13. SIAPA DIA?
Harapan adalah salah satu hal terkuat untuk menghadapi sebuah kekhawatiran.
🍭🍭🍭
"Gue masih ngantuk banget sumpah," ucap Bobby sambil terus-terusan menguap.
"Makanya, lo jangan kebanyakan begadang, gini deh jadinya," timpal Sadam.
Hari ini akhirnya tiba, hari di mana anak musik akan melaksanakan acara sosialnya di kota hujan, Bogor.
Sadam sebagai ketua, telah menyusun jadwal dan membagi tugas yang akan dilakukan oleh teman-temannya.
Ada dua mobil yang digunakan untuk keberangkatan, mobil Sadam dan mobil Arga. Dalam mobil Sadam terdiri dari Sadam, Riko, Sindy, Tita, Alex dan Okta. Kebetulan Riko ikut sementara sampai Bogor karena dia ada acara keluarga di sana. Dan di dalam mobil Arga terdiri dari Arga, Yugo, Bobby, Seiza, Manda dan Delia.
Sebelum kedua mobil itu meninggalkan pekarangan kampus Arthajaya, tiba-tiba ada mobil HR-V putih datang menghalangi. Dari mobil itu turun seorang wanita yang menggunakan mini dress berwarna hitam dan berjalan menghampiri mobil Arga. Semua mata membelalak ketika wanita itu mengetuk kaca belakang mobil.
"Yugo!" Yang dipanggil sebenarnya sedang memejamkan mata dan sedang asik sendiri dengan musik yang ia dengarkan, telinganya ia tutup rapat menggunakan headset berwarna hitam.
"Go, itu lo dipanggil," sahut Bobby yang duduk di sebelahnya sambil menggoyangkan bahu Yugo.
Yugo mengerjap dan sempat kaget ketika melihat ke sebelah kiri ternyata dari luar ada seseorang yang menangkup wajahnya dan ditempelkan ke kaca, lalu wanita itu menyengir kuda.
Yugo menekan tombol kaca untuk diturunkan. "Hai. Ada apa?"
"Kamu mau pergi, yah? Sampai kapan?"
"Hari kamis udah pulang, kok. Kenapa?" Senyum yang Yugo lakukan membuat semua orang dalam mobil mengernyitkan dahinya. Pasalnya kapan Yugo senyum semanis itu? Oh iya, mungkin terakhir waktu di ulang tahun Callina dan itu pun objek yang diajak senyum adalah Maura itu sendiri.
"Oke, kalau gitu hari kamis kamu harus jemput aku, yah."
Yugo menaikkan satu alisnya. "Mau ngapain?"
"Ada deh rahasia. Pokoknya aku tunggu kamu jemput, yah."
"Iya, Maura. Nanti aku jemput ke kampus kamu hari kamis. Udah gitu aja?" Yang ditanya hanya menganggukkan kepalanya. "Kenapa gak chat aja kalau cuma mau bilang gitu?"
"Gak apa-apa, aku sambil mau lihat kamu aja. Ya udah kamu hati-hati yah di jalan."
"Yang harusnya lo bilang hati-hati itu ke kak Arga, kan, yang nyetir dia," omel Manda merasa jengah dengan kehadiran Maura. Lagi-lagi Maura.
"Ih! Suka-suka gue lah, kenapa jadi lo yang sewot, sih, Manda," sahut Maura tak terima.
"Masih lama gak ngobrolnya, mobil depan udah siap tuh." Suara mencekam dari Arga membuat semuanya menutup mulut rapat-rapat.
"Temen-temen kamu kenapa pada rese, sih, Go. Ya udah kamu hati-hati, yah. Bye Yugo." Lalu kaca mobilnya dinaikkan kembali oleh Yugo.
Melihat itu Manda mencebikkan bibirnya, "Lo pacaran sama Maura, Go?" tanya Manda sinis ketika Arga menyalakan mobilnya.
"Bukan urusan lo," jawab Yugo ketus.
Mendengar itu hati Seiza mencelos, karena semua yang terjadi barusan tak luput dari pandangannya. Bagaimana tidak, karena posisi duduk Yugo persis di depan Seiza. Alhasil semuanya nampak nyata, mulai dari senyum Yugo yang meneduhkan itu dan tutur bahasa lembutnya, sangat mengingatkan Seiza pada masa indah mereka.
Secara tidak sadar Seiza meremas tangannya sendiri secara keras dan hal itu justru disadari Delia yang duduk di sebelah Seiza.
"Sabar, yah, Kak," ucap Delia berbisik.
