Enam
"One, remember to look up at the stars and not down at your feet. Two, never give up work. Work gives you meaning and purpose and life is empty without it. Three, if you are lucky enough to find love, remember it is there and don't throw it away." ― Stephen Hawking.
❀
"aduh.. pelan-pelan bangsat!" gerutu Raka dengan mata yang masih terpejam namun dengan kepala terangkat.
Heru yang sudah tak kuasa menahan panggilan alamnya melangkah sekenanya. Menginjak siapapun yang menghalangi langkahnya.
Setelah keluar dari toilet, langkah kaki Heru terhenti ketika ia mendengar Raka mengumpat lagi.
"diem kaki lo Zak!"
Tatapan Heru mengarah ke Reza yang tidur tak bergerak agak jauh dari Raka.
"eh bangke, kaki lo diem," Raka kembali bersuara, membuat Heru semakin bingung.
Dinyalakannya lampu untuk melihat apa yang sebenarnya menjadi masalah. Sinar lampu yang menyilaukan membuatnya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya matanya terbiasa dengan cahaya terang itu. Ditatapnya kembali Dary, Reza dan Raka yang masih tertidur pulas tanpa terganggu cahaya lampu. Dengan setengah mengantuk, Heru kembali bergegas mematikan lampu setelah menatap sekeliling selama beberapa waktu dan mendapati tidak ada apapun yang terjadi. Mungkin saja Raka mengigau. Namun kesadaran dengan cepat kembali ke tubuhnya tatkala ia melihat sesuatu berwarna gelap bergerak dengan cepat dari kaki Raka menuju ke arahnya.
"WHUAAAAAAAAH!!!!!!" demi Naga berkaki sepuluh, Heru berani melawan apapun kecuali makhluk yang satu ini. Ia sangat anti. Kalau ia bisa memanjatkan permohonan ke Tuhan, ia ingin makhluk satu itu di punahkan saja.
Teriakan Heru mengagetkan Reza dan Raka yang langsung terbangun, sementara Dary masih tertidur pulas, tak terpengaruh sedikitpun.
"lo kenapa sih, Her?"
"ITUUUUU!!!" Heru menunjuk bayangan hitam tadi yang menyelinap ke bawah meja TV Reza. Kini, Heru sudah berdiri diatas sebuah kursi yang berfungsi sebagai kursi belajar Reza.
"ita itu ita itu, yang jelas kalau ngomong mah." Raka mengerutu, kantuknya masih melanda membuatnya kembali bergegas ke posisi tidur. Mendadak dirinya mematung ketika dilihatnya sebuah ekor panjang mencuat keluar dari bawah meja. Kantuknya hilang seketika seiring teriakan refleks keluar dari mulutnya. "ADA TIKUUUUSSS!!!!!!!!"
"TIKUS?!!"
Reza bergegas bergabung bersama Heru, nangkring diatas kursi. "KENAPA BISA ADA TIKUS DI SINI?!"
"MANE GUE TAU, INI KOSAN PUNYA LO JUGA!" cecar Raka.
Ketika pandangan Reza juga sudah mulai jelas, dilihatnya sesuatu itu kini bergerak ke arahnya. Otaknya langsung memproses kerjadian yang sedang berlangsung, membuatnya refleks meloncat dan berlari ke arah Heru. Entah bagaimana caranya, ketiga laki-laki itu sudah berada diatas kursi yang sama.
"BUKA PINTUNYA BEGO!!!!!!" Teriak Raka yang kesadarannya kemudian pulih ketika tikus itu berbelok ke arah mereka.
"DARYYY WOYYY BANGUNNNNN!"
"EH GOBLOK, SELAMETIN SI GOBLOK ITU!!" Reza masih dengan histeris menunjuk nunjuk Dary yang masih ada di mimpi indahnya.
"LO AJE SONO!" balas Raka tak kalah histeris.
"TARIK KAKINYA BEGO!!"
"EH BISA GAK SIH GAK USAH BERISIK?!" Dary terbangun setengah mengamuk, namun matanya melotot melihat sesuatu yang kini bertengger di pangkuannya. Refleks ia bangun dan saking semangatnya, ia tersandung dan jatuh ke ember pakaian kotor Reza
"ADA TIKUS WOY BANGUN GOBLOK! SELAMETIN DIRI LO!!"
Dary mengerutkan keningnya kemudian melihat ke sekeliling. Kakinya dengan sigap menginjak ekor si tikus yang kini kelabakan kemudian mengambil tikus itu di bagian ekornya.
