8. Wet Pussy

Sungguh naif jika Melati pikir ia akan mendapatkan uang satu milyar dengan cuma-cuma.

Imantara Putra Sasongko memang lelaki bejat.

Sialnya - lelaki itu merupakan jalan keluar dari kehidupan melarat. Melati tidak bisa mundur. Ia tak bisa kembali pada pekerjaan lamanya, Melati juga enggan stagnan dalam hubungan bersama Bram.

Uang satu milyar tinggal satu jengkal dari jangkauan. Namun, tentu saja ada imbalan yang harus Melati tunaikan.

"Apa kamu bilang?"

"Ya, aku perlu tahu luar-dalam istriku seperti apa. Nggak lucu, kan, kalau ternyata kamu punya herpes atau penyakit kulit yang menular," sahut Iman acuh tak acuh.

Melati menahan napas.

"Aku cukup sehat!" dalih Melati.

"Aku butuh pembuktian," kata Iman. "Lihatlah ini." Ia meraih ponsel yang terletak pada console table. "Aku sudah siap mengirim 500 juta ke rekeningmu selepas kamu melakukan permintaanku. Anggap sajalah - tanda jadi kesepatakan kita."

"Tapi kamu tadi bilang hubungan kita tidak melibatkan seks!"

Iman mengernyit.

"Definisi seks bagimu itu apa? Menurutku seks adalah persetubuhan yang melibatkan penetrasi. Aku bahkan tak minta bercinta denganmu. Aku cuma mau memeriksa kesehatan fisikmu, Mel."

Melati mendengkus.

"Aku tidak bisa melakukan itu ..." elak Melati.

"Kenapa? Kamu merasa nggak percaya diri dengan tubuhmu?"

"Bukan!" Melati melotot. "Hanya saja-"

"Okay, fine," tukas Iman. "Kalau begitu aku juga nggak bisa transfer sekarang. Aku akan bayar setelah kita menikah nanti - hmm, ya - kira-kira tiga atau empat bulan lagi."

"A-apa ...?" Melati menelan saliva. "Itu terlalu lama, aku butuh uangnya sekarang juga ..."

"Kamu tahu harus apa," sahut Iman menyeringai.

Melati terdiam mematung.

Ia menggertakkan gigi demi menahan emosi yang berkecamuk.

"Mel? The clock is ticking ..." Iman menunjuk Rolex yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya.

"Baiklah," kata Melati. "Aku akan melakukannya."

Iman mengulum senyum.

"Tapi," lanjut Melati. "Aku harus tetap menggunakan panties."

"Ah, sayang sekali," gumam Iman. "Karena kamu berkompromi, aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku akan membiarkanmu mengenakan celana dalam, asal kamu memperbolehkanku menyentuhmu."

"Kenapa begitu?!" geram Melati.

"Ayolah, satu area saja," bujuk Iman. "Uang lima ratus juta itu tidak sedikit. Kamu harusnya memposisikan jadi aku, menurutmu aku bakal percaya begitu saja padamu?"

Melati mendengkus.

Padahal Iman bisa saja menahan KTP Melati, tetapi ia justru memilih cara mesum untuk mengikat kesepakatan.

"Satu area saja! Dan kalau kamu melanggarnya, aku mau besok kamu transfer tiga ratus juta sebagai kompensasi," tegas Melati.

Iman tertawa renyah. "Deal."

Melati pun melengos menuju bathroom, ia ingin segera menuntaskan segalanya demi mendapatkan bayaran.

"Kupikir kamu akan langsung membukanya di sini," kelakar Iman.

Melati membanting pintu.

Ia menarik napas dalam-dalam sembari menatap refleksi diri pada cermin. Sungguh - Melati bimbang apakah ia harus bertindak sejauh ini demi materi. Ia tak ubahnya seorang pelacur.

"Cih." Melati tersenyum getir.

Ia akhirnya melucuti kaos dan jeans yang membalut tubuh. Jantung Melati berdebar kian kencang tatkala melepaskan bra-nya. Dua bukit kembar Melati sontak terbebas dari kungkungan. Ada sensasi rikuh merayap dalam dada Melati. Ia membayangkan bahwa sebentar lagi Iman akan menatap lekuk tubuhnya. Hal yang teramat sangat memalukan.

