Tiga
"Two things are infinite: the universe and human stupidity; and I'm not sure about the universe." ― Albert Einstein.
❀
Seperti biasa, wartawan yang sedang duduk-duduk di depan gedung KPK langsung berdiri tatkala melihat Sari, Vanya dan Deva turun dari mobil. Mereka begitu haus akan bahan berita yang fresh, mereka begitu haus akan pernyataan yang keluar langsung dari bibir keluarga Ahzaraka.
Seperti semut yang mencium bau gula, wartawan-wartawan itu mengerubungi keluarga Ahzaraka yang berjalan masuk dibimbing security yang merasa kasihan pada keluarga itu karna selalu berdesak-desakan dengan wartawan.
Vanya dan Deva selalu menggunakan masker setiap kali datang kesini maupun berada di keramaian sementara Sari mengenakan kacamata hitam besar yang hampir menutupi sebagian wajahnya. Hal itu untuk menghindari pengerubungan seperti saat ini. Bisa bahaya jika mereka hanya sendiri dan dikerubungi oleh wartawan-wartawan itu.
"selamat pagi mbak Sari, mau jenguk bapak ya?" tanya salah satu wartawan sambil menyodorkan mic ke arah Sari.
Sari tersenyum dan mengangguk. Sambil tetap menunduk, Sari berjalan menembus keramaian itu. Mengabaikan pertanyaan-pertanyaan lain yang dilontarkan para wartawan di sekelilingnya dan anak-anaknya.
Bukannya ia tak ingin menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang tak henti-hentinya terlontar dari para wartawan, namun Sari benar-benar tak tahu apa jawaban dari pertanyaan itu.
Begitu juga Deva dan Vanya, keduanya tetap menunduk sambil berpegangan pada lengan sang ibunda. Walaupun mereka tak mengatakan sepatah katapun, wartawan itu selalu berhasil membuat kedatangannya menjadi tajuk berita utama di stasiun televisi nasional.
Dua jam batas waktu yang diberikan untuk mengunjungi Mahru tak terasa berjalan begitu cepat jika bersama keluarganya. Rasanya baru beberapa menit mereka bersama. Saling berbincang, bertukar canda dan tawa.
Hingga lima menit sebelum batas waktu habis, Deva dan Vanya keluar ruang tahanan lebih dulu, memberikan Sari dan Mahru waktu untuk membicarakan hal-hal penting lain yang tak seharusnya mereka tahu.
"rencananya kami bakal tinggal di rumah orangtuaku, Mas," ujar Sari, menatap suami yang telah ia cintai lebih dari dua puluh tahun lamanya dan akan selalu begitu hingga maut memisahkan mereka.
Ada kelegaan yang terpancar dari wajah Mahru. Setidaknya rumah orang tua Sari masih lebih aman ketimbang rumahnya sekarang. "anak-anak gimana, Sar?"
"mereka setuju. Vanya gak keberatan berangkat sama pulang sekolahnya naik MRT, Mas. Aku mutusin untuk mindahin sekolah Deva ke sekolah swasta yang ada di deket rumah ayah ibu."
Ada jeda yang lama antara ia dan istri tercintanya. Ia tahu lebih dulu perihal penyitaan harta dan rumahnya. Tentu selama malam-malam yang ia jalani di tahanan, tak pernah sekalipun ia berhenti memikirkan bagaimana nasib keluarganya kelak.
Ia tak pernah berhenti memikirkan dampak negatif yang akan mengikuti keluarganya selama bertahun-tahun jika bagi para juri dan hakim dirinya benar-benar terbukti bersalah bahkan ketika ia sudah berjuang sekeras apapun untuk membuktikan bahwa ia tak ada sangkut pautnya dengan milyaran uang pemerintah yang raib.
Seumur hidupnya, Mahru pekerja keras. Ia bukan terlahir di keluarga yang kaya. Orangtuanya dulu hanyalah petani kecil di sebuah desa kecil di Bali. Jangankan hendak bermimpi bisa menjadi pejabat negara dan mengubah Indonesia menjadi negara yang dikagumi dunia, kala itu saja bisa bersekolah setiap hari dirinya sudah untung.
Menjadi anak tunggal membawa beban serta harapan tersendiri di pundak Mahru, harapan dari kedua orangtuanya agar Mahru menjadi anak yang sukses. Harapan, doa dan perjuangan Mahru serta orangtuanya terbayar ketika ia akhirnya berhasil bersekolah di sebuah universitas yang menawarkan beasiswa penuh pada murid yang berprestasi. Beasiswa yang mencangkupi akomodasi, biaya kuliah, buku dan biaya hidup sehari-hari. Namun dengan syarat ipk yang tak pernah dibawah 3,8.
Mahru menjadi salah satu dari sepuluh orang yang mendapatkan beasiswa ini. Bukan hal yang mudah bagi Mahru saat itu untuk mempertahankan nilai-nilainya tetap di atas syarat penerimaan beasiswa di tengah ratusan mahasiswa berprestasi lain. Ia hanyalah anak desa yang ingin mengubah jalan hidupnya setapak demi setapak. Ia hanyalah anak desa yang ingin membalas budi kedua orangtuanya yang rela bersakit-sakit demi menyekolahkannya dahulu. Ia hanyalah anak desa yang ingin membuat orangtuanya bangga.
Namun Mahru berhasil. Walaupun dengan banyak cobaan demi cobaan yang menyeretnya ke belakang, ia tetap terus melangkah maju, bahkan jika perlu ia akan merangkak. Ia berhasil memutar balik keadaan hidupnya.
Perlahan tapi pasti, ia berhasil memberikan kehidupan yang layak bagi orangtuanya dan dirinya sendiri bahkan juga orang-orang di desanya.
Jadi ketika malam tiba, saat dirinya berada di balik jeruji besi yang memisahkannya dari dunia luar, ia mengingat kembali apa kesalahannya dulu yang membawanya ke ruangan dingin nan sempit ini. rasanya seperti ia ditembak jatuh ketika sedang terbang tinggi di udara.
Terkadang Mahru heran, bagaimana manusia lain bisa melimpahkan kesalahan mereka pada orang yang tak bersalah, memaksanya menanggung perbuatan busuk orang lain. Ia berjanji akan meminta seseorang untuk mencarikan pengacara dan penyelidik yang handal agar ia dapat terbebas dari fitnah yang membelengunya, agar ia dapat segera terlepas dari jerat jebakan yang tidak hanya menahan kakinya, namun juga kaki keluarganya.
"lakukanlah kalau memang itu yang terbaik. Mas percayakan semuanya sama kamu. Maaf, semua ini karna saya. Vanya, Deva, dan kamu menderita karna saya," Mahru menggenggam tangan Sari dari sela jeruji besi sambil kemudian melanjutkan, "demi Tuhan saya nggak ngelakuin hal itu, Sar. Saya mohon tetap di sisi saya. Saya kuat karna kamu.."
Sari tersenyum, kemudian menyentuh pipi Mahru dengan jemarinya yang hangat.
"aku percaya, Mas, kebenaran akan menang. Cepat atau lambat, mudah atau sulit, kami bertiga akan berjuang, begitu juga kamu. Aku akan tetap di sisi kamu, baik suka maupun duka, itu janji kita dulu saat menikah."
Sari dan Mahru kini saling pandang. Senyum lembut terukir di wajah keduanya.
"kemarin Dodit datang menjenguk saya, dia bilang punya koneksi yang mungkin bisa bantu kita. Beberapa hari lagi kalau Dodit ke rumah, kamu kasih back up data keuangan keluarga kita serta detail lainnya yang dia butuhin ya."
"iya Mas. Kalau begitu aku Sama anak-anak pulang dulu. Kami akan datang lagi kesini sesegera mungkin."
"jaga diri ya, Sar. Jaga anak-anak. Saya akan berusah untuk segera keluar dari sini."
Sari mengangguk, kemudian melangkah keluar ruang tahanan. Meninggalkan Mahru kembali sendiri di selnya yang dingin, sunyi dan kelam.
Namun hanya untuk sementara, hingga mereka kembali lagi..
❀
"gue gak ngerti deh sama Lisa," Raka yang sedari tadi menatap kosong pangsit di depannya dengan wajah masam akhirnya buka suara.
Dary dan Reza yang sedang mengunyah makanan mereka menaruh perhatian pada apa yang akan menjadi bahan curhat Raka hari ini.
"kenape?" tanya Heru tanpa menoleh. Ia masih fokus pada semangkuk bakso dihadapannya.
"sumpah ya gue ga habis pikir, dari kemaren malem dia jutek banget sama gue. pas gue tanya kenapa, dia jawab gapapa. Gue tanya dia marah sama gue atau enggak dia jawab enggak. Tapi abis itu gue dicuekin."