Heru pingsan.
Raka sempoyongan.
"BANGSAT, KELUARIN WOY!" Reza kini sudah nyaris menangis.
Dary beringsut bangun dari posisi duduknya kemudian berjalan pelan menuju pintu. Sementara itu, Reza dan Raka beringsut menarik Heru yang tidak sadarkan diri ke atas Kasur lipat yang mereka tiduri beberapa menit yang lalu. Melihat ketiga temannya bereaksi seperti itu, Dary hanya menggelengkan kepala.
"ini baru tikus, gimana kalau nanti tiba-tiba ada singa kelayapan?" Dary beringsut ke dapur, mencuci tangannya berulang kali memastikan tidak ada jejak tikus yang tertinggal disana mengingat Dary lebih menyukai makan menggunakan jarinya sendiri dibanding sendok dan garpu.
"mendingan gue ngelawan singa daripada tikus dah, asli." Raka masih bergidik ngeri
Seakan menyadari sesuatu, Dary menepuk jidatnya.
"mampus."
"apa lagi? Heru belum kelar sekarang lo mau pingsan juga?"
"bukan. gue harus udah dibandara 15 menit lagi."
Raka melotot.
"MUKE GILE."
"dikira gue tetanggaan sama bandara kali ya?" bisik Reza ke Heru yang masih tidak sadarkan diri.
Raka menepuk Pundak sohibnya itu. Kelakuan mereka semua rada ajaib, tapi tumben sohib kalemnya ini lebih ajaib dari mereka bertiga. "Dary... lo sadar kan kita tinggal di Jakarta yang macetnya... ah sudahlah. Pasrahkan dirimu nak."
"gue harus jemput abang."
Bukannya kakak semata wayang Dary itu tidak bisa pulang sendiri, namun ini sudah menjadi tradisi bagi mereka berdua dimana ketika Zulfran pulang, maka Dary lah orang yang harus menjemputnya.
"yaudah kabarin abang lo dulu kalau lo bakal telat ya sekitar dua jam lah." Ujar Raka yang sedari tadi sibuk celingak celinguk, kalau-kalau ternyata masih ada teman si tikus yang tertinggal.
Dary mengacak rambutnya sambil dengan beringas mencuci muka dan mengenakan flannel diluar kaos putihnya. "mati gue."
Reza memutar sound kupasrahkan diriku padamu ya Tuhan, aku ikhlas.
Hanya dalam waktu sepuluh menit teng, ia sudah dalam perjalanan membelah keramaian lalu lintas kota Jakarta dengan ojek online pesanannya. Sudah dua setengah tahun abang Zul tidak pulang ke Indonesia. Pekerjaannya di Dubai sangat menyita waktu dan tenaga. Kalau saja ia tidak mengambil double job, pasti Zulfran akan memiliki waktu setidaknya setahun sekali untuk bisa pulang ke Indonesia.
Zulfran berbeda lima tahun dari Dary. Perbedaan umur yang sedikit lebar membuat Dary dan Zulfran jarang akur ketika kecil. Namun perhatiannya mulai tercurah sangat deras ke Dary ketika pertengkaran demi pertengkaran menghiasi malam yang harusnya memeluk mereka dalam kesunyian dan kedamaian, menjadi malam penuh caci dan makian.
Selama bertahun tahun Ibunya terlalu sibuk mendamaikan dan menyembuhkan hati yang telah tercabik berulang kali oleh laki-laki yang sama, yang Zul dan Dary panggil Ayah. Begitu sibuk hingga Dary yang masih membutuhkan peluk hangat ibunya, mengeraskan hati agar mampu berdiri sendiri.
Ayahnya bahkan tidak menoleh ketika mereka berpapasan. Entah malu, entah memang tidak peduli lagi. Yang jelas Dary juga sedikitpun tidak memiliki keinginan untuk berbincang dengan laki-laki itu.
Yang ia punya sekarang hanya Abangnya. Abangnya mengenalkan dirinya pada dunia. Pendakian pertamanya saat SMA kelas satu bersama bang Zul. Diajari tentang mencintai lingkungan bersama bang Zul. Berselancar diajari bang Zul. Jatuh cinta pada alat musik piano karna bang Zul. Kalau diingat-ingat, abangnya hampir menjadi sosok ayah baginya. Kalau saja ia mengurangi sedikit sifat jahil dan cengengesan yang sudah mandarah daging di diri bang Zul.
Untuk pertama kalinya hari ini, Dary tersenyum.
