[8]. Di Bahunya Ia Bersandar

Halo, selamat hari Rabu. 🥳

Bentar lagi puasa. Sebelumnya, aku mau minta maaf kalau punya salah dalam berkalimat, ya. Maaf kalau ada kata dariku yang menyinggung pembaca di sini. Terima kasih selalu datang untuk mampir baca. 🥰🤗

Btw, besok puasa, karena ini cerita ada konten 21+, aku usahakan update malam hari aja, ya. 🤭

Oke, vote dulu dan bantu up cerita ini  dengan komentar yang banyak. Terima kasih.

Happy reading! 🥳

====🏖🏖🏖====

Waduk Sermo selalu tampak eksotis pada masa mendekati senja. Airnya yang bersinar keemasan dan jajaran bukit yang mengelilingi membuat siapa saja betah duduk lama di sana. Tenda dan hammock warna-warni berjajar di tepian bendungan air. Ikan-ikan menarik-narik kail pemancing. Semua terasa tenang dan menyenangkan. Seharusnya.

Namun, Tama justru cenderung lebih banyak diam. Diamnya bukan karena takut pada sosok berwibawa sang ayah di sisinya. Ia hanya berusaha menghargai usaha ayahnya mencurahkan perhatian. Beginilah cara pria dengan wajah tegas--yang mulai dipenuhi kerut samar di sudut mata dan garis senyum--itu mendekatkan diri pada putranya.

Kesibukan bekerja membuat jarak yang kadang Tama pikir susah mencari waktu untuk sekadar duduk berdua begini. Namun, kadang-kadang, Baskoro tak segan mencari celah waktu agar komunikasi tetap terjalin dengan si sulung dalam rumah tangganya.

Lama keduanya duduk di atas kursi lipat dan fokus pada kail pancing yang mereka lempar sore ini. Tak ada pembicaraan serius mulanya. Hanya sesekali menanyakan kabar diselipi medan kerja yang mereka geluti setiap harinya. Sampai ketika satu helaan dan embusan napas Baskoro muncul, Tama mulai bersiap mendengarkan dengan takzim.

"Papa ketemu Om Pras seminggu yang lalu, Mas," katanya memulai obrolan yang sebenarnya tak ingin Tama dengar.

Pemuda berusia 31 tahun itu masih diam, tak mau menyahut sebelum duduk perkara obrolan jelas.

"Tujuh bulan udah lewat, kamu nggak ada keinginan buat memperbaiki silaturahmi, ya, Mas? Mama udah bisa menerima. Dia bahkan udah mulai biasa lagi ikut kegiatan di luar rumah. Sesekali beli kue ke toko mamanya Alika. Menurut kamu gimana?" Baskoro menarik kail ketika terlihat senar pancing ditarik kencang. Sayang, ikan terlepas lagi, mungkin saking besarnya.

Tama mengembuskan napas panjang. Ya, tak ada komunikasi apa pun lagi sejak pertemuan terakhirnya dengan Rahayu--ibu dari mantan calon istrinya. Rahayu memutus tali perjodohan mengingat kondisi Alika yang semakin tertekan. Tama bungkam saat itu. Ia memilih pergi ke Bali sesegera mungkin tanpa kata. Sakit hatinya mendarah daging.

Namun, ada saatnya ia sadar, bukan salah Alika. Justru keegoisan dirinya juga ikut andil dalam merunyamkan semua. Andai ia tak terus memaksakan diri untuk perjodohan itu dan membiarkan Alika kembali pada kekasihnya yang dulu, mungkin semua tak akan sampai sesakit ini. Toh sebelumnya Alika sudah terang-terangan tak sanggup memupus masa lalunya. Terlalu cinta. Mungkin itu alasan terbesarnya. Terdengar picisan, tapi itulah kenyataan yang harus Tama terima dan mengerti bahwa cinta tak bisa dipaksakan.

"Papa nggak maksa, tapi ada baiknya, sebelum kamu melangkah terlalu jauh ke depan, hilangkan sakit hatimu dahulu. Selesaikan yang belum selesai dengan bicara sebagai laki-laki yang gentle. Jangan lari tanpa kata. Biar kamu nggak ada beban dan utang maaf ke depannya." Baskoro melanjutkan.

