19. Malam Pertama
Dua pasang janur kuning berdiri mengapit jalur masuk pada muka gedung.
Karpet merah sengaja dibentangkan sebagai jalan bagi para tamu undangan. Pregolan yang dihiasi bunga-bunga segar berwarna peach dan putih, dipasang di sepanjang jalan menuju pelaminan kedua mempelai. Pelaminannya sendiri cukup megah dan luas; tepat di belakang kursi pengantin, terdapat gebyok Jawa dari kayu jati yang penuh ukiran detail. Di beberapa sudut gebyok, rangkaian bunga segar dipasang untuk menambah kesan elegan nan cantik. Pada tiap ujung gebyok juga berdiri lampu antik dengan pencahayaan warm white.
Gedung pesta yang luas mampu menampung hingga dua ribu tamu undangan. Jadi, meski pun keluarga Sasongko menyebar lebih dari seribu undangan, keadaan tetap nyaman tanpa penuh sesak.
Iman dan Melati berdiri menyalami para tamu undangan yang didominasi oleh keluarga dan kolega penting dari pihak Bimo Sasongko. Mereka sangat serasi dengan balutan pakaian adat Jawa. Tubuh langsing Melati ditutupi oleh kain kemben panjang yang disebut kain dodot. Sementara, kepalanya disanggul lengkap dengan paes warna hitam sesuai dengan adat Yogyakarta. Hiasan kepala Melati cukup berat dengan aksesori keemasan tersusun rapi, mulai dari sisir gunungan yang terpasang tegak lurus, hingga cunduk mentul berjumlah lima biji.
Sedangkan Iman, kain kemben menampakkan dada dan menutup bagian atas perut atas hingga ke bawah. Pada telinga kiri dan kanan dipasang sumping keemasan yang untaian bunga melati yang menggantung. Lelaki itu memakai topi biru yang disebut Kuluk Kanigara sebagai penutup kepalanya.
"Kenapa tamunya tidak habis-habis? Aku mau pingsan berdiri terus," bisik Melati pada Iman.
"Bertahanlah," sahut Iman mempertahankan senyum. "Kurasa, tamu-tamu papi dan mami belum datang semua."
Melati mengembuskan napas jengah. "Hiasan di kepalaku sangat berat," keluhnya. "Pusing dan lelah sekali rasanya."
Iman meringis.
"Sudahlah. Bukan cuma kamu yang menderita. Putingku juga mengeras karena terkena udara AC."
Tawa Melati pecah. "Kenapa kita tidak pakai busana Barat saja, sih? Simple!"
"Mami dan Papi itu konvensional," jelas Iman. "Pernikahan ini mereka semua yang atur sedemikian rupa. Aku sudah dibebaskan memilih pasangan sendiri, jadi aku hanya bisa pasrah ketika mereka ngotot mempersiapkan pesta resepsi kita."
Melati kembali melenguh. "Hmh, ya," desahnya. "Pernikahan pertamamu juga begini?"
Iman berdeham. Pertanyaan dari Melati membangkitkan kenangan rumah tangganya bersama Nadia. Memori pahit yang sebenarnya enggan ia ingat-ingat.
"Lebih parah dari ini. Pesta digelar tiga kali. Akad nikah, resepsi pernikahan, lalu unduh mantu," jawab Iman.
Melati mengamati perubahan ekspresi Iman. Mata lelaki itu mendadak nanar. "Oh ..." gumamnya. Seingat Melati, Iman selalu berubah lebih pendiam jika membahas soal mantan istrinya.
Melati sontak hening.
Ia menduga Iman masih memiliki 'perasaan' pada Nadia. Dan, keberadaannya bukanlah semata-mata sebagai pemenuh janji Iman terhadap Bimo dan Farah. Akan tetapi, juga sebagai ajang balas dendam Iman terhadap Nadia. Ah, entahlah.
Sambil terus menyalami tamu yang tak ada habisnya, Melati sesekali mencuri pandang ke arah Iman.
Dia adalah suaminya sekarang.
