7. Godaan & Janji Surga
Melati berjalan menyusuri selasar hotel yang panjang dan sepi.
Mana ia duga Iman akan mengajak bertemu di tempat tertutup macam hotel. Langkah Melati semakin memberat tatkala mendekati kamar 201, di mana Iman menunggu kedatangannya. Melati gamang. Bagaimana jika Iman beralih melecehkan dirinya?
Ah, peduli setan.
Saat ini Melati sudah tak punya harga diri. Dia bukan orang suci, dan Melati rela melakukan apa pun demi uang.
Kata siapa uang tak bisa membuat bahagia? Tanpa uang, kebahagiaan mana bisa didapatkan? Tanpa uang, hanya sengsara yang menjadi kawan. Bibir plumpy Melati sontak tersenyum getir - prihatin dengan diri sendiri. Tak sangka akan begini nekat akibat desakan kebutuhan. Jika diingat kembali, kebencian Melati pada Yanuar makin berkobar. Andai bapaknya tak berutang, mungkin Melati tak bakal sesial sekarang.
"Ini dia ..." gumam Melati. Ia lantas mengetuk pintu di hadapan. Tak lama, seorang wanita pun membukakan Melati pintu sembari menghadangnya. "Lho?" Ia bingung sendiri. Tidak salah kamar, bukan?
"Kamu sudah datang, Mel?" Iman muncul dari belakang si wanita. "Masuk." Ia menyeringai.
Secara kikuk, Melati menyusup di antara tubuh si wanita. Ia membalas Iman dengan senyuman rikuh.
Iman menghampiri si wanita dan menciumnya mesra. Ia membiarkan Melati menyaksikan aksi mesumnya. "Sudah saatnya kita berpisah," ucapnya.
"Kamu akan menghubungiku, kan?" tanya si wanita.
"We'll see," sahut Iman.
Melati menahan umpatan dalam hati. Demi Tuhan, dia sangat jengkel dengan kelakuan Iman yang norak. Apa dia mau pamer kebejatan di depannya? Jika betul demikian - Melati sama sekali tak terpengaruh.
"Sorry karena kamu harus menyaksikannya." Iman menutup pintu rapat.
Melati tersungging canggung. "O, nggak apa-apa," dalihnya.
"Mari," ajak Iman.
Mereka lantas berjalan bersama ke dalam kamar.
Melati menelan saliva. Ruangan yang ia masuki begitu luas dan megah. Kamar hotel tipe Presidential Suite yang bahkan dilengkapi mini bar di dalamnya.
"Mau minum?" tawar Iman. Ia menerobos counter dan mengambil sebotol whiskey.
Melati menggeleng. "Tidak, terima kasih."
Iman menuang cairan alkohol cokelat keemasan pada rock glass, ia lantas meneguknya dengan santai. Netra Iman melirik ke arah Melati, sesekali senyum timbul pada bibir tipisnya.
"Jadi?" celetuk Iman.
Melati terkesiap. "Anu ..." Ia tergagu. "Soal penawaranmu itu, kamu sungguh serius? Apa masih berlaku untukku?"
"Apa yang membuatmu berubah pikiran?" tanya Iman pongah.
"Aku butuh uang," jawab Melati. "Dan, setelah kupikir lagi - kamu satu-satunya orang yang bisa menolongku mendapatkannya secara instan."
"Instan?" ulang Iman. "Kata siapa, akan instan? Aku mengajakmu menikah dan kita akan bersama-sama untuk waktu lumayan lama."
"Aku tahu, tapi, bisakah kamu memberiku pembayaran di muka? Aku betul-betul butuh uang sekarang juga," aku Melati.
Iman terkekeh.
"Kok kamu jadi nggak tahu malu? Ke mana sikap angkuhmu yang kemarin?"
Melati tertunduk. Ia menggigit bibir bawah demi meredam rendah diri.
"Aku sadar, angkuh tak akan menyelesaikan masalah," kata Melati.
Iman menyeringai penuh kemenangan. "Terus, kamu enggak mau minta maaf dulu sama aku?"
"Mi-minta maaf?" Melati terbelalak.
"Iya. Kamu lupa sudah kasar sama aku? Padahal aku sudah booking restoran mahal khusus buat bertemu denganmu." Iman mendecih. "Kamu malah ketus dan marah-marah. Aku juga sudah bayar tarifmu sepuluh kali lipat, dan kamu justru pergi sebelum waktu yang ditetapkan. Masih untung aku baik, tidak minta ganti rugi."
Melati mati-matian mempertahankan senyum.
"Aku minta maaf karena sudah bersikap tidak sopan kemarin," ucap Melati lirih.
Iman mencondongkan badan mendekat. "Apa? Aku nggak dengar," protesnya. "Lagian, kok minta maafmu terkesan tidak tulus begitu, ya?"
Sabar. Sabar. Melati menekan ego hingga ke dasar palung hati. "Aku minta maaf, Mas Iman," ulangnya.
"Kurang keras," keluh Iman.
"Aku minta maaf, Mas Iman!" Melati setengah berteriak.
Iman membeliak. "Itu minta maaf apa ngajak tawuran? Yang lembut dong. Yang manis."
"Aku minta - maaf - Mas ..." Bibir Melati tertarik lebar hingga deretan giginya terlihat jelas. Matanya membulat, lengkap dengan ekspresi centil.
Iman terkekeh. "Nah, gitu, dong! Aku suka kalau kamu berlagak manja di depanku, Sayang."
