1. KAMPUS BARU
Jalan kisah hidup seseorang itu banyak ragamnya. Namun, ada satu yang sama, yaitu tentang siklus kehidupan itu sendiri. Karena hanya ada dua siklus yang akan selalu beriringan. Kebahagiaan dan kesedihan.
🍭🍭🍭
Keputusan yang sangat besar diambil oleh seorang Seiza untuk pergi meninggalkan kota kelahirannya, kota di mana dia tumbuh besar, di mana dia sekolah, sampai dia kuliah semester 2.
Ini adalah tahun ajaran semester 3 kuliahnya. Namun, dia harus meninggalkan Bandung, kota penuh kisah klasik hidupnya. Meninggalkan bundanya yang telah membesarkannya seorang diri, tanpa sosok suami yang menjadi ayah untuk sang anak. Meninggalkan rumah favoritnya, sahabat-sahabatnya yang sudah mau bersusah senang bersamanya dan tentunya meninggalkan kenangan pahit yang seharusnya dia kubur sejak lama.
Hanya saja alasan terkuat ia pindah karena harus menghindari bahaya yang sedang mengancam dirinya.
Berat rasanya, tapi memang inilah pilihan yang harus Seiza ambil, mau tak mau, siap tak siap, mampu tak mampu, dia harus tetap melakukannya. Pergi meneruskan perjuangan mencari ilmu. Dan sekarang Seiza harus menjadi mahasiswa baru semester 3 di salah satu universitas swasta ternama di Jakarta. Kota dengan sejuta hiruk pikuk kerasnya kehidupan.
"Lama banget sih lo, Kak! Hampir 30 menit gue nunggu lo di sini," gertak Riko yang sudah duduk di atas motor Vixion sambil mengenakan earphone yang disambungkan ke ponselnya.
"Iya maaf, tadi air di tangkinya habis, jadi harus nunggu diisi dulu sama si ibu kos," jawab Seiza jujur.
"Lo, sih, pilih tempat kos di sini, bukannya di sebrang kos gue yang fasilitasnya lebih baik."
"Kamu enak, biayanya cukup. Segini juga aku udah bersyukur bunda kasih izin aku pindah ke Jakarta," ucap Seiza dengan senyum manisnya.
Awalnya memang bunda berat hati mengizinkan putri semata wayangnya pergi meninggalkan rumah, Bayangkan saja, Santi─bunda Seiza─sebelumnya hanya tinggal berdua di rumah peninggalan mendiang suaminya, rumah sederhana, tapi penuh cinta. Dan sekarang Seiza harus pergi meninggalkan bundanya sendiri di rumah itu.
Hanya saja karena Seiza pindah kuliah ke Jakarta, maka Santi kembali ke kampung halamannya di Tasikmalaya dan tinggal bersama ibunya─nenek Seiza. Lalu rumah di Bandung dia sewakan dan hasil uang sewa itulah yang digunakan Santi untuk membayar kos Seiza di Jakarta dan lebihnya untuk makan Seiza. Hanya sebatas itu biaya hidup yang yang diterima Seiza. Tak melimpah seperti Riko yang memang berasal dari orang berada.
"Ya udah gak usah curhat, masih pagi juga. Yuk buruan, ini hari pertama gue sama lo masuk kelas kan."
Sesampainya di kampus, Riko mengantar Seiza terlebih dahulu untuk menemukan kelasnya, setelah itu Riko berjalan sendiri ke kelasnya. Begitulah Riko, yang selalu menemani Seiza di mana pun dan kapan pun, bahkan dari bayi. Terdengar berlebihan memang, tapi begitulah mereka. Mereka bukan saudara kembar, hanya saja rumah mereka bersebelahan, yang mana mengakibatkan kedekatan itulah terjalin. Riko sudah menganggap Seiza seperti kakak perempuannya, walau usia mereka hanya terpaut satu tahun.
Sepeninggal Riko yang sudah berbalik arah ke kelasnya, Seiza memasuki ruang kelas yang sudah lumayan ramai. Seiza mengambil kursi di deretan paling depan, yang sebelahnya sudah diisi dua orang wanita seusianya.
"Lo sih jemput gue kepagian, sekarang belum datang juga tuh dosennya, kan?" ucap seorang wanita dengan rambut ikal sebahu, mata cokelat bersih dan kulitnya kuning langsat.