"giliran gue tanya lagi dia marah atau enggak, dijawab pikir aja sendirI, arrghh," Raka mengacak-acak rambutnya frustasi. "dah gue lambaikan tangan ke kamera aja. Lelah hayati bang,"
Heru mengalihkan tatapannya ke Raka. "lo kaga ngerti ape? Itu die kode, pe'a. Datengin kek, bawa bunga atau makanan gitu. Biasanya sih cewek kalau lagi marah terus kita bawain makanan marahnya langsung ilang tuh."
"kok tau lo?" tanya Dary penasaran.
"pernah ngerasain ya?" kali ini Raka yang bersuara.
"yadong. Lo pikir selama ini gue adem ayem sama Renata kagak pake usaha?"
Renata adalah nama siswi manis dari sekolah yang menjadi saingan SMA Nusantara. Saat itu ketika mereka bertemu untuk pertama kali, Heru berada satu tahun di atas Renata, namun hebatnya renata bisa menjadi salah satu pesaing catur yang kuat bagi Heru.
Renata yang kala itu menjadi lawannya nyaris saja menggesernya ke posisi ketiga bukan hanya dengan skill nya tapi juga dengan senyum yang membuat Heru seakan terbang ke atas awan. Belum lagi lesung pipi yang muncul ketika senyum itu terbentuk, dua hal yang membuat Heru jatuh cinta pada Renata.
Sayangnya saat itu Renata masih memiliki pacar, membuat Heru perlahan menjaga jaraknya agar tak menjadi orang ketiga di hubungan itu. Kemudian tiga bulan yang lalu ketika Renata menelfonnya dan curhat mengenai pacarnya yang berselingkuh.
Tanpa ba-bi-bu Heru langsung menawarkan pundaknya untuk Renata. Karna jujur saja, ia marah melihat gadis sebaik dan sepintar renata diduakan. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dan akhirnya setelah pendekatan yang dilakukan selama dua bulan lebih satu minggu, melalui skype maupun secara langsung, ditengah try outs maupun hari libur, Heru berhasil mendapatkan hati Renata.
"oh jadi itu alasan lo akhir-akhir ini jarang jajan di sekolah?" Reza memelototi Heru. "karna uangnya lo pake untuk beli makanan buat Renata? Buat jalan-jalan sama dia gitu?"
"jadi itu juga alasannya lo lebih milih ke sekolah pake motor butut dibanding mobil yang dibeliin bokap lo?" sambung Dary dengan tawa yang ia tahan sekuat tenaga.
"lo ga pernah tuh beliin gue makanan. Padahal kita udah temenan berapa lama her? Hampir enam tahun. Lo lebih milih Renata?" ujar Raka kali ini. Heru selalu mengeluarkan ekspresi panik yang lucu jika ketiga sahabatnya telah menyudutkannya.
Sebenarnya Raka, Reza dan Dary tahu bahwa Heru menabung uang lebih yang diberikan orang tuanya untuk masuk sekolah penerbangan. Masuk ke sekolah itu membutuhkan biaya yang banyak dan Heru sudah yakin ayahnya tak akan mau membiayaiya masuk sekolah penerbangan, bukan karna tak mampu, tapi karna ayah Heru ingin sekali Heru menjadi pengacara, profesi yang sangat Heru tidak suka.
Maka dari itu ketika berpacaran dengan Renata, Heru memutuskan untuk menabung juga jatah bensin bulanan mobilnya agar bisa malam mingguan bersama Renata.
"whoa whoaah lo semua kok jadi tega nyerang gue?" seperti yang diduga Raka, Dary, dan Reza, Heru mulai panik. "tau kan minyak dunia makin menipis? Gue harus hemat bbm dong."
"kalo emang gitu kenapa lo gak pake sepeda gayung aja sekalian?" tanya Raka.
"atau ngesot, biar trotoar jadi bersih juga." Dary nimbrung.
"rencananya sih gitu." Heru menjawab sambil mangut-mangut. Mengundang sorakan dari ketiga temannya.
Dary memukul bahu Heru pelan sambil tertawa. "dasar somplak."
"inget ya kalian bertiga, eh berdua ajadeh, Heru rajin soalnya. Sebulan lagi ujian kelulusan, jangan sampe lo pada belum ngeuasain materi. Kalau nilai ujian kalian ada yang dibawah tujuh, gue pastiin universitas manapun kaga bakal ada yang nerima lo semua." ancam Dary sambil mengunyah cimolnya.
