16. Hooking Up

"Bercinta denganku," Melati menatap sayu. "Memberiku kepuasan hingga aku melupakan segala-galanya."

Iman terpagun menelan saliva.

Ini yang dia harapkan selama berminggu-minggu lebih — Melati akhirnya bertekuk lutut di hadapannya. Bukan dia yang memaksa, tetapi Melati yang meminta. Bukan Iman yang menuntut, melainkan Melati yang menyerahkan raga.

"Serius, Mel?"

Melati tersenyum.

Sebuah tarikan lebar yang terpatri dari bibirnya yang plumpy. Bibir yang didamba oleh Iman untuk dikecup dan dipagut. Wanita itu setuju. Melati suka rela bercinta dengan Iman.

"Iya," jawab Melati.

Iman menyeringai. "Kamu yang minta, ya? Aku harap hubungan kita tetap baik setelah melakukannya."

Melati beringsut tanpa aba-aba. Ia melumat bibir Iman dan membungkamnya.

"Cerewet," maki Melati. "Bisa, nggak, sih, kamu nggak banyak omong!"

Gairah Iman seketika meledak. Ia mendorong Melati dan berganti menyerang. Iman mencium Melati dalam, memaksa lidahnya menerobos masuk hingga Melati sedikit mengerang.

Kucing mana yang menolak disuguhi ikan? Termasuk Iman. Mana mungkin ia menyia-nyiakan kesempatan emas di depan mata. Terlebih, Melati telah mengusai pikiran Iman beberapa hari belakangan.

Di tengah cumbuan, tangan Iman gesit menggerayangi tubuh Melati. Ia mampu merasakan sisa gin yang melekat pada mulut Melati. Sepat dan masam, juga sedikit manis. Namun luar biasa menggairahkan.

Tak butuh waktu lama, Iman berhasil melucuti pakaian Melati. Mengekspos kulit mulus nan putih yang seakan tanpa noda mau pun cela.

Kulit hangat keduanya bersentuhan, bergesekan, dan saling menindih.

Meski bukan kali pertama melihat Melati tanpa busana, Iman tetap terpana. Dua buah dada Melati berhasil menyihir Iman hingga lupa segalanya. Gundukan kenyal dan montok itu mengundang untuk dimainkan. Pucuk merah muda mungilnya sudah menegang. Seduktif minta ampun.

Iman lantas beralih mencicipi dada Melati yang sekal.

( Cut. Baca Lengkap di KaryaKarsa)

Bagaimana bisa ia melewatkan pemandangan indah akan visual Melati yang sempurna?

Keputusan Iman menjadikan Melati sebagai istri palsu adalah ide brilian. Sekarang, ia yakin bisa memanfaatkan tubuh Melati sesuka hati tanpa adanya kungkungan untuk monogami. Melati tidak akan menuntutnya untuk setia, Iman bebas bercinta semaunya. Baik bersama Melati, atau pun wanita-wanita lain di luar sana.

Ah, surga.

"Almost there," desah Melati.

( Cut. Baca Utuh di Karyakarsa )

"Mel, kumasukkin, ya?" Iman mengarahkan kejantanannya yang sudah tegak.

Melati pasrah ketika Iman melebarkan tungkainya. Iman menggesekkan batang menegangnya pada ambang penyatuan Melati yang memerah. Tinggal sedikit lagi hingga senjata Iman menembus pertahanan Melati.

"Ehmh," erang Melati. Ia tak sedikit pun membuka mata.

"Mel?" Iman memeriksa Melati.

Iman menggoyang lengan Melati untuk menyadarkannya. Sialan, wanita itu tertidur setelah mendapatkan orgasme!

"Mel?" panggil Iman lagi.

Melati menggeliat nyenyak. Rupanya ia mabuk berat hingga kehilangan kesadaran.

"Damn it!" rutuk Iman. Ia mendengkus akibat sakit kepala. "Peduli setan. Ini sudah kepalang tanggung!"

Iman melebarkan paha Melati. Ia harus melepaskan energi buasnya sekarang juga!

Akan tetapi, ketika hendak menancapkan miliknya, Iman mendadak bergeming. Sungguh, dia akan menjadi lelaki se-bajingan ini? Mengambil kesempatan dari seorang wanita teler yang entah menginginkannya atau tidak.

Iman mendecih.

Ia lantas berpaling dan beralih pergi meninggalkan Melati.

***

Eternit putih bersih dengan sorot lampu warm white, menjadi pemandangan pertama yang Melati lihat.

Ia seketika terbangun dengan mata melotot.

Melati mengintip ke dalam selimut, pakaiannya masih utuh. "Syukurlah," bisiknya.