Weekend nya akan terasa menyenangkan.
❀
Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian Vanya dari layar TV yang ada di depannya. Ia tahu pasti siapa yang bisa masuk ke dalam rumah ini dengan mudah. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan waktu pukul 2 dini hari.
"Deva," panggil Vanya tanpa menoleh.
Yang dipanggil tak menjawab, tetap berjalan sambil membelakangi Vanya.
"Dev jangan pura-pura ga denger entar lo budeg beneran lho."
Ancaman dengan maksud candaan itu berhasil membuat Deva berhenti menaiki anak tangga menuju kamarnya.
"gue capek, kak." Ujar Deva tanpa menoleh.
Vanya menaikkan kedua alisnya. Ada nada aneh di suaranya yang membuat Vanya khawatir. Tentu ia perlu berbicara pada Deva malam ini juga untuk mencari tahu kemana anak ini pergi dan baru pulang pukul dua pagi.
Ia beranjak dari duduknya kemudian berjalan ke arah dapur. "lo laper nggak? Bikin indomie yuk. Gue laper nih."
"gak." Jawab Deva cepat, tapi kalah cepat dengan suara perutnya. Hal itu membuat Vanya berusaha dengan keras menahan gelak tawanya.
"sini, gue yang bikin deh lo tinggal duduk aja."
Tawaran itu cukup menggoda apalagi ia belum makan sejak pulang sekolah. Deva yang tak kuasa menahan laparnya terbujuk juga. Ia berjalan mendekat ke Vanya dan duduk di kursi meja makan, menghadap ke arah ruang keluarga, meperhatikan tv yang menyiarkan film laga. Tak butuh lama bagi Vanya untuk menyelesaikan indomie miliknya dan Deva.
"nih, kesukaa lo. Tau nggak tadi di sekolah..." ucapan Vanya terhenti tatkala ia mendaratkan tatapannya pada Deva. Mata gadis itu melebar, mengisyaratkan keterkejutan yang dengan cepat datang.
"ASTAGA DEVA!! MUKA LO KENAPA?" tanya Vanya. Untung saja ia sudah meletakkan dua piring indomie goreng itu di atas meja, jika tidak.. mungkin indomie itu sudah sukses nangkring di lantai.
"DEV JAWAB!" kali ini Vanya mengguncangkan lengan jaket kulit hitam yang dikenakan Deva. Ditatapnya sang kakak dengan tatapan dingin yang belum pernah Vanya lihat sebelumnya, hal itu membuat Vanya semakin khawatir. Sementara itu Deva berdebat di benaknya apakah ia harus jujur pada sang kakak atau memilih untuk menyembunyikan hal yang terjadi hari ini.
Pada akhirnya Deva memalingkan wajahnya dan memutuskan untuk menceritakan semuanya. "gue berantem sama Rio."
Ia tidak ingin berbohong.
"Deva!" tegur Vanya. Kali ini ekspresinya berubah dari khawatir menjadi shock dengan cepat.
"gue gak suka ada yang ngomongin bapak padahal mereka belum pernah ketemu bapak, belum tahu gimana aslinya bapak."
"Rio bilang apa?"
Pertanyaan Vanya kembali tak dihiraukan oleh Deva.
"Dev.."
Deva menunduk, menatap lantai di bawahnya. Kembali menimbang apakah ia harus menceritakan detailnya.
"Deva.. Rio bilang apa?" kali ini Vanya bertanya dengan lebih pelan, berharap adiknya tidak akan menyembunyikan hal ini darinya.
Ia sudah sangat mengenal Deva untuk tahu bahwa pasti ada sesuatu yang tidak beres sehingga Deva lepas tangan menghajar temannya. Deva bukan anak yang suka berkelahi karna hal kecil, tapi Deva juga bukan anak yang akan diam saja jika melihat ketidakadilan.
Sementara itu di sisi lain, Deva sudah sangat mengenal Vanya untuk tahu bahwa jika ia menceritakan alasan mengapa ia menghajar Rio, Vanya akan ikut sedih. Namun ia tak bisa menyembunyikan alasan itu karna cepat atau lambat kakaknya pasti akan tahu.
"dia bilang bapak sampah masyarakat.." Deva semakin menundukkan kepalanya, "dia juga bilang bapak maling."
Hati Vanya tergores mendengarnya.
"terus?"
"besok Mama bakal di panggil kepsek, gue bakal dikeluarin. Rio keponakannya pak kepsek soalnya."
"DEVA!" teriakan Vanya tertahan, takut membangunkan ibunya yang sedang tidur. Ia memejamkan mata dengan erat sambil menunduk. "ya Tuhan... mampus deh gue."
"yang mampus itu gue kak, siap-siap kena gampar Mama," Deva terdiam sebentar, menelan mi yang sedang di kunyahnya kemudian melanjutkan dengan suara pelan, "bapak bukan sampah masyarakat."
Tatapan Vanya melembut mendengar apa yang barusan diucapkan Deva.
"Deva, pas kita lagi di hadapin sama satu cobaan besar, bakal banyak cobaan-cobaan lain yang mengekor di belakang. Tujuan mereka sama, menguji kita, menguji pertahanan kita,"
"kemana pun lo pergi, dimanapun elo sekolah, hal yang sama pasti bakal terus terjadi. mereka ga bakal berhenti untuk menguji kita. Satu-satunya hal yang mampu untuk bikin mereka berhenti itu cuma waktu.."
"gue ga mau lo kenapa-kenapa dan ngabisin waktu serta tenaga lo untuk menghadapi cobaan yang bakal terus ada di mana-mana, Dev."
"gue bakal terima apa yang mereka bilang kalau bapak emang bener korupsi, tapi gue gak bisa terima mereka ngata-ngatain bapak padahal bapak itu nggak korupsi kak. Kalaupun bener bapak korupsi, mana duitnya? Kenapa kita gak disekolahin di luar negri? Kenapa gue ga ke sekolah bawa Lamborghini? Kenapa elo nggak bolak-balik Paris indo? Gue gak tahan kayak begini terus kak."
"ga ada cobaan yang enak, Va. Gue ngerti apa yang lo rasain. Gue paham banget. Gue Cuma minta elo ngabaikan apa kata orang untuk sementara. Walaupun gue ga bisa jamin sementaranya bakal sebentar."
"kita semua tau bapak gimana, kita percaya sama Tuhan, kita udah ngelakuin hal terbaik yang kita bisa.
"jangan di ulangin lagi ya, Dik. Ga ada masalah yang bisa selesai pake kekerasan." Ujar Vanya.
Deva mengangguk. Ia menyadari bahwa kakaknya menyebutnya dengan 'Dik', yang berarti ucapannya benar-benar serius dan pantang di langgar. Mereka melanjutkan kegiatan makan yang sempat tertunda tadi sambil membicarakan banyak hal. Mengenang masa lalu tentang betapa premannya adiknya yang satu itu dan tentang betapa usilnya Vanya dahulu.
Paginya Vanya terbangun oleh kokokan ayam milik Opa. Opa punya tiga ayam, satu berwarna putih, satu berwarna kecoklatan, yang satu lagi persis seperti ayam yang ada di seri animasi milik negara tetangga Indonesia itu. Ia mengecek waktu yang tertera di handphone nya
Jam 6 pagi.
Matanya sedikit perih karena masih mengantuk. Maklum, ia dan Deva baru masuk kamar masing-masing pukul tiga dini hari. Yang mana berarti dirinya hanya tidur tiga jam saja.
Masih menjadi misteri kenapa ketika libur, Vanya kesulitan bangun siang namun ketika hari sekolah, Vanya malah kesulitan bangun pagi.
Ada notifikasi pesan masuk di sana dari nomor yang tidak tersimpan di kontaknya.
+6218xxxxxxx : gue telat bangun..
Pesannya baru masuk lima menit yang lalu. Dari fotonya, tanpa di buka pun Vanya sudah tahu itu siapa.
Vanya : harusnya jam berapa?
+6218xxxxxxx : jam 4
Vanya : wkwekekwk. Ada teknologi Bernama alarm, Dary.
+6218xxxxxxx : lupa. Hehehe..
Vanya : wajar, manusia ada aja lupanya
Setelah dua menit tanpa balasan, Vanya bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka dan berganti pakaian. Kegiatan paginya diawali dengan membersihkan kamarnya yang sudah seminggu ini ia cueki akibat jadwal sekolah yang agak padat mendekati ujian kelulusan. Ditambah sekarang ia menjadi anggota panitia prom night. Satu setengah jam berlalu sampai kamarnya akhirnya sudah layak disebut kamar tidur, handphone nya berbunyi. Ada pesan masuk.
+6218xxxxxxx : mungkin kalau kamu yang bangunin, aku ga akan telat.
Sudah tentu mata Vanya membulat membaca pesan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top