Dua
"Things do not change; we change." ― Henry David Thoreau.
❀
"itu tuh orangnya," ujar Reza sambil mengedikkan kepala ke arah belakang Dary.
Pandangan mata Dary, Heru dan Raka mengikuti arah mata Reza. Gadis itu, Vanya, berjalan menuju etalase yang penuh dengan berbagai jenis minuman. Tak sedikit murid yang tadinya sedang asik berbincang kini menatap gadis itu. Rambut hitam sebahunya dibiarkan tergurai, mata hitamnya menyeleksi minuman di hadapannya, jaket biru muda besar yang dikenakannya agak sedikit melorot dari bahunya. Dary terus mempelajari gerak-gerik gadis itu, melihat bagaimana reaksinya terhadap lingkungan di sekelilingnya yang sudah tentu tak menyambut gadis itu dengan baik.
Tapi gadis itu tak peduli, seakan tak ada siapapun di sekelilingnya, seakan ia hanya sendiri. Seakan ia sama sekali tak terpengaruh oleh hal-hal di sekelilingnya. Seakan ia tetap bersinar disana, walau cahayanya tak seterang dulu.
Lirikan berubah menjadi bisikan. Tapi bukan bisikan namanya jika Dary yang berada jauh dari bisikan itu saja bisa mendengarnya.
Itu tuh anak Mahru yang korup itu.
Lah gue kira dia udah pindah sekolah soalnya gue kaga pernah lihat dia dua minggu ini.
Kasihan banget ya.
Gue denger di berita korupnya sampe miliaran. Banyak banget kan?
Kemana aja tuh duit? Percuma juga kaya tapi hasil korup.
Pandangan Dary ke Vanya terhalang ketika Mas Mus berjalan melewati gadis itu sambil membawa pesanan mereka. Ketiganya berpaling, kembali fokus pada makanan mereka.
"Vanya, kan? Namanya Lavanya Ahzaraka, dulu satu ekstrakulikuler catur sama gue. " ujar Heru setelah mengucapkan terima kasih ke Mas Mus.
"ngapan dia di kantin?" Reza berujar dengan pelan.
"ya kaga mungkin dia ke kantin mau berobat." Jawab Heru dengan ekspresi datar.
"enggak, tumben aja gitu."
"lupa bawa minum kayanya." Raka nimbrung dengan alasan yang cukup logis. Membuat ketiganya tak lagi mempermasalahkan hal tersebut.
"gue heran kenapa gosip itu hot banget di sekolah kita. Sampe pas gue ke toilet aja pak Suroso sama Pak Farhat ngegosipin itu. Banyangin men, di toilet, mereka sambil kencing pula! Berak gue ga keluar jadinya. Harusnya toilet itu gossip free." Ujar Raka dengan semangat menggebu-gebu.
Reza menghentikan kegiatan mengunyah baksonya, kemudian perlahan menoleh ke Raka yang duduk di seberangnya. "gue lagi makan, bangsat."
"sompret lu, Ka." Ujar Heru kali ini.
Raka tertawa melihat reaksi kedua sahabatnya. "lah kenapa? Lo semua sok sokan jijik padahal berak aja kadang sambil makan."
"itu lo kali." Balas Heru sambil geleng-geleng kepala.
"anying ya lo." Reza hanya misuh misuh sambil tergelak.
"dulu pernah ada juga kan yang bokapnya pernah kena kasus kaya gitu? Bedanya dia langsung pindah sekolah ke luar negri, nah cewek ini dua minggu masih bertahan. Kebal banget dia." Topik pembicaraan dibawa kembali lagi ke Vanya oleh Reza.
"tanggung kali mau pindah kan bentar lagi mau ujian kelulusan." Ujar raka, kembali memberikan alasan yang logis membuat kedua temannya mengangguk mengiyakan.
Di tengah percakapan yang terjadi di antara teman-temannya, Dary menyadari bahwa sebelumnya ia pernah bertemu gadis itu di luar sekolah, di sebuah acara pernikahan salah satu pejabat negara. Dary juga bertemu dan sempat bertegur sapa dengan ayah Vanya. Ia begitu banyak menghabiskan waktu sendiri dan memilih mengabaikan keadaan di sekelilingnya hingga tak menyadari bahwa banyak yag berubah. Ia menyesal tak menaruh perhatian lebih banyak pada apa yang ada di sekelilingnya selain ketiga sahabatnya.