Kepala Melati pening. Ia merebahkan diri untuk kembali mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Ya, Melati sadar dia menghampiri Iman ke hotel. Melati juga ingat betul kalau ia banyak mengonsumsi alkohol. Tapi, selanjutnya apa ...?

"Sudah lama aku tidak bercinta. Mau ke mana?"

"Mel?!"

"Aku sedang tak bisa berpikir jernih — tapi — kurasa tidak ada salahnya jika kamu melakukannya padaku."

"Melakukan apa, maksudmu?"

"Bercinta denganku. Memberiku kepuasan hingga aku melupakan segala-galanya."

"Serius, Mel?"

"Iya."

"Kamu yang minta, ya? Aku harap hubungan kita tetap baik setelah melakukannya."

"Cerewet. Bisa, nggak, sih, kamu nggak banyak omong!"

Melati tersentak. Ia gelagapan dan bangkit dari ranjang. Semua peristiwa beberapa jam lalu terputar dalam benak. Sialan. Sialan. Sialan!

"IMAN!" teriak Melati menyusuri kamar hotel. Ia mencari keberadaan lelaki bangsat yang sudah memanfaatkan kerapuhannya. "IMANTARA!" Melati mendobrak pintu ruang kerja. Ia mendapati Iman sedang duduk di depan laptop. "Iman,  keparat! Apa yang kamu lakukan padaku?!"

Iman membelalak seraya menempelkan telunjuk di bibir. "Aku sedang virtual meeting!" desisnya.

Melati emosi dan meraih bantalan sofa. Dengan segenap tenaga ia melemparkannya ke arah Iman.

"Aku nggak peduli! Aku mau kejelasan darimu, Monyet!" maki Melati.

Iman menggertakkan gigi. Ia menatap pada layar laptop sambil mengusahakan senyum.

"Maaf untuk gangguan kecil yang terjadi. Sepertinya, kita sudahi saja meeting pagi ini," kata Iman.

"PAGI?!" Melati semakin terbelalak. Ia beralih membuka tirai kamar untuk memeriksa hari. "DEMI TUHAN, aku semalaman di sini?!"

Iman yang sudah menutup laptop, menatap Melati sebal. "Kamu apa-apaan, sih, Mel? Marah-marah padahal aku lagi zoom!"

"Kenapa kamu nggak bangunin aku?! Apa kata ibuku kalau tahu aku nggak pulang?!" sentak Melati.

"Kamu nyeny—"

Melati kembali menyela, "Dan lagi, apa kita bercinta?! Kamu sengaja, kan, bikin aku mabok?" Ia menghambur mendekat dan memukul Iman membabi buta. "Tega sekali kamu, jahat!" hardiknya. "Kita sudah janji kalau nggak ada seks dalam hubungan ini!"

"Kan, kamu yang minta," sahut Iman santai. Ia berusaha menghindar dari pukulan Melati.

"Apa kamu bilang?!" Melati kian beringas.

Iman menahan lengan Melati agar berhenti memukulinya. "Kamu yang minta!"

"Aku mabuk! Kamu tahu aku nggak sadar! Kamu ini laki-laki macam apa, sih?!" Air mata Melati tumpah ruah.

"Kamu yang minta, tapi nggak kuturuti," lanjut Iman. Ia tidak tega melihat Melati menangis di hadapannya.

"A-apa?"

"Kita nggak ngapa-ngapain," jelas Iman. "Ya, ngapa-ngapain, sih — aku sempat fingering kamu sampai keluar. Tapi, udah."

"A-apa?!" Tangis Melati berganti rona merah padam.

Iman melirik Melati jail. "Kamu yang minta dan kamu sangat menikmatinya. Coba kamu ingat-ingat lagi," godanya.

"Aku nggak—" Melati salah tingkah.

"Gini-gini aku gentleman, Mel. Aku sudah bilang, kan, aku anti bercinta sama wanita yang mabuk. Aku juga enggan memaksa orang berhubungan seks denganku. Aku mau suka sama suka," ujar Iman. Ia lalu memandang Melati genit. "Kalau sekarang semisal kamu berubah pikiran dan ingin ku-fingering lagi, boleh, kok."

"Aku mabuk! Aku nggak sadar!" kilah Melati. Demi berpaling dari malu, ia pun melengos pergi. "Aku harus pulang."

"Mandi dulu sana," seloroh Iman. "Kamu bau alkohol. Lagian ..."

Melati menengok. "Lagian apa?" gerutunya senewen.

Iman tersungging.

"Lagian, apa nggak kerasa kalau underwear-mu lengket akibat semalem?"

