[9]. Sesuatu yang Disebut Kangen



Hai, gimana puasa dua hari kemarin? Masih lancar dan kuat, kan, ya? Aamiin. 🤗

Maafkan baru update. Semalam update malah ketiduran habis salat Tarawih aku ngantuk berat. 😅

Tapi part ini aman. Nggak ada adegan hot and sweet. Silakan dibaca pagi atau siang nggak apa.

Eh, vote jangan lupa. Kasih komentar yang banyak biar lapak ini makin hot and sweet, gedor terus komentar, ya. 😂

Happy reading! 🤗🥰

====🏖🏖🏖====

Sehari ruangan sang atasan kosong, Marisa masih biasa. Tidak ada hal yang menjadikannya kepikiran atau gelisah sendirian. Hari kedua pun sama saja. Aman. Sesekali menjawab pesan singkat dari seberang yang sekadar bertanya, "Udah makan? Hari ini kantor masih aman? Apa kabar?"

Hari ketiga, sepertinya mulai ada yang berbeda. Setiap perempuan itu lewat di depan ruangan yang mejanya rapi tak berpenghuni itu, Risa mendadak terhenti sebentar yang kadang ia sendiri tak mengerti buat apa menatapi meja dalam ruangan kerja Tama. Sadar kalau jelas-jelas laki-laki yang sempat berpamitan sebelum pulang ke Jakarta baru mau kembali besok, ia menghela napas. Entah untuk apa perempuan yang memilih duduk kembali usai makan siang di kantin itu menghela dan mengembuskan napas sedemikian beratnya.

Seperti ada beban tak kasatmata yang membuatnya lelah sendirian. Ia mau teman bicara, menemaninya makan malam, ada yang mondar-mandir di dalam kontrakannya, lalu menemukannya tertidur di sofa dengan TV menyala. Risa juga rindu ada yang meminta, "Sa, mau masakin ini nggak?"

Seperti ada yang salah, perempuan yang tengah menelungkupkan diri di atas meja kerjanya mendadak menegakkan tubuh. Rindu? Ia cepat-cepat menggeleng.

Masa, sih, baru tiga hari ini ditinggal udah macam anak itik kehilangan induknya? Udah berasa berat dan mau menangis aja setiap sore pas pulang kerja lalu menyadari ... malam ini kamu sendirian aja, Cha, dia belum pulang.

"Ada yang aneh sama Mbak Cha akhir-akhir ini."

Dan suara celetukan Tina membuat Risa terlonjak kaget. "Y-ya? Ah, masa?"

Gadis berbehel itu mengangguk-angguk seraya mengetuk-ngetukkan pena berhias bulu ayam warna-warni di ujungnya ke dagu. "Udah luaaammaaaaa ... banget, Mbak nggak pernah ngrecokin aku buat datang ke kontrakan. Yang ada malah ngalangin aku datang."

"Ha-hah? Kapan?" Risa mengingat-ingat.

Tina menyipitkan pandangan, menatap perempuan yang mulai terheran dengan dirinya sendiri dengan tatap curiga. "Tiga hari yang lalu aku ada niat nyamper aja ke kontrakan. Udah mampir minimarket dekat perumahan Mbak Cha tinggal. Beli camilan, soda, dan mi instan. Niatnya mau ajak nonton drakor sampe pagi. Tapi ...."

Risa mencondongkan tubuh ke belakang ketika Tina mendesak mengamatinya lebih dekat. Gadis itu mengacung-ngacungkan pena di depan Risa.

"Aku ketemu Pak Tama." Tina kembali duduk santai, bersandar pada sandaran kursi seraya melipat kedua tangan di dada dengan kepala mengedik menunjuk ruangan atasan mereka.

"Apa hubungannya sa--"

"Mbak mau tahu nggak apa yang dibeli Pak Tama di minimarket?"  Gadis penuh selidik itu kembali menegakkan tubuh.

Risa mendadak cemas. "Y-ya?"

Dan Tina mengulum senyum, mencondongkan tubuh ke arahnya, dan berbisik, "Kon--"

"Tin, kayaknya aku mau kopi, deh! Ke pantry dulu, ya!" Perempuan berblazer merah muda itu cepat-cepat bangkit.

Namun, Tina bukanlah orang asing. Gadis itu teramat dekat dengan Risa, bahkan hubungan keduanya sering dianggap layaknya kakak-adik di kantor. Saling mendukung dan saling membela ketika ada masalah menerjang. Sayangnya, seminggu lebih memang Risa menghindarinya.