Ketika bel tanda selesainya istirahat berbunyi, keempat sahabat itu kemudian berjalan kembali ke kelas masing-masing. Ketika sedang asik bercanda dengan Raka beberapa meter dari kelasnya, sudut matanya menangkap sosok Vanya yang sedang berjalan ke arahnya. Raka yang sedang berceloteh di sebelahnya kini terabaikan. Tatapannya tak lepas dari sosok Vanya yang berjalan kian mendekat.
Sementara itu Vanya yang sedang meneguk habis minumnya masih melangkah dengan tenang. Namun tak sengaja mata hitamnya bertemu dengan mata coklat terang Dary yang kini hanya berjarak beberapa langkah darinya. Gadis itu refleks melemparkan senyum pada Dary walaupun kedua pipinya menggembung karna minuman yang belum sempat ia teguk.
Sejak Vanya kecil, ia sudah terbiasa memberikan senyum kepada siapapun. Hal itu terbawa hingga hari ini. Ia akan sangat senang jika orang yang tersenyum padanya membalas senyumannya namun sama sekali tidak keberatan jika senyumnya tidak dibalas oleh orang lain. Senyum yang terbentuk di wajah Vanya begitu lucu, begitu polos, membuat Dary juga ikut tersenyum.
❀
Tak banyak yang dapat dilakukan Deva dan Vanya setelah pulang sekolah dan mengerjakan tugas rumah mereka. Setelah makan malam, biasanya keduanya akan asik menonton tv.
Sari memandangi kedua anaknya yang telah tumbuh besar dengan senyum yang tak ia sadari telah muncul di wajahnya sejak tadi. Ia menghela nafas, mencoba terlihat baik-baik saja. Ia menunggu momen yang tepat untuk membicarakan hal penting pada Vanya dan Deva, hal yang sebenarnya ingin ia kubur dalam-dalam agar tak mengganggu konsentrasi buah hatinya dalam belajar.
"Vanya, Deva," Sari berjalan mendekat ke Vanya dan Deva. Keduanya mengalihkan pandangan dari layar tv, menatap sang ibunda sambil menyuguhkan senyum di wajah.
"mama mau bicara sebentar boleh ya?" tanya Sari sambil bergerak duduk di satu single sofa yang merupakan tempat favoritnya untuk merajut. Ia tak yakin apa sekarang adalah waktu yang tepat untuk membiacarakannya, namun ia juga tak ingin lebih lama memendam hal ini dari kedua anaknya..
"boleh. Santai, Ma. Santai." Deva berusaha mencairkan suasana.
"kenapa, Ma?" tanya Vanya. Tak biasanya sang ibu berkata seperti itu jika ingin berbicara, menandakan bahwa ada sesuatu yang tak beres.
"mama bangga sama kalian, masih sekolah dengan baik walaupun dalam kondisi kaya gini." Ujar Sari, membuat kedua anaknya saling berpandangan. Ini bukan cara biasa Mama memulai suatu percakapan. Mendadak hawa dingin menghampiri tengkuk Vanya.
"bad news ya ma?" tanya Vanya.
Sari menangguk, tangannya menyodorkan sebuah amplop putih ke atas meja. "surat ini datang tadi pagi."
Keduanya menolak untuk membuka dan membaca isi amplop itu. Mereka lebih memilih mendengarnya langsung dari bibir sang ibunda.
"apa isinya, ma?" tanya Deva, kini ia tidak terlihat rileks lagi seperti sebelumnya.
Sari menarik nafas panjang kemudian menghelanya dengan perlahan. Di tatapnya kedua anaknya satu persatu. "seluruh aset kita dibekukan oleh kepolisian, dan besar kemungkinan bakal disita negara. Maaf, Mama udah coba menjelaskan ke mereka kalau setengah aset ini adalah milik Mama, tapi mereka ga mau dengar."
Jantung Vanya terasa seakan berhenti berdetak, ia butuh beberapa saat sebelum otaknya berhasil mencerna apa yang barusan dikatakan ibunya.
"Mama udah coba kontak bu Emeralda? Dia lebih tau masalah ini dan mungkin aja bisa ngebantu kita." Ujar Deva. Ternyata adiknya lebih cepat berpikir ketimbang dirinya. Bu Emeralda adalah pengacara keluarga Ahzaraka
"sudah, Mama sudah bicara sama beliau. Tapi keputusan sudah sah dan ga bisa di ganggu gugat lagi."