Melati benar-benar hilang harga diri.

Melati kembali menarik napas. Ia meraih satu buah handuk hotel dan memakainya. Sambil tertunduk pucat, Melati pun keluar dari kamar mandi.

"Lama sekali," protes Iman.

Melati mendongak. "Kamu harusnya sab-" Kalimatnya menggantung karena terkejut bukan main. "A-apa yang ...?!" kecam Melati.

Iman sudah telanjang bulat dan duduk santai di sofa. Ekspresinya penuh percaya diri seolah tak terjadi apa pun. Ia cukup bangga dengan tubuh maskulinnya - kulit tanned eksotis, barisan otot perut berjajar kotak-kotak, bisep kokoh yang tak terkesan berlebihan, serta ... kejantanan yang teracung menyapa Melati. Ukuran batang Iman besar dan panjang, penuh urat mengukir.

"Kupikir kamu pasti malu karena bugil sendirian, jadi aku menemanimu," ujar Iman.

Melati salah tingkah sendiri. Ia berusaha memalingkan atensi pada milik Iman. Meski, matanya teramat ingin memandang kejantanan itu lagi.

"Kamu sudah gila," umpat Melati. "Kamu anggap dirimu Tarzan?!

"Ini namanya solidaritas. Ayolah, buka handukmu."

Segala gugup yang semula Melati rasakan mendadak sirna. Berganti dengan desir akibat sosok polos Iman. Otak Melati mendadak kotor, ia tak bisa mengenyapkan gairah terlarang karena figur Iman yang luar biasa seksi. Lelaki itu sudah berubah total. Seingat Melati, Iman semasa sekolah adalah bocah cupu bertubuh tambun.

"Kamu sangat narsis." Melati membuang muka. "Bisa-bisanya telanjang di depanku tanpa ragu sedikit pun."

"Apa ada alasan bagiku untuk malu?" Iman membuka lebar kedua kaki demi memamerkan adiknya yang sudah berdiri.

Melati kian merona.

Sekujur tubuh Melati berdesir hebat. Dengan pelan, ia lantas membuka jalinan handuk yang melilit tubuh.

Kini giliran Iman terpana.

Kulit Melati seputih susu dan tanpa cela. Kedua puting merah muda wanita itu tegak seolah-olah sedang menggoda. Selain itu, baik pinggang mau pun perut Melati teramat langsing tiada berlemak. Sayang sekali Iman tak bisa melihat sesuatu yang bersembunyi di balik panties.

"Wah ..." Iman kehabisan napas.

Batang Iman makin teracung keras setelah memandangi visual indah Melati.

Iris obdisian Iman menyapu pandangan ke setiap jengkal tubuh Melati. Matanya seakan mencecap sekujur kulit Melati. Ia begitu ingin memainkan gundukan bulat milik Melati. Ah, tapi tidak - ia punya rencana lain.

"Sampai kapan kamu akan memandangiku, huh?" Pipi Melati memanas.

Cara Iman membingkainya dalam tatapan sungguh menyiksa. Mata elang Iman penuh nafsu.

Entah mengapa ... itu membuat Melati terangsang.

Milik Melati di bawah sana mulai berkedut-kedut. Dua buah dadanya juga mendadak sensitif dan menuntut jamahan. Melati kegelian sendiri, ia makin resah karena merasakan kewanitaannya mulai basah.

"Kamu cantik, Mel," puji Iman.

Melati tertunduk gelisah.

"Kamu bisa lihat milikku yang tegang hanya dengan memandangimu," lanjut Iman. "Kalau kamu izinkan, aku bahkan bisa self service sambil memandangimu."

"Jangan!" pelotot Melati.

Iman terkikik. Ia berhasil menggoda Melati. Lalu, ia bangkit dari sofa dan mendekati Melati.

"Aku tahu area mana yang ingin kusentuh. Boleh kulakukan sekarang?"

"Silakan saja, lakukan dengan cepat," ujar Melati.

Sebisa mungkin, Melati berpaling agar tak menatap batang Iman. Ia bisa gila karena tergoda oleh kejantanan liat itu. Melati benci sekali pada diri sendiri. Kenapa dia malah turn on? Dasar, tolol!

