! Kalau dia come back pasti lo akan tersingkirkan!" tukas Bobby ikut menimpali.
"Teman lo yang mana, hah? Sini lawan gue kalau berani!" Mario masih sombong dengan kemampuannya.
"Belagu banget lo! Gue gak sudi tanding sama lo lagi, apalagi jadiin kakak gue sebagai taruhan." Nada bicara Riko sedikit meninggi.
"Wow ... kayaknya ini cewek spesial banget, yah. Dikelilingi banyak cowok gini. Atau jangan-jangan ...." Mario mendekat dan mengulurkan tangan kanannya untuk menyentuh dagu mungil Seiza.
"Jangan sentuh dia!"
Mario tersentak ketika tangannya ditepis oleh tangan putih berotot. "Apa lagi ini? Makin banyak penggangu!"
"Soal pertaruhan yang lo ajukan tadi biar gue yang lawan lo!" Suara dingin itu menembus indra pendengaran mereka di sekitar situ. "Tapi, peraturannya gue ubah. Kalau lo yang menang, lo boleh jalan sama nih cewek. Dan kalau gue yang menang ... lo sama anak buah lo harus keluar dari tim basket."
"Gak salah nih lo tantangin gue?" tanya Mario meremehkan. "Oke kalau gitu! Gue setuju! Gue yakin gue yang bakal menang! Gue tunggu lo sekarang juga di lapangan!" tantang Mario dengan seringainya dan meninggalkan mereka.
"Heh! Gila lo! Apa-apaan jadiin kak Seiza sebagai taruhan! Lo pikir lo siapa, hah?" Riko tak terima.
Yang diajak bicara tak merespon, ia justru mengulurkan tangannya dan menyentuh dagu Seiza lalu ditarik agar menatap dirinya karena dari tadi Seiza hanya menunduk saja. "Sorry, gue jadiin lo sebagai bahan taruhan. Tapi, gue bakal pastiin gak akan pernah biarin lo jatuh ke tangan siapa pun selain gue." Nada dingin, tatapan tajam dan sentuhannya membuat darah Seiza berdesir lalu mengangguk pasrah.
Lalu tangan itu beralih untuk menyentuh lembut puncak kepala Seiza dan berucap kembali, "Mulai hari ini lo gak perlu lagi pulang pergi sama Bobby. Biar gue aja yang antar jemput lo ke mana pun. Oke?" Mendengar hal ini tak mungkin kalau Seiza tak tersenyum dan mengangguk. "Oke kalau gitu gue mau tanding dulu, yah. Lo tunggu aja di bangku penonton." Lalu puncak kepala Seiza diusapnya lembut sebelum pria itu berlalu.
Melihat hal yang terjadi di depannya Sadam tersenyum manis dan menepuk bahu Bobby. "He is coming back, right?" Dan Bobby pun mengangguk semangat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top