"babang Dary tersayang," Reza begeser ke arah Dary dan membelai pipinya. "jangan ikutan marah juga dongg, kan gantengnya jadi berkurang."
"hih." Dary bergidik ngeri sementara Raka dan Heru tergelak hingga nyaris terjungkal dari kursi mereka melihat ulah Reza.
"unnchh. babang Dary butuh belaian?" Reza menarik lengan seragam Raka. "Ini ada Raka yang lagi nganggur."
Raka membuat gestur cium ke arah Dary. "muahh babang Dary. Lop yu pull"
Sementara itu Dary hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Za, gue tau kerjaan malam lo berarti banget tapi jangan dibawa ke sekolah dong."
Ketiga temannya yang lain tergelak.
"ya gitu aja intinya, Ka," Reza meneguk minuman favoritnya, susu kedelai, hingga tetes terakhir sebelum melanjutkan. "kalau lo udah coba semuanya, udah coba chat, udah coba sms, udah coba telfon tapi tetep responnya sama, ntar malem lo bawain makanan aja terus lo tetep minta maaf,"
Heru mengangguk setuju dengan apa yang barusan dikatakan Reza. "tunggu responnya, kalau dia bilang bukan salah lo berarti dia ada masalah lain. Jangan balik dulu, Ka. Temenin cewek lo. Buat dia senyaman mungkin, kalau udah nyaman biasanya dia bakal cerita ada apa,"
"dengerin bener-bener terus kasih saran, seenggaknya kalaupun elo gak jago banget kasih saran, lo bisa hibur dia kek apa kek. Yang penting dia pergi tidur malam ini udah ga dongkol lagi karna masalahnya," lanjut Dary.
"jangan lupa kecup kening," ujar Reza sambil memonyongkan bibirnya.
Baru saja Heru hendak menempelkan sepatunya ke bibir Reza, suara riuh siswa-siswi di kantin mendadak berubah menjadi sunyi dengan cepat. Membuat ketiganya yang menyadari hal itu menoleh ke sekeliling, melihat apa yang menyebabkan keriuhan itu berubah dengan drastis.
Beberapa siswa yang berdiri beberapa meter di kanan meja tempat Dary, raka, Reza dan Heru duduk bergerak mundur secara perlahan. Memperlihatkan sesosok gadis berjaket biru muda cerah dan tiga laki-laki tinggi di hadapannya.
Dary menghentikan kegiatan mengunyahnya dan memperhatikan dengan serius apa yang terjadi ketika ia menyadari bahwa gadis itu adalah Vanya.
"ups maaf, gue kesandung tadi." Kata-kata yang keluar dari mulut salah satu laki-laki yang bernama Sandi tidak terlalu keras, namun dengan keadaan kantin yang sepi tanpa suara lain, ucapannya terdengar jelas bahkan hingga ke sudut terjauh kantin.
Dengan posisi membelakangi Dary, ia dapat melihat apa yang dimaksud Sandi pada gadis dihadapan mereka. Laki-laki itu baru saja menumpahkan kuah batagornya ke jaket dan seragam Vanya. Membentuk noda coklat yang tampak kontras dengan warna seragam Vanya. Gadis itu menunduk, berusaha membersihkan kuah itu sebelum meleber kemana-mana dengan menggunakan tisu yang ada di meja terdekat.
"ah.. iya, gapapa San."
Polos sekali.
Hal itu yang langsung terlintas di kepala Dary melihat Vanya yang tak menyadari bahwa hal yang terjadi barusan adalah sebuah kesengajaan. Salah satu yang tertinggi di antara tiga orang itu kemudian melangkah maju mendekati Vanya.
"apes dah tu si Vanya." Gumam Reza ketika melihat siapa laki-laki yang melangkah mendekati Vanya. "Bram sama konco-konconya brengsek banget emang."
"pengen gue pites pites tuh anak kalau aja bapaknya gak berpengaruh disini."
"di rumah lo masih ada pembantu yang nyuciin seragam lo gak nanti? Atau pembantu lo udah di sita negara juga?" Bram memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana abu-abu miliknya. Senyum pongah terpasang di wajah Bram, begitu juga dua orang temannya yang lain.
