24. Tuan & Nyonya Rumah

Pesawat yang melandas di bandara Juanda mempertegas Melati bahwa bulan madu kilatnya bersama Iman telah berakhir. Kenyataan bahwa statusnya telah berubah menjadi seorang istri membuat perasaan Melati berkecamuk. Tidak hanya membohongi keluarga Iman serta keluarganya, Melati juga telah bermain-main terhadap sumpahnya di hadapan Tuhan.

"Mel," tegur Iman.

Langkah Melati pun melambat. Ia dan Iman berjalan bersama menuju pintu keluar terminal kedatangan. "Kenapa?" tanyanya.

"Aku akan cari waktu untuk kembali mengajakmu ke Bali," ujar Iman.

Melati terkesiap. "Maksudnya?"

"Liburan kita memang terlalu singkat. Selain itu, aku kurang memberikan kesan yang baik untukmu. Aku ingin menebusnya."

Sudut bibir Melati menggaris lengkung. "Beneran?" Ia memastikan.

"Seharusnya aku mengajakmu berkeliling. Pergi ke tempat-tempat indah yang ada di Bali. Maafkan aku, ya?" Iman mengiba.

Jantung Melati berdebar hebat ketika matanya dan Iman bertumbukan. Sejenak, Melati terlena akan segala ucapan yang Iman lontarkan. Iman berjanji akan membawanya ke Bali lagi, kali ini lebih lama. Melati seketika merona.

Namun, senyum yang semula mengukir, mendadak lenyap begitu saja. Melati ingat, Iman memang tipikal lelaki yang gemar berkata-kata manis pada setiap wanita. Obrolan Iman kala menelepon Sara membekas jelas di benak Melati. Belum lagi kemesraan keduanya ketika Sara memutuskan kembali untuk membawakan kunci handcuff yang sengaja ia sembunyikan.

"Nggak usah," sahut Melati. "Kamu nggak perlu ngajakin aku ke Bali segala."

"Lho, kok gitu, Mel?" Iman mengernyit.

"Mending kamu buruan cari wanita yang bisa memuaskanmu, sementara, biarkan aku jalan-jalan sendiri ke mana pun yang aku mau. Begitu, kan, lebih enak," ujar Melati.

"Ca-cari wanita yang bisa memuaskanku?" Iman makin bingung. "Bukannya kita, maksudku ... kamu?"

"Apa?" Melati melirik Iman dengan wajah nyaris tanpa ekspresi.

Iman berdeham. "Waktu di Bali — bukankah, kita hendak melakukannya? Maksudku, bercinta. Kupikir kita ..."

"Kayaknya aku terbawa suasana," kekeh Melati. "Beruntung kita nggak sempat melakukannya! Kalau tidak, pasti aku bakalan menyesal seumur hidup."

Menyesal seumur hidup? Iman menyorot Melati sendu. Itukah yang Melati pikirkan tentang dirinya?

"Ha ha," tawa Iman getir. "Jadi gitu? Ya iya juga, sih. Hubungan kita ini memang masih lama. Sebisa mungkin harus profesional."

"Iya." Melati melengos.

Iman dan Melati tak lagi bicara satu patah kata pun. Keduanya membisu dan tenggelam dalam konsepsi masing-masing.

Berkecamuk.

***

Melati mengamati hunian bergaya modern yang ia akan tempati selama satu tahun ke depan. Aksen hitam dan abu-abu memberikan kesan maskulin dan kuat. Seakan-akan sebuah penanda bahwa pemilik rumah ini merupakan lelaki berkepribadian tangguh.

Tak ada satu pun asisten rumah tangga yang menyambut mereka. Kosong bak kuburan.

"Yuk, masuk." Iman melenggang bebas.

Melati mengekori gamang.

Mereka tiba di dalam ruangan luas berjendela lebar; mengizinkan sinar matahari menyeruak menerangi tiap sudut, mengisi celah-celah tersempit sekali pun. Cat dinding didominasi oleh warna putih serta hitam. Sedangkan furniture rata-rata bermaterial besi dan kaca.

"Masih bau cat?" celetuk Melati berkeliling.

Iman tersenyum simpul. "Ini rumah baru. Terhitung baru beberapa bulan saja aku pimdah ke mari. Semula, aku menyiapkan rumah ini sebagai istana lajangku. Mana sangka kalau mami dan papi malah mendesakku segera menikah lagi," terangnya.

"Oh, begitu?" gumam Melati. "Lalu, sebelumnya kamu tinggal di mana? Bersama om dan tante Farah?"

Iman terkikik. "Nggak, dong. Bisa gila aku kalau tinggal sama mereka."

Melati diam-diam mengernyih. Padahal, rumah mertuanya sangat luas. Meski pun Iman tinggal bersama orang tuanya, ada kemungkinan mereka tak akan saling berpapasan satu sama lain. Konglomerat memang beda.

Iman kembali melanjutkan, "Aku punya rumah di daerah Surabaya Barat. Tempat tinggalku bersama Nadia dulu."

"Ehmm ..." Melati mengangguk.

"Aku sudah suruh orang membersihkan kamar tamu. Kamu bisa menempatinya, Mel."

"Makasi." Melati kembali mengangguk. "Kamu cuma sendirian di sini? Tidak ada pembantu?" tanyanya.

Iman menggeleng. "Tukang bersih-bersih rutin datang ke mari. Tapi, hanya beberapa jam saja. Aku mau privasi-ku tetap terjaga. Kadang kala, mereka bermulut ember dan sering mengadukan kelakuanku pada papi atau mami."

"Benar juga." Melati tersungging.

"Apa lagi sekarang —" Iman melirik Melati. "Kita suami-istri tapi tidak sekamar. Kalau ada pembantu, mereka pasti bingung dan buru-buru menyampaikan rahasia kita ke orangtuaku."

"Iya," sahut Melati irit kata.

Iman lantas menengok Richard Mille pada pergelangan kirinya. "By the way, aku harus pergi sebentar."

"Mau ke mana?" selidik Melati.

Iman menyeringai. "Kok kepo, sih?"

"Aku harus tahu jadwalmu jaga-jaga kalau orang tuamu inspeksi mendadak!" sungut Melati.

"Kirain kangen," kelakar Iman. "Aku mau ke rumah lamaku yang kuceritakan tadi. Ada beberapa barang penting yang mau kuambil."

"Ya sudah," kata Melati. "Kalau begitu aku akan istirahat selama kamu pergi."

Iman melempar senyum tipis. Ia meraih kunci mobil dan bergegas pergi menuju pintu keluar.

"Kalau lapar, ada banyak makanan di kulkas, tinggal panaskan di microwave," seru Iman sebelum menutup pintu.

Melati memilih tak menjawab.

Ia tertunduk seraya memandangi cincin bermata berlian yang melingkari jari manisnya. Baik otak mau pun hati Melati masih tak ikhlas berstatus sebagai seorang istri.

Atmosfer sunyi semakin menyiksa relung Melati. Ia seperti terkurung dalam sangkar emas yang dibangun oleh Iman. Parahnya, perasaan Melati kini bercabang-cabang. Ia mulai menyukai lelaki itu — suami palsunya. Ah, sialan.

"Man?" Melati buru-buru menyusul Iman. Ia enggan kesepian sendiri. Mungkin, sebaiknya ia ikut bersama Iman pergi. "Iman ..." Melati membuka pintu. Ia bernapas lega karena Iman belum pergi. Lelaki itu berdiri di sekitar carport.

"Iya." Iman berbicara pada ponselnya. "Abis ini kita ketemu, ya. Bisa, kan? Mainlah ... seperti biasa ..."

Mata Melati memburam.

Pelan-pelan ia memundurkan langkah dan kembali masuk ke dalam. Menutup pintu rapat-rapat serta menguncinya. Sama seperti yang ia lakukan pada hatinya.

Iman sialan. Dia memang bajingan.

***

Bibir Iman meringis lebar.

"Satu jam lagi aku sampai di rumah lamaku, kita langsung ketemuan di sana."

