27. BIRU DAN MONOKROM

Saat menjalani kehidupan, aku pernah terjatuh pada jurang kesalahan dan aku pun pernah ternggelam dalam lautan keputusan.
Namun, ketika aku ingin pulang, ternyata jalan yang kulalui tak lagi sama. Kini aku tersesat. Dan aku harap, kamu bisa jadi penunjuk jalanku.
~Yugo Pandu Pranadipa~

🍭🍭🍭

"Ayo ikut gue, lo harus tidur, Za. Ini udah tengah malam," ajak Yugo.

Seiza cepat-cepat mengejar Yugo karena tidak ingin ditinggal sendirian. Dia semakin masuk ke dalam rumah yang terbilang sangat luas. Seiza melihat setiap sudut yang memanjakan matanya. Semua barang tersusun dengan rapi, bersih dan penataan ruangnya sangat elegan. Lagi dan lagi warna monokrom yang mendominasi ruangan itu.

Mereka berjalan menaiki tangga sampai tiba di depan pintu berwarna putih. Yugo membuka pintu tersebut dan tepat saat pintu terbuka kedua mata Seiza membelalak sempurna, dalam benaknya dia tiba-tiba merasa bahagia, senang dan terharu melihat isi kamar.

Biru. Satu kata yang bisa menggambarkan kamar itu. Dan biru adalah warna favorit Seiza yang sudah mendarah daging. Selain menyukai lolipop dan makanan manis, Seiza juga sangat menyukai warna biru.

"Yugo," lirih Seiza.

"Hm?"

"Aku suka sama kamar ini. Kamarnya ingatin aku sama kamar aku di rumah. Warnanya biru, aku suka banget," celoteh Seiza heboh. "Tapi ini kamar siapa, Yugo?" Seiza langsung masuk tanpa meminta izin terlebih dahulu, matanya berbinar melihat pemandangan kamar yang selama ini Seiza impikan.

"Iya gue tau kok," jawab Yugo singkat.

"Hah? Tau? Tau apa, Yugo?" tanya Seiza bingung.

"Eh?" Yugo menggaruk tengkuknya yang sepertinya tidak gatal itu. "Mmmm ... bukan kamar siapa-siapa, kok. Lebih tepatnya mungkin kamar tamu."

"Suka ada tamu ke sini?"

"Enggak ada."

"Terus? Berarti kamarnya kosong terus, dong?"

"Gue kadang suka tidur di sini kalau lagi butuh inspirasi."

"Inspirasi?" Seiza berjalan ke arah kasur lalu duduk di pinggirannya dan tubuhnya ia sandarkan ke kepala Kasur. "Insiprasi untuk apa?"

"Inspirasi untuk terus bertahan hidup." Yugo ikut duduk di sebelah kanan Seiza.

Punggung Seiza menegak mendengar penuturan itu. Kini wajahnya berhadapan dengan Yugo dan siap mendengarkan penuturan Yugo selanjutnya. "Bertahan hidup? Kok kedengarannya agak―"

"Hidup tanpa ingatan masa lalu itu gak mudah, Za. Setelah kecelakaan itu gue gak tau lagi harus ngapain buat lanjutin hidup gue. Banyak hal yang harus gue tanggung sendiri bebannya. Alhasil gue jadi sering ngurung diri. Dan salah satu tempat yang enak buat ngurung diri itu, ya, di rumah ini," tutur panjang Yugo.

Seiza menarik napas panjang memikirkan bagaimana hidup Yugo selama ini setelah pergi darinya. Bahkan Seiza sendiri tidak tahu apakah Yugo bahagia setelah meninggalkannya malam itu atau justru menderita. "Kamu beli rumah ini udah lama?"

"Entahlah, yang jelas gue tau rumah ini dari Sadam dan Bobby, mereka tau kalau gue punya rumah di sini."

"Kok bisa?"

"Mereka bilang kalau dulu gue pernah ajak mereka main ke sini. Tapi kata mereka, gue gak pernah kasih alasan kenapa gue beli rumah ini. Makanya, sekarang gue lagi coba memastikan sesuatu."

"Apa itu?" tanya Seiza penasaran.

"Rahasia."

"Ah, kamu kebanyakan rahasia. Gak asik!" kesal Seiza.

"Belum saatnya lo tau tentang semua hal di hidup gue, Za."

"Terus kapan?"

"Nanti."

Seiza berdecak, "Sekarang aku harus gimana? Aku, kan, juga pengin tau kehidupan kamu."

Yugo mengambil tangan kanan Seiza dan mengamitnya. "Lo cukup selalu ada di sisi gue dan kasih gue support dalam keadaan apa pun."

"Tanpa kamu minta, aku akan lakuin itu kok." Seiza menyunggingkan senyum manisnya.

"Makasih, Za." Yugo ikut tersenyum dan mencondongkan tubuhnya untuk mengikis jarak dengan Seiza.

