10. Vibrator

Melati menggeliat gelisah.

Sudah pukul dua dini hari dan dia tidak sanggup memejamkan mata sedetik pun. Semua karena teringat akan janji Iman yang berniat membelikan keluarganya rumah. Rumah. Lelaki itu mudah sekali bicara seakan-akan hendak membeli kacang. Tapi, bagaimana jika Iman serius?

Melati nyalang memandangi langit-langit rumahnya yang bobrok - kalau benar demikian, ia bakal segera enyah dari tempat kumuh ini.

Senyum Melati merekah.

Beginikah rasanya punya banyak uang? Mau beli apa saja bisa. Bahkan, dirinya pun mampu Iman sewa selama beberapa bulan ke depan. Kekuatan uang memang luar biasa.

Bosan melamun, Melati lantas meraih ponsel. Ia bergegas membuka halaman pencarian online dan mengetikkan nama Iman di sana. Tak menunggu lama, profil singkat Iman terpampang pada hasil penelusuran.

Imantara Putra Sasongko --- putra tunggal dari pasangan Bimo Sasongko (Presiden Direktur PT. Sasongko Jaya, perusahaan pada bidang toko retail eletronik terbesar di Indonesia) dan Farah Aramutia.

Imantara Putra Sasongko merupakan CO CEO pada PT. Sasongko Jaya dan memiliki beberapa perusahaan rintisan di bidang garmen dan rokok elektrik (vape).

Napas Melati tertahan. Ia meletakkan ponselnya sembarangan seraya kembali terbuai dalam angan. Iman memang bukan lelaki sembarangan - dia sungguhan kaya - kaya raya lebih tepatnya!

Sebersit ketakutan menyeruak.

Bagaimana jika rencana kebohongan yang Melati dan Iman susun, justru ketahuan? Melati mendesah berat. Sepertinya malam ini ia terpaksa terjebak dalam pikiran berkecamuk tiada berujung.

***

Iman menyandarkan lengan pada kaca jendela Rubicon.

Ia menelisik tiap sudut jalan demi menemukan sosok Melati yang ditunggu-tunggu. Hari ini mereka berjanji bertemu, tetapi alih-alih menjemput Melati di rumah, Iman justru harus menunggu pada sisi jalan raya. Melati belum mau memberikan alamat rumahnya pada Iman.

Pikiran Iman seketika bertualang, ia mengenang momen erotiknya bersama Melati tempo lalu.

Iman masih ingat betapa lembut mimpitan daging kenyal milik Melati. Kewanitaan itu sangat basah dan rapat. Iman juga terbayang-bayang buah dada Melati yang kenyal dan bulat menggantung. Oh, dia bisa gila! Ingin sekali melumat dan meremas gundukan sekal Melati. Nafsu Iman seketika menyala, tetapi, ia tak boleh gegabah.

Terlalu buru-buru akan membuat Melati lepas dari genggamannya. Iman juga enggan memohon-mohon pada Melati. Dia berencana tetap acuh tak acuh sampai Melati bertekuk lutut di kakinya. Kelak, wanita itu pasti akan berlutut minta dipuaskan oleh Iman. Ya, Iman yakin.

Toktoktok.

Iman tersentak dari lamunan. Melati sudah berdiri di samping mobil sambil mengetuk-ketuk jendela. Iman pun membuka central lock agar Melati bisa masuk.

"Aku menunggumu sampai kering!" dumal Iman.

Melati duduk dan mengatur posisinya agar nyaman. "Kering? Kamu berada di dalam mobil ber-AC."

Iman mendecih. "Kenapa aku nggak boleh jemput kamu di rumah?"

"Aku belum menceritakan 'soal kita' pada keluargaku. Kurasa akan lebih baik kalau kita menemui keluargamu dulu. Ibuku yang mata duitan bakalan kesenengan kalau tahu kita akan menikah," jelas Melati.

"Ya bagus, kan? Berarti nggak akan ada penolakan dari sisi keluargamu," sahut Iman.

"Memang," timpal Melati. "Namun, ada kemungkinan keluargamu akan menolakku, dan itu pasti menghancurkan harapan ibuku."

"Mami dan papiku nggak akan menolakmu. Sudah kubilang, bukan, kalau pernikahan kali ini, akulah yang memutuskan sendiri siapa calonku," sanggah Iman.

"Tetap saja aku cemas," aku Melati. "Dan, satu hal, kalau keluargamu menolakku, uangmu tak bisa kembali."

"Ya, ya, aku tahu." Iman mendengkus. Ia memindah gigi agar mobil bergerak maju.

"Kita mau ke mana?" selidik Melati.

"Shopping dan ke salon."

