5. The Offer
Sebenarnya, Iman begitu terpesona oleh sosok Melati di hadapannya.
Melati yang dulu ia ingat adalah murid SMP yang memiliki kecantikan polos dan naif. Sangat kontras dengan Melati dewasa yang ia temui sekarang.
Rambut light brown bergelombang sepinggang. Kemudian riasan lembut yang dipertegas pemulas bibir semerah darah. Cantiknya.
Satu hal paling menonjol adalah pemilihan pakaian yang Melati kenakan --- luar biasa menggoda. Gaun pendek nan ketat itu mempertontonkan bokong dan buah dada Melati yang montok. Entah sudah berapa kali Iman menelan saliva akan nafsu yang membuncah.
Sumpah - ia menginginkan Melati!
Mengempaskan tubuh wanita ini ke atas ranjang dan menggenjotnya hingga puas.
Namun, ada harga diri Iman yang terluka. Ia tidak akan menunjukkan ketertarikannya sampai Melati jera. Melati harus merasakan sakitnya penolakan. Melati harus tunduk di bawah kakinya.
"Tahulah. Kamu mau uang bukan?" Iman menyeringai.
Melati sekuat tenaga menahan amarah. Iman benar-benar sudah menganggapnya remeh.
Ya, memang Melati memuja uang. Tetapi dia belum sefrustrasi itu hingga tergiur oleh uang milik Iman. Melati masih punya harga diri!
Iman kembali melanjutkan, "Ayolah, Mel. Aku bisa kasih kamu melebihi yang Om-mu itu kasih. Kamu bisa beli tas branded, pakaian mahal, perhiasan. Kamu juga nggak perlu kerja jadi pacar sewaan lagi."
Melati mendengkus. "Aku tidak bisa kamu beli!" sentaknya. "Kamu kira uangmu bisa mengubah pandanganku terhadapmu? Kamu salah. Sejak dulu sampai sekarang -- aku masih melihatmu sama! Kamu dulu buruk rupa, dan sekarang hatimu yang busuk."
Iman mengepalkan tangan.
"Dasar, wanita sombong," maki Iman geram.
"Kalau kamu mengira semuanya adalah tentang uang, kamu salah. Aku mencintai pasanganku dan aku mencintai pekerjaanku. Meski, bagi sebagian orang aku dipandang sebelah mata -- aku tak peduli. Pekerjaan inilah yang menghidupiku, memberiku makan! Hingga aku tak perlu mengemis pada lelaki sepertimu!" ujar Melati.
"Kalau kamu sebegitu cintanya terhadap pekerjaanmu, mengapa memakai nama samaran segala? 'Jasmine', cih!" Iman mendecih. "Kamu takut, kan, kalau orang terdekatmu tahu kamu berprofesi sebagai pacar sewaan? Kamu sebenarnya malu kerja begini, tapi sok-sok'an angkuh di depanku! Wanita normal mana yang mau kerja sebagai pelipur lara laki-laki kesepian dan mengenaskan?"
Melati melengos meninggalkan Iman. Namun, dengan segera Iman mencegatnya.
"Jam kerjamu belum berakhir!" tahan Iman. "Kamu masih harus menemaniku."
Air mata Melati mengurai deras membasahi pipi. Ia tak sanggup berlama-lama bersama Iman. Ia tak lagi sanggup melawan segala hinaan lelaki congkak ini.
Iman tergugu. "Ka-kamu menangis?" Tak sangka Melati berderai air mata oleh ulahnya.
Tetapi - bukankah ini yang Iman mau? Membuat Melati jera.
"Aku juga punya perasaan!" Melati memandang Iman nanar. "Aku tak tahu apa masalahmu yang sebenarnya padaku. Jika ini soal masa sekolah kita, aku minta maaf! Dan jika ini mengenai penolakanku memberikan nomor teleponku, aku juga minta maaf! Tetapi -" isaknya pecah. "Kamu tak berhak menghinaku habis-habisan seperti ini. Tanpa kamu beberkan pun, aku sudah sangat tersiksa oleh kehidupanku! Paham, kamu?!"
