25. LOLLIPOP DAN RAHASIA

Selamat membaca.🤗

Tak perlu kata sayang.
Tak perlu kata cinta.
Jika memang ingin bersama, maka harus diperjuangkan.
Jangan menunggu sampai hilang.
Jangan menunggu sampai pergi.
Dan jangan sampai menyesal kemudian hari.

🍭🍭🍭

Setelah Seiza puas menangis di pinggir jalan tadi, Yugo mengajaknya untuk makan malam, karena Yugo baru ingat kalau tadi di acara Maura tidak sama sekali memakan apa pun.

"Lo yakin masih kuat jalannya? Kafenya masih seratus meter lagi. Terus itu lo juga pakai heels." Arah pandang Yugo tertuju pada kaki Seiza.

"Gak apa-apa kok."

"Lo udah coba tanya Delia kenapa gak jadi jemput lo?" Yugo mulai membuka obrolan ringan saat saat mereka berjalan ke kafe yang dituju. Yugo baru ingat ada kafe yang dinilainya cukup menarik dengan menyuguhkan banyak menu pilihan makanan.

Seiza mengangguk. "Aku udah kirim pesan, tapi gak dibalas."

Yugo hanya menanggapi dengan dehaman saja, pasalnya ia tahu pasti ke mana Delia.

"Lain kali jangan mau langsung diajak gitu aja. Apa lagi sama cowok macam Arga."

"Tapi aku yakin kak Arga orang baik kok."

"Lo suka sama dia?" tanya Yugo penasaran.

"Eh?" Seiza langsung menggeleng. "Enggak kok. Aku gak suka kak Arga. Aku sukanya ...."

Seiza menghentikan ucapannya karena sudah berada di depan kafe yang dituju dan hal itu membuatnya takjub.

"Sukanya apa, Za?"

Seiza menggeleng cepat seperti anak kecil. "Aku suka sama kafe ini," jawab Seiza yang ternyata jujur.

Yogo menghela napas pelan, ia kira ia akan mendengar sesuatu yang menyenangkan. "Syukurlah kalau lo suka."

"Wah ... lollipop!" seru Seiza ketika melihat rak khusus lollipop di dekat kasir.

Yugo tersenyum simpul. "Ambil aja apa yang lo suka."

"Aku mau dua boleh?" tanya Seiza dan diangguki oleh Yugo.

"Lo suka banget sama lollipop?" tanya Yugo ketika sudah duduk di meja paling ujung dekat jendela dan selesai memesan makanan.

"Iya, Yugo."

"Kenapa?"

Ini pertanyaan kedua kamu, Yugo. Seiza bergumam dalam hati dan tersenyum tipis mengingat bahwa dahulu Yugo pernah menanyakan hal yang sama.

Seiza mengangkat satu lollipop dan memutar gagangnya seraya balik bertanya, "Apa kesan pertama kamu saat lihat lollipop ini?"

Yugo meneliti lollipop yang ada di tangan Seiza itu. "Hm ... manis? Warna-warni? Bikin sakit gigi?"

Seiza tertawa. "Kamu suka sakit gigi?"

"Ck! Jangan mengalihkan! Ayo jawab," titah Yugo kesal dan mencubit pipi Seiza.

"Ih, Yugo!" Seiza mengusap pipinya yang dicubit Yugo. " Yugo benar banget. Lollipop itu manis, terus warna-warni. Dan itu impian hidup aku, Yugo."

"Maksudnya?"

"Aku mau hidupku seperti lollipop. Manis dan penuh warna," jelas Seiza sambil meneliti lollipop di tangannya.

"Tapi hidup gak akan selalu manis, Za."

"Iya setidaknya aku harap, aku bisa menemukan akhir yang manis, kan, Go."

"Oke, gue harap lo bisa temuin akhir yang bahagia, yah, Za."

Seiza mengangguk dan mengamini lalu bertanya, "Kalau Yugo, apa hal yang disuka? Terus apa impian hidupnya?" Padahal dulu ia tahu persis apa yang Yugo suka. Namun, kali ini ia ingin memastikan apakah hal itu masih sama atau tidak.