Tama mendesah pelan. Ia menyesap kopi pada gelas kertas, menatap kail yang tak kunjung bergerak. "Semua bukannya udah berakhir, ya? Apa aku harus menggali luka lagi cuma buat minta dan meneriama maaf?"

"Nggak perlu kamu gali, Mas. Cukup kamu terima luka menjadi bagian dari dirimu. Sampai kering dan sembuh dengan sendirinya. Nggak enak pergi masih menyimpan ganjalan amarah, Mas." Ujung mata pria paruh baya itu melirik putranya. "Kamu gagal menikah dengan Alika, nggak harus putus tali silaturahmi juga, kan? Keluarga kita sama keluarga Alika udah layaknya saudara. Kamu nggak ingat siapa yang ngajarin kamu di kantor dulu kalau bukan papanya Alika, hm? Udah kayak bapak sama anak."

Kangen. Hanya itu kata yang terlintas dalam benak Tama. Ia sesungguhnya rindu dengan Pras yang sudah ia anggap lebih dari sekadar atasan yang membimbingnya di kantor sebelum benar-benar dipercaya ayahnya sendiri untuk mengambil alih perusahaan properti milik keluarganya di Bali. Benar kata Baskoro, mereka berdua sangat dekat seperti anak dan bapak.

Baskoro berdeham sekali. Ia meraih kopinya yang mendingin di atas meja lipat yang terletak di antara dirinya dan sang putra. "Ngomong-ngomong, ini kopinya enak, Mas. Pacar kamu yang bikin, ya?" Laki-laki tua itu tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana dengan meledek putra sulungnya.

Tak urung senyum tipis tertahan di bibir Tama terbit. "Papa lagi asal ngomong apa emang nebak-nebak sejauh mana hubunganku sama Risa?"

Tawa Baskoro lepas begitu saja. "Mama uring-uringan terus mikirin kamu, lho, Mas. Belum ada hilal, ya?"

Tama menggaruk pelipis dengan telunjuk tangan kanan. Sedikit kikuk membahas kehidupan pribadinya yang baru. Malu pastinya sebab Pita pasti sudah main bongkar-bongkar semua.

"Mama bilang masa puber kamu telat. Dulu zaman remaja anteng aja pacarannya. Ini usia udah kepala tiga malah baru muncul tanda-tanda puber katanya." Lagi, Baskoro tertawa terpingkal-pingkal.

"Mama suka lebai kalau ngomongin anaknya," gerutu Tama. Ia menyesap kopinya lagi. Enak dan memang benar Risa yang membuat, lalu membawakannya dalam tumbler air panas untuk bekal.

"Papa udah cari tahu lewat Pak Agus, owner agen tempat kamu kerja. Untuk kali ini, tolong pastikan hatimu bersih dahulu dari masa lalu sebelum melangkah lebih jauh. Kalau memang benar kamu tertarik menjalani masa depan sama Marisa, pastikan kamu sanggup menyayanginya  dengan tulus. Bukan karena sedang cari pelarian. Dia ...," Baskoro menjeda sejenak kalimatnya, "anak yatim piatu, Mas. Jadi, jangan setengah-setengah kalau memang mau berusaha membuka hati yang baru sama Marisa."

Tama bergeming. Ada sembilu yang menyayat hatinya tiba-tiba. Ia memang tak terlalu banyak mengorek kehidupan pribadi Risa. Fokusnya terlalu tertuju pada perkara cepat-cepat menikah. Sampai ia lupa untuk menyelami pribadi perempuan itu. Nyatanya, segala cerita yang Baskoro sampaikan senja itu, membuat Tama sedikit banyak tahu tentang siapa Marisa Yanuar. Dan mendengarnya, ia ingin segera mengakhiri sesi mancing bersama ayahnya, pergi ke rumah kekasihnya, lalu menenggelamkan tubuh Risa dalam pelukan agar perempuan itu tak merasa sendirian lagi.