Gila-memang.
Melati masih ingat saat dirinya refleks menangis sesegukan saat akad nikah tadi pagi. Bukan tangis haru atau kebahagiaan-bukan. Lebih kepada meratapi nasibnya karena rela menjual masa lajang dan kebebasan demi uang. Parahnya, uang itu bukan untuk kepentingannya. Namun, beban dari bapaknya Yanuar yang tidak bertanggung jawab. Ada nelangsa menyergap relung Melati. Mau disanggah bagaimana pun, kehidupannya akan berubah 180 derajat selepas ini. Melati harus konsisten mempertahankan kebohongan. Menjalani hari-hari sebagai penipu ulung.
"Selamat, ya, Mas."
Suara lembut dari seorang wanita otomatis membuyarkan lamunan Melati.
"Aku tidak menyangka kamu mendahuluiku," ucap wanita berambut sebahu itu. Ia tampil anggun dengan kebaya berwarna gold berhiaskan payet cantik. Aura glamour seketika memancar dari si wanita berjarik cokelat.
Iman menarik kedua sudut bibir lebar-lebar. "Sama. Aku juga tidak menyangka kamu akan kembali ke pelukan mantanmu," ujarnya mengandung sarkas. Ia melirik lelaki berbusana batik yang berdiri di sebelah wanita itu.
Bukannya terganggu, ia justru terkekeh sopan. Si wanita mengeratkan gandengan kepada pasangan yang ia ajak. "Jodoh tidak lari ke mana." Ia dan lelaki yang mendampinginya saling bertukar tatapan kasmaran.
Melati bingung sendiri. Ia mana menduga jika wanita yang sedang berdiri di hadapannya dan Iman merupakan Nadia.
"Ya. Jodoh memang tidak lari ke mana. Melati dulunya adalah cinta pertamaku. Kami kembali dipertemukan oleh takdir dan disatukan oleh pernikahan," jabar Iman. "Betul, 'kan, Sayang?" Ia berusaha mengungguli mantan istrinya.
"I-iya." Melati mengangguk polos.
"Oh begitu. Syukurlah kalau kamu akhirnya menemukan kebahagiaanmu, Mas. Pada akhirnya kita berdua berbahagia di jalan masing-masing," kata Nadia.
"Ini Nadia?" celetuk Melati yang akhirnya sadar.
Nadia kembali tertawa. "Betul, saya Nadia, Mbak. Mantan istrinya Mas Iman."
"O-oh ..." Melati tergugu. Matanya terpatri lekat pada sosok Nadia yang rupawan. Dibanding dirinya, Melati merasa tak ada apa-apanya.
Jemari Nadia lantas mengusap lengan Melati. "Sekali lagi saya ucapkan selamat, ya, Mbak." Ia mengerling manis. "Jangan lupa untuk hadir di pernikahanku dan Aldi minggu depan."
Melati mengangguk segan. Lain halnya dengan Iman yang membuang muka.
Nadia dan kekasihnya Aldi pun berlalu dari pelaminan.
Diam-diam, bola mata Iman mengekori sang mantan istri, dan Melati mengetahui itu. Segala prasangka Melati semakin terbuktikan. Iman memang belum bisa move on dari Nadia. Jika benar demikian, mengapa Iman mengaku kalau pernikahannya dengan Nadia hanya pernikahan bisnis semata? Kenapa Iman tidak jujur saja?
"Kamu masih ada rasa sama Nadia, ya?" selidik Melati.
"Hah?" Iman mengerjapkan mata. Ia tak mendengarkan pertanyaan dari Melati karena sibuk bengong sendiri.
Melati membuang muka.
"Nggak apa-apa," alih Melati.
***
Momen penyiksaan Melati pun akhirnya usai. Dengan langkah gusar, ia menelusuri selasar hotel yang dingin dan sepi. Pikiran Melati cuma satu-melepaskan segala atribut yang melekat pada tubuhnya.
"Mel?" panggil Iman menyusul.
"Apa?" sahut Melati sewot.