"Huh?" Melati bingung.

"Kuamati, pakaian dan tasmu nggak ada yang bermerek, paling nggak kamu harus kelihatan sophisticated waktu ketemu orang tuaku nanti. Selain itu, warna rambutmu terlalu mencolok, aku mau kamu ganti ke yang lebih gelap."

Melati melotot. "Penampilanku pun kamu atur?"

"Iyalah. Selama beberapa bulan ke depan, tubuhmu adalah milikku. Anggap saja kamu merupakan Barbie yang kudandani agar lebih cantik untuk dipamerkan," ucap Iman.

Sialan! Melati mengumpat dalam hati.

"Ngomong-ngomong, kapan sisa bayaranku kamu lunasi?" tanya Melati.

"Kenapa? Buat bayar utang?" terka Iman.

Melati mengangguk lesu.

Iman kembali melanjutkan, "Total utangmu berapa, sih, Mel?"

"Delapan ratus juta. Yang lima ratus sudah aku bayarkan, tetapi alangkah lebih leganya kalau kulunasi sekalian. Supaya bunganya nggak naik terus," jawab Melati.

Iman kembali mendengkus.

Ada seutas miris karena Melati sama sekali tidak menikmati uang hasil jerih payahnya. Pantas saja Melati tak punya barang branded - ia mendedikasikan hidup untuk menanggung masalah yang ditimbulkan bapaknya.

"Sore nanti, akan kutransfer seratus juta ke rekeningmu," kata Iman.

"Thank you!" Melati sumringah.

"Lalu, dua puluh juta lagi sebagai tambahan," lanjut Iman.

Melati menoleh. "Apa?"

"Gunakan dua puluh juta itu untuk kebutuhan pribadimu. Setelah pertemuan dengan orang tuaku, aku akan transfer seratus juta lagi. Paham?" Iman melirik Melati sekelibat. Atensinya lantas kembali tertaut ke arah jalanan.

Melati terhenyak.

Jantungnya berdebar hingga hampir meledak. Dua puluh juta - untuk dirinya sendiri?

"Kamu serius?"

"Serius. Emang pernah aku nggak nepatin janji soal uang padamu?" ujar Iman.

"M-makasi," ucap Melati merona.

"Tapi, ada syaratnya, dong ..." Iman menyeringai.

Melati membeliak. "Syarat?"

"Coba ambil kotak di dalam laci dashboard, Sayang," titah Iman.

Melati menurut.

Ia menemukan kotak yang Iman maksud dan segera membukanya. Netra Melati terbelalak. Dia harusnya tahu kalau kebaikan Iman tak ada yang tulus.

"APA INI?" pelotot Melati.

Iman terkekeh. "Jangan pura-pura nggak tahu. Kamu tahu apa itu, Mel."

Yes. She does! "Maksudku, ini apa-apaan?" geram Melati. Ia menunjukkan vibrator merah muda yang memiliki bentuk C melengkung.

"Alat getar itu bisa kukendalikan dari jauh. Aku mau kamu pakai sekarang sambil berbelanja bersamaku." Iman menoleh ke arah bawahan Melati. "Sungguh kebetulan karena kamu memakai mini skirt, Mel."

"Pervert!" maki Melati.

"Yes, I am." Iman membenarkan. "Aku sudah pernah bilang, apa yang kuberikan tidak cuma-cuma. Selama tidak memaksamu bercinta, bukankah tak masalah?"

Melati terdiam.

Ia seharusnya lebih spesifik saat menyetujui perjanjian kontrak mereka.

"Aku harus menilai kemampuan beraktingmu, Mel," imbuh Iman. "Bagaimana kamu mampu bertahan di depan umum saat ledakan orgasme mengguncang tubuhmu - aku harus melihatnya."

"Kamu betul-betul lelaki mesum!" geram Melati.

"Ayo buruan pakai, kita mau sampai," desak Iman.

Melati menatap Iman penuh benci - tapi lagi-lagi ia tiada daya untuk menolak.

"Jangan lihat!" hardik Melati.

"Aku fokus menyetir," kilah Iman.

Melati pun melebarkan tungkai.

Pelan-pelan, tangannya menyelusup ke dalam rok untuk memasukkan Lush pengetar. Benda langsing itu dengan mudah terjepit di antara liang Melati yang rapat. Kemudian terjaga di balik celana dalam.

Tanpa Melati sadari, Iman diam-diam mencuri pandang.

Darah Iman berdesir hebat.

Seharusnya Melatilah yang tersiksa dalam permainan ini, akan tetapi, mengapa dirinya yang bergejolak bukan main? Sudah begitu ... celana Iman mulai terasa sempit akibat kebangkitan adiknya. Bangsat!