**

Desing suara mesin pengering rambut baru saja berhenti. Perempuan di balik meja rias itu meletakkan sisir dan hair dryer. Sekali lagi menyisir rambut sebelum menanggalkan bathrobe di tubuh dan menggantinya dengan kaus dan celana pendek. Bersiap mengistirahatkan tubuh ke atas ranjang setelah pukul tujuh malam tadi baru pulang memandu di selama 3 jam di Prambanan.

Sekujur tubuhnya pegal dan ia mau berguling di atas kasur empuknya. Risa mendesah panjang begitu punggungnya menyentuh seprai tempat tidur. Sedikit lapar, sebab tadi ia hanya sempat makan buah dari kulkas begitu menjejakkan kaki di dapur sepulang bekerja. Tapi makan sendiri rasanya terlalu malas.

Sampai akhirnya, suara ketukan pintu itu terdengar dari depan. Kelopak Risa mengerjap, sedikit bangkit dan menilik jam dinding di atas pintu kamar. Pukul delapan malam. Sepertinya ia sama sekali tak meminta Tina datang hari ini. Pun kekasihnya bilang mau pergi mancing ke Waduk Sermo sampai malam. Lagi, ketukan itu terdengar. Risa menyingkap tirai kamar di dekat ranjang. Mobil BMW biru yang berhenti tepat di depan pagar membuat perempuan itu cepat-cepat beranjak.

"Iya, sebentar!" Risa menyahut sambil berlari ketika ketukan terdengar lagi.

"Hai ...." Satu sapaan itu terdengar usai pintu dibuka.

Tama tampak berdiri berulas senyum tipis. Satu tangan kanannya menggenggam kunci BMW kesayangannya dan tangan kiri membawa tiga ekor ikan nila.

"Mau masak ini nggak, Sa? Aku bersihin sekarang kalau kamu mau masakin," katanya kemudian seraya mengangkat ikan air tawar di tangan kiri.

Dan Risa tertawa-tawa melihat penampilan kekasih sekaligus atasannya di kantor seberantakan ini. Kemejanya kotor dan bau amis menguar ke mana.

**

Sepiring nasi hangat dan beberapa potong nila goreng berakhir ke dalam perut Tama setengah jam lalu. Tubuhnya sudah segar kembali usai mengguyur badan dengan air dingin dan berganti pakaian. Ia masih setia duduk di pantry sembari menunggu Risa mengupas apel. Tubuh langsing perempuan itu tampak mondar-mandir. Sesekali berdiri di depan meja bar, lalu beralih ke kitchen sink untuk mencuci buah atau tangan, dan kembali ke dekat meja.

Meski tubuh kurus itu terlihat baik-baik saja, Tama bisa melihat ada lelah ketika menatap punggungnya yang lunglai atau sesekali tangan Risa memijit pelan bahunya sendiri. Beban itu seperti tak mau luput bergelayut di pundak ringkih perempuan tanpa ayah dan ibu itu.

Tama menyesap minuman bersodanya sekali sebelum akhirnya menghampiri. Ia melingkarkan dua lengan pada pinggang perempuan yang tengah sibuk menata potongan apel di piring. "Tadi sore jadi ambil kerjaan di luar kantor?" tanyanya membuka obrolan. Laki-laki itu mengeratkan pelukan dan melekatkan dagu ke bahu terbuka Risa, sebab kerah kaus oversize itu terlampau lebar untuk sekadar memeluk malas tubuhnya.

"Ya, jadi. Nggak enak sama Pakde yang udah biasa nawarin kerjaan pas akhir pekan gini. Mayan juga uang tip-nya." Risa terkikik. Ia mengulurkan sepotong apel ke dekat mulut pria yang memeluknya dari belakang. Mungkin dalam rangka berjaga-jaga agar mulut kekasihnya tak lantas sibuk menggigit apa-apa yang terlarang.

Meski kunyahan di mulut Tama sudah berhenti, ia tak kunjung melepas rengkuhan erat itu. Sampai akhirnