13. Lunch
Iman terpagun sambil menyangga sisi kepala pada kaca jendela.
Ia terbayang-bayang ciuman bersama Melati tempo lalu. Ada candu menggerayang menguasai; ada kilat manis menghantui memori, dan ada hasrat ingin mengulanginya, lagi, dan lagi. Iman seketika mendengkus. Apa istimewanya, sih? It's just a kiss. Iman bahkan bisa mendapatkan lebih dari wanita-wanita lain.
Tapi ...
Sialan! Iman hanya menginginkan Melati seorang.
Tubuh wanita itu laksana opium. Bibir Melati bagaikan narkoba, sekalinya mencoba, bakalan ketagihan sampai hampir gila.
Toktoktok. Ketukan pada kaca membuyarkan lamunan Iman. Ia bergegas membuka central lock dan membiarkan Melati masuk ke dalam Rubicon.
"Hei," sapa Melati tersenyum.
Iman menelan saliva.
Tidak dapat dipungkiri, ia sangat terkesima dengan penampilan Melati yang cantik. Dari tubuh Melati menguar aroma parfum mirip permen. Apa lagi setelah berganti warna rambut menjadi hitam, paras Melati makin segar dan menggoda. Meski memakai riasan tipis, Melati justru tampil outstanding. Pakaian yang wanita itu kenakan juga elegan, blouse berbahan satin dengan tailored pants.
Iman mengusap bakal janggutnya gusar. "Ya," balasnya.
Melati melirik Iman penuh tanya. Ia merasa ada yang aneh dengan calon suami (palsu)-nya.
"Kenapa kamu?"
"Kenapa, kenapa?" Iman balik tanya.
"Kelihatan kusut," terang Melati.
Karena kamu. "Kurang tidur aja. Cemas memikirkan hari ini," dalih Iman.
"Oh," desah Melati. "Sama. Aku juga gelisah, tapi, aku akan berusaha sebaik mungkin tampil menyenangkan di depan keluargamu."
"Hanya ada papi dan mamiku. Om dan Tanteku sedang liburan ke LN," ujar Iman.
Melati bernapas lega. "Syukurlah. Semakin sedikit orang yang akan kutemui."
"Jangan tenang dulu. Mamiku orang yang mendetail, sementara papi lebih banyak diam tetapi sibuk mengamati. Kamu harus hati-hati, ingat skenario kita," ujar Iman.
Melati mengangguk.
"Ya." Ia memainkan kuku-kuku jempol demi mengalihkan gugup. Masa depan Melati dipertaruhkan di sini, restu orang tua Iman adalah tiket baginya keluar dari sengsara. Selain itu, beban Melati kiat bertambah karena Lastri sudah berkenalan dengan Iman.
Ibunya sudah menaruh harapan besar akan memiliki menantu konglomerat.
"Setelah makan siang ini, kamu harus membujuk keluargamu untuk pindah ke rumah yang sudah kusiapkan."
Melati mengangguk lagi. "Aku harus bilang apa pada mereka? Kalau tahu kamu membelikan kami rumah, ibuku akan semakin menjadi-jadi. Dia akan memanfaatkanmu dan minta lebih banyak."
"Itu PR-mu, Mel," sahut Iman tak acuh. "Cuman, semisal kelak ibumu meminta-minta sesuatu dariku, kamu tahu, kan, harus apa." Ia melirik Melati jail. "Apa yang kuberikan tak pernah gratis."
Melati membuang muka.
Bersama Iman, ia seakan-akan menjual jiwanya pada Iblis. Iman memang selalu memenuhi segala hajat Melati, namun ada harga yang harus ia bayar dengan — tubuhnya.
"Ngomong-ngomong ..." lanjut Iman. "Bagaimana hubunganmu dengan si om-om, pacarmu itu?"
Melati melotot. Tak sangka Iman akan membahas tentang Bramantya.
"Sudah kubilang, kan, kami putus," jawab Melati sewot.
"Sungguh?" selidik Iman. "Aku nggak mau kamu menyimpan rahasia dariku. Tidak menutup kemungkinan kalian masih menjalin hubungan di belakangku."