"Aku udah di jalan, Bro. Lebih dekat kalau ke rumah barumu."

Iman mendecih. "Ada istriku di sini, lagian game virtual reality-ku masih di rumah lama. Ajak yang lain juga, si Bisma. Ke mana monyet satu itu? Kenapa nggak bisa kuhubungi?"

"Bisma lagi di Bandung, lagi ada urusan pekerjaan."

"Pantas teleponku tak diangkat," sahut Iman. "Ya sudah, Ray. Aku on the way."

"Okay." Ray bersiap mengakhiri pembicaraan. "Sungguh aneh karena kamu justru memanfaatkan sisa cutimu untuk mengajakku main game. Bagaimana bulan madumu, Bro?"

"Ah, sudahlah." Iman tertawa palsu. "Istriku kehilangan tenaga karena permainan liar kami selama di Bali. Aku sengaja memberikannya waktu untuk beristirahat."

"Dasar, pengantin baru!" ledek Ray.

"Baiklah. See you." Iman pun mematikan sambungan teleponnya.

***

Iman memarkir Rubicon-nya secara sempurna. Sebenarnya ia malas menginjakkan kakinya lagi di rumah yang berisi kenangan akan Nadia. Tapi, ia juga gundah harus tertahan berdua bersama Melati. Iman takut mempermalukan diri sendiri; memohon atau menyembah wanita itu agar mau bersamanya, atau bahkan menggunakan cara paksa hanya demi merasakan kembali lembutnya rasa dari bibir Melati.

Baik Nadia mau pun Melati menolaknya mentah-mentah.

Kasihan — lelaki kaya raya nan malang karena tidak pernah beruntung dalam percintaan. Bangsat memang. Iman punya semuanya, kecuali wanita yang ia cintai. Tiap kali jatuh cinta, Iman selalu saja sial atau bertepuk sebelah tangan. Banyak wanita yang memujanya, hanya saja, Iman mati rasa pada mereka semua. Wanita-wanita itu cuma pelampiasan sementara akan kekosongan yang menganga. Entah, kutukan macam apa yang membayangi Iman. Ia sendiri tak paham.

Iman menutup pintu mobil lalu menguncinya. Belum tiga langkah kakinya berjalan, terdengar suara lembut menyerukan namanya.

"M-Mas, Mas Iman?"

Iman menengok. Mematung cukup lama karena otaknya bekerja keras mengingat-ingat. Wanita cantik berdiri di hadapannya — mengenakan pakaian lari yang membingkai tubuh seindah boneka barbie.

"Masih ingat aku?" tanya wanita itu lagi.

Iman membeliak . Ya, dia ingat. Jantung Iman bertabuh hampir meledak. Dia, wanita itu, masih sama cantiknya seperti dulu. Bahkan kini lebih rupawan dengan warna rambut selegam malam.

"Angel?" Lutut Iman sontak gemetar tak karuan.

***

[ Kisah Iman dan Angel bisa kalian temukan di EXTRAPART KINKY. Bagi kalian yang belum baca KINKY, silakan merapat ke sana untuk kenalan sama Mbak Angel yang cantik. Salam sayang! ]

***

Melati fokus membaca surel pada layar laptopnya. Sebuah pesan dari sang Dosen Pembimbing bahwa ia harus kembali merevisi tesisnya.

"Ah, sial!" gerutu Melati.

Menjelang sidang, kepala Melati serasa mau pecah. Ia terlalu sibuk mengurus pernikahan sehingga menomor duakan skripsi. Ia mana mau mengulang satu semester lagi. Melati ingin segera melanjutkan pendidikan pengacara.

"Mel." Iman mengintip dari balik pintu.

Melati melirik sepintas. Sudah pulang rupanya si berengsek ini. "Eh, Man? Udah balik?" sahutnya cuek.

"Boleh aku masuk?"

"Masuk saja," kata Melati mempersilakan.

Iman pun berjalan menghampiri dan duduk pada tepian ranjang. Rautnya kusut, sendu, dan serba salah. "Lagi apa?" selidiknya.

"Ehm, revisi skripsi," jawab Melati acuh tak acuh.

"Oh ..." deham Iman.

Melati mengalihkan atensi pada laptop, meski perhatiannya terpusat penuh pada kehadiran Iman. Entah apa tujuannya menemui Melati. Dia cuma tertunduk lesu tanpa bicara apa pun.

Melati berdeham.

"Kenapa?" periksa Melati.

"Anu ..." Iman terkesiap. "Aku, tadi, waktu—"

"Ya?"

"Setibanya di rumah lamaku bersama Nadia, aku ..."

Melati bergegas menyela, "Kalau ini tentang pengalaman seksualmu dengan wanita lain, kurasa kamu tak perlu menceritakannya padaku. Bukan urusanku."

"Pe-pengalaman seksual, maksudnya?" Iman mengernyit.

"Kamu ke sana soalnya janjian sama salah satu cewekmu, kan?" sergah Melati ketus.

"Nggak tuh," bantah Iman. "Kok kamu bisa mikir gitu?"

Melati mendecak. "Nggak perlu menutupinya dariku. Toh, aku ini hanya istri kontrakmu. Tujuan kita menikah demi melanjutkan kebebasanmu, bukan? Jadi, nggak masalah kamu mau sama siapa di luar sana."

"Mel, aku—"

"SPADA!" Sebuah seruan terdengar dari luar kamar. Suara yang familiar bagi Iman dan Melati. "Iman? Mel? Kalian di mana?"

Iman dan Melati saling pandang.

"Mami?!" Iman berjingkat terkejut.

"Iya, itu mami!" Melati tak kalah tergopoh-gopoh. Ia menutup laptop dan bangkit dari ranjang.

Seperti cacing kepanasan, mereka terbirit-birit keluar untuk menyambut Farah yang sudah menerobos ke dalam.

"Mami," sapa Iman. Ia merangkul Melati seraya menampilkan senyuman keterpaksaan. "Kok ke sini nggak bilang-bilang?"

Farah mendekat dan menuntun Melati agar memeluknya. "Halo, mantu kesayanganku. Apa kabar?" Ia mengabaikan pertanyaan Iman.

"Baik, Mi." Melati mengecup pipi kiri-kanan Farah. "Mami gimana? Sehat?"

"Sehat, Sayang," sahut Farah sumringah. "Bagaimana bulan madunya? Pasti tidak kerasa karena cuman sebentar, ya? Kasihan sekali, Mantuku."

"Nggak, kok, Mi. Bulan madunya justru sangat menyenangkan," kilah Melati. "Kata Mas Iman, perjalanan itu hadiah dari Mami, ya? Thank you, lo, Mi."

Farah mengibaskan tangan. "Ah, nggak seberapa," sergahnya. "Nanti kalau om-nya Iman sudah balik dari Korea, kalian berliburlah lagi. Yang jauh sekalian, Barcelona, Paris, atau New Zealand."

"I-iya, Mi," ringis Melati.

Iman kembali mengulang pertanyaan. "Mami ke sini kok nggak bilang-bilang dulu?"

"Kenapa memang?" dengkus Farah. "Mami memang tidak berencana ke mari, hanya saja tiba-tiba kepikiran Melati yang pasti lelah kalau mengurus apa-apa sendirian."

"Nggak kok, Mi—"

Belum selesai ucapan Melati, seorang wanita berpakaian rapi masuk ke dalam sambil menenteng dua tas besar di tangan.

"Nah, ini dia," seru Farah antusias. "Ini Bi Yayuk. Pengurus rumah tangga yang Mami sediakan khusus buat bantu-bantu kalian di sini."

"Malam, Pak, Bu," sapa Yayuk sopan.

Iman melotot. "Mi, aku, kan, sudah ada staf yang datang untuk bersih-bersih tiap dua hari sekali. Kenapa Mami repot-repot segala?" berangnya.