Bukan karena tak mau dekat lagi. Risa hanya sedang menunggu waktu yang tepat, untuk membicarakan hubungannya dengan Tama yang sudah kelewat kebablasan, tapi serba mendadak. Ia takut Tina menghakimi bahwa kedekatan itu sebatas pelarian.

"Aku belum selesai ngomong, lho, Mbak!" Tina mengejar. Gadis itu membenarkan letak kacamata sambil memberengut dan mengekor langkah Risa.

"Ya, terus apa hubungannya kamu ketemu Mas Tama di minimarket yang lagi beli ...," Risa menjeda kalimat, menatap sekitar, kemudian berbisik, "kondom?"

Kening Tina berkerut. Namun, ia menjentikkan jari kemudian tepat di wajah rekan dekatnya. "Bagus! Dan ternyata malam itu Pak Tama, sehabis beli barang laknat itu, menuju ke rumah ... Mbak Cha!"

Risa memejam putus asa seraya menggigit bibir. "Ya, memangnya kenapa kalau Mas Tama datang ke rumahku? Cuma ngobrol bentar terus pulang, kok!"

Tina mengulum senyum kemenangan. "Aku yang udah sampe tikungan dekat rumah Mbak Cha akhirnya pergi lagi. Niatnya entaran aja pas udah jam sembilanan. Nunggu Pak Tama pergi gitu. Nggak enak juga di kantor ketemu atasan yang kelewat ganteng, tapi pas kerja terlalu serius sampe tega nyoretin apa-apa yang udah karyawan susun pake bolpen merah. Udah macam mahasiswa kena coret pas skripsian. Tapi ...."

Risa menahan napas. Genggaman sendok kecil di tanganya tampak mengerat, belum sempat menyendok gula meski tutup stoples sudah ia buka.

Tina mengembuskan napas. "Sampai jam sepuluh malam, mobil Pak Tama masih ada di depan kontrakan Mbak Cha. Aku telpon Mbak, tapi nggak diangkat, lho." Kelopak mata gadis itu memicing. Cuping hidungnya bergerak-gerak intens. Pergerakan yang sangat Risa hafal ketika Tina meminta penjelasan lebih. "Dan Mbak Cha, tadi nyebut Pak Tama dengan sebutan ... Mas Tama."

Ah, sudah! Risa tak mungkin mengelak lagi. Perempuan itu memejam sejenak, lalu menghela napas panjang guna menghimpun keberanian. "Terus kenapa?" tanyanya lemah.

Tina mengerjap. Ia menarik lengan blazer Risa agar menghadap padanya. Mulanya, gadis berkacamata minus itu menatap tajam. Tapi beberapa detik kemudian, ia bertepuk senang kelewatan seraya melompat-lompat tak keruan.

"Ma-maksudnya apa ... nih?"

Tina berhenti bertepuk gembira. "Maksudnya apa?! Mbak, aku tuh seneng, lho, Mbak Cha udah mulai ceria lagi. Akhir-akhir ini nggak terlibat pasang urat sama ...," ia memelankan suara, "si Rama itu."

Risa berdecak sembari menyeduh kopi dan gula dengan air panas. "Aku pikir kamu bakalan nyeramahin aku, lho, Tin. Bilang aku cari pelarian ke hal-hal yang nggak bener."

Bibir Tina mengatup rapat sebentar. "Iya, emang nggak bener, Mbak. Kurang-kurangin, deh. Takutnya--eh, wait! Jadi Pak Tama beli itu di minimarket emang bener buat dipake malam itu?! Di kontrakan Mbak Cha?! Sama Mbak Cha?! Astaga, Mbak!"

Jebakan. Sayangnya, perempuan itu baru paham Tina sedang berusaha menjebaknya ketika ia tanpa sadar sudah mengakui semua. Marisa buru-buru meletakkan sendok ke meja, menghindar dengan mengitari meja pantry di tengah ruangan. Ia berkelit sambil sesekali meringis saat capitan ibu jari dan telunjuk Tina mendarat gemas ke lengan atau pinggang.

"Pak Tama memang ganteng, tapi jangan sejauh itu, Mbak! Nyebut, Mbak! Eling karo Gusti Allah!" Garis itu berpetuah sambil menabok bahu Marisa sedikit keras.