"SAYANG?" sentak Melati.
"Kenapa emang?" balas Iman santai. "Kamu, kan, bakalan jadi istriku. Sudah sepatutnya aku memanggilmu 'Sayang'."
Melati mendengkus.
Apa yang Iman katakan ada benarnya, meski begitu, tetap saja Melati kesal bukan main.
"Jadi, penawaran itu masih berlaku untukku?" selidik Melati.
"Masih," jawab Iman. "Dengan syarat dan ketentuan yang berlaku."
"Syarat dan ketentuan yang berlaku?" tanya Melati.
Iman mengangguk membenarkan. "Kamu harus menuruti apa yang kumau."
"Apa yang kamu mau?" Melati melotot. "Apa maksudnya seks?"
Tawa Iman pecah. "Kamu on point banget, ya? Apa di pikiranmu aku ini lelaki mata keranjang yang haus seks?"
Iya. Melati membenarkan dalam hati.
"Nggak gitu, sih, cuman-"
"Ya, nggak apa-apa kalau kamunya mau. Tapi nanti kalau ketagihan, tanggung sendiri ya."
Melati sontak mengernyih. Pede amat!
"Kamu berani bayar aku berapa?"
"Berapa yang kamu minta?" tantang Iman.
Melati menelan ludah kasar.
Otak Melati sibuk mengkalkulasi segala kebutuhan dan tanggungan utang Yanuar. Biaya sekolah dan persiapan Wisnu melanjutkan ke perguruan tinggi, kemudian persiapan Melati untuk melanjutkan PKPA, dan lain sebagainya.
Gila - jumlahnya banyak juga. Namun, Melati enggan bersikap tamak.
"Sem-sembilan ratus juta," ujar Melati ragu.
"Sembilan ratus?" Iman memperjelas.
Melati mengangguk.
"Baiklah, kugenapkan jadi satu M," kata Iman.
Mata Melati terbelalak hingga hampir melompat keluar. "Serius? Sa-satu milyar?"
"Seriuslah," jawab Iman. "Kalau pekerjaanmu sebagai istriku memuaskan, aku bakal tambah lagi uangnya, anggap saja bonus."
Melati terperanjat.
Ia membisu dengan bibir gemetaran. Uang yang Iman janjikan bisa mengubah hidup Melati 180 derajat. Melati mampu membiayai Wisnu dengan tenang tanpa mengkhawatirkan apa pun. Ia juga bisa menempuk pendidikan profesi-nya tanpa waswas.
"Oh, Tuhan ..." Melati tertunduk sambil menahan haru.
"Kamu kenapa?" Iman menatap Melati penuh kebingungan.
"Aku cuma ..." Tangis Melati pun tumpah. "Aku nggak sangka bisa lepas dari jerat utang yang selama ini membelengguku."
"Utang?"
"Bapakku bangkrut dan meninggalkan beban utang. Aku mati-matian bekerja demi melunasi tanggungannya. Desakan para debt collector hampir membuatku gila," ujar Melati.
Iman seketika bungkam.
Ia akhirnya paham - alasan Melati bekerja menjadi seorang pacar sewaan. Iman juga bisa menyimpulkan mengapa Melati bersedia menjalin hubungan dengan lelaki paruh baya. Ternyata, hidup Melati sangat berat. Tega sekali orang tuanya menumpahkan segala masalah pada Melati.
"Nih." Iman menyodorkan tisu untuk Melati.
"Makasi," ucap Melati.
"Bapak kamu gimana? Masa, kamu yang harus nanggung utangnya?" selidik Iman.
"Bapak kena stroke tak lama setelah dia dipecat. Sekarang bapak nggak bisa bergerak dan harus pakai kursi roda. Kami nggak ada biaya buat pengobatannya," terang Melati.
"Oh ..." gumam Iman lirih.
Melati menyeka sisa air mata pada pipi. Ia lantas memandang Iman dengan senyum merekah.
"Maaf, ya. Aku tidak bisa menahan haruku."
"Nggak apa-apa."
"Jadi, sekarang, apa yang harus kulakukan?" tanya Melati pada Iman.
Iman berpindah menuju sofa yang terletak di sisi jendela. Ia menyandarkan punggung seraya meneguk whiskey sedikit demi sedikit.
"Aku akan pikirkan MoU-nya," kata Iman. "Aku akan segera mengirimkan lima ratus juga sebagai bentuk uang muka ke rekeningmu. Kamu bisa bayarkan utangmu dengan uang itu, Mel."
Melati berbinar. "Makasi banyak!"
"Beri tahu saja aku nomor rekeningmu," kata Iman lagi.
Melati mengangguk. "Iya!"
"Hmm ..." Iman menyorot Melati melalui tatapan yang setajam busur panah. "Seperti kamu yang butuh tanda jadi, aku juga butuh tanda keseriusan akan komitmenmu."
"Aku harus melakukan apa? Aku siap, kok. Asal jangan ..."
Iman terkekeh. "Oh, tenang, aku nggak akan minta seks darimu, kecuali kamu yang mau," sanggahnya.
Melati bernapas lega.
"Lantas? Apa yang harus kulakukan?" selidik Melati.
Iman mengusap bibir bawahnya menggunakan jemari. Ia terpaku pada sosok Melati yang rupawan bak Malaikat. Rambut panjang dan tebal, tubuh seksi yang memikat, juga wajah cantik yang jauh dari kesan membosankan.
"Boleh aku lihat kamu tanpa sehelai busana satu pun?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top