"Mel?" Rasa bersalah memenuhi relung Iman. Ia tiba-tiba kehilangan kata. Ia berhasil membalas Melati, tetapi, Iman justru menyesal.
"Lepas!" Melati menepis tangan Iman.
"Maafin aku, Mel."
Melati melotot. "Huh? Apa? Kamu bilang apa?"
"Aku minta maaf soalnya ucapanku kasar," ucap Iman.
"Setelah kamu hina aku, kamu minta maaf?" bentak Melati. "Asal kamu tahu, ya, sakit hati dibalas maaf itu curang!"
"Ya, aku tahu." Iman kembali menahan Melati pergi.
"Kamu anggap aku ini mainan?"
"Bukan begitu, aku cuma mau kamu berpikir jernih. Kalau kamu memang butuh uang, aku bisa memberikannya buatmu."
"Maksud kamu apa, sih? Aku nggak butuh amalmu!" tolak Melati.
"Mel, gini, aku bukan mau beramal. Melainkan menawarkan kesepakatan bisnis untukmu," kilah Iman.
"Penawaran bisnis?"
"Semacam simbiosis mutualisme, Mel," terang Iman. "Kamu dan aku sama-sama untung."
"Aku nggak ngerti kamu ngomong apa." Melati menarik tangannya, tetapi Iman menggenggamnya kuat. "Lepasin!"
Iman menggeleng. "Tidak sampai kamu mendengarkanku hingga selesai," tegasnya. "Aku butuh istri, Mel. Sementara kamu butuh uang. Bagaimana kalau kita bekerja sama demi memenuhi keinginan kita masing-masing."
"Istri?" Melati meronta. "Gila kamu, ya!"
"Aku nggak gila dan aku serius. Aku membutuhkan seorang istri dalam sandiwara rancanganku. Kurasa kamu merupakan kandidat tepat untuk peran itu. Anggap saja --- ini sebuah tawaran perkawinan kontrak antaraku dan kamu."
"Kawin kontrak?!" Melati mendelik.
Iman mengangguk.
"Kita duduk lagi, yuk, Mel," bujuk Iman.
Melati ragu-ragu.
Iman lantas tersenyum seraya menuntun Melati. "Aku janji nggak akan melontarkan kata-kata yang menyakiti hati kamu."
"Aku tidak ada niatan meneruskan pembicaraan kita," elak Melati.
"Jangan bohong, Mel. Waktu aku sebut soal 'kawin kontrak', aku yakin jauh di lubuk hatimu kamu sebenarnya tertarik."
"Sok tahu," decih Melati.
"Ayolah, Mel. Duduk sebentar." Iman memersuasi. "Lihat, makanan kita sudah datang."
Melati menelan ludah, tak dapat dipungkiri, ia lapar sekali.
"Dengarkan rincian dariku dulu sambil makan," ajak Iman.
Melati akhirnya luluh. Ia kembali ke meja makan dan bergegas menyantap cream soup yang ada di hadapannya.
"Aku baru saja bercerai dari istriku," kisah Iman tanpa ditanya.
"Bercerai? Jadi, kamu duda?"
Iman mengangguk. "Pernikahan kami merupakan pernikahan bisnis alias perjodohan dari orang tua kedua belah pihak, bukan atas dasar cinta. Kemudian, kejadian tragis terjadi menimpa mertuaku. Mereka berdua tewas dalam kecelakaan pesawat yang terjadi luar negeri."
"Astaga ..." Melati bersimpati.
"Bukannya larut dalam duka, istriku - oh, maksudku - mantan istriku, justru menggugatku bercerai. Kurasa, dia akhirnya merasa terbebas dari jerat orang tuanya. Dia tak takut apa pun karena tidak akan ada lagi yang mengatur hidupnya."
Melati mendengarkan saksama.