Bramusti Susilo Satya, pemilik nama itu tak memiliki tabiat sekeren namanya. Bersama dua orang temannya yang lain, Bram yang merupakan salah satu anak pengusaha kaya membuat geng paling onar yang pernah ada di sekolah ini. Mereka dikenal liar ketika diluar sekolah, dan mungkin seluruh siswa bahkan guru tahu akan rahasia umum itu.
Jika bukan karna nama sang ayah yang juga ada di namanya, Bram sudah pasti telah didepak keluar dari sekolah karna mencemari nama sekolah dengan keonaran-keonaran yang dibuatnya. Tak ada yang ingin berurusan dengan laki-laki yang satu itu karna sudah pasti jika mereka berani membuat masalah berkaitan dengan Bram, posisi mereka di sekolah tak akan aman lagi.
Bahkan Mas Mus, si penjual bakso legendaris yang badannya kekar pun kali ini memilih diam.
Bram melangkah maju ke Vanya yang melangkah mundur. "karna gue baik, sini, buka baju lo biar gue cuciin."
Mendengar hal itu mata Vanya melebar, beberapa siswa mengeluarkan handphone mereka bersiap merekam kejadian yang bakal booming beberapa hari kedepan. Shock membuat Vanya terdiam dan tak dapat membela dirinya. Ia sudah biasa menerima caci maki dari orang lain namun ia tak menyangka seseorang akan melecehkannya hingga sejauh ini.
"kenapa diem aja? apa perlu gue bantu?" Bram menaikkan satu alisnya.
Suara nafas tertahan terdengar di sekeliling mereka ketika tanpa diprediksi siapapun tangan Bram meraih kancing kedua dari atas seragam Vanya. Sementara itu Vanya yang sudah panik setengah mati berusaha mengelak.
BRAK!
Semua orang menoleh ke asal suara.
Dary bangkit dari duduknya dengan kasar, menyebabkan kursi yang ia duduki sebelumnya terlempar ke belakang. Hal itu mengalihkan seluruh perhatian orang-orang yang ada di kantin padanya termasuk Vanya, Sandi, Bram dan Viko. Habis sudah kesabarannya.
Heru yang menyadari apa yang hendak dilakukan Dary berusaha menghentikan laki-laki itu dengan menahan tangannya.
"lepasin tangan gue!" Hardik Dary dengan tatapan tajam ke sahabatnya. Heru tentu terkejut ketika kata-kata bernada dingin itu terucap dari bibir Dary. Karena Heru tak bereaksi, Dary menarik tangannya hingga pegangan Heru terlepas.
Dengan langkah lebar, Dary mendekat ke arah Vanya dan Bram. Ditepisnya tangan Bram yang masih berada di kerah baju Vanya dengan kuat, kemudian di dorongnya Bram hingga menabrak Sandi dan Viko yang berdiri di belakangnya.
"isi kepala lo sampah ya? Pantes omongan lo busuk semua. Sampe lo berani nyentuh dan ngomong gitu lagi ke dia.." Dary menarik Vanya ke belakangnya, tatapannya masih tajam menatap mata Bram, "gue pastiin tangan lo patah.. dan gak cuma satu."
Hening.
Tak ada seorangpun yang berani bersuara. Bahkan Vanya yang masih memproses apa yang terjadi didepannya pun tak mampu berkata apa-apa. Para penjaga dan penjual dagangan di kantin hanya bisa terpaku melihat apa yang barusan mereka saksikan.
Seorang siswa 'biasa' berani mengancam satu dari lima anak paling berpengaruh di SMA Nusantara. Mereka yang mengenal Dary hanya pernah melihat sosok Dary yang sebelumnya tak pernah terlihat mencolok, tak pernah peduli akan apa yang terjadi di sekelilingnya, Dary yang menjadi siswa favorit guru-guru karna kepintarannya..
Namun kini, Dary yang mereka lihat tampak dingin dan menakutkan. Bahkan Bram sempat merasa keder, tapi tentu saja egonya lebih besar sehingga ia dapat dengan cepat menutupi rasa kedernya itu.
Dary beralih ke Sandi yang berdiri di kanan Bram. "lo juga.. Dasar sampah!"
Sandi yang tak terima apa yang barusan Dary katakan padanya melangkah maju untuk memukul Dary, namun dicegah oleh Bram.