"Aku sudah putus!" tegas Melati.
"Dia nggak akan ikut campur lagi ke dalam hidupmu, kan? Aku takut mantanmu akan mengacaukan rencana kita."
"Nama asliku saja dia tak tahu," dengkus Melati. "Tenang sajalah. Dia sepenuhnya lenyap dari hidupku."
Iman menoleh sekelibat.
Ia menangkap perubahan sorot Melati yang mendadak sendu.
"Kamu ... masih cinta sama om itu, ya?" deham Iman.
Melati berpaling. "Nggak," kilahnya.
"Oh ya?" desak Iman penasaran. "Jadi perasaanmu ke dia bagaimana? Cuma memanfaatkannya demi uang, huh?"
"Bukan urusanmu!" gerutu Melati.
"Sudahlah. Lupakan saja tua bangka itu. Dia, kan, sudah berkeluarga, kamu nggak sepatutnya merusak ru—"
"SUDAHLAH!" bentak Melati. "Aku nggak butuh ceramahmu. Aku tadi udah bilang, sudah putus, ya berarti nggak usah dibahas lagi!"
Iman merengut. "Kamu tak perlu membentakku," protesnya. "Padahal kamu itu bekerja untukku, jadi secara nggak langsung aku ini bosmu! Harusnya kamu lebih sopan padaku, Mel."
Melati terdiam.
Ia menghindari tatapan Iman. "Maaf," ucap Melati pelan.
Kendaraan yang dikemudikan Iman akhirnya melambat. Mereka tiba di sebuah rumah megah dengan pintu gerbang tinggi menjulang. Untuk masuk ke dalam saja, mereka harus menunggu security yang membuka gerbang.
"I-ini rumah orang tuamu?" tanya Melati terkesima.
"Ya," jawab Iman. Ia pun membuka kaca jendela untuk menyapa security yang sedang berjaga.
"Siang, Mas Iman." Salah seorang security menunduk seraya tersenyum menyambut kedatangan Iman.
Melati terdiam.
Ia menyembunyikan keterkejutan karena tak sangka jika hunian milik keluarga Iman sangatlah megah. Bahkan, untuk masuk ke dalam rumah, kendaraan Iman harus menerobos jauh melewati taman luas nan rimbun.
"Ingat, Mel, panggil aku 'Mas Iman'!" peringat Iman. "Selalu tersenyum dan berlakulah manja dan mesra padaku."
"I-iya," sahut Melati berdebar.
"Satu lagi," pesan Iman. "Nanti kalau mami nyodorin camilan, kamu jangan makan duluan. Kamu harus menungguku menyuapimu. Kamu juga tidak boleh menangkis tanganku yang mengelap bibirmu menggunakan tisu."
Melati melotot.
"Kamu bahkan menyiapkan drama cheesy macam itu?!" sungut Melati.
"Sudah kubilang kalau mamiku mendetail dan papiku gemar mengamati," dalih Iman. "Kamu nurut sajalah!"
"Tapi yang tadi lebay banget, lho! Jijik. Aku bisa makan sendiri, aku nggak lumpuh!" sanggah Melati.
"Mel, ini bukan saatnya bertengkar!" Mata Iman melotot tetapi bibirnya tersenyum.
Mereka hampir tiba di depan teras pintu utama.
"Terserahlah." Melati mengibaskan tangan.
Rubicon Iman lantas berhenti sempurna, di mana tiga staf rumah tangga sudah berdiri tegak menunggu kedatangan mereka.
"Kubukakan kamu pintu, Sayang," ucap Iman penuh penegasan.
Melati tersenyum terpaksa. "Makasi, ya, Mas," balasnya.
Sambil mempertahankan sunggingan imitasi, Iman keluar dari mobil dan bergegas membukakan Melati pintu. Iman bahkan tidak lupa membimbing tangan Melati saat menuruni kendaraan. Perlakuannya sangat manis hingga bulu kuduk Melati bergidik hebat.
"Selamat datang, Mas Iman, Mbak Melati," sambut staff rumah tangga. "Bapak dan Ibu sudah menunggu di dalam."
Jantung Melati bergemuruh.
