17. La Familia
"Melati ..." Farah sumringah ketika Melati menyambutnya. "Bagaimana kabarmu?" Ia mengecup pipi kiri-kanan Melati.
"Sehat, Tante. Tante gimana?" Melati merangkul Farah akrab.
"Sehat juga," sahut Farah. "Oh ya, jangan panggil 'tante', Mel. Mulai hari ini, panggil 'mami', ya."
Melati dan Iman saling pandang.
"Ma-Mami?" ulang Melati canggung.
Farah mengangguk. "Iya. Kamu, kan, calon istrinya Iman. Sudah sepantasnya kamu kuanggap anak sendiri."
Hati Melati sembilu.
'Anak sendiri'? Padahal, ia tak lebih dari wanita pembohong yang menipu semua orang. Iman dan Melati merupakan penjahat ulung. Parahnya — segala skenario direkayasa demi uang dan tuntutan nafsu.
"Iya, Mi," kata Melati tertunduk.
"Mami bawa blackforest, semoga kamu suka." Farah tersungging.
"Mami buat sendiri?" tanya Melati.
"Iya," terang Farah.
"Sejak sore dia sudah sibuk di dapur," deham Bimo.
Mata Melati berkaca-kaca.
Ah, sialan. Biadap. Kebaikan dan kepedulian Farah terhadapnya membuat Melati makin merasa bersalah.
"Makasi, ya, Mi," ucap Melati. Ia kembali merangkul Farah sambil mengajaknya masuk ke dalam rumah. "Mami seharusnya buka toko cake sendiri."
"Ah, bisa saja kamu!" gumam Farah tersipu. Melati selalu berlebihan dalam mengapresiasinya.
"Seriusan. Coba, deh, Mami pertimbangkan ..." kata Melati.
Tanpa Melati sadari, pada ambang pintu, Lastri berdiri mematung. Ia bahkan kehilangan kata untuk menyambut keluarga si calon menantu. Semua karena keakraban yang terpampang antara Melati dan Farah. Keintiman yang bahkan tak terjalin dengannya sebagai ibu kandung Melati.
"Malam, Ibu," salam Bimo pada Lastri.
Melati dan Farah yang asyik berbincang sendiri pun menoleh. Farah melepaskan kaitan lengan Melati dan menatap Lastri sambil tersenyum.
"I-ini, Ibu saya," ujar Melati memperkenalkan Lastri.
Lastri sontak menyodorkan tangan. "Saya Lastri, Pak, Bu."
"Malam, Jeng Lastri. Saya Farah, Maminya Iman," seloroh Farah membalas jabatan tangan Lastri.
"Iya, Bu Farah, monggo," kata Lastri canggung bercampur segan.
"Tante," panggil Iman. "Ini ada cake bikinan Mami." Ia menyodorkan sebuah kotak persegi berukuran lumayan besar.
"Astaga, kok repot-repot segala, to?" terima Lastri makin kikuk.
"Maminya Mas Iman pinter banget bikin kue, Bu," imbuh Melati. "Kalau udah makan kue bikinannya, pasti nggak akan selera nyobain kue lainnya."
Farah kembali menggandeng tangan Melati rapat. "Kamu ini bisa saja!" Ia tertawa merona.
"Eh, serius, lho, Mi. Mami harus pertimbangkan buka toko cake sendiri. Aku bakal jadi pelanggan tetap!" sahut Melati ikut terkekeh.
"Kamu jadi marketingnya saja!" kikik Farah.
Lastri menelan saliva.
Dalam diam, ia teriris sendiri. Betapa tidak, Melati tampak sangat nyaman berada di dekat Farah. Hal yang berbeda jika bersamanya, ada saja pertengkaran atau perdebatan.
"Mari, silakan." Lastri mengajak tamu-tamunya duduk di ruang utama.
Iman mengambil tempat di sisi Lastri, sementara, Melati ada di tengah-tengah Bimo dan Farah.
"Mami, Papi, tunggu, ya, aku buatkan minum." Melati bangkit dari duduk.
Farah mengernyit. "Tak ada pembantu, Mel?" tanyanya.
Melati menggeleng.
"Tidak ada, Bu. Kami tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga," timpal Lastri.
"O, begitu," deham Farah. Ia terdiam sejenak untuk berpikir. "Kalau mau, nanti bisa saya carikan pembantu, Jeng."
"Mi," tegur Bimo. Ia tahu kadang kala istrinya terlalu ikut campur.
Lastri tersenyum tipis. "Terima kasih banyak perhatiannya, Bu."
"Bu."
Dari balik ruangan, Wisnu datang seraya mendorong kursi roda Yanuar.
Lastri sontak bangun dari duduk. "Ah, Nu." Ia tergopoh. "Pak, Bu, ini suami saya."
"Bapak sakit stroke, Mi, Pi," kata Melati lirih. Ia mengamati raut Farah diam-diam -- khawatir calon mertuanya berubah gusar.