Tak ada yang tahu kalau pengaruh keluarga Dary di sekolah ini berada jauh di atas pengaruh keluarga Bram. Tak ada yang tahu bahwa Dary termasuk ke dalam lima siswa dengan orangtua paling berpengaruh disekolah. Kecuali lima siswa itu dan beberapa pejabat sekolah.
Pengaruh lima keluarga itu begitu besar sehingga jika kelima siswa itu melanggar peraturan sekolah yang paling berat sekalipun, hukuman tak akan bisa menyentuh mereka. Jadi mau tak mau Bram harus menjaga sikapnya pada Dary jika tak ingin Dary merealisasikan apa yang barusan ia ucapkan.
Gumaman pelan mulai terdengar di sekeliling mereka.
Banyak yang menduga-duga apa perkelahian akan terjadi di antara dua laki-laki itu karna bram biasanya tidak akan diam saja ketika di ancam oleh orang lain. Tapi hingga beberapa detik berlalu, Bram masih diam. Ekspresi wajahnya menjadi kaku, tangannya terkepal di kedua sisi badannya.
Dary kemudian berbalik, menarik lengan Vanya dan pergi meninggalkan kantin. Perlahan suasana kantin mulai kembali seperti semula. Dary terus berjalan menjauh dari kantin dengan Vanya di belakangnya. Vanya tak tahu ia akan dibawa kemana oleh Dary dan terlalu takut untuk bertanya mengingat betapa menyeramkannya laki-laki itu barusan.
Sepeninggalan Dary dan Vanya dari kantin, beberapa orang sudah mulai lanjut menyantap makanan mereka sementara sisanya langsung menyebarkan kejadian barusan pada siswa lain yang tak berada di kantin. Reza terkesiap ketika dirasakannya handphone miiknya bergetar. Ketika dilihat, nama Dary muncul di layar.
"Dary," ujar Reza tanpa suara sambil menunjuk handphone miliknya yang kini telah ada di telinganya ke Raka dan Heru.
"gila lo Dar. Mampus deh lo, anak-anak gak bakal lupa sama hari ini bego. Ntar kalo lo diapa-apain sama bram begimana dah ntuh?"
"diem dulu, Za. Gue mau minta tolong nih,"
"apaan?'
"tolong itu cimol gue bungkusin aja ya,"
Reza melirik sepiring cimol milik Dary di seberangnya. "yasallam.."
"gue masih laper. Biar gue lanjut makan di kelas nanti."
Sebelum Reza sempat membalas perkataan Dary, yang menelfon sudah memutuskan sambungan. Dary akhirnya berhenti menyeret Vanya di lorong loker, tempat dimana ratusan loker para murid berada. Ada beberapa murid lain yang mencuri-curi pandangan mereka ke Vanya dan Dary, ada yang tak peduli.
"lo bawa baju ganti?" tanya Dary.
Vanya menggeleng.
"lo punya temen yang bawa baju ganti?"
Vanya diam. Kilasan perasaan sedih sempat melintas di matanya ketika mendengar kata teman terucap dari bibir Dary. Tentu saja ia tak lagi memiliki teman. Apalagi dengan kondisinya saat ini. kilasan itu tertangkap oleh mata Dary, ia menjadi merasa bersalah telah mengatakan hal itu pada gadis di depanya.
Betapa bodohnya ia.
"gue punya baju ganti," Dary merogoh saku celananya untuk mencari kunci loker. Dengan santai ia membuka lokernya dan meraih satu seragam putih yang terlipat rapi dan kembali menutup lokernya. "mungkin kegedean dikit tapi yang penting lo ga bau batagor kemana-mana."
Dary menyodorkan seragam yang terlipat dengan rapi di tangannya ke arah Vanya. Vanya tak dapat menolak karna ia juga amat membutuhkan baju bersih itu plus ia tak ingin fokus belajarnya terganggu karna aroma batagor di jaket dan seragamnya. Ia kemudian mendongak dari seragam putih ber name-tag Dary Krisna Harawan.
Ditatapnya mata coklat terang Dary, kemudian ia tersenyum.
Tak banyak orang yang bersedia menolongnya apalagi membelanya di depan banyak orang sejak kasus korupsi yang menyeret ayahnya. Hal itu membuatnya bersyukur, masih ada orang baik yang mau menolongnya.
"makasih buat semuanya, Dary." Ujar Vanya pelan.
Hatinya tersentuh..
~
HAAII. Semoga kalian sukaa yaaaa. thanks for reading guysss. me luvv youu xx - Fal 💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top