"Dua hari sekali katamu?" lirik Farah sinis. "Mami tidak ingin menantu Mami repot mengurus rumah setiap hari. Mami tahu kalau Melati lagi sibuk mengurus skripsi, kalau ada yang bantu di sini, beban dia jadi lebih ringan. Ya, 'kan, Mel?"

Melati mengangguk ragu. "Ma-makasi, Mi. Tapi, aku terbiasa melakukan apa pun sendiri, kok."

"Hush!" desis Farah. "Jangan menolak kebaikan Mami. Pokoknya Mami tidak mau kamu kelelahan atau terlalu sibuk hingga mengabaikan Iman." Ia menoleh pada Iman sambil tersungging. "Mami tahu betul karakternya, dia suka ngambek kalau kurang perhatian."

Iman mendengkus.

"Dengan bantuan Bi Yayuk, waktu bermesraan kalian tak akan terusik oleh tumpukan piring kotor atau kerjaan beres-beres lainnya," lanjut Farah.

Iman dan Melati saling pandang. Mereka seakan-akan sedang bertelepati satu sama lain. Keberadaan Yayuk berpotensi mengacaukan segalanya.

"Bi, kamu kerja yang benar di sini, ya!" titah Farah pada Yayuk.

"Nggeh, Nya," jawab Yayuk.

***

Melati dan Farah duduk bersama di pekarangan belakang sambil menikmati secangkir teh kamomil buatan Yayuk. Jemari Farah yang lentik sesekali mengusap punggung tangan Melati penuh kasih sayang. Garis senyum terukir pada bibir berpemulas merah bata wanita ningrat itu.

"Mel, apa Iman memperlakukanmu dengan baik?"

"Sangat baik, Mi," jawab Melati tertunduk.

"Syukurlah," gumam Farah.

"Bisnis kue Mami bagaimana?" tanya Melati mengalihkan topik.

Farah tertawa kecil. Sorot matanya berubah berbinar-binar. "Gara-gara kamu, Mami jadi punya kesibukan baru yang menyenangkan," ujarnya. "Mami menawarkan cake buatan Mami ke teman-teman arisan dan ibu-ibu sesama pengurus yayasan. Mana Mami sangka kalau mereka menyambutnya antusias."

"Awalan yang sangat bagus, Mi. Terlebih cake buatan Mami memang enak banget," timpal Melati.

"Ah." Farah menepuk pelan paha Melati. "Palingan mereka order karena sungkan saja sama Mami."

"Ya, nggak apa-apa, to, Mi," hibur Melati. "Mulanya mungkin sebatas kesopanan semata pada Mami. Tapi, setelah mereka tahu rasanya, aku yakin mereka semua bakalan order lagi."

"Masa, sih, Mel?"

"Mi," kata Melati. "Namanya juga baru mulai jualan, yang beli pasti circle terdekat dulu. Lama-lama pasti meluas dari mulut ke mulut. Percaya, deh, sama aku."

Farah tersungging. "Begitu, ya, Sayang?"

Melati mengangguk membenarkan. "Saranku, Mami bisa minta testimoni dari mereka. Entah berbentuk video singkat atau kata-kata ulasan tentang cake bikinan Mami. Nanti bisa kita pergunakan sebagai materi promosi di media sosial. Besok, Melati akan ke rumah untuk membantu Mami membuat konten promosi."

"Kamu tidak repot?" selidik Farah.

"Nggaklah, Mi." Melati menatap Farah teduh.

Farah lantas merangkul Melati dengan hangat. "Terima kasih, ya, Mel, karena begitu perhatian terhadap Mami. Mami senang sekali kamulah yang menjadi istri Iman."

"Iya, Mi." Hati Melati seketika bergetar. "Aku pun senang punya mertua sebaik Mami."

Pada drama-drama televisi — ibu mertua konglomerat dicitrakan sebagai pihak antagonis. Memandang remeh menantu yang tak sekasta dengannya, berlaku jahat dan semena-mena, serta egois tak mau kalah. Namun, tidak dengan Farah.

Melalui Farah, Melati bisa merasakan kehangatan seorang ibu yang tak ia dapatkan dari Lastri.

