6. Money Oriented
Perasaan Melati berkecamuk. Gundah, ganjil, dan hampa.
Semula - Melati pikir bahwa ia akan baik-baik saja setelah memutuskan Bramantya. Namun, ternyata ia salah. Melati patah hati dan merasa kehilangan. Anehnya - air mata Melati bahkan enggan keluar.
Sudahlah. Toh, cinta tidak akan membayar utang-utang serta membuatmu kaya.
Mungkin ... sosok Bram sudah punya tempat tersendiri dalam relung Melati. Atau mungkin ... bersama Bram bukan lagi sekedar uang, tetapi ada hati yang terlibat.
"Sudahlah ..." bisik Melati bicara sendiri. Ia tak boleh mengedepankan perasaan.
Masa depan Wisnu dipertanggung jawabkan, dan Melati tidak mau adiknya sampai putus sekolah. Bukan saatnya bagi Melati memikirkan cinta-cintaan. Apa lagi, Bram tak pernah memberikannya kejelasan.
"Lho, bukannya hari ini kamu libur?" Sapaan dari Antok mengejutkan Melati.
Dia memang libur - tetapi ada yang harus Melati lakukan demi melancarkan rencananya.
Melati tersenyum manis. "Iya, Mas. Ada perlu sama Mas Antok," sahutnya.
"Perlu sama aku?" Antok mengernyit.
"Boleh minta waktunya buat ngobrol bentar, nggak, Mas? Lima menit aja," bujuk Melati mengiba.
Antok pun mengarahkan Melati menuju bilik kubikelnya. "Boleh. Ada perlu apa?" tanyanya.
Melati berdeham.
Berkali-kali ia menelan ludah sebelum menjawab Antok.
"Jadi begini, Mas-" kata Melati ragu. "Apa boleh aku minta nomor klien yang kemarin? Si Iman, Imantara Putra Sasongko."
Antok seketika mengernyit. "Jas, kamu tahu, kan, kalau peraturan di sini, talent tidak boleh minta nomor klien. Apa lagi demi kepentingan pribadi."
"Iya, aku tahu akan hal tersebut, Mas."
"Apa lagi kalau kalian sampai ada hubungan pribadi - kamu bisa dikeluarkan dari kerjaan," jabar Antok.
Melati menatap Antok dengan serius.
"Sebenarnya, aku siap jika dikeluarkan dari sini. Aku benar-benar butuh nomor Iman," jelas Melati.
Antok melotot. "Maksud kamu, Jasmine?"
"Aku memang mau keluar dari sini, Mas," terang Melati.
"Kenapa, Jas? Apa karena Iman? Dia melecehkanmu atau berbuat tidak menyenangkan?" cecar Antok. "Kamu salah satu andalan agensi, lho. Kenapa harus keluar?"
"Tidak, Iman tidak melecehkanku," sanggah Melati. "Sebaliknya, dia menawarkan kerja sama yang menguntungkan. Hanya saja, kemarin aku tak berpikir rasional dan justru menolaknya." Ia menyorot Anton dengan ekspresi memelas. "Maka dari itu, aku sangat-sangat butuh nomor Imantara. Jika aku bisa menghubunginya lagi, mungkin Iman mau menerimaku. Apa yang dia tawarkan, bisa membantu perekonomian keluargaku, Mas."
"Tetap saja - gimana, ya? Aku takut melanggar peraturan. Terlebih, kalau kamu sampai kenapa-kenapa, nanti aku juga yang kena," ujar Antok.
Melati menggeleng.
"Aku akan merahasiakan ini, Mas. Dan, aku nggak akan membawa-bawa nama Mas Antok."
Antok melunak. "Serius?"
"Iya," jawab Melati mantap.
Antok mengembuskan napas berat. "Ya sudah." Ia pun membuka laptop dan mencari informasi berisi data diri Iman. "Ngomong-ngomong ... kuliahmy bagaimana?"
"Sedang menyusun skripsi, Mas," timpal Melati.
"Kamu jadi lanjut ke pendidikan pengacara?" tanya Antok lagi.
"Jadi. Pendidikan Khusus Profesi Advokat atau PKPA," sahut Melati.
"Baguslah." Antok tersenyum. "Aku senang kamu optimis menggapai keinginanmu. Aku harap semua berjalan lancar selepas kamu keluar dari sini. Aku tahu, kamu sudah bekerja keras dan gigih mengumpulkan uang."
Melati berkaca-kaca. "Makasi, ya, Mas."
"Nih." Antok menyodorkan secarik kertas bertuliskan nomor ponsel Iman. "Good luck, Jas."
Melati bergegas menerimanya. "Sekali lagi makasi, Mas."
***
"Ya, Halo?"
"I-ini benar dengan Imantara? Mas Iman?" Melati berdebar-debar. Mana sangka harus menjilat ludah sendiri dan mengabaikan harga diri demi uang.
"Benar. Ini siapa?" tanya Iman dari seberang.
"Melati."
"Melati?" Iman terdiam sesaat. "Melati siapa?"
Melati menggertakkan gigi. Ia yakin Iman sengaja menggodanya.
"Melati Puspa," sahut Melati menahan amarah. "Kita kemarin baru saja bertemu."
Iman terkekeh. "Oh, Badriya? Melati Puspa Badriya?"
Sialan! Melati mengumpat dalam hati. "Iya, Melati Puspa Badriya." Sungguh, ia sangat membenci namanya sendiri - kampungan!
"Ada apa, Badriya? Kenapa telvon? Dan ... kok tahu nomor aku, ya? Bukannya ... waktu itu kamu nolak tukeran nomor?"
Iman benar-benar memancing kesabaran Melati. Dia belum puas membalaskan dendam kesumatnya.
"Boleh kita ketemuan?" tanya Melati to do point.
"Ketemuan?"
"Iya, sebentar saja," kata Melati.
"Mau ketemu ngapain?"
"Soal ... penawaranmu kemarin," ungkap Melati. "Kamu serius, kan? Bukan ngerjain aku?"
"Seriuslah," jawab Iman. "Tapi, kemarin. Sekarang udah nggak. Udah berubah pikiran."
Sialan! Sialan! Melati mengepalkan tangan, tetapi mana bisa dia ngamuk karena dia membutuhkan bantuan Iman.
"Tolonglah ..." pinta Melati.
"Hmmm?" Iman menggumam.
"Aku mohon kasih kesempatan satu kali lagi."
"Ya udah," sahut Iman. "Kita ketemu dulu aja. Nanti aku share loc di mana, ini nomor kamu?"
"Iya, ini nomor aku. Makasi banyak, ya, Mas Iman," ucap Melati.
"Nggak usah makasi dulu, belum tentu juga aku mau memberimu kesempatan lagi."
"A-apa?"
Klik. Iman memutuskan panggilan.
Melati melotot sambil menatap layar ponsel. Sialan! Sialan! Sialan! Iman memang lelaki sialan! Bisa-bisanya mematikan telepon begitu saja.
Tak lama, sebuah notifikasi pesan masuk pada ponsel Melati, dari Iman.
Mata Melati kembali melotot, kali ini lebih lebar. Iman - dia mengajak bertemu di hotel?!
***
Sementara itu, seorang lelaki melangkah lunglai menyusuri selasar. Tak terdengar apa pun kecuali derap kakinya sendiri. Ia termenung sambil menghela napas penjang, menyapu pandangan ke seluruh penjuru rumah.
Hunian bergaya Eropa dengan pilar-pilar penyangga tinggi menjulang. Bangunan megah menyerupai istana bangsawan yang membuat siapa saja terpesona. Namun, tidak dengan Bram. Ia justru seolah terpenjara. Netra Bram tertuju ke arah foto keluarga yang dipajang pada ruang tengah - potret keluarga harmonis - semua tersenyum bahagia dan semua tampak rupawan.
Palsu.
Semua yang terlihat di luar sangat kontras dengan realitas.
Kehidupan Bram yang sesungguhnya penuh kehampaan, kebebasannya dikebiri, dan dia kurang apreasi. Satu-satunya oase Bram adalah Jasmine, wanita muda penyemangat hari-hari kelabunya. Tetapi, hubungan mereka kini sudah berakhir dan Bram kembali terperosok dalam frustrasi.
"Pa, dari mana saja?"
Bram tersentak. Ia menoleh sambil memasang ukiran senyum di bibir. "Oh, hanya keluar untuk membeli camilan, Ma," sahutnya. Ia menunjukkan kantong plastik berisi martabak manis kepada Ayu, istrinya.
Ayu mendecih. "Kita masuk kepala lima, Pa. Kurangi makan makanan manis penuh kalori dan gula seperti martabak. Kamu mau perut kamu buncit? Sakit-sakitan seperti Mas Bimo, kakakku? Kita harus tetap bugar dan awet muda."
"Sesekali, 'kan tidak apa-apa." Bram menghampiri Ayu. Istrinya selalu kelihatan cantik meski berkeringat sehabis yoga, sport bra dan black legging membuat nafsu Bram mendadak timbul.
"Sesekali lalu berubah jadi kebiasaan. Jangan-jangan tanpa sepengetahuanku, kamu sering makan junk food sembunyi-sembunyi, ya?" selidik Ayu. Manik mata wanita itu menelisik wajah Bram dengan saksama. "Besok Minggu kita perawatan di klinik, ya, Pa. Mukamu sudah mulai kusam. Aku juga merasa perlu retouch benang di pipi."
"Kamu sudah cantik. Di usia segini, badan dan wajahmu masih seperti wanita tiga puluhan." Bram memeluk lekukan pinggang Ayu yang bak gitar Spanyol.
"Masa, sih?" Ayu tersungging. "Yah, tidak dapat kupungkiri, olahraga dan perawatan rutin membantuku mencapai semua ini."
Bram membisu. Ia mengecup pundak Ayu dengan mesra. Mungkin - bercinta dengan sang istri bisa mengobati patah hati akibat ditinggal si Jasmine.
Ayu menghindar. "Aku berkeringat. Mau mandi dulu," tolaknya risi.
"Ayolah," bujuk Bram. "Harusnya kamu tidak melenggang pergi begitu saja saat aku menyentuhmu. Kamu bisa membalas ciumanku, 'kan?"
"Kita sudah bukan ABG," bantah Ayu. "Sudah, aku mau mandi." Ia menjauh dari Bram.
Bram mendengkus. Ayu adalah istri yang kaku dan dingin. Mereka hanya tampak mesra saat berada di depan publik atau sorotan kamera. Padahal sesungguhnya kehangatan di antara keduanya sudah musnah tiada bersisa.
"Kita ke Korea saja, yuk," ajak Bram tiba-tiba.
Langkah Ayu terhenti. "Apa?" tolehnya.
"Kita liburan sekalian mengunjungi ibuku. Sudah lama aku tidak pulang ke kampung halaman," dalih Bram.
"Bagaimana dengan perusahaan?" tanya Ayu. "Kamu tidak bisa pergi begitu saja."
"Kenapa tidak bisa?" sergah Bram. "Ada Mas Bimo dan Iman. Tidak ada salahnya mengambil libur satu atau dua bulan." Bram mendekat dan meraih jemari Ayu. Ia memasang raut mengiba.
Sebenarnya - pergi ke Korea adalah bentuk pelarian Bram dari segala kenangan tentang sosok 'Jasmine'. Ia butuh jeda dari segala rutinitas.
"Kita memang sudah lama tidak liburan, sih ..." Ayu mulai melunak.
"Di sana kita juga bisa menemui Ariella. Ide yang bagus, bukan?" kata Bram memersuasi.
Ayu bergeming.
Ia berpikir sejenak dan menimbang-nimbang. Lalu, seutas senyum merekah pada bibir Ayu. "Baiklah," sahutnya. "Mau berangkat kapan? Minggu depan?"
"Untuk apa menunggu selama itu?" Bram sumringah. "Kita berangkat lusa. Bagaimana?"
"Kenapa sangat mendadak dan tanpa perencanaan, Pa?" Ayu melotot.
"Unplanned trips create the best memories," jawab Bram.
Hai Darls!
Suka Sugarbaby? Baca lebih cepat di KARYAKARSA, ya!
🖤🖤🖤 Cari Akun Ayana Ann atau SUGARBABY di sana 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top