Rubicon yang Iman kendarai pun berhenti karena traffic light berganti merah. Saat itulah Iman mengambil gawai dan bergegas mengontrol Lovense Lush yang sudah bersarang pada milik Melati.

"Siap-siap, ya, Mel," kata Iman. Ia tersungging seraya menyorot Melati tajam.

Iman sengaja mengatur getaran pada kecepatan sedang.

"Oh ..." Melati tiba-tiba menggelinjang.

Ia merapatkan paha sambil menahan geliat. Dada Melati berguncang gemetaran. Sementara, bibir plumpy-nya sedikit menganga sensual.

Damn it!

Iman mendadak kehilangan akal. Melati berhasil menyuguhkan Iman pemandangan erotis yang membangkitkan gairah. Berulang kali, Iman membetulkan letak jeans-nya agar adiknya tak terjepit.

"Ehmh ..." Melati mendesah lirih.

"Suka, Mel?" tanya Iman.

Melati memandang Iman melalui tatapan sayu.

"Lumayan ...," jawab Melati berbisik.

Iman menyambar ponselnya lagi. "Kutambahin intensitasnya, ya."

Melati kian mengejan.

Lampu berubah hijau dan Iman harus membagi konsentrasinya ke arah jalan. Ia sibuk mengutuk diri, sialan, sialan, sialan, betapa terangsangnya Iman kepada Melati yang sedang dijajah oleh mainan penggetar. Semula ia berniat mempermainkan wanita itu, tetapi sekarang, siapa yang benar-benar dipermainkan?

Melati merapatkan kedua kaki.

Vibrator di dalam sana berhasil mengobrak-abrik tubuhnya. Melati merasakan kenikmatan tiada tara. Getaran Lush menyentuh titik-titik sensitif Melati yang sudah tegang. Ia ingin sekali berteriak. Hanya saja, Melati menahannya sekuat tenaga karena ada Iman di sebelahnya.

"Kamu menyukainya, Mel?" Suara Iman terdengar parau.

Napas Melati memberat.

"Kenapa?" Ia berbalik tanya.

"Aku bisa memberikan kenikmatan melampaui benda itu," sahut Iman.

Seutas tarikan pada kedua sudut bibir Melati pun muncul. "Aku lebih memilih bercinta dengan toys ketimbang denganmu."

Iman tersenyum kecut.

"Harga dirimu terlalu tinggi, padahal sebentar lagi kita akan menikah."

"Pernikahan palsu, dan sebuah pengingat bagimu kalau uangmu tidak bisa sepenuhnya membeliku," jawab Melati.

Iman meringis. Ia berbelok masuk ke dalam areal parkir mal yang terletak pada tengah kota Surabaya. Emosi Iman meletup, kesombongan Melati belum juga hilang rupanya.

Melati sadar sikapnya membuat Iman berang.

Ia pun memanfaatkan situasi tersebut untuk balas dendam. Iman harus mendapatkan serangan balik karena sudah mempermalukannya.

Melati menarik skirt-nya ke atas. Ia sengaja melebarkan kaki demi memamerkannya pada Iman.

"Oh ... ehmh ..." Melati merintih seduktif.

Iman hampir saja menabrak corong pembatas, beruntung ia cepat banting setir menghindari.

"Shit!" gumam Iman kesal.

Melati mengulum senyum karena rencananya berhasil. Ia menggoyangkan pinggul seraya memasang ekspresi keenakan akibat toy yang bersembunyi di bawah sana. Secara pelan, Melati bahkan memainkan buah dadanya yang masih tertutup kaos.

Iman memarkir Rubicon-nya sembarangan.

Kedua iris gelap Iman membingkai Melati dalam tatapan. "Kamu sedang menggodaku, huh?"

"Kenapa semuanya selalu tentangmu?" cerca Melati. "Apa kamu tak lihat kalau ada vibrator di balik celana dalamku? Tubuhku bergerak sendiri tanpa bisa kukendalikan."

"Tapi, kamu tadi tidak begitu!" Raut Iman keki. Senjata-nya meronta-ronta karena memandangi tampilan Melati yang kelewat seksi. Iman sudah ereksi berat.

"Soalnya makin lama makin enak." Melati meremas pahanya sendiri seolah sedang menahan berkemih. Ia lantas terpejam dan bersandar pada jok. "Kayaknya aku mau keluar ..."

Iman menggertakkan gigi.

"Berapa yang harus kubayar untuk bercinta denganmu, huh?"

SUGARBABY bakal aku publish di Karyakarsa, kalian bisa baca lebih cepat di sana 🖤🖤🖤





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top