Yugo menarik napas dalam. "Impian gue gak banyak, hanya ingin hidup bahagia tanpa ada rahasia."

"Tapi, kan, tiap orang pasti punya rahasia, Yugo. Dan pasti ada rahasia yang gak harus semua orang tau."

"Lo benar, Za."

"Terus kalau kamu mau hidup tanpa rahasia, berarti itu gak adil dong buat orang sekitar kamu?" Seiza berucap menggebu.

"Justru karena gue punya sebuah rahasia, Za. Jadi gue mau ketika rahasia itu gue ungkap, orang di sekeliling gue juga akan ungkap rahasianya."

Seiza mengernyit bingung. "Memang kamu punya rahasia apa? Kok, sampai segitunya kamu pengin orang lain jujur sama rahasianya?"

"Kalau gue kasih tau namanya bukan rahasia lagi, dong, Za." Lagi, Yugo mencubit pipi mulus Seiza yang entah mengapa sepertinya hal tersebut adalah hal yang menyenangkan.

"Ya, udah kamu cerita tentang rahasia kamu. Nanti aku juga cerita tentang rahasia aku. Gimana?" tawar Seiza.

Yugo menggeleng tanda tak setuju. "Lo coba ngerayu gue? Sorry, Za, gak mempan buat gue."

Seiza mencebikkan bibirnya kesal dan tepat saat itu pesanan datang. Sambil menikmati hidangan, Seiza kembali bertanya, "Yugo, aku boleh tanya sesuatu? Tapi kamu jangan marah, yah?"

"Mau tanya apa?"

"Kata Manda, kamu amnesia, yah?"

"Oh, itu yang mau ditanya?" Yugo menyendokkan nasi goreng super pedas pilihan menunya itu lalu menjawab, "Iya, benar."

Seiza mengangguk tiga kali tanda paham. "Kamu sama sekali gak ingat masa lalu kamu?" Yang ditanya hanya menggeleng lemah dengan masih memakan nasi gorengnya. "Terus kamu gak ada niatan buat cari tau masa lalu kamu?" Yugo menggeleng kembali. "Kenapa?"

Yugo meneguk sedikit lemon squashnya dan menjawab, "Gue gak mau repot akan hal itu. Biarin aja masa lalu itu yang datang sendiri ke gue. Gue malas cari."

Seiza tertegun sebentar dengan perasaan sesak di dada. Dalam benaknya ia berpikir bahwa Yugo yang sekarang duduk di hadapannya benar-benar jauh dengan Yugo yang dulu. "Kalau masa lalu juga gak mau nyamperin kamu gimana?"

"Ya udah, gue udah menjalani kehidupan gue yang sekarang, kenapa harus repot, ya, kan?"

Seiza gelagapan untuk menanggapinya. Hatinya semakin terasa diremas. "Kamu gak takut menyakiti orang-orang di masa lalu kamu?"

"Hmm ... gue udah nyaman sama kehidupan gue yang sekarang."

Mungkin bisa diibaratkan apabila diberi pengeras suara di hati Seiza, pasti sekarang sudah terdengar retakan dan patahan dari hatinya. "K-kamu nyaman sama hidup kamu yang sekarang? Memang apa yang bikin kamu nyaman?"

"Entahlah, gue ngerasa nyaman aja sekarang." Mendengar hal itu, Seiza sedikit berpikir, apakah hal yang membuat Yugo nyaman? Seiza penasaran sekali, sampai banana pancake di depannya diabaikan. "Hey! Kok ngelamun, Za? Ngelamunin apa?" tanya Yugo yang melihat Seiza tiba-tiba terdiam.

"E-eh, enggak kok."

"Ya udah cepat abisin, ini udah malam, Za."

"Memang ini jam berapa?"

Yugo melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. "Jam setengah sebelas, Za."

"Hah! Setengah sebelas?"