Sebaliknya, ekspresi Farah justru mengiba. "Sudah berapa lama, Mel?" tanyanya berempati.
"Lumayan lama, Mi, kira-kira waktu aku baru menginjak semester awal perkuliahan," terang Melati.
"Bagaimana dengan terapi?" timpal Bimo.
Melati dan Lastri sama-sama kikuk. Untuk makan sehari-hari saja sulit, apa lagi rutin terapi segala.
"Sa-sampun, kok, Pak," jawab Lastri berinisiatif. "Hanya saja Tuhan belum memberikan Bapak kesembuhan."
Melati melirik Lastri sepintas. Ia lega karena ibunya bisa kooperatif juga. Pun sama dengan Iman, ia sama tegangnya seperti Melati. Ia takut kebohongannya tentang keluarga Melati akan terendus Bimo mau pun Farah.
"Hemmm, kalau Wisnu, rencananya mau melanjutkan kuliah ke mana?" celetuk Iman mengalihkan topik pembicaraan.
"Tidak lanjut kul—"
Melati bergegas mencubit pinggang Wisnu kuat-kuat. "Universitas negeri!" selanya.
Wisnu meringis menahan pedih pada kulit. Ia mengernyit menatap Melati keheranan.
"Mbak?" bisik Wisnu.
"Wisnu ini suka belajar," ujar Melati. "Kemungkinan dia ambil jurusan Ekonomi atau Sastra Inggris. Lalu lanjut S2 biar bisa jadi dosen."
"Dosen?" selidik Farah.
"Iya, Mi," sahut Melati.
"Bukankah dosen gajinya kecil, Mel?" sergah Farah. "Kalau memang Mas Wisnu pandai berbahasa asing, mending selepas S1 kerja di perusahaan Papi saja. Betul, kan, Pi?"
Bimo menggeleng tak setuju. "Mami ..." tegurnya. "Bukan wewenang kita mengatur keinginan seseorang."
Farah seketika cemberut. Padahal dia bermaksud baik, tapi Bimo selalu saja mengkritiknya.
Melati sadar Farah sedikit kesal, ia pun buru-buru membesarkan hati calon ibu mertuanya. "Tapi, Mi, makasi, lho, untuk perhatiannya. Namanya keinginan orang, kan, bisa berubah seiring waktu. Kalau nanti Wisnu tertarik, kenapa tidak? Ya, kan, Nu?"
"I-iya, Mbak." Wisnu tertunduk.
Senyum Farah kembali terkembang. Entah sejak kapan, ia mulai nyaman berada dekat dengan Melati. Wanita itu selalu setuju pada pendapat-pendapat yang ia lontarkan. Tak seperti Bimo atau pun anaknya sendiri, Iman.
"Jadi ..." Iman mulai mengambil alih. "Melati pasti sudah menyampaikan sebelumnya tujuan saya dan keluarga datang ke mari," katanya. "Saya ingin menunjukkan keseriusan saya kepada Melati. Sekaligus memperkenalkan kedua keluarga."
Farah mengangguk. "Benar, Jeng. Saya pribadi dan Papinya Iman mau menyegerakan pertunangan antara kedua anak kita."
"Tante Lastri setuju, kan?" Iman beralih pada Lastri.
Lastri menengok Yanuar dengan mata sendu. "Andaikan Bapak sehat, dia pasti setuju karena Mas Iman dan keluarga tampak sangat menyayangi Melati."
Iman sumringah seraya melirik Melati.
Lastri kembali melanjutkan, "Semua keputusan saya serahkan pada Melati, juga Mas Iman. Kalau sudah sama-sama cinta dan mantap, maka saya ngikut saja."
Antusiasme Farah melonjak dua kali lipat setelah mendengar persetujuan Lastri. "Bagaimana kalau kita adakan pesta pertunangannya minggu depan?"
Mata Lastri melotot. "Se-secepat itu? Kami belum menyiapkan apa pun, Bu Farah."
Iman terkekeh.
"Soal itu, Tante tak perlu khawatir. Saya dan Melati sudah mencari WO yang mengurusi semuanya. Pesta pertunangan bisa kita adakan di hotel supaya praktis."
"Oh, begitu ..." Lastri terpegun. Kini, ia makin tertampar realita. Bahwa, calon menantu dan besannya memang bukan orang sembarangan. Mereka begitu mudah merencanakan sebuah pesta besar, tanpa memikirkan berapa banyak uang yang bakal keluar.
Hebat juga Melati, anaknya. Bisa menemukan lelaki berkualitas tinggi macam Iman.
Lastri sontak menggenggam telapak Yanuar. "Putri kita akan segera menikah, Pak."
Yanuar bergeming. Walaupun lumpuh total, ia mendengarkan semua percakapan yang terjadi. Mata Yanuar berkaca-kaca nanar.
"Mas Iman, tolong jaga Melati, nggeh," lanjut Lastri.
Tenggorokan Iman mendadak tercekat. Relungnya serasa sembilu hingga hampir muntah. "I-itu pasti, Tante."
Bimo menepuk pundak Iman dan merangkulnya.
"Tidak hanya Iman yang akan menjaga Melati. Saya dan Maminya Iman juga. Kami berdua sudah sayang pada Melati. Sudah kami anggap anak sendiri," terang Bimo. "Ibu Lastri membesarkan Melati dengan baik. Meski baru mengenalnya sebentar, saya tahu Melati adalah anak yang baik. Dia menghormati kami, dan bisa menyesuaikan diri dengan baik."
"Betul, Jeng," imbuh Farah. "Calon mantu kesayanganku."
Seutas tarikan melengkung terukir pada bibir Melati. Ketimbang senyum bahagia, garis tawa itu sebenarnya menyiratkan kegetiran mendalam. Dia bukanlah menantu sempurna seperti yang Bimo dan Farah pikirkan.
Semua hanya demi uang semata.
***
( Engagement Day )
Ayu menyesap wine-nya perlahan sambil mengutak-atik ponsel. Ia dan Bram baru saja selesai menikmati dinner romantis di kawasan Cheongdam-dong. Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam, dan Ayu sadar jika pesta pertunangan keponakannya akan segera dilangsungkan. Korea Selatan dan Surabaya memiliki perbedaan waktu dua jam — di mana Korea Selatan lebih cepat.
"Pa, sebentar lagi acara pertunangan Iman." Ayu meraih punggung tangan Bram.
"Tak sangka dia berhasil memenuhi keinginan orang tuanya," sambut Bram.
"Kurasa wanita ini jodoh yang sudah dipersiapkan Mbak Farah. Kamu tahu, kan, iparku itu doyan ikut campur. Bahkan untuk urusan cinta anaknya," kata Ayu.
Bram menggeleng. "Iman pernah cerita, kalau pernikahannya yang kali ini, orang tuanya tidak akan ikut campur."
"Ah, masa?" sanggah Ayu. "Kalau begitu, aneh sekali karena Iman bisa dengan cepat menemukan calon istri yang tepat."
"Hmm ..." Bram mengedikkan kedua bahu.
"Tapi, Iman juga seorang player. Tak sulit menemukan wanita yang dia mau."
"Atau mungkin saja, kali ini dia benar-benar menemukan cinta sejati?" lirik Bram menggoda.
Tawa Ayu pecah. "Nonsense." Ia kembali meneguk anggurnya. "Pernikahan kedua Iman cuma untuk memenuhi ego dan gengsi orang tuanya. Mereka tidak mau kalah sama Nadia."
"Aku heran dengan mereka," imbuh Bram. "Mengutamakan gengsi di atas segalanya."
Ayu menatap Bram penuh arti. "Bukankah aku pun sama?" Ia mengulum senyum. "Sudah mendarah daging di keluarga Sasongko. Menurutmu, kalau bukan gengsi — kenapa aku tetap mempertahankanmu meski kamu berulang kali ketahuan main wanita?"
Bram mendecih. Ia melepaskan genggaman tangan antara dirinya dan Ayu.
"Oh, come on," sungut Bram. "Sudah lama berlalu dan aku melakukannya karena khilaf. Berhentilah membahasnya."
"Benarkah sudah lama berlalu? Atau mungkin ... ada lagi cinta yang baru?" goda Ayu ofensif.
Drrrrtt. Drrrttt. Drrrrt.
Ponsel Ayu mendadak berdering. Panggilan video dari Iman. Ayu pun bergegas menerimanya.
"Halo, Calon Manten!" sapa Ayu
"Halo, Tante." Muka Iman terpampang di layar ponsel. "Pertunanganku akan dilangsungkan sebentar lagi. Rasanya kurang lengkap tanpa kehadiran Om dan Tante."
Ayu mengerutkan alisnya turun ke bawah. "Maafkan kami, ya, Man."
"Mana Om?" selidik Iman.
Ayu melirik Bram yang masih menekuk muka akibat pembicaraan terakhir mereka. "Ada, nih, di samping Tante. Kami baru selesai makan malam."
"Romantic dinner?" ledek Iman.
Ayu terkekeh. "Begitulah." Ia lalu mendekatkan kursi pada Bram. "Man, kami doakan acaranya lancar, ya."
"Thanks, Tante," sahut Iman tersenyum. "Ngomong-ngomong, mau kukenalkan pada Melati? Calon tunanganku?"
"Boleh. Tante penasaran dengan yang namanya Melati," ujar Ayu.
Darls, Sugarbaby bisa kalian baca lebih cepat di Karyakarsa. Harganya juga murah banget, cuman 2K-5K aja.
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen sebanyak-banyaknya sebelum menggulir ke bab selanjutnya ya! Buat kalian yang gabut bisa join grup telegram Ayana dengan search AyanaAnn2727 🖤🖤🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top