Farah memandang Melati sebagai seorang individu yang utuh. Bukan sebagai mesin pencetak uang. Berbicara dengan Farah terasa menyenangkan dan damai. Di mata Farah, Melati teramat penting. Melati merasa dihargai dan dianggap.

Sebulir kegetiran lalu timbul pada batin Melati. Entah bagaimana nantinya jika perjanjian kontrak bersama Iman berakhir masanya.

Melati tidak akan bisa ... merasakan cinta kasih dari Farah lagi; selamanya.

***

Melati membolak-balikkan tubuh berulang kali.

Jari-jarinya tak berhenti menggaruk-garuk kulitnya yang teramat gatal. Melati sedang gelisah; kedatangan Farah membuatnya galau oleh sesal, belum lagi kehadiran Yayuk, juga beban skripsi yang harus ia selesaikan. Kepala Melati seakan hampir meledak.

Saat Melati di tengah bimbang, Iman mendadak menerobos ke dalam kamar.

"Mau apa?" pelotot Melati.

Iman mendengkus. "Mau apa, mau apa," ulangnya. "Tidurlah."

"Ya, tidur di kamar kamu, dong," usir Melati.

Iman cuek merebahkan badan ke samping Melati. "Lupa kalau ada Bi Yayuk? Kamu mau dia melapor pada mami soal kita yang pisah ranjang?"

"Terus sampai kapan kita sekamar seperti ini?" decih Melati frustrasi.

"Ya, sampai Bi Yayuk musnah dari muka bumi," sahut Iman.

"Dih!" Melati membeliak. "Omonganmu serem banget!"

Iman meringis. "Mau gimana lagi? Cuman itu satu-satunya cara. Kita lenyapnya Bi Yayuk."

"Iman!" pelotot Melati.

Melihat Melati cemberut, Iman justri tertawa. Ia suka raut marah Melati — entah kenapa tampak lebih cantik.

"Kita pikirkan nanti sajalah," imbuh Iman.

"Hah." Melati membalikkan badan membelakangi Iman.

"Kenapa kamu belum tidur? Ini sudah larut."

"Tadi ngerjain tesisku," jawab Melati.

"Butuh bantuan?" tawar Iman.

"Tak usah," tolak Melati dingin.

Diam-diam, Iman mengamati punggung Melati secara lekat. Betapa ia sangat terobsesi menarik Melati dalam pelukan.

"Mel, kamu sungguh tak mau tahu aku tadi bertemu siapa?"

"Tidak mau tahu!" tegas Melati.

Iman mengembuskan napas panjang. "Ya sudah," bisiknya menyimpan kecewa.

Melati kembali menggaruk-garuk pinggulnya dengan impulsif.

"Kamu kenapa, sih? Garuk-garuk melulu kayak monyet," sindir Iman.

"Nggak kenapa-kenapa," sungut Melati.

Iman mendengkus. "Senewen aja dari tadi, Mel?" protesnya. "Biasanya cewek kalau bawaannya marah terus, kalau nggak sange, ya, lagi PMS."

"ENAK AJA SANGE!" geram Melati.

Iman menyeringai. "Ya, terus kenapa?" Ia bergeser mendekati Melati. Memberanikan diri untuk merengkuh pinggul Melati. "Mau kupuasin, nggak? Bukannya kamu senang kalau punyamu kumainin?" godanya.

"Dasar mesum!" Melati berbalik untuk mengkonfrontasi Iman. Mata mereka pun saling beradu.

Iman tersenyum. Bibir merahnya mengembang tatkala Melati membalas tatapannya. Dari jarak yang teramat dekat, Melati mampu memandangi fitur wajah Iman secara rinci. Facial hair tipis yang seksi bukan main, hidung mancung bertulang tinggi, serta sepasang mata monolid beriris hitam kelam. Shit. Iman memang rupawan!

Jari-jari Iman bergerak menyisipkan helai rambut Melati ke belakang telinga.

"Gimana, Mel? Mau main?"

SUGARBABY SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA.

merapat ke sana buat maraton baca sekalian traktir Ayana es boba! Salam Sayang! —

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top