"termasuk uang tabungan Mama? Mereka sita juga? Itu kan diluar penghasilan Bapak, Ma. Itu kan hasil dari bisnis Mama sendiri," nada frustasi terdengar jelas di kata-kata yang terucap oleh Deva. Ia tahu betul seberapa keras ibundanya bekerja menjalankan bisnisnya, hingga sempat beberapa kali jatuh sakit, namun semua hasil jerih payah sang ibunda dengan mudahnya disita oleh negara.
Sari menghela nafas sembari menggeleng pelan. "semuanya. Mobil, rumah, tanah, vila yang ada di Bali. Maaf. Mama rasa kita akan tinggal di rumah Oma untuk selanjutnya," Sari meraih kedua tangan anaknya dan menggenggam kedua tangan yang dingin itu, "kita punya waktu satu minggu untuk pindah.. dan Deva.. Mama rasa kamu lebih baik sekolah di deket rumah Oma, ada sekolah swasta yang bagus di sana. Maaf, Mama belum bisa ngasih yang terbaik untuk kalian.."
Selama beberapa saat hanya suara tv yang terdengar.
Deva mengatupkan bibirnya, tak bisa berkata-kata mendengar apa yang barusan ibundanya katakan. Sementara Vanya yang sempat terdiam dapat memulihkan dirinya dari shock dengan cepat.
Vanya menggeleng pelan sambil memejamkan matanya untuk beberapa saat sebelum kembali menatap ibundanya. "mama ga usah minta maaf, ini cobaan dan bukan salah mama. Vanya yakin ki-"
Deva berdiri, mengalihkan perhatian Vanya. Dengan cepat Deva melangkah pergi menuju taman belakang rumah mereka meninggalkan Vanya dan Sari yang masih tertegun. Emosinya yang sudah tak tertahan ditambah melihat raut sedih di wajah ibunya membuat Deva tak tahan berada di ruangan itu lagi. Sari berdiri, hendak menyusul Deva namun ditahan oleh Vanya.
"biar Vanya aja, ma." Vanya tahu ibunya telah menghadapi hari yang cukup melelahkan, jadi ia menawarkan diri untuk berbicara pada Deva.
Vanya berjalan menuju taman belakang, tempat dimana Deva sedang duduk di pinggir kolam ikan kecil yang sering menjadi spot mereka menghabiskan sore bersama sang ayah. Gadis itu duduk di dekat adik semata wayangnya. Matanya tertuju pada ikan koi yang ada di kolam itu.
Masih jelas di ingatannya saat-saat dimana ayahnya pulang membawa empat ikan koi baru yang masing-masing melambangkan empat anggota keluarga itu. Kini ikan-ikan koi yang sedang berenang bebas di air telah tumbuh besar seiring waktu berjalan, menyimpan kenangan yang tak pernah lekang oleh waktu.
Lama mereka berdua diselimuti dalam diam. Berenang di pikiran masing-masing. Vanya tahu tak mudah bagi adiknya yang baru berusia enam belas tahun untuk menghadapi apa yang sedang dihadapinya. Berita-berita yang tak henti-henti menampakkan wajah sang ayah, wartawan-wartawan yang tak henti-henti mengejar di setiap kesempatan, pandangan-pandangan dari orang-orang yang tak henti menatapnya.
Bagi Vanya itu bukan hal mudah. Ketika dirinya ditinggal sendiri oleh orang-orang yang pernah ia kira akan selalu ada di kala jatuhnya. Ia salah ketika berharap akan ada mereka yang menompangnya berdiri dan memapahnya berjalan ketika ia tak lagi terbang. Faktanya, mereka tak peduli. Menutup mata, mulut telinga. Seakan Vanya tak ada, seakan tawa canda mereka tak pernah tercipta. Ia salah, ketika memanggil orang-orang itu dengan sebutan sahabat.
Vanya kini sendiri, dan ia tahu adiknya juga. Hanya satu hal yang bisa ia lakukan agar adiknya tetap berjalan di jalan yang lurus, yaitu selalu ada untuknya, menjadi lenteranya di kala gelap.
"gue gak ngerti kenapa ada aja yang jahatin orang sebaik bapak. Gue ngerasa dunia ini gak adil kak."
Vanya diam, menunggu adiknya menumpahkan seluruh isi hatinya.
"gue denger kok tiap malem Mama nangis, semenjak bapak di tahanan gue gak pernah bisa tidur."
"tanpa bapak rasanya rumah bukan rumah lagi kak. Gue kangen bapak.."
Isak tangis halus terdengar dari bibir Deva membuat hati Vanya mencelos ke tanah. Ia bergeser lebih dekat ke adiknya, menawarkan pundak untuk bersandar. Deva berbalik ke arah kakaknya, menyandarkan dahinya ke bahu sang kakak. Dengan lembut Vanya mengelus kepala Deva. Tangis adiknya makin deras, membasahi bahunya.
"Deva, di dunia ini kita lahir sebagai petarung. Lo, gue, Mama, Bapak.. semua orang, mereka punya pertarungannya sendiri. Dan ini... ini pertarungan kita," Vanya akhirnya buka suara. Ia tidak akan meminta Deva untuk berhenti menangis, melainkan ia akan tetap berada di sisi Deva hingga adiknya telah puas menangis. Ia paham bahwa ketika kata-kata tak dapat mengekspresikan perasaan, air mata akan menggantikannya.
"medan perang kita berubah-ubah dan lawan kita semakin kuat, tapi di sisi lain kita juga bertambah kuat." Vanya tak ingin melihat satu persatu keluarganya menangis.
"lo masih inget nggak waktu itu pas kaki gue di gigit anjing di taman belakang rumah. Cuma ada kita berdua waktu itu karna lo maksa pengen ikut gue main. Anjing coklat itu dateng gatau dari mana langsung ngejar kita, apesnya gue kesandung dan jatuh, anjing itu berhasil ngegigit betis gue dan narik gue mundur."
"gue masih inget teriak nyuruh lo lari pulang biar lo ga kegigit juga. umur lo masih delapan tahun masih bocah banget," Vanya tergelak pelan, tatapannya mengarah ke bintang-bintang yang ada di langit malam, "gue nangis waktu itu kenceng banget tapi tetep ga ada yang nolong sampe akhirnya lo dateng nangis-nangis sambil bawa batu kerikil untuk ngelemparin si anjing biar ngelepasin gue.."
Baik Deva dan Vanya sama-sama masih mengingat dengan jelas hari itu.
"gue masih inget banget kita sama-sama nangis, lo dengan berani nyelamatin gue susah payah dengan banyak cara sampai akhirnya anjing itu pergi.... padahal waktu itu lo takut banget sama anjing."
"saat itu gue ga tau lagi bakal gimana bentuknya kaki gue kalau lo ga dateng."
"see? Bahkan waktu lo kecil, lo udah bisa melindungi gue. Lo cowok terberani yang pernah gue kenal setelah Bapak." Bisik Vanya dengan lembut.
Ia sangat menyayangi adiknya. Terakhir kali Deva menangis adalah saat insiden dikejar anjing dan saat ia di rumah sakit melihat kaki Vanya dijahit karna gigitan anjing, setelah itu Deva tak pernah terlihat mengeluarkan air mata bahkan ketika ia di sunat. Maka dari itu, Vanya sedih melihat adiknya kini menangis di pundaknya.
"gue masih berpikiran gitu sampe sekarang. lo itu kuat Dev, lebih kuat dari gue, cobaan ini bakal bikin lo lebih kuat lagi. Perang ini bakal lo menangin. Perang ini bakal kita menangin."
Suara tenang sang kakak membuat Deva akhirnya dapat berhenti menangis. Ia sungguh sangat mengagumi sosok kakaknya. Jika dipikirkan lagi, ia mungkin tak akan tumbuh besar menjadi Deva yang sekarang jika tak ada kakaknya.
"ada gue.. kalau lo ga bisa tidur lagi cari aja gue di kamar ntar kita bikin indomie bareng sambil nonton Scooby Doo," kedua sudut bibir Vanya tertarik ke atas. Scooby doo adalah kartun favorit mereka berdua sejak kecil.
Deva mengangguk pelan.
Vanya tersenyum mendapat respon dari Deva. "besok kita jenguk Bapak ya."
~~
Hope you guys likes it!! Xx - Fal
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top