Iman kembali melanjutkan, "Masalah muncul ketika mantan istriku memutuskan menikah dengan pacarnya. Dia membagikan undangan pada keluargaku, dan perbuatannya mengakibatkan orang tuaku murka. Baik papi mau pun mamiku merasa tercoreng egonya. Mereka mendesakku segera menemukan calon istri demi membalap mantan istriku."
"Apa?" Melati terperangah. "Hanya karena hal sepele, mereka memintamu menikah? Cuma demi gengsi?"
"Ya," jawab Iman. "Posisiku di perusahaan dipertaruhkan bila membangkang. Jujur saja, aku masih ingin bersenang-senang dengan banyak wanita selepas bercerai. Makanya, ketika melihatmu, aku seolah menemukan jawaban atas segala masalahku. Kamulah wanita yang cocok untuk kuajak kerja sama, Mel."
"Kenapa mesti aku?" sanggah Melati. "Kamu anak orang kaya -- orang kaya mana mau anaknya berjodoh sama orang miskin seperti aku. Carilah artis atau wanita lain yang sederajat sama kamu."
Iman tersenyum. "Status keluargamu tak penting. Kali ini kedua orang tuaku membebaskanku untuk memilih istriku sendiri," ujarnya. "Kamu suruh aku cari artis? Ogah! Aku benci sorotan media, itu akan sangat merepotkan dan menambah drama. Sementara, wanita dari kalangan atas sepertiku pasti punya banyak persyaratan. Aku tak mau repot."
Melati mendengkus.
"Lantas, kamu kira 'wanita sepertiku' mudah saja menerima maumu, apa?!" sungut Melati.
Iman terkekeh. "Ya, bukan bermaksud merendahkan kamu, Mel. Cuman, kamu memang hanya butuh uang, bukan? Jujur saja deh. Aku serius soal penawaranku, dan aku bisa membayar berapa pun yang kamu minta."
"Cukup!" Melati bangkit dari duduk. "Kamu bilang kamu akan berhenti merendahkanku, kamu bohong! Semua yang kamu katakan tidak lebih dari hinaan!" Ia melenggang meninggalkan Iman dengan penuh amarah. "Jangan pernah ganggu aku lagi, Bajingan!"
***
Melati Puspa Badriya -- semula merupakan mahasiswi Fakultas Hukum normal pada umumnya. Tiada disangka-sangka, masa muda Melati jungkir balik setelah serangkaian teror dari debt collector mengusik keluarganya.
Secara rahasia, bapak Melati menggunakan uang tabungannya demi mengikuti bisnis trading forex. Pada awal investasi, bapaknya memang mendapatkan profit yang lumayan banyak. Dan keuntungan bertubi-tubi membuatnya tamak. Ia mulai berutang sana-sini demi terobsesi kaya instan. Bapak Melati tergiur hingga tak sadar terjerumus makin dalam. Hingga akhirnya, semua uang investasinya hilang karena ditipu.
Pinjam dari rentenir, belum lagi utang di kantor dan bank, bapak Melati mulai kelabakan.
Ia berulang kali mangkir dari tengat waktu cicilan yang disepakati. Utang bapak Melati menumpuk dan terus berbunga semakin besar. Ia bahkan nekat mencuri inventaris kantor demi mengangsur agunan. Gara-gara tindakan kriminalnya itu, ia pun dipecat secara tak hormat.
"Mbak ..."
"Mbak Melati ...?"
Melati terhenyak.
Panggilan dari Wisnu, adiknya, membuyarkan lamunan. "Iya, Nu, ada apa?" sahutnya.
"Mulai besok aku enggan ke sekolah lagi," ujar Wisnu.
"Apa kamu bilang?!" Melati melotot. "Mau nggak sekolah, kenapa?!"
Wisnu tertunduk. Ia berulang kali menyugar rambutnya yang berombak. Raut Wisnu getir hingga tak berani menatap Melati. "Para debt collector menelepon pihak sekolah tiap hari, Mbak. Mereka meneror dan mengancam siapa pun yang mengangkat telepon. Aku berkali-kali dipanggil ke ruang guru. Jujur saja, aku sangat malu."