Iman mengernyit. "Kenapa buru-buru banget menuju kamar? Kulihat kamu belum makan banyak, lo."
"Aku sudah kenyang," jawab Melati. "Pokoknya aku udah nggak sabar balik kamar."
Iman menyeringai jail. "Sudah tidak sabar menghabiskan malam pertama denganku, ya?" godanya.
Melati mendengkus.
"Jangan kepedean!" sungut Melati. "Aku mau melepaskan hiasan di kepalaku, aku benar-benar migrain berat."
Iman mengernyih. "Oh, kirain," gumamnya.
Iman dan Melati pun sampai di kamar pengantin; ruangan suite bergaya Eropa klasik, megah sekaligus mewah.
"Mari masuk, Istriku Sayang." Iman membuka pintu.
Melati memilih diam. Ia terlalu lelah untuk membalas keusilan Iman. Langkahnya gesit menuju meja rias yang berada tidak jauh dari ranjang utama.
"Ahh!" desah Iman yang menjatuhkan tubuh ke atas ranjang. Ia santai melepaskan topi mau pun atribut pada kepala dan kupingnya. Ia juga cuek melucuti kain kemben yang ia gunakan.
"Eh, apa-apaan?!" Melati melotot.
"Alah," dengkus Iman. "Seperti kamu belum pernah lihat aku telanjang saja, Mel." Ia tak segan bertelanjang dada sambil memamerkan boxer hitamnya.
Melati memalingkan wajah. Tiada tenaga untuk berdebat dengan Imantara Putra Sasongko Sialan.
Ia lantas mengalihkan atensi pada cucuk mentul yang tertancap di rambutnya. Secara hati-hati, Melati berusaha menariknya satu per satu.
"Aduh," ringisnya.
Dari atas ranjang, Iman sontak terkikik.
"Aku kayak lihat film horor. Kamu mirip kuntilanak yang lagi nyabut pasak di kepala," kelakarnya.
Melati melirik tajam Iman melalui pantulan cermin. "Diem, deh!" semburnya.
"Sini kubantu." Iman menegakkan badan dan menuruni ranjang.
"Nggak usah!" tolak Melati ketus.
"Sshh!" bisik Iman. "Jangan menolak kebaikan hati pria tampan, Mel. Jarang-jarang aku mau bantuin kamu tanpa pamrih."
Melati mencebik pasrah.
Ia terdiam ketika jemari Iman mulai memeriksa hiasan-hiasan yang bertengger di rambutnya.
Raut Iman berubah serius kala fokus. Ia tak sadar Melati terus menerus memperhatikannya dari kaca. Jantung Melati seketika berdebar. Berulang kali ia menelan saliva demi menetralisir kecamuk dalam hati.
"Awwh!" pekik Melati.
"Susah banget," dumal Iman. "Tunggu, ya. Kupinjam gunting dulu buat memisahkannya dari rambutmu. Ini nyangkut!"
Melati terbelalak. "Enak aja pakai gunting!" Lenyap sudah debaran yang semula ia rasakan karena Iman. Sifat Iman tidak pernah berubah-selalu saja menyebalkan!
"Kamu cerewet, Mel. Nyusahin orang yang nge-bantuin."
"Siapa juga yang minta kamu bantuin aku?!" sungut Melati.
"Aish, ya sudah. Diem." Sambil bersungut-sungut, Iman kembali memusatkan konsentrasi pada rambut Melati.
Memang butuh waktu lama; serta adu mulut sengit yang terus menerus terjadi antara Iman dan Melati. Namun, pada akhirnya semua aksesori itu pun tanggal hingga Melati bisa melepaskan sanggul yang menempel pada kepalanya.
"Sekarang aku mau mandi." Melati menggaruk kulit kepala yang gatal. Sisa sasak membuat rambutnya mengembang bak singa.
"Silakan." Iman merebahkan bokong pada ranjang. "Aku menunggu tubuh wangi dan bersihmu untuk bercinta, Istriku."
Melati mendengkus.