"Udah sih lo tuh protes aja, udah untung gue mau jemput lo, kesan pertama masuk kelas itu harus bagus dulu kali, Man," jawab wanita satunya lagi dengan nada kesal karena temannya itu terus mengomel sepanjang masuk ke dalam kelas yang ternyata masih sepi. Wanita itu memiliki paras yang cantik dengan dagu yang lancip dan rambutnya hitam panjang dan lurus.
"Yaelah, Sin, sok banget lo pengin kesan bagus. Semester kemarin apa kabar nilai lo? Kebanyakan C, kan, walaupun lo rajin datang awal juga," sindir wanita bermata cokelat itu yang dihadiahi desisan wanita rambut hitam.
"Permisi, boleh duduk di sini?" tanya Seiza menginterupsi lembut dengan senyuman manisnya.
"Oh iya, silakan," jawab wanita rambut hitam.
Lalu si wanita bermata cokelat itu ikut melirik ke arah kirinya dan mengernyitkan dahi seraya bertanya, "Lo siapa? Kok kayanya gue baru lihat?
"Memang lo hafal semua anak di kampus ini, hah? Sampai bisa berasumsi kayak gitu, Man?"
"Oh iya, aku memang baru masuk ke kampus ini kok," jawab Seiza dengan lembut dan masih dengan senyumnya.
"Tuh, kan, apa gue bilang. Lo ga percaya sih kalau gue itu punya ingatan fotografis kalo lihat wajah orang," jawab wanita bermata cokelat itu dengan percaya diri sekali, padahal sama sekali dia tidak punya ingatan fotografis, hanya saja memang lebih cepat mengenal wajah dan nama orang.
"Cih, sok banget lo!" Wanita berambut lurus berdecih ke temannya dan berbalik kembali ke arah Seiza. "Benaran lo baru di sini?"
"Iya aku baru masuk hari ini. Salam kenal, namaku Seiza Denaya, panggil Seiza aja." Sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Oh iya, gue Sindy," jawab wanita berambut lurus dan membalas uluran tangan Seiza.
"Panggil gue Manda." Giliran wanita bermata cokelat itu yang menjabat tangan Seiza.
"Mohon bantuannya, ya, Sindy dan Manda."
"Ya udah, lo gabung aja sama kita," ajak Manda yang dijawab dengan anggukkan Seiza tiga kali. Seiza senang, hari pertama kuliahnya ia mendapatkan dua teman sekaligus.
🍭🍭🍭
Selesai dua mata kuliah itu, Seiza dan kedua teman, ah bukan, sepertinya dua sahabat barunya itu keluar beriringan menuju koridor arah ke lantai 3, karena kebetulan kelas Seiza ada di lantai 2. Lantai 3 adalah basecamp para mahasiswa, di mana tempat itu adalah tempat kumpulnya organisasi.
"Lo mau ke mana? Jangan bilang lo mau ikutin kita karena lo ga tau jalan keluar?" tanya Sindy.
"Eh, engga kok. Aku memang mau ke lantai 3. Ruang seni ada di sana, kan?"
"Iya, kok lo tau? Katanya baru pertama kali ke sini?" tanya Sindy lagi.
"Aku memang baru pertama di sini, cuma kemarin adik aku bilang katanya kalau mau ke ruang seni ada di lantai 3. Tadinya mau dianter dia, tapi dia masih ada kelas," jawab panjang Seiza yang dibalas anggukan Sindy seraya berucap 'oke'.
"Memang lo mau apa ke ruang seni? Mau ngegebet ketua seninya, ya?" tanya Manda seraya melirik Seiza dengan tatapan mata yang disipitkan.
"Memang siapa ketua seni? Aku aja baru kenal kalian."
"Terus apa tujuan lo ke ruang seni?"
"Itu sudah tugasku jadi salah satu anggota seni di kampus ini," ujar Seiza.
"Lho, kok bisa?" tanya Sindy dan Manda bersamaan, lalu Seiza tertawa pelan mendengar kekompakkan mereka.
"Iya aku masuk kampus ini karena beasiswa seni. Katanya kampus ini punya fasilitas seni yang super lengkap dan sering bawa nama baik kampus diberbagai ajang."
"Kayaknya lo udah tau banyak tentang kampus ini, cuma belum tau bentuknya ya, kan?" ucap Manda sambil menekan tombol lift.
"Iya bisa dibilang begitu, aku udah banyak baca info tentang Universitas Arthajaya ini dari internet."