Melalui telapak sedingin es, ia menggenggam jemari Iman erat. Iman pun membalas dengan menggandeng Melati lebih rapat. Batas antara sandiwara belaka dan realita menjadi samar. Perhatian Iman pada Melati terkesan tulus. Sementara, hanya Imanlah tempat Melati bersandar.
"Jangan jauh dariku," bisik Melati.
Iman tersenyum teduh. "Aku tak akan meninggalkanmu sedetik pun." Ia lalu mengecup pelipis Melati. "Kamu nervous?"
"Ya," aku Melati.
"Every thing will be fine. Mereka akan menyukaimu." Iman menenangkan Melati.
Kemesraan yang ditunjukkan Melati dan Iman sontak membuat para staff rumah tersenyum-senyum, baper.
Iman mengajak Melati melenggang ke dalam.
Napas Melati terhenti sesaat tatkala menyusuri bangunan beraksitektur Jawa - Joglo yang begitu megah. Atap brunjung atau atap tinggi dengan sudut kemiringan paling tajam menjulang ke udara; tampak lengkung besar dan kokoh pada sisi-sisinya, menunjukkan keanggunan arsitektur khas Jawa kuno. Sementara di dinding rumah penuh ukiran kayu rumit yang seolah-olah menggambarkan kisah dari zaman dahulu. Di lain sisi, pada tiap jendela dan pintu dikelilingi ornamen cantik yang terlihat sangat elegan.
Iman lalu mempersilakan Melati duduk di ruang tengah. "Duduk dulu, Sayang," katanya lembut.
"Mas Iman, mau dibuatkan minum apa?" tanya salah satu staff rumah.
"Kamu mau minum apa, Mel?" tanya Iman pada Melati.
"Apa saja, Mas," jawab Melati. "Terserah."
Iman lantas menatap si staff rumah. "Bawakan minuman apa saja, asal jangan yang manis," katanya.
"Baik, Mas." Si staff bersiap pergi ke belakang.
"Kok nggak pada tanya, kenapa nggak boleh minuman manis?" celetuk Iman.
Si staff, termasuk Melati pun berkernyit kebingungan.
Iman terkekeh. "Karena dia sudah sangat menis." Ia mencubit pipi Melati dengan gemas.
Melati meringis. Sementara si staff memaksakan tawa demi menghormati anak majikannya. Ia lalu mengucap permisi dan pergi tanpa suara.
"Garing," pelotot Melati.
Iman mendecih. "Bodo amat. Yang penting kita kelihatan romantis di depan orang-orang."
"Romantis apanya? Kamu malah terkesan lebai, tahu, nggak!" sanggah Melati.
Iman menekuk muka.
Ia membiarkan Melati mengelilingi penjuru ruangan sendirian.
Kekaguman Melati masih belum tuntas. Ia sibuk menelisik foto-foto yang terpajang pada pigura di meja sudut.
"Ini orang tuamu? Pak Bimo dan Ibu Farah?" tanya Melati.
Iman bangkit dari sofa dan menghampiri. Ia melirik bingkai foto yang dipegang oleh Melati.
"Ya," sahut Iman. "Tapi jangan panggil mereka 'Pak' dan 'Bu'. Kaku banget. Panggil mereka nanti 'Om' dan 'Tante'. Ngerti?"
"Iya, aku tahu ..." sahut Melati. Netranya terpaku pada potret Bimo dan Farah; aura karismatik jelas terpancar sosok calon mertuanya, Orang kaya emang beda.
Melati berpindah untuk melihat koleksi foto yang lain. Ia mengulum senyum tatkala mendapati foto Iman ketika masih bertubuh tambun. Sangat berbeda dari penampilannya yang sekarang.
"Eh, Mel," panggil Iman. Ia mengambil satu pigura dan memamerkannya pada Melati. "Ini aku waktu masih lima tahun."
Tawa Melati pecah. "Lucu banget! Gemoy."
"Sekarang juga masih lucu," kelakar Iman.
Tarikan bibir Melati seketika menyusut. "Idih ..." decihnya.
Iman kembali meraih pigura yang lain. "Kemarilah," ajaknya. "Kutunjukkan seluruh keluarga kami; ada orang tuaku, sepupuku, lalu om, dan tanteku—"
Saat Melati hendak menengok, Farah dan Bimo pun datang. Tampak jelas senyuman Farah melebar tatkala melihat sosok calon menantunya yang cantik jelita.
"Halo," tegur Farah. "Lama menunggu, ya?"
Melati sontak menegakkan badan. Ia mengikuti Iman yang menyalami tangan Farah dan Bimo.
"Kenalkan, ini Melati, Pi, Mi," terang Iman.
"Siang, Tante." Melati mencium pipi Farah. Lalu berganti mengecup punggung tangan Bimo. "Siang, Om."
Mata Farah berbinar. Ia memandangi Melati dari ujung rambut hingga ujung kuku.
"Cantiknya ..." puji Farah.
Melati menggeleng. "Tante bisa saja," ucapnya. "Justru saya yang kaget barusan, tak sangka Maminya Mas Iman secantik ini. Mana masih sangat muda lagi."
Farah sontak tertawa. Ia menutup bibirnya dengan jari-jari yang penuh cincin berlian. "Masa, sih?" Rautnya merona.
"Belum aja ketemu sama tante Ayu," sela Iman. "Dia hampir kepala lima, tapi masih tampak seperti remaja. Sophia Latjuba tidak ada apa-apanya."
Sunggingan Farah memudar. Bisa-bisanya putra tunggalnya memuja orang lain ketimbang ibunya sendiri. Menyadari perubahan raut Farah, Melati buru-buru memperbaiki suasana.
"Saya memang belum bertemu dengan tante Ayu, Mas. Namun, tetap saja kekaguman saya terhadap Tante Farah tak akan berubah. Menurut saya, Tante punya karisma elegan yang membuat siapa pun iri. Ketimbang memaksakan diri tampil lebih muda dari pada usia, saya lebih ingin seperti Tante Farah. Memukau dan stunning."
Farah sumringah. Ia lalu menggandeng lengan Melati dengan akrab. "Terima kasih, ya, Melati. Mari, duduk dulu."
Tak berselang lama, pengurus rumah tangga datang sembari mendorong troli makanan. Mereka meletakkan teko teh dan tier dessert tray berisi bermacam cake mungil nan cantik.
"Silakan diminum dulu, Melati," kata Farah mempersilakan tamunya.
"Terima kasih, Tante." Melati berbinar oleh visual cake yang tersaji. "Kue-kuenya lucu banget."
"Tante bikin sendiri," ujar Farah.
Bimo membenarkan. "Maminya Iman ini memang hobinya masak dan buat kue."
"Wah, senang sekali, ya, tiap hari Mas Iman dan Om disuguhi makanan dan dessert cantik seperti ini," sahut Melati.
Bibir Farah mengerucut. "Iman jarang makan bersama kami. Sementara si Om kurang suka makanan manis. Biasanya, para pembantu yang menghabiskan cake hasil kreasi Tante."
"Ya ampun," desah Melati. "Kalau begitu, bisa nggak pekerjakan saya sebagai asisten rumah tangga Tante? Saya nggak keberatan digaji sama kue-kue cantik ini tiap harinya."
Tawa Farah kembali merekah. "Melati, kamu ini menggemaskan sekali."
Iman mengulum senyum. Ia tidak salah memilih Melati sebagai partner-nya. Kemampuan Melati untuk bersandiwara dan menyenangkan orang lain luar biasa hebat!
"Boleh saya cobain satu cake-nya, Tante?" tanya Melati antusias.
"Silakan, Sayang. Ambil sesuka hatimu. Di belakang masih ada banyak," terang Farah tak kalah semangat.
Iman bergegas menyenggol lengan Melati. Ia mencegah Melati agar tidak mengambil kue pada tray. Apa Melati lupa kalau Imanlah yang seharusnya menyuapinya?!
Melati mengernyit.
Ia sama sekali lupa dengan drama cheesy yang sudah dipersiapkan oleh Iman. Mereka berdua pun saling beradu pandang sambil melempar pelototan tajam.
Farah dan Bimo sontak saling pandang.
"Ada apa, Mel?" selidik Farah.