"Demi, Tuhan ..." geram Melati. "Tega sekali mereka menghubungi pihak sekolah."
"Mbak, sebaiknya aku ikut kerja agar uang kita lekas terkumpul. Kemarin, aku dapat tawaran kerja jadi waitress di kafe ujung jalan. Kurasa - ada baiknya kuterima."
"Wisnu!" sentak Melati. "Apa pun yang terjadi, kamu tidak boleh sampai putus sekolah. Kamu ini sudah kelas tiga, selangkah lagi lulus! Mbak akan mencari cara agar utang Bapak segera lunas. Jangan pernah terbersit mau kerja segala! Tugasmu sebagai pelajar, ya, belajar. Paham?"
"Mbak ngerti, nggak, sih, aku itu malu! Aku nggak punya muka jika dipanggil lagi ke ruang guru gara-gara teror mereka!" bantah Wisnu.
"Bersabarlah, Nu. Mbak, kan, sudah bilang, Mbak akan cari cara!"
"Mbak selalu bilang begitu - tetapi tidak ada yang berubah," sergah Wisnu. "Bukankah lebih baik kalau aku kerja juga bantu Mbak?"
Melati menggeleng. "Tidak. Mbak tidak izinkan kamu," tolaknya. "Kali ini Mbak serius, Mbak sungguh-sungguh akan cari cara!"
Wisnu menyorot Melati lamat-lamat.
"Mbak janji?" tanya Wisnu penuh harap.
"Iya," jawab Melati mantap.
Janji tinggallah janji.
Jika Melati pikir lagi, ia pun bingung harus cari uang ke mana.
Sepadat apa pun jadwal Melati sebagai pacar sewaan, belum sanggup melunasi utang 800 juta bapaknya. Sementara, meminta pada Bram bukan option yang bisa Melati pilih. Keuangan lelaki itu dikuasai oleh istrinya.
Melati melangkah keluar dari pekarangan rumah.
Bagi Melati, ketimbang disebut 'rumah', kediamannya sekarang lebih pantas disebut kandang ayam. Bangunan sederhana berukuran 3 x 7 meter alias tipe 21. Dinding luar sudah retak-retak, sedangkan pintu masuknya penuh tambalan selotip bekas lubang gigitan tikus.
Rumah ini merupakan rumah yang mampu keluarga Melati beli setelah menjual semua harta beserta tempat tinggalnya yang dulu.
Melati menghentikan jalan.
"Melati, kamu mau ke mana malam-malam begini?" Seorang wanita paruh baya menghampiri Melati sambil mendorong kursi roda yang diduduki oleh suaminya. Dia adalah Lastri, ibu Melati.
"Kerja." Melati berpaling.
"Semalam ini?" tanya Lastri.
"Aku SPG, Bu. Jam kerja tak tentu," sahut Melati. "Ibu sendiri habis dari mana?"
"Ibu tadi ajak Bapak makan bubur ayam di depan. Kasihan Bapak tidak pernah makan enak," terang Lastri.
Melati melotot. "Bu, Wisnu di rumah seharian belum makan, lho. Ibu malah menomor-satukan Bapak terus! Ibu lupa, Bapaklah biang kerok yang menyebabkan hidup kita berubah melarat begini!"
"Sssh!" Lastri menyeret Melati menjauh dari Yanuar, suaminya. "Jaga bicaramu. Begitu-gitu dia tetap bapakmu. Yang merawat dan membiayai hidupmu sampai besar begini."
"Dan yang memaksaku kerja banting tulang begini!" sahut Melati dongkol. "Sementara, Bapak lepas tanggung jawab dan enak-enakan di rumah."
"Enak-enakan kamu bilang? Bapakmu itu sakit stroke! Karena stres memikirkan beban hidup, bukan enak-enakan!"
"Ibu kenapa, sih, selalu bela Bapak melulu? Aku dan Wisnu selalu jadi nomor kesekian bagi Ibu! Apa Ibu tidak kasihan sama Wisnu? Tiap hari dia diteror debt collector di sekolah. Ulah siapa kalau bukan Bapak?"