Melati mendengkus. "HAH!" geramnya.

"Mel," panggil Iman.

Melati tidak mengindahkan. Ia mengambil langkah besar untuk menjauh. Paling-paling Iman akan menggodanya lagi sampai puas.

"Melati!" susul Iman.

"Apa, sih?!" pelotot Melati. "Kamu mau meledekku lagi, bukan? Sudahlah, jangan kekanak-kanakan." Ia lantas menyorot Iman tajam. "Tapi, thanks, karena tidak memanfaatkan kesempatan kemarin untuk bercinta denganku."

Iman membalas tatapan Melati.

"Aku bukan mau meledekmu lagi, aku cuma mau kasih tahu kalau orang tuaku berniat bertemu dengan keluargamu, secepatnya."

"Secepatnya?" ulang Melati.

Iman mengangguk membenarkan. "Kalian harus segera pindah ke rumah baru yang sudah kusiapkan."

***

[Satu Minggu Kemudian]

Lastri sibuk menata meja tengah yang dipenuhi oleh piring-piring berisi makanan. Sejak sore ia sudah keluar masuk dapur demi persiapan menyambut calon besan. Suaminya, Yanuar, juga sudah berpakaian rapi. Lelaki itu duduk diam di depan televisi.

Melati dan keluarganya telah pindah ke rumah pemberian Iman; rumah yang Melati bilang sebagai rumah kontrakan dari hasil bekerja sebagai SPG, sungguh pembohong ulung.

"Bu," sapa Melati.

Lastri mengelap sendok dan garpu dengan teliti. "Hmm?" responnya.

"Ibu, janji, bukan, tidak akan menceritakan tentang ekonomi keluarga kita pada orang tua mas Iman?" selidik Melati.

Lastri mendengkus.

"Iya," jawabnya singkat. "Ibu, kan, sudah bilang kalau semua terserah kamu."

Melati menatap Lastri lamat.

"Bu," panggil Melati lagi. "Ibu kenapa ketus begitu sama aku? Apa Ibu tidak senang punya calon menantu kaya raya?"

Lastri mendongak untuk menyorot Melati. "Selama ini, Ibu tahu kalau kamu mengira Ibu mata duitan," ujarnya. "Tapi, kamu harusnya tahu kalau penilaianmu salah, Mel."

Rahang Melati mengeras.

"Ibu selalu memaksaku bekerja. Ibu menuntutku membayar utang-utang bapak. Yang Ibu bicarakan denganku juga selalu soal uang; kapan aku gajianlah, bonusanku berapalah," sungut Melati.

"Ya, karena cuman kamu yang bisa Ibu andalkan!" dalih Lastri. "Kamu lihat bapakmu. Stroke, ngomong pun tidak bisa. Sementara, Wisnu, dia masih remaja, belum dewasa." Matanya berkilat menahan getir. "Kamu tahu sendiri, Ibu juga tidak berdiam diri — Ibu ke sana ke mari jadi tukang cuci keliling. Dari satu rumah ke rumah lain. Tapi, kamu harus mengerti kalau hanya pekerjaan itu yang bisa Ibu lakukan."

Melati terdiam.

Lastri kembali melanjutkan, "Jika Ibu terkesan mata duitan, Ibu minta maaf. Tetapi, Ibu tetaplah Ibu kandungmu, yang melahirkanmu, dan mencemaskanmu." Bibirnya gemetar karena menahan tangis. "Lalu, sekarang kamu tiba-tiba mau menikah dengan seseorang yang baru saja kamu temui. Kamu sampai rela memakai uang insentifmu untuk kontrak rumah sebagus ini demi memenangkan hati calon mertuamu. Bagaimana Ibu tidak khawatir, Mel?"

"Ibu tak perlu mencemaskanku," dalih Melati. "Mas Iman merupakan lelaki baik yang pantas untuk menjadi suamiku."

"Dari mana kamu tahu dia baik? Kalian kenal belum ada setahun!"

"Aku tahu saja, Bu!" Melati bersikukuh.

Lastri memalingkan muka. "Ya sudah, Ibu sudah menyampaikan kegelisahan Ibu. Kamu mau terima atau tidak — itu hakmu."

"Ibu cemas karena takut aku tidak akan mengirim uang bulanan lagi setelah menikah, kan?"

Lastri seketika terbelalak. "Ibu benar-benar mencemaskan kamu, Melati."

Melati meringis getir.

"Sudahlah, Bu," ucap Melati. "Apa Ibu pikir aku lupa, bagaimana ekspresi Ibu waktu mas Iman menjanjikan uang bulanan untuk Ibu?" Ia terkekeh penuh cemooh. "Ibu langsung setuju akan hubungan kami."

"Ibu ..." Lastri tergagu.

"Di dunia ini, Ibu cuma memikirkan diri sendiri dan bapak. Entah apa artinya aku dan Wisnu buat Ibu," decih Melati.

"Kamu jaga omonganmu, Mel," dengkus Lastri. "Ketimbang memikirkan Ibu, kamu pikirkan adikmu. Dia tak merestui rencana pernikahanmu. Bisa-bisa dialah yang nanti membeberkan rahasia keluarga kita."

Melati menggeleng.

Ia melenggang pergi menjauhi Lastri. Berdebat dengan Lastri hanya akan memperburuk perasaannya. Lebih baik ia menunggu kedatangan Iman di teras.

Melati tersentak tatkala menemukan Wisnu duduk melamun pada undakan.

"Nu?"

Wisnu melirik sinis.

Melati mendekat sambil tersenyum. "Bentar lagi mas Iman dan keluarganya datang, lho. Kok, kamu masih pakai kaos dan celana pendek begini?"

"Aku nggak berniat ketemu mereka," ketus Wisnu.

"Nu? Maksud kamu apa?" Melati mengernyit.

"Ya, aku nggak mau ketemu mereka, Mbak," tegas Wisnu.

"Mana bisa begitu? Kamu harus kenalan sama calon suami Mbak."

Wisnu mendengkus.

"Rumah ini — dia yang bayarin, ya? Dia pikir bisa membeli Mbak Melati gitu?"

"Kamu ngomong apa, sih, Nu?" kilah Melati.

"Kenapa Mbak merelakan hidup untuk menikahi orang asing yang berjanji menopang kehidupan kita? Aku pikir Mbak Melati punya prinsip yang kuat!" Intonasi Wisnu meninggi.

"Orang asing?" sergah Melati. "Mas Iman dan Mbak udah kenal sejak lama."

Wisnu kembali mendengkus. "Mbak dapat gelar sarjana saja belum, tetapi tiba-tiba memutuskan menikah. Padahal, Mbak selalu bilang kalau mau jadi pengacara sukses." Ia memandang Melati tajam. " Ke mana mimpi besar yang Mbak punya itu?"

"Menikah bukan akhir segalanya. Mbak tinggal sidang dan wisuda. Lalu, melanjutkan PKPA, dan magang, demi mendapat gelar pengacara. Pernikahan tidak menghentikan mimpi yang Mbak punya," terang Melati.

"Ya, kalau begitu — kenapa dia tidak mau tunggu sampai Mbak wisuda? Dia itu mau menahan Mbak, membeli Mbak menggunakan hartanya!" hardik Wisnu.

"Mas Iman mendukung apa yang Mbak ingin lakukan," tampik Melati.

"Bisa saja dia menghamili Mbak secepatnya biar Mbak tidak bisa ke mana-mana!" pelotot Wisnu.

Melati menyorot Wisnu dalam. Ada haru bersarang dalam relungnya. Ternyata — Wisnu sangat peduli padanya.

"Nu," kata Melati lembut. Ia meraih tangan Wisnu dan menggenggamnya. "Mbak janji sama kamu kalau kehidupan Mbak — kehidupan kita — akan membaik ke depannya. Mbak juga janji akan menunda momongan sampai Mbak mencapai mimpi Mbak."

"Tapi, Mbak—"

"Ya, kamu memang benar," sela Melati. "Salah satu alasan Mbak menikah dengan Mas Iman adalah karena dia sudah mapan. Tetapi, selain itu, dia adalah lelaki baik hati yang bertanggung jawab. Kami juga saling mencintai. Jadi, semuanya bukan semata-mata karena uang."

Cuih! Pembohong.

Melati heran sendiri. Sejak kapan dirinya berubah menjadi pendusta ulung.

Wisnu melunak. "Mbak serius bahagia dengan keputusan ini?" selidiknya.

Melati mengangguk.

"Sangat. Mbak sangat bahagia."

Di tengah pembicaraan, mobil Alphard hitam berhenti di depan gerbang rumah. Melati dan Wisnu kompak memanjangkan leher ke arah luar rumah.

"I-itu mereka, Mbak?" tanya Wisnu.

Jantung Melati seketika berdebar kencang.

"Ya," sahutnya. "Itu Mas Iman dan orang tuanya."

Darls, SUGARBABY bisa kalian baca utuh dan lebih cepat di KARYAKARSA. THANK you buat dukungannya, ya! Jangan lupa vote & komen sebanyak-banyaknya supaya Ayana makin semangat publish di Wattpad.

Sayang kalian 🖤🖤🖤
























Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top