"Kepalamu sangat kosong dan cuma diisi dengan pikiran jorok, ya?"
Iman menyeringai. "Sama, kan, kayak kamu," timpalnya.
"Dasar, Pervert!" Melati melengos menuju bathroom. Ia buru-buru mengunci pintu demi lekas membersihkan diri.
"Ingat, Mel! Kita sudah sah sebagai suami-istri. Semakin sering bercinta, semakin baik!" Suara Iman terdengar menggodanya.
"Sialan." Melati merutuk lirih.
Ia lantas melepaskan pakaian dan menyalakan shower. Penat sekaligus letih seolah luntur terguyur derasnya air hangat.
Dalam ritual mandi, pikiran Melati melanglang buana. Mulai detik ini, Melati harus sabar menghadapi tingkah Iman yang konyol. Selain itu, suami kontraknya juga genit luar biasa. Mirip kucing ketika birahi.
Melati cemas jika suatu saat, dia khilaf dan jatuh dalam godaan Iman. Lalu, hubungan mereka berubah canggung serta tak nyaman.
"Aku harus profesional!" bisik Melati bicara sendiri.
Pekerjaan dan s*eks tak bisa dicampur-adukkan. Melati paham betul jika lelaki bisa dengan mudahnya membuang wanita-wanita yang pernah mereka ajak tidur. Berbeda dengan wanita yang justru semakin baper setelah diajak tidur. Melati tidak mau bodoh. Ia enggan melibatkan setitik perasaan pun terhadap Imantara Putra Sasonggo. Titik.
Yakin tubuhnya sudah bersih, Melati mematikan keran, lalu meraih handuk. Dengan hati gamang bercampur bimbang, ia keluar dari kamar mandi.
"Sudah selesai mandinya, Istri?" sambut Iman sumringah.
"Bisa, nggak, sih, kamu bersikap profesional, Man?" protes Melati.
Iman mengerutkan alis tebalnya. "Profesional? Memangnya aku lagi kerja apa?"
"Kita bukan pasangan sungguhan. Berhentilah merayuku!"
Iman terkekeh. "Oh, jadi maksudmu profesional yang itu?" gumamnya. "Asal kamu tahu, Mel, yang sedang bekerja itu kamu, bukan aku. Jadi, silakan bersikap se-profesional mungkin. Sementara aku akan tetap bertingkah seperti sedia kala. Paham?"
Melati terkatup kesal. Sialan.
Ia melengos membuka koper untuk mencari pakaian ganti.
"Mel," panggil Iman.
"Apa lagi?" sahut Melati ketus.
"Sini dulu sebelum kamu berpakaian," titah Iman.
"Apa maumu? Jangan macam-macam!" kilah Melati senewen.
Iman serta merta menarik tangan Melati, lalu menuntunnya menaiki ranjang.
"Man?" Melati meronta.
Iman mengulum senyum. Ia berpindah ke belakang Melati, sementara jari-jemarinya berpindah pada tengkuk sang istri.
"Kamu dari tadi mengeluh lelah, kan? Biar kupijat sebentar supaya nggak marah-marah terus," kata Iman.
Melati salah tingkah. "Lo? Eh?"
"Sudah, diam saja dan nikmati," sergah Iman. "Nanti kalau tiba-tiba mengantuk, jangan ragu untuk tidur. Biar pun mesum, aku pria terhormat. Aku tidak akan memaksa seorang wanita untuk bercinta denganku. Bukankah aku sudah pernah bilang sebelumnya?"
Melati mengangguk pelan. "I-ya ..."
Pijatan Iman pada leher, pundak, dan punggungnya, membuat Melati pasrah. Tidak dapat dia pungkiri, apa yang Iman lakukan ternyata nyaman juga. Letih Melati berangsur-angsur berganti rileks. Ia pun terpejam menikmati perlakuan spesial yang Iman kerjakan.
"Terlalu keras?" periksa Iman.
Melati menggeleng. "Nggak, kok."