"Kalau gitu kebetulan banget, kita juga sama mau ke sana. Dan kayaknya lo bakal gabung sama kita berdua lagi," ucap bangga Manda dan setelah keluar lift mereka berjalan melewati koridor untuk sampai ruang seni.
Setelah pintu dibuka oleh Sindy, terlihat beberapa mahasiwa sedang bercengkrama, ada juga yang memakan cemilan dan memainkan gitar akustik.
"Hai, guys. Kita kedatangan anggota baru nih," teriak Sindy membuyarkan kegiatan yang lain.
"Wow, ada gadis cantik bikin segar mata nih," ucap lelaki bernama Bobby yang memiliki selera humor receh dan paling berisik di antara yang lain. "Sini kenalan dong sama abang Bobby yang paling tampan."
"Awas hati-hati dia suka gigit," ucap Manda yang seolah berbisik, tapi suaranya terdengar oleh seluruh penjuru ruangan.
"Heh! Gue dengar kali, Man," celetuk Bobby tak terima.
"Perkenalkan, nama aku Seiza Denaya, panggil Seiza aja." Seiza berbicara dengan suara yang agak lebih besar dari biasanya karena harus berbicara dengan banyak orang di depannya.
"Hai, Seiza ...." ucap mereka beramai-ramai.
"Hai, Seiza. Kenalin gue Sadam." Sadam berdiri dari duduknya dan berjalan mendekati Seiza. "Lo anak pindahan dari Universitas Priangan itu, kan?"
"Iya betul, Sadam. Aku dapat surat perintah dari ibu Anisa untuk ketemu Sadam di ruang seni."
"Oke kalau gitu selamat bergabung di basecamp kebanggaan kampus kita, The Power Art of Arthajaya University," ucap Sadam penuh bangga.
"Perlu lo tau, Za. Sadam itu selain ketua seni di kampus kita, dia juga anak sulung dari pemilik kampus ini, awas kalo sampai buat dia kecewa." Sindy mengingatkan.
"Apaan sih, lo, Sin. Berlebihan banget." Jelas Sadam tak suka jika ada teman-temannya yang selalu mengumbar bahwa Sadam adalah anak pemilik kampus, sehingga tak jarang para mahasiswa banyak yang sungkan berteman dengan Sadam.
"Lo masuk seni apa, Za?" tanya Bobby sambil melanjutkan memakan kuaci.
"Aku ambil musik."
"Biasanya pegang alat musik apa?" tanya Sadam yang sudah duduk kembali di sebelah kanan Bobby.
"Pegang janji kita berdua aja ya, Za. Itu aja udah cukup kok buat abang Bobby ini," jawab Bobby yang diserang dengan desisan anak yang lain.
"Aku biasanya piano, tapi aku bisa gitar akustik juga kok." Seiza masih terkekeh karena candaan Bobby tadi.
"Wah mantap kalau gitu, kebetulan pianis kita baru aja lengser jabatan karena lagi skripsian," jelas Sadam.
Setelah diberi penjelasan panjang lebar dan aturan-aturan organisasi seni oleh Sadam, Seiza mulai memasuki ruang seni musik, karena yang dia datangi awal adalah ruang briefing.
Saat masuk ruang seni, Seiza berdecak kagum dengan segala peralatan seni yang terpampang di sana. Piano, gitar akustik, gitar listrik, drum, bass, keyboard piano, biola, violin dan saksofon bertengger di setiap sudut ruangan. Ruangannya pun luas, sepertinya bisa tiga kali lebih luas dari rumahnya.
Seiza beruntung bisa masuk ke kampus ini. Karena selain terkenal dengan banyak penghargaan yang diraih, banyak musisi terkenal yang ternyata lulusan dari kampus ini. Walaupun Seiza hanya sekedar menyalurkan hobinya, tapi apa salahnya ia jadikan musisi sebagai cita-cita keduanya, karena cita-cita utama ia adalah memiliki toko makanan manis, seperti roti, permen atau cokelat.
Setelah berkeliling melihat sekitar dan berkelanan dengan anggota seni musik, Seiza duduk di taman kampus menunggu Riko. Hanya saja ia tak sadar kalau dari jauh ada seseorang yang memerhatikan ia sejak tadi.
Orang itu tersenyum penuh arti sambil bergumam, "Tunggu aku Seiza."
.
.
.
Terima kasih sudah baca.
Semoga kalian semua selalu sehat dan bahagia.😘💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top