Seiza tak siap menghindar, gerakan Yugo terlalu cepat sampai wajahnya kini sudah di depan wajah Seiza yang sedang menengok ke arah samping. "Y-Yugo mau ngapain? Jangan dekat-dekat, ih!"

"Kenapa, hm?"

"Y-Yugo, please, ih, kalau ngomong jangan pakai hm-hm gitu." Entah kenapa Seiza menjadi gugup ditatap Yugo sedekat ini.

Yugo berkedip pelan dan melihat setiap inci wajah cantik dari gadis yang entah kenapa membuat pikirannya selalu bahagia walau hanya menatapnya. "Kenapa emangnya?" Yugo menaikkan satu alisnya.

"Yugo jangan tatap aku kaya gitu." Seiza makin panik dan pipinya mulai memerah.

Yugo terkekeh karena gemas melihat tingkah gadis itu. "Kok gugup gitu, sih. Kenapa, hm?" Sekarang Yugo senang menggoda gadis itu.

Seiza gugup tak karuan, dia menggigit bibir dalamnya karena saking gugup. Jujur saja Seiza tak sanggup menjawab itu, ia terlalu gugup berada dengan jarak sedekat dan ditatap seinten ini, terlebih dengan orang ia cintai.

"Ck! Lo, tuh, yah!" Yugo berdecak tertahan.

Mata Seiza membulat bingung dengan perubahan Yugo. Namun, hal yang membuat mata Seiza membulat sempurna adalah saat itu juga Yugo menarik dagu Seiza agar sedikit mendongak dan memajukan wajahnya perlahan.

Dalam waktu sepersekian detik kejadian itu terjadi begitu saja. Bibir Yugo menyentuh bibir Seiza. Dalam diam mereka berdua sama-sama merasakan kelembutan akan hal itu. Tanpa pergerakan lain. Mereka hanya saling diam untuk meresapi kenyamanan ini.

Dengan bibir yang masih menempel, Yugo tersenyum tipis, lalu setelahnya ia melumat penuh kelembutan dan kemesraan. Sampai pada akhirnya gigitan bibir Seiza terlepas dan kesempatan itu Yugo manfaatkan untuk bergantian menggigit bibir bawah Seiza hingga si pemiliknya terpekik.

Masih belum ingin mengakhiri manisnya bibir tipis Seiza, Yugo kembali melumatnya perlahan. Cukup lama Yugo menyesap bibir manis itu. Menyalurkan perasaan yang selama ini terpendam, perasaan yang tak pernah siapa pun mengetahuinya.

Seiza tak ada niat untuk membalas lumatan itu, dia hanya mampu menikmati setiap kelembutan dan kemesraan yang Yugo berikan, mengobati kerinduan yang selama ini Seiza tahan.

Tangan Seiza meremas kencang tangan Yugo yang berada dalam genggamannya tadi karena terlalu syok. Memahami hal tersebut akhirnya Yugo menghentikan ciuman mesra malam itu dengan senyum merekah, wajahnya ia mundurkan perlahan sambil melihat ekspresi gadis yang sering ia mimpikan itu. Mereka saling tatap dalam waktu singkat.

Sudah bisa dipastikan wajah keduanya seperti kepiting rebus. Sepertinya aliran darah di bagian wajah mereka sedang meningkat drastis. Hormon adrenalin mereka melonjak pesat menandakan sedang berada pada rasa gugup luar biasa. Dan percayalah bahwa jantung mereka pasti sedang bekerja keras hingga suara degupannya terdengar satu sama lain.

Yugo langsung beranjak karena salah tingkah saat mata mereka bertemu. Dia menarik napas dalam untuk menetralkan rasa bahagia tak terhingganya itu lalu setelahnya berucap sangat pelan, bahkan pelan sekali, "Gue, kan, udah peringatin lo. Jangan suka gigitin bibir gitu. Gue jadi gemes lihatnya."

Seiza akhirnya tersadar dari peristiwa barusan, matanya mengerjap pelan sambil pura-pura mengambil bantal di sebelahnya yang ingin ia gunakan untuk menutup wajahnya itu tanpa berniat menjawab perkataan Yugo. Dan baru saja Seiza meraih bantal berwarna putih itu, Yugo kembali berbalik menatapnya.

"Lo abis ini ganti baju. Gue gak punya baju cewek, tapi kaos sama celana traning itu cukup buat lo," ucap Yugo sambil menujuk sesetel baju.

"I-iya, Yugo." Seiza masih menunduk tak berani menatap Yugo.

Yugo tersenyum sebentar lalu tangannya terangkat untuk mengusap lembut puncak kepala Seiza seraya berucap, "Good night! I'll see you in my dream!" Lalu setelahnya Yugo menunduk dan mengecup singkat kening Seiza.

Setelah Yugo keluar dan menutup pintu putih itu, Seiza menenggelamkan wajahnya pada bantal di sebelahnya dan berteriak walaupun suaranya terpendam oleh bantal, " Aarrggghhh! Gimana ini aku senang banget sekaligus malu!"

Berbeda dengan Yugo, setelah menutup pintu itu dia tidak langsung beranjak, dia justru memegang dada kirinya, dapat dirasakan bahwa jantungnya itu sedang tidak beres, lalu pipinya yang semula sudah memerah kini semakin merah lagi setelah ia mendengar teriakan Seiza walau samar-samar. Kedua sudut bibir Yugo terangkat sambil bergumam pelan, "Gue juga senang banget, Za," Ia menarik napas dalam. "Kayaknya gue bisa gila kalau gak hidup sama lo."

🍭🍭🍭

Sinar mentari pagi mulai menembus kala Seiza keluar dari kamar. Ia dapat mencium aroma masakan dari arah dapur.

"Permisi."

"Ya Allah, copot!" Wanita paruh baya itu terkejut dengan kehadiran Seiza.

"Eh, apanya yang copot?" Seiza ikut terkejut.

"Ah, Si Eneng ini bikin bibi kaget aja."

Seiza terkekeh, "Maaf."

"Iya, gak apa-apa atuh, Neng. Eneng pasti yang namanya Neng Seiza, yah?"

"Iya. Nama bibi siapa?"

"Panggil aja Bi Nani, Neng."

" Yugo ke mana, Bi?" tanya Seiza dan ikut membantu menata piring di meja.

"Den Yugo udah berangkat tadi, Neng. Katanya ada sesuatu hal yang mau diurus." Mendengar ini Seiza hanya mengangguk.

"Bibi udah lama kerja di sini?"

"Iya, Neng. Dari sejak den Yugo beli rumah ini."

"Bibi tau kalau Yugo itu amnesia?"

"Tau atuh, Neng. Cuma bibi juga bingung gak bisa bantu apa-apa, soalnya den Yugo tertutup banget dari dulu."

Seiza mengangguk tanda setuju. "Memang kapan Yugo beli rumah ini, Bi?"

"Waktu abis lulus SMA, Neng. Sebelum kena musibah kecelakaan."

"Yugo gak pernah cerita atau bawa siapa pun gitu, Bi?"

"Den Yugo cuma pernah bawa den Sadam sama den Bobby aja. Tapi, dulu waktu beli rumah ini diantar sama pak Soni. Cuma katanya pak Soni udah dipecat karena kejadian kecelakaan itu, Neng," jelas Bi Nani.

Seiza ingat dengan nama Soni. Itu adalah salah satu sahabat mendiang ayahnya juga. Seiza baru ingat kalau om Soni bekerja dengan keluarga Pranadipa. Dan sekarang baru tahu lagi kalau sudah dipecat. Padahal om Soni adalah orang kepercayaan papanya Yugo.

"Oh iya, Bi. Ngomong-ngomong kamar dekat tangga itu kamar siapa?" Tadi saat Seiza keluar dari kamarnya, dia baru sadar ada dua kamar di dekat tangga. Padahal di atas juga sudah ada dua kamar, satu kamar biru yang ditempati Seiza semalam, satu lagi kamar Yugo yang letaknya persis di depan kamar biru.

"Oh itu, Neng?" tunjuk bi Nani yang diangguki Seiza. "Yang satu kamar khusus tamu, biasanya den Sadam sama den Bobby tidur di sana. Terus yang satu lagi itu kamar rahasia den Yugo. Siapa pun gak boleh ada yang masuk ke sana. Bahkan Bibi aja gak pernah masuk, cuma pernah lihat sekilas waktu pintunya kebuka. Isinya barang pribadi den Yugo, ada foto-foto, terus kayak buku, bola basket, sama apalagi Bibi gak tau."

Seiza berpikir sejenak. Foto? Buku? Bola basket? Ia semakin bingung. "Berarti gak pernah dibersihin dong, Bi?"

"Den Yugo sendiri yang bersihin. Dia bahkan suka berjam-jam kalau lagi di dalam. Kadang juga suka menyendiri di kamar yang semalam Neng Seiza tempatin. Pokoknya den Yugo itu tertutup banget." Ucapan Bi Nani ini sungguh membuat Seiza semakin yakin bahwa Yugo memang menutupi banyak hal.

Setelah percakapan singkat itu Seiza segera sarapan dan bergegas ke kampus. "Bi Nani. Seiza pamit dulu."

Saat Seiza sudah berlalu, Bi Nani sempat melamun. "Kok, kayaknya Bibi tuh pernah lihat neng Seiza tapi di mana, yah? Ah suka lupa kalau udah tua gini," gumam Bi Nani sambil menyiram tanaman di halaman rumah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top