"Ini namanya musibah, kamu yang sabar jadi anak," dengkus Lastri. "Lagi pula - Ibu sudah bilang sama Wisnu, kalau dia sebaiknya berhenti sekolah dan cari kerjaan buat bantu-bantu."
Amarah Melati meletup.
"I-Ibu suruh Wisnu berhenti sekolah?" cecarnya. "Tega sekali Ibu mengorbankan masa depan Wisnu demi menanggung masalah yang bukan perbuatannya!"
Melati lantas melengos dan melangkah cepat meninggalkan Lastri dan Yanuar. Hatinya teramat sakit karena keegoisan Lastri. Melati sudah muak! Cukup sampai di sini penderitaan yang terpaksa ia dan adiknya harus alami.
Malam ini ia harus mengambil keputusan.
***
"Oh, Jasmine ..." Bram mendesis. Kepalanya menengadah ke atas dengan napas memburu.
Melati berjongkok sembari mengulum batang Bram yang sudah mengacung. Ia membenamkan milik Bram ke dalam mulutnya. Kemudian menjilati tiap inci batang berurat itu menggunakan lidah.
"Kamu memanggilku selarut ini demi bercinta, huh?" tanya Bram parau. "Gadis nakal."
Melati mengisap batang Bram kuat. Ulahnya semakin membuat Bram kepayahan.
"Tidak hanya bercinta," kata Melati. "Aku juga ingin meminta sesuatu." Ia kembali mengulum kelelakian Bram.
"Apa, Sayang?" Bram merem-melek keenakan akibat dimanjakan di bawah sana.
"Bukankah, Om punya jabatan penting di perusahaan? Masa', sekedar delapan ratus juta saja tidak ada?" Melati mengocok batang Bram menggunakan jemarinya yang lentik.
"Ja-Jasmine?" Bram menunduk untuk memandang Melati lekat.
"Aku sudah terdesak, Om. Aku butuh uang."
"Kamu, kan, tahu, aku tak bisa bebas mengakses uang sebanyak itu!" dalih Bram. "Istriku akan curiga jika aku mengambil delapan ratus juta dalam satu waktu. Ia akan menyelidiki ke mana dana itu pergi. Dan, kita akan ketahuan. Rencanaku bisa gagal total kalau istriku sampai tahu hubungan kita."
Melati menghentikan permainan.
Bram terkesiap karena kenikmatan yang ia rasakan mendadak dicabut.
"Jasmine?" tatap Bram bingung.
Melati berdiri.
Ia memandang Bram melalui sorot nanar. "Aku tidak lagi bisa bertahan, Om."
"Maksudmu?"
"Utang bapak, merahasiakan hubungan kita, dan bekerja sebagai pacar sewaan - aku sudah tidak tahan," isak Melati.
"Sudah kubilang, bukan, sabarlah sebentar! Aku akan mendirikan bisnisku sendiri, dan semuanya tinggal di depan mata-"
"Om," sela Melati. "Sudah cukup. Mari kita akhiri saja."
"Maksud kamu apa, Jasmine?!" Bram membeliak.
"Kita akhiri hubungan ini. Kita putus, jangan bertemu lagi." Melati menyeka air mata dan bersiap pergi meninggalkan Bram.
"Kamu sudah menemukan lelaki lain, huh?!" Bram membetulkan celana. Ia menahan Melati agar tak berpaling darinya.
Melati mengangguk.
"Ya, kurasa, aku memang menemukan lelaki lain yang bisa membantuku keluar dari masalah."
Darls! Baca SUGARBABY jalur cepat di Karyakarsa, yuk.
Sugarbaby, Kinky, Forbidden Desire, Poly, adalah satu universe, ya, Darls. Mereka saling terhubung satu sama lain dan di beberapa bab, aku suka mempertemukan masing-masing karakternya.
Jangan lupa vote + komen.
Jangan lupa juga follow sosmed Ayana. Salam Chayank 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top