24. NO REASON

🍭🍭🍭

Yugo memukul keras setir mobilnya. Dia kesal dengan dirinya sendiri, bahkan sepertinya benci dengan dirinya yang tak bisa mengontrol ucapan di depan wanita yang belakangan ini sudah lancang memenuhi pikirannya.

"Sial! Di sini, tuh, sebenarnya lo yang bodoh, Yugo!" maki Yugo pada dirinya sendiri.

Yugo memejamkan matanya sebentar lalu menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Otaknya bekerja keras untuk berpikir apa yang harus dilakukannya saat ini.

Baiklah! Persetan dengan gengsi! Yang terpenting sekarang adalah keselamatan Seiza. Yugo akhirnya membuka pintu mobil dan setelah memastikan mobilnya terkunci, dia segera berlari mencari gadis itu, gadis yang membuat darahnya berdesir apabila menyentuhnya.

Yugo berlari cepat dan mengedarkan pandangannya. Tak sulit mencari sosok Seiza yang tidak hafal jalan, ditambah sepertinya wanita itu sekarang kesulitan berjalan karena menggunakan heelsnya yang terbilang tinggi.

Saat itu Seiza sedang merutuki dirinya karena sudah menuruti ajakan Arga tadi. Ada sedikit rasa menyesal dalam batinnya. Pada akhirnya di sinilah Seiza berada, keluar dengan isak tangis dari sebuah mobil merah dan berjalan cepat menyusuri pinggir jalan raya. Dia tak peduli dengan dress merah selutut dan sepatu heels yang semuanya diberikan oleh Delia.

Angin malam yang dingin menerpa membelai kulit putih Seiza, apalagi di bagian pipi yang kini sudah basah oleh air matanya sendiri. Dia tak tahu harus berjalan ke arah mana saat ini. Dia sangat buta jalan, terlebih lagi dengan jalan yang tak biasa dilaluinya, seperti saat ini di depan gedung apartemen mewah yang baru pertama kali didatanginya.

Saat sudah menemukan Seiza, Yugo berlari pelan untuk mendekat, lalu ikut berjalan di belakang Seiza tanpa diketahui. Terdengar suara isak tangis pilu dari wanita itu. Ingin rasanya Yugo menarik lengannya dan membawa tubuh itu untuk dipeluknya. Namun, ia urungkan, karena takut mendapatkan penolakan yang menyakitkan.

Yugo berdeham sekali lalu berucap lirih, "Za ...." Yang dipanggil seketika menegang, tapi terus berjalan tanpa menoleh.

"Za berhenti, dong." Yugo menyentuh tangan Seiza dan menahannya. "Lo gak capek jalan terus?"

Seiza menepis tangan Yugo tanpa berbalik, dia terus saja berjalan bahkan lebih cepat.

"Za, please ... berhenti dong. Lo mau ke mana coba? Memang lo tau jalanan di sini? Lagian tas lo juga ketinggalan, kan?"

"T-terus apa peduli kamu?" Akhirnya Seiza berhenti dan masih terisak.

Yugo meraih kembali tangan Seiza yang dingin karena angin malam. "Ya udah, ayo, gue antar pulang. Biar tas sama HP lo nanti gue suruh Arga bawa ke kampus." Setelah mengucapkan itu, Yugo berjalan dan menghalangi jalan Seiza agar tak berkutik.

"Stop, Yugo!" Seiza sedikit berteriak, tubuhnya sekarang sudah berhadapan dengan Yugo, tapi kepalanya tertunduk. "Stop seolah kamu peduli sama aku!" ucap Seiza parau karena masih dalam tangisannya.

"Gue memang peduli, kok, sama lo."

"Cukup, Yugo! A-aku gak mau lagi berpikir kalau kamu selalu jadi pelindung aku tapi nyatanya kamu gak tulus." Seiza terisak kembali.

Yugo menundukkan kepalanya sedikit agar bisa melihat tatapan Seiza yang masih saja tertunduk. "Za ... dengar gue dulu. Tadi itu gu—"

"Apa, Yugo? Kamu mau bentak aku pakai kata kasar lagi? Iya?" Seiza mengangkat kepalanya dan tepat saat itu mata sayunya bertubrukan dengan mata tajam milik Yugo.

Yugo menelan ludahnya, dia kehilangan kata-kata saat melihat Seiza menangis seperti ini, persis seperti kejadian di parkiran mall waktu itu. Hanya saja ketika itu dia bisa memeluk dan menenangkan Seiza, tapi kali ini sepertinya sulit, karena objek yang membuat Seiza menangis adalah dirinya sendiri. Yugo memang bodoh!

Karena tak mendapat respon dari lawan bicaranya, Seiza kembali melangkah dan menabrakan diri pada bahu Yugo sehingga hal itu sukses membuat Yugo sadar dari lamunannya. "Za, tunggu!"

"Jangan kejar aku!"

"Maafin gue, Za." Yugo berjalan kembali dan menghalangi langkah Seiza. Tangannya memegang bahu Seiza agar tak bergerak. "Gue tulus tolongin lo, Za. Dan soal ...." Ucapan Yugo terpotong karena Seiza kembali berbicara.