Iman terkekeh. "Ini, lho, Mi," sahutnya. "Melati punya kebiasaan kalau bukan aku yang nyuapin, dia kurang berselera makan."
"Betul begitu, Melati?" Farah menatap Melati terkejut.
Sialan! "I-iya, Tante. Tapi, saya sungkan melakukannya di depan Om dan Tante."
"Tak perlu sungkan. Tante, malah suka kalau kalian berdua mesra dan harmonis," kilah Farah.
Iman menyeringai. Ia mencomot sebuah mini tart lemon berhiaskan edible flower dan menjejalkannya ke dalam mulut Melati.
"Enak, Sayang?" tanya Iman menahan geli.
Melati berusaha mengunyah mati-matian. Meski bisa dimakan, edible flower itu tetap saja pahit. "Enak, Mas," jawabnya.
Kedua alis Farah bertautan. "Mami tadi lihat, edible flower-nya belum kamu pinggirkan, Man." Ia beralih memandang Melati. "Apa tidak pahit, Mel?"
Iman menelan tawa. "It's okay, Mi. Melati ini menganut flower diet, jadi, dia secara rutin mengkonsumsi bunga-bungaan demi menjaga berat badan agar tetap ideal."
"Ada yang seperti itu, ya?" tanya Farah ragu.
"Ada, dong. Mami aja yang kurang update. Ya, kan, Sayang?" Iman menatap Melati penuh intimidasi.
"Ehehe, iya, Tante," gumam Melati tertekan. Tidak mau menderita sendirian, Melati pun mengambil satu cupcake cokelat dan menyodorkannya pada Iman. Tanpa mengupas paper cup-nya, ia langsung menyuapkannya ke dalam mulut Iman. "Rasa cokelat merupakan kesukaanmu, kan, Mas Iman?"
Iman hampir muntah. Ia merasakan paper cup yang terkunyah oleh giginya. Ingin sekali berteriak memarahi Melati, tetapi mana bisa?!
"Tunggu dulu, Man? Kamu, kok, makan sekertas-kertasnya, to?" telisik Farah.
"Nah, kalau Mas Iman sedang menjalani paper diet, Tante. Jadi, dalam sehari paling tidak mengkonsumsi selembar kertas demi melancarkan sistem digesti," kilah Melati. "Ya, kan, Mas?"
Iman mau tak mau mengangguk. Dia masih berusaha menelan cake yang bercampur kertas.
Farah menggeleng tak habis pikir. "Ada-ada saja. Baru kali ini Tante dengar yang begituan. Apa tidak bahaya?"
"Bahan kertas adalah serat pohon, Tante. Jadi aman. Ya, kan, Mas?" toleh Melati lagi.
"Iya," gumam Iman lirih. Ia buru-buru menyambar cangkir dan menenggak cairan teh dengan impulsif. Melati, sialan!
Farah tersungging.
Ia memerhatikan tatapan penuh cinta yang sedari tadi Iman torehkan pada Melati. Melati pun sama. Hati Farah berbunga, ia yakin bisa mendahului Nadia - mantan menantunya yang tak tahu diri itu.
"Bagaimana cara kalian bertemu?" tanya Farah.
Iman dan Melati saling pandang.
Melati menahan napas gusar, sesuai arahan Iman, ia harus berpura-pura sebagai wanita agresif yang mengejar-ngejarnya.
"Kita dulu satu sekolah, Tante," jawab Melati, "Saya murid SMP, dan Mas Iman senior di SMA. Lalu ..."
"Aku naksir Melati sejak pertama lihat dia, Mi," sela Iman.
Melati terkesiap. Ia menatap Iman kebingungan, bukankah skenarionya bukan begitu?
"Jadi, kamu yang suka Melati duluan, Man?" buru Farah.
Iman mengangguk. "Mami inget, nggak, pas sekolah dulu, aku sering minta dibawain bekal chocolate cake buatan Mami. Ya, itu sebenarnya buat Melati," bebernya. Ia lantas menggenggam punggung tangan Melati. "Buat aku, Melati adalah gadis paling cantik dan memesona satu sekolahan. Selain itu, dia juga pintar. Sayangnya — kami nggak punya waktu banyak untuk saling mengenal karena aku keburu lulus."