"Bersandarlah di dinding," titah Iman.

Melati menurut.

Ia merapat pada dinding dan menumpu punggungnya di sana. Jantung Melati semakin berdebar karena jarak dirinya dan Iman begitu dekat.

Aroma parfum Iman menguar terendus oleh hidung Melati. Wangi bargamot bercampur woody yang kian membangkitkan sensualitas. Napas Melati kian memberat. Frustrasi menunggu di mana tangan Iman akan berlabuh. Anehnya - Melati tidak sabar.

"Oh, tidak!" Melati memekik.

Mana ia sangka jemari Iman menggerayang ke tengah selangkangannya. Lelaki itu menggosok telunjuk pada lipatan yang tertutupi panties.

Iman menyeringai. "Aku memilih satu, dan area ini adalah tempat yang paling ingin kusentuh."

"Aku menutupnya agar kamu tak bisa memainkannya," lirih Melati. "Tapi, kenapa kamu justru bersikukuh memilih itu?"

Iman menekan-nekan milik Melati, sesekali ia menyelipkan jemari ke dalam lubang panty. Kulit jari Iman mampu merasakan bahwa Melati memangkas habis rambut di bawah sana. Selain itu, daging berhimpit itu sangat lembut, dan ... basah.

"Mel," bisik Iman. "Jangan bilang kamu nggak suka dengan apa yang kulakukan, punyamu udah licin banget."

"Ehmh," desah Melati. Ia memalingkan muka untuk menahan malu. Ia kesal karena dikhianati oleh tubuhnya sendiri. Selain itu - batang Iman yang teracung sesekali menabrak pinggul Melati. Suatu hal yang membuatnya kian bergejolak.

Telunjuk Iman mengitari celana dalam Melati yang berbahan renda tipis. Ulah Iman mengakibatkan Melati menggelinjang tak karuan. Ia tanpa sadar meremas bukit kembarnya sendiri. Menarik pucuk dadanya pelan-pelan agar tak ketahuan oleh Iman.

Melati lantas tersentak tatkala jari Iman menemukan biji sensitifnya, titik mungil nan menonjol itu sudah tegang dan membengkak.

Iman menggeram parau.

Ia ingin sekali meremas buah dada Melati dan mengisapnya gemas. Ia juga ingin menusukkan miliknya ke dalam milik Melati. Namun, ia ingat akan janji yang sudah ia buat. Iman tak boleh melanggar kesepakatan. Toh, ia yakin, kelak Melati akan tunduk dalam dominasinya.

"Uhmh ..." Pinggul Melati menukik keenakan ketika Iman mengitari klitorisnya. Ia sudah kehilangan akal. Tapi, peduli setan!

Melihat tubuh Melati menggeliat, Iman makin beringas.

Ia menarik celana dalam Melati dan menyelipkannya di antara lipatan bokong dan liang senggama. Bibir kemaluan Melati terekspos jelas - merah dan basah.

"Mel, kamu seksi banget. Aku nggak salah pilih kamu sebagai calon istriku," puji Iman.

Melati yang mabuk kepayang mulai menggoyangkan pinggang agar telunjuk Iman bergesekan dengan miliknya. Ia semakin mengerang saat Iman mengusap klitorisnya secara membabi buta.

Sekujur tubuh Melati menegang.

Iman sadar bahwa Melati sebentar lagi mencapai klimaks. Bukannya menuntaskan pekerjaannya - Iman justru berhenti.

"Ah ..." Melati tersentak dengan kedua tungkai yang lunglai. "Ke-kenapa?" Ia menatap Iman sayu.

Iman berpaling dan berjalan pelan mengambil kotak tisu. Ia mengelap jari-jarinya satu per satu.

"Aku sudah selesai. Berikan nomor rekeningmu," kata Iman.

Melati limbung dan bingung.

Miliknya di bawah sana masih berdenyut putus asa. Iman sialan! Dia pasti sedang mengerjainya lagi. Parahnya - kali ini Melati kalah telak!

Silakan baca lebih cepat lewat Aplikasi Karyakarsa. Traktir Ayana ngopi lewat sana, ya 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top