"Udahlah, Yugo. Aku gak mau semakin punya hutang budi sama kamu, yang belum tentu aku bisa balas"

"Gue benar-benar minta maaf, Seiza. Gue serius. Gue minta maaf soal yang tadi, gue terlalu kebawa emosi." Tangan Yugo yang ada di bahu Seiza turun mengusap keseluruhan lengan Seiza dan berakhir menarik kedua telapak tangannya. "Maafin gue, yah, Za. Gue sama sekali gak bermaksud buat marah atau bahkan bentak lo. Gue terlalu kebawa emosi dan khawatir."

Seiza lelah, sehingga tanpa pikir panjang Seiza langsung menjawab, "Ya udah aku maafin. Sekarang kamu boleh pergi. Aku mau sendiri dulu."

Seiza menarik tangannya sendiri agar terbebas dari Yugo, tapi Yugo tetap menahan. "Za. Gue serius, gue ke sini cuma mau jemput lo, gak ada niatan buat bikin lo nangis gini. Gue bahkan pergi dari acaranya Maura biar bisa jemput lo."

"Iya, Yugo. Aku juga serius maafin kamu. Toh kenapa juga kamu harus minta maaf. Kamu gak salah. A-aku aja yang memang dasar nyusahin orang terus bisanya," ucap Seiza dengan isakan tangis yang masih tersisa.

"Kenapa ngomongnya gitu, Za?"

"Lho, memang benar, kan? Aku cuma bisa nyusahin kamu sama yang lain. Aku cum .... mmm."

Yugo tak sanggup mendengar lebih jauh, Yugo pun tak senang dengan kondisi seperti ini. Maka ia bawa tubuh Seiza kedalam dekapannya seraya berucap, "Gak usah ngomong yang enggak-enggak, Za. Lo gak pernah nyusahin siapa pun. Dan kalau memang harus nyusahin, gue siap buat disusahin sama lo."

"Kamu kayak gini karena kasihan, kan, sama aku?" Suara Seiza sedikit terpendam dalam dada Yugo.

"Seiza! Gue gak suka lo bilang gitu."

"Terus kenapa?" Seiza menangis sejadi-jadinya dalam dekapan Yugo. "Kenapa, Yugo?" Seiza terisak kembali, "Kenapa kamu ngelakuin ini? Kenapa kamu suka tiba-tiba baik sama aku? Bukannya kamu selalu gak suka kalau aku dekat kamu?" racau Seiza mengeluarkan keluh kesahnya.

Yugo terdiam sebentar sambil terus mengusap punggung Seiza yang bergetar akibat tangisannya. "Memangnya semua hal butuh alasan?"

"Kamu itu aneh. Kadang kamu baik sama aku, tapi kadang kamu juga jahat. Kadang kamu bersikap manis banget, tapi setelahnya kamu cuek lagi. Aku kayak abis diterbangin tinggi, tapi abis itu dijatuhin secara paksa. Kamu terlalu sulit ditebak, Yugo. Atas dasar apa kamu lakuin semua ini sama aku?"

Terjadi keheningan di antara mereka. Yugo pun tak tahu harus menjawab apa. Sampai akhirnya ia menarik napas dalam.

"I have no reason for that. Gue gak punya alasan apa pun. Semua mengalir gitu aja."

"Tapi ...."

"Sama halnya kayak lo, Za. Ketika gue sadar kalau lo ngejar gue dan waktu itu gue pernah tanya alasannya kenapa, tapi lo gak bisa jawab, kan?" Yugo mengusap punggung Seiza secara perlahan sampai isak tangis Seiza mereda lalu kembali berucap, "Dan gue harap lo juga gak mempertanyakan tentang alasan. Yang terpenting, gue bisa ada buat lo saat lo butuh, menurut gue udah cukup memberi alasan semuanya."

Detik itu juga Seiza akhirnya membalas pelukan Yugo, menumpahkan segala rasa takut yang menghinggap dan tangisnya luruh kembali. "Yugo ...." lirih Seiza.

"Tapi satu hal yang perlu lo tau ...." Yugo menjeda ucapan lalu melepas pelukannya, Seiza sedikit terkejut merasa kehilangan pelukan itu. Kedua tangan Yugo terangkat untuk menyentuh pipi Seiza yang masih basah dan mengusapnya lembut. "Gue tulus buat tolongin lo."

Seiza mendongak untuk melihat kesungguhan dari mata Yugo. Di sana ia menemukan sorot mata yang menenangkan, sorot mata seorang Yugo yang dahulu ia kenal saat sebagai kekasihnya. "Makasih, Yugo," ucap Seiza yang kembali terisak penuh haru.

Yugo menjawab dengan dehaman saja lalu dia kembali mendekap erat tubuh Seiza. "Lo boleh nangis sesuka lo sekarang. Gue siap jadi tameng lo saat lo rapuh kayak gini."

Seiza mencengkram kuat blazer Yugo di bagian punggung, menenggelamkan wajahnya dan menangis menumpahkan segala resah, amarah dan gelisah. "Yugo. Don't leave me," lirih Seiza pelan yang masih bisa didengar oleh Yugo karena dengan sengaja ia turunkan wajahnya agar bisa sejajar dengan wajah cantik itu.

"Hm. Never," balas Yugo.

Mereka saling menumpahkan perasaan yang sama-sama bersemayam dalam diri, tak ada yang mengetahui bahwa masing-masing di antara mereka sebenarnya menyimpan rasa yang begitu besar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top