"Terus?" Farah mengulum senyum.
"Ternyata, Tuhan punya rencana lain. Aku dipertemukan lagi sama Melati waktu dia lagi beli kopi." Iman melirik Melati teduh. "Dan, aku tak mau kehilangannya lagi. Jadi, aku mengejar-ngejarnya seperti orang gila."
Bimo terkekeh. Sementara Farah merona sendiri.
"So sweet, ya, kalian ..." gumam Farah.
Melati terdiam.
Perlakuan Iman kepadanya membuat hati Melati luluh lantak. Jantungnya bahkan berdebar-debar kencang hingga salah tingkah sendiri. Iman menyabotase skenario yang ia buat, tetapi kenapa?
"Yang namanya jodoh, tak akan lari ke mana," imbuh Bimo.
"Betul itu, Pi," timpal Farah. Ia lantas berpindah duduk ke sisi Melati. "Mel, apa Iman sudah menyampaikan kalau dia mencari calon istri? Bukan lagi sekedar berpacaran."
Melati mengangguk.
"Sudah, Tante."
"Dan kamu setuju?" Farah membingkai Melati lekat.
"Melati adalah wanita yang sulit untuk ditaklukkan, Mi. Dia juga kurang suka bergonta-ganti pacar, jadi Melati sangat setuju saat tahu aku mencari pendamping hidup," ungkap Iman.
Farah berbinar. "Sungguh, Mel?"
"Iya, Tante," sahut Melati membenarkan.
Tawa Farah merekah. "Ah, syukurlah. Tante sangat senang mendengarnya."
"Segerakan menentukan tanggal," kata Bimo ikut tersenyum. Ia lalu menelisik Melati melalui tatapan mengintimidasi. "Oh, ya, kamu masih kuliah atau sudah lulus, Melati?"
"Sa-saya kuliah, Om. Sedang menunggu panggilan sidang." Melati tertunduk segan.
"Jurusan apa? Di mana?" tanya Bimo lagi.
"Ambil jurusan Hukum di Universitas Surabaya, Om."
Bimo mengangguk mafhum. "Prof. Peter masih mengajar di sana?" pancingnya.
"Masih. Beliau masih aktif mengajar Filsafat Hukum," terang Melati. "Om, kenal?"
"Ya. Kami dulu teman satu sekolah," kenang Bimo.
Farah lantas menyenggol lengan Melati. "Setelah lulus, apa rencanamu, Mel?"
"Saya ingin menjadi Pengacara, Tante. Jadi, mungkin akan menempuh PKPA atau Pendidikan Khusus Profesi Advokat setelah lulus S1," ungkap Melati.
Farah sontak mengernyit. "Kamu ingin menjadi Pengacara? Tapi kalian, 'kan akan segera menikah."
"Tidak ada larangan bagi seorang wanita yang sudah menikah untuk menempuh pendidikan profesi Advokat, kok, Tante."
Farah menggeleng. "Tante, tahu. Maksud Tante ... kalau kamu sibuk sekolah lagi dan magang — nanti siapa yang mengurus Iman? Lagi pula, sebagai seorang istri, kamu sebaiknya di rumah saja menjadi Ibu Rumah Tangga. Toh, Iman akan mencukupi segala kebutuhanmu, tanpa kamu perlu repot bekerja segala."
"Ta—"
Farah gesit menyela. "Kodrat wanita adalah diam di rumah untuk mengurus suami. Apa lagi, Iman merupakan lelaki mapan yang punya penghasilan fantastis. Tiada kewajiban bagimu keluar rumah mencari nafkah lagi."
Ekspresi Melati mengeras.
"Mengurus suami di rumah itu bukan kodrat wanita, Tante—" sanggah Melati.
SUGARBABY pernah tamat di wattpad, dan ini merupakan republish + revisinya. Selamat membaca, jangan lupa tinggalkan votes dan komen biar Ayana semangat menamatkan kisah ini di WP.
Buat kalian yang nggak sabar, silakan mlipir ke Karyakarsa untuk Baca Lebih Cepat 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top