Yugo tersentak mendengar Seiza sedikit berteriak itu. "Lo kenapa, Za? Kok kaget gitu?"

"Ya ampun, Yugo. Tempat kos aku itu tutup gerbang jam sepuluh dan sekarang udah lewat. Berarti aku gak bisa pulang dong." Seiza menarik napas pasrah.

"Kirain kenapa," sahut Yugo tenang.

"Kamu kok ngegampangin gitu, sih. Aku gak bisa pulang ini gimana?"

"Ya udah, lo nginap di rumah siapa kek gitu," saran Yugo.

Seiza berpikir sebentar sambil menyeruput hot chocholatenya. "Sindy gak mungkin karena dia bilang mau ke club, Manda katanya lagi ada saudaranya. Terus siapa, dong?"

"Ck! Lo nih, yah." Yugo mengambil ponsel dari saku blazernya dan menghubungi seseorang di sana. "Dam! Nanti kalau om Anwar konfirmasi ke lo, bilang aja gue nginap di rumah lo, yah."

"Eh, eh! Apaan, lo nyuruh gue bohong? Terus lo mau ke mana?" Suara Sadam sedikit terkejut.

"I want going to that home," sahut Yugo

"Haah! Sama siapa, Go?!" Sadam kembali terkejut.

"Santai aja kali ngomongnya." Yugo menjauhkan sedikit ponselnya karena suara Sadam yang terlalu kencang. "Sama Seiza."

"Anjir. Lo mau ngapain bawa anak orang ke sana? Gue nyuruh lo ke apartemen Arga buat selamatin dia, Go. Bukan buat lo ajak ke rumah lo juga!"

"Dia gak bisa pulang, Dam. Kosnya udah tutup gerbang," jelas Yugo. "Lagian gue pure mau tolongin dia."

"Ya udah, awas lo macam-macam!"

Yugo terkekeh sebentar. "Iya! Thanks, Dam." Yugo mematikan teleponnya lalu berdiri dan merapikan blazernya. "Yuk, Za! Gue ada tempat buat lo malam ini."

"Di mana?"

"Tenang aja, lo aman kok." Setelah itu Seiza mengangguk paham dan saat mereka keluar ternyata semesta sedang mengirimkan hujan deras malam ini.

"Yaaah ... hujan ... mana mobil kamu masih diparkir di apartemen, yah?"

"Ya udah, lo tunggu sini aja. Gue ambil mobilnya dulu."

"Enggak, ah. Aku mau ikut jalan aja," ucap Seiza keukeuh.

"Seiza. Please, ini hujan. Gue gak mau lo kehujanan, apalagi parkirannya jauh, Za."

"Yugo. Please, aku mau temani kamu jalan sampai ke sana. Kita bisa pinjam payung sama karyawan di sini."

"Lo, nih, maksa banget. Ya udah bentar gue pinjam dulu." Akhirnya Yugo kembali lagi ke dalam untuk meminjam payung kepada karyawan di toko ini, Seiza pun senang sekali karena Yugo mengizinkan.

"Yeay!" pekik Seiza kegirangan sambil melepas heels dari kaki jenjangnya yang putih mulus. "Ayo kita jalan, Yugo!"

"Lo yakin mau hujan-hujanan? Payungnya kecil, lho." Yugo mengangkat payung putih bening yang ia dapat. "Gak mungkin cukup buat kita berdua, kecuali ...." Yugo sedikit ragu untuk mengucapkan lanjutannya.

"Kecuali apa, Yugo?" Seiza berkata sambil mengikat rambutnya.

"Kecuali kalau lo mau gue gendong, terus lo yang pegang payungnya. Itu juga kalau lo mau, sih. Kalau enggak, lo diam aja di sini ter―"

"Aku mau!" putus Seiza cepat.

Yugo tersenyum tipis lalu selanjutnya berjongkok di depan Seiza dan membiarkan tubuh ramping Seiza menaiki punggungnya,. Dengan mudah Yugo berdiri dan mulai berjalan di bawah naungan satu payung berdua itu.