Lagi-lagi semesta menjatuhkannya.
Seiza menarik napas dalam. "Makasih, Del." Lalu ia menarik kedua sudut bibirnya walaupun hatinya terasa perih.
Tak lama kemudian mobil sudah memasuki tol dan kondisi di dalam mobil seketika hening, sampai akhirnya suara dering ponsel berdering.
"Kak Seiza, itu yang bunyi HP Kakak bukan?"
"E-eh, iya, yah?" Lalu Seiza melirik ponselnya di dalam tas.
Seiza mengernyitkan dahinya ketika melihat siapa yang menghubunginya itu.
Private Caller is Calling ...
Sejak pindah ke Jakarta, Seiza mengganti nomor ponselnya, dia benar-benar ingin memulai kehidupan baru. Dan yang mengetahui nomornya hanya bundanya, serta sahabat-sahabatnya saja. Selain itu, hanya teman-teman di Jakarta yang mengetahui. Perlu digarisbawahi dan diingat kembali, bahwa Seiza pindah ke Jakarta bukan karena ingin bertemu Yugo, melainkan menghindari hal yang membahayakannya.
"Kenapa gak diangkat, Kak?" tanya Delia memasang wajah bingungnya.
Lalu ponselnya berdering kembali masih dengan penelepon yang sama.
"Angkat kenapa, Za, berisik tau." Ucapan itu muncul dari bibir Manda yang duduk paling depan di sebelah Arga yang sedang menyetir.
Karena ucapan Manda itu berhasil membuat Arga ikut melirik Seiza melalui kaca spion depan, begitu pun Bobby yang memutar badannya dan berkata, "Siapa, Za, yang telepon?" Ditanya seperti itu, Seiza hanya menggelengkan kepalanya.
Setelah dering ponsel itu kembali berhenti, Manda yang sedari tadi memerhatikan Seiza berucap, "Muka lo sampai pucat gitu, Za. Memang siapa, sih, yang telepon?" Dan lagi-lagi Seiza menggelengkan kepalanya lemah.
Ya Tuhan. Semoga bukan orang itu yang menelepon.
🍭🍭🍭
Hamparan pepohonan dan kebun teh sudah terpampang di depan mata para remaja yang berada di dalam mobil itu. Kebetulan mobil Arga yang sampai terlebih dahulu karena Arga membawa mobil layaknya di pacuan balap.
"Selagi nunggu, mending kita ke belakang vila aja. Di sana ada spot buat foto yang bagus, ada kolam renangnya juga," tukas Arga ketika mereka sudah sampai.
Delia yang mendengarkan ikut mengangguk dan berjalan mengekori Arga. Lalu Yugo dan Bobby pun ikut pergi ke belakang vila.
"Lo gak ikut, Za?" Manda yang baru saja duduk di kursi teras akhirnya ikut bangkit dan berencana memanjakan matanya dengan melihat pemandangan sekitar.
"Aku di sini aja, deh. Sekalian jagain tas sama peralatan musik."
"Iya juga, sih, gak ada yang jagain kalau semua ke belakang."
"Kalau Manda mau ke belakang gak apa-apa, aku tunggu di sini. Lagian aku mau selonjorin kaki."
"Benar gak apa-apa? Kalau gitu gue tinggal, yah." Mendapat anggukan dari Seiza, akhirnya Manda pun bergegas menyusuri vila menuju ke bagian belakang.
Kini tersisa Seiza sendiri sambil duduk berselonjor di teras. Dia tak peduli dengan celananya yang mungkin akan kotor. Yang dia pedulikan saat ini adalah penat yang muncul dari kepalanya.
🍭🍭🍭
Yugo merasakan ketenangan ketika melihat hamparan pepohonan dan perkebunan teh yang entah milik siapa itu. Sudah lama sekali dia tidak melihat pemandangan seindah ini. Terakhir mungkin sebelum kecelakaan hebat yang menimpanya, itu pun kalau dia ingat.
Di belakang Yugo, ada teman-temannya juga yang ikut melihat pemandangan ciptaan Tuhan.
"Kak Arga, aku boleh foto bareng gak?" tanya Delia dengan polosnya dan yang ditanya hanya diam saja membuat Delia berpikir bahwa itu adalah sebuah tanda setuju. "Mmmm ... minta tolong siapa, yah?" gumam Delia sambil mengetuk-ketuk dagu menggunakan jari telunjuknya.
"Gue gak mau foto sama lo." Enam kata itu berhasil lolos dari bibir Arga ketika Delia baru saja mau meminta tolong Yugo yang sedang berdiri di dekat pagar pembatas.
"Ih pelit banget, sih," gerutu Delia sambil berjalan mendekati Yugo, sekarang Delia sudah berani berinteraksi dengan Arga sejak masuk musik. "Kak Yugo ... aku boleh min—"
"Enggak!" Belum selesai Delia berucap, Yugo dengan dinginnya langsung menolak.
"Ya ampun. Memangnya semua laki-laki ganteng harus dingin gitu, yah?" gumam Delia bermonolog.
Setelah menghabiskan waktu kurang lebih sekitar 30 menit di belakang vila, Delia bermaksud kembali ke depan saja karena di sini pun tak ada yang bisa diajak berinteraksi.
Baru saja berbelok, tubuh Delia menegang karena mendengar suara teriakan dari depan.
"Kak Seiza!" Setelahnya Delia langsung berlari.
🍭🍭🍭
Mobil Sadam baru saja tiba dekat mobil Arga yang terparkir. Saat turun Sadam langsung berjalan ke belakang mobil untuk mengambil peralatan musik di bagasi, Sadam tak mengindahkan suara-suara yang masuk ke indera pendengarannya.
Lain halnya dengan Riko, baru saja turun dari mobil, dia langsung mendengar suara wanita yang sedang berteriak. Riko sangat kenal suara dan teriakan itu. Bayangan buruk langsung memenuhi pikirannya.
"Aku gak mau! Tolong jangan!"
Riko langsung berlari menuju sumber suara itu dan benar saja sesuai perkiraannya. Riko melihat Delia sedang jongkok di depan wanita yang sudah dia anggap kakak kandungnya sendiri, Seiza.
"Aku mohon jangan!" Seiza terus berteriak padahal matanya masih terpejam.
"Del ...."
"Riko. Kak Seiza dari tadi gak bangun-bangun," lirih Delia saat Riko sudah di dekatnya.
"A-aku gak mau, aku mohon jangan!" Lagi-lagi Seiza berteriak dan air matanya lolos begitu saja walaupun masih tertidur.
"Kak, bangun, Kak." Riko menggoyangkan bahu Seiza pelan.
"Tolong jangan!" Teriakan kali berhasil memancing perhatian yang lain, sehingga mereka yang sedang di belakang vila pun akhirnya bergegas untuk melihat sumber suara, lalu rombongan Sadam yang baru turun dari mobil pun langsung ikut menghampiri.
"Kak, please, bangun." Riko menggoyangkan bahu Seiza sedikit lebih kencang.
"A-aku m-mohon ja ...." Isak tangis Seiza terhenti tatkala tangan Riko menepuk pelan pipinya. "Riko," lirih Seiza sangat pelan.
Saat matanya terbuka sempurna napas Seiza sungguh tak beraturan, dia terengah-engah seperti habis ikut lomba lari maraton. Dengan perasaan khawatir, Riko segera membawa tubuh Seiza ke dalam pelukannya, memeluk erat seolah menyalurkan kekuatan agar tangis Seiza berhenti. "Sstt ... udah, Kak, tenang. Ada gue di sini," ucap Riko menenangkan dan membelai punggung Seiza.
Seiza menangis sejadi-jadinya karena memang dia merasa sangat ketakutan. Pandangan itu tak luput dari semua yang ada di sana, termasuk Yugo yang memandangnya dengan tatapan datar.
"Ko, cepat bawa Seiza ke dalam!" titah Sadam setelah membuka pintu utama vila itu.
Baru saja Riko mengaitkan tangan kanannya pada lekukan lutut Seiza, gadis bersurai hitam legam itu berucap, "Aku mimpiin dia lagi, Ko."
Riko mengangkat tubuh Seiza dan menjawab Seiza dengan berbisik, "Dia? Dia, kan, ada di sini."
"Bukan Yugo, Ko," bisik Seiza kembali dengan membenamkan wajahnya di dada Riko.
"Bukan? Berarti dia yang lo maksud itu ...." Kali ini suara Riko tak berbisik seperti tadi.
Belum sempat meneruskan ucapannya, Seiza sudah terlebih dahulu terisak kembali dalam gendongan Riko. "I-iya, Riko. Dia ...."
"Shit!" Riko mengumpat menahan betapa kesalnya mengingat sosok 'dia' yang sudah berani mengusik kehidupan gadis yang sangat dia lindungi sebagai kakaknya ini.
Dia? Siapa dia? Tanya seseorang dalam hatinya yang dari tadi mengekori Riko menuju ke dalam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top