"Hari ini kamu melakukannya dengan baik, Mel," celetuk Iman di tengah sesi pijatnya. "Apa lagi waktu akad, kamu berakting menangis segala."
"Oh, itu ..." Melati meringis.
"Kamu juga berhasil mengesankan para tamu dan keluarga besar Sasongko. Aku cukup puas dengan hasil kerjamu hari ini."
"Iya." Melati tertunduk merona.
"Anggaplah pijatan ini ucapan terima kasihku," ujar Iman.
"Tumben nggak kirim uang," ledek Melati.
Tawa Iman pecah. "Aku sudah keluar uang banyak buat kamu," sahutnya.
Melati mengulum senyum.
Iman menepuk bahu Melati lembut. "Ayo, berbaringlah tengkurap. Aku akan memijat kakimu."
"A-apa?" Melati merah padam. Tubuhnya hanya terbalut handuk-mana mungkin bisa tahan jika Iman menjamahnya ke mana-mana.
Iman tersungging jail. "Kenapa? Mulai sange?"
"Ih, nggak!"
Ego Melati menuntunya untuk menuruti perintah Iman. Ia menjatuhkan badan membelakangi Iman seraya menyangga kepala pada kedua lengan.
Tanpa banyak bicara, Iman pun melanjutkan treatment-nya.
"Ngomong-ngomong, kamu pinter mijat," ucap Melati.
"Ya, dong. Ini salah satu skill-ku sebagai pemuas wanita," sesumbar Iman.
Melati menahan desah tatkala Iman menekan area bokongnya secara konsisten. Ada sensasi nikmat sekaligus panas menyergap aliran darahnya.
"Ehm, kamu pernah jatuh cinta, Man?" selidik Melati. Ia sekuat tenaga menetralisir gairah yang mulai menyala dalam dada.
"Ya, pernah," jawab Iman. "Namanya juga manusia."
"Kapan?"
Denganmu semasa sekolah. "Cinta monyet, waktu remaja dulu," kelit Iman.
"Lalu?" buru Melati.
"Lalu ... pernah juga dengan wanita random yang kutemui di kelab malam," aku Iman.
"Kelab malam?" Melati penasaran.
Iman mengangguk. "Jauh sebelum aku menikah dengan Nadia, aku sempat menjalin hubungan singkat dengan seorang dancer di kelab malam."
"Seperti apa dia?"
"Cantik-luar biasa cantik," jabar Iman nanar.
Relung Melati seakan membara. Ia tercekat sendiri ketika Iman memuji wanita lain. Sensasi yang Melati tidak mampu jabarkan kenapa-
"Terus?"
"Ah, cuma hubungan platonik," ujar Iman. "Kami tak sempat mendalaminya karena perjodohan yang telah diatur oleh papi dan mami. Aku bahkan tak tahu siapa nama aslinya."
"Andaikata bertemu lagi dengannya, bagaimana?" Melati menelan ludah kasar.
"Sebenarnya, aku sempat mencarinya saat mami dan papi menuntutku agar membalap Nadia."
"Jadi, aku bukan pilihan pertamamu?" Melati gusar.
"Pilihan pertama atau bukan, tetapi pada akhirnya kamulah yang ditakdirkan Tuhan untuk bekerja sama denganku, Mel," terang Iman.
Melati mengubah posisi kepalanya. "Memangnya, ke mana si dancer itu? Kamu tak menemukannya?"
"Entahlah, sudah jangan dibahas!" PLAK. Iman menampar bokong Melati dengan usil.
"Heh!"
Kemarahan Melati direspon Iman dengan tawa menggelegar.
Malam semakin larut dan sentuhan Iman pada Melati kian terasa erotis. Pijatan itu menyusup pada pangkal paha Melati yang polos.
( CUT. BACA UTUH DI KARYAKARSA )
"Mel?" geram Iman berat dan dalam. "Boleh kulanjutin nggak?"
SUGARBABY sudah tamat di Karyakarsa, silakan cek ke sana untuk baca lebih cepat 🖤🖤🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top