Seiza mengeratkan tangannya pada leher Yugo sebagai penopang. Dan saat itu pula senyum Yugo semakin mengembang ketika sadar akan detak jantung Seiza yang terasa berdetak lebih kencang. Dan sebenarnya Yugo pun merasakan hal yang sama. Mereka diam beberapa saat sampai akhirnya Seiza memecah keterdiaman mereka.

"Yugo."

"Iya?"

"Kamu gak penasaran sama masa lalu kamu?"

"Enggak."

"Memangnya gak ada benda yang mengingatkan sama masa lalu kamu, gitu?"

Yugo menarik napas dalam. "Yang gue tau, kata om gue saat kita pindah ke Jakarta, gue gak bawa satu pun benda yang berharga. Jadi kehidupan lama gue di Bandung gak ada sama sekali yang berbekas. Gue cuma tau teman gue yang di sini aja, Sadam, Bobby, sama Manda."

Seiza mematung sejenak. Hatinya kembali retak mengetahui bahwa kepindahan Yugo dari Bandung dulu benar-benar tak membawa kenangan sedikit pun. Itu tandanya memang Yugo sudah benar melupakan dan membuang Seiza dari kehidupannya. "Apa hal yang bikin nyaman sama kehidupan kamu yang sekarang, Go?" Seiza menanyakan kembali pertanyaan itu.

"Banyak hal, Za. Semua hal yang ada di keliling gue saat ini semuanya bikin gue nyaman."

"Boleh sebutkan salah satunya?"

"Entahlah."

"Kalau aku? Apa aku termasuk hal yang buat kamu nyaman?"

Yugo menengokkan wajahnya ke kiri yang mana hal tersebut membuat wajahnya dan wajah Seiza menjadi sangat dekat. Yugo terkekeh sebentar lalu berucap, "Iya, Za. Termasuk lo." Yugo tersenyum menatap lekat Seiza. "Kehadiran lo salah satu yang bikin gue nyaman." Kata-kata Yugo tersebut sukses membuat pipi Seiza merona.

Mereka saling tatap beberapa saat untuk saling mengartikan keadaan. Seperti larut dalam kebahagian tak kasat mata, seperti rindu yang tak terucap oleh kata dan seperti ada perasaan yang dirasa, tapi tak mampu untuk dikatakan cinta.

"Tapi Yugo, gimana kalau kamu sebenarnya dulu punya pacar, terus lihat aku sama kamu kayak gini pasti dia bakal sakit hati dan cemburu." Seiza sengaja mengatakan itu bermaksud ingin tahu bagaimana reaksi Yugo untuk menanggapinya.

"Mmm ... pacar, yah?" gumam Yugo seolah berpikir dan menengadah. "Kalau memang misalnya gue punya pacar, gue harap pacar gue di masa lalu itu adalah lo, Seiza." Tanpa beban Yugo mengucapkan itu dengan lancar.

Seiza langsung menegang, seperti tercekat. Namun, Seiza langsung menormalkan kembali dan memukul bahu Yugo pelan. "Ih, Yugo! Apaan, sih!"

Yugo terkekeh lalu berkata kembali, "Pegang yang kencang, Za."

"Hah?"

"Udah cepat pegangan. Ini hujannya makin deras, biar cepat gue mau lari."

"Eh, tapi, Yugo." Seiza masih mengelak.

"Udah pegangan aja." Yugo pun mulai berlari sambil tertawa, hal tersebut membuat Seiza menjadi ikut tertawa karena hal ini sangat menyenangkan.

Berlari dan tertawa bersama di tengah derasnya hujan dan gelapnya malam tak berpengaruh dengan kehangatan perasaan kedua insan ini. Perasaan bahagia itu sungguh tak terhingga.

"Makasih, yah, Yugo. Aku senang banget malam ini."

"Makasih juga, Seiza. Malam ini juga gue senang banget."

.

.

.

Alhamdulillah bisa sejauh iniiii..

I love you, all my wattpad's friends😘😘😘💙💙💙
And of course, I love my self first💙💙💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top