"Iya, Tina! Dia juga udah ngajakin nikah! Aku cuma masih trauma menjalin hubungan aja sama laki-laki!"

Berhasil. Marisa berhasil mencekal dua pergelangan tangan Tina. Napas keduanya terengah-engah. Gadis baik dan lugu itu bahkan masih ternganga-nganga saking tak habis pikirnya.

"P-pak Tama ... ngajak ... nikah?" tanyanya terbata.

Marisa mengangguk.

"Mbak Cha masih mikir-mikir?"

Mengangguk lagi.

"Mbak ...! Ih, kok, gitu?!" Tina menjejak-jejakkan kaki ke lantai. Ia sepertinya gusar dan jengkel dengan pola pikir sahabatnya yang kelewat aneh.

"Cha."

Suara itu menghentikan kehebohan Tina. Gadis itu spontan mengubah raut gemas pada sahabatnya dengan raut datar. Tak urung Marisa harus mengusap-usap bekas cubitan gadis itu yang nyatanya terasa panas.

"Mbak utang cerita ke aku, lho, ya," desis Tina sebelum berlalu. Gadis itu melangkah pergi seraya melirik Rama sekali.

"Tiket wisata sama hotel udah aku jadiin satu di sini. Kamu tinggal bagiin ke leader lain besok pagi sebelum keberangkatan. Soal konsumsi selama perjalanan menuju Bali udah beres. Pagi Mamat yang antar snack ke sini. Driver udah aku kasih tahu rute perjalanan juga. Besok kamu, Tina, sama Mbak Nunung yang berangkat." Rama meletakkan map ke meja pantry. Usai menjelaskannya, ia beranjak meraih cangkir di lemari kabinet.

Rama menghindarinya sepekan ini. Entah karena apa laki-laki itu mulai berhenti mendesak untuk menunggu.

Perempuan berblazer merah mudah itu meraih map dengan satu tangan, sementara tangan kanannya sibuk membawa kopi panasnya hati-hati. Marisa hanya mengangguk dan bergumam, "Oke."

Marisa hampir beranjak mengikuti langkah Tina kembali ke kubikel mereka. Namun, satu dehaman dan pertanyaan Rama menghentikan langkahnya.

"Cha, sepekan yang lalu, dari apartemen Pak Tama, pulang jam berapa?" tanyanya tiba-tiba.  Adukan pada minuman hitam pekat itu bergeming sejenak.

Langkah Tina semakin menjauh dan Marisa sontak berbalik. Ia menatap Rama yang masih terdiam. Laki-laki itu membalikkan badan beberapa detik setelah mengembuskan napas pelan. Tatapannya mengeras.

Tatapan yang kemudian membuat Risa bergidik ngeri. Namun, hanya satu kalimat yang bisa perempuan itu katakan sebelum beranjak pergi.

"Bukan urusanmu."

**

Risa:
Mas ketemu Tina di minimarket deket kontrakan malam Minggu kemarin?

Pratama:
Iya.


Risa:
Harusnya tuh ngumpet-ngumpet kalo mau beli itu, Mas! 😢

Pratama:
Haha. Nggak sengaja ketemu, Sa.

Risa:
Dia nyamper ke kontrakan. Tapi liat mobil kamu ada di depan habis beli itu, dia akhirnya pulang lagi. Namaku tercoreng. Tanggung jawab!

Pratama:
Ya ... kamunya susah

Pratama:
Diajak nikah.

Risa:
Kapan balik ke Jogja?

Risa:
Aku besok ada jadwal mandu ke Bali. Nggak ada waktu buat ketemu dulu, ya?

Risa:
Mas, kayaknya aku mulai ada rasa kangen, deh!

**

(24-03-2023)

====🏖🏖🏖====


Cieee, ada yang mulai berani terang-terangan bilang kangen! 😂

Minta tanggung jawab katanya. Ini Mas Tama pasti di Jakarta mendadak gelisah pengen cepet-cepet balik ke Jogja terus nyeret Mbak Cha ke KUA. 😂

Jangan lupa vote dan ramaikan komentar, ya.

Yang belum pernah komentar, coba komentar, yok! Dikomentarin "next" atau  "lanjut" juga nggak apa. Nggak baperan aku tuh. Malah seneng karena tahu ada yang ngarep lanjut terus. 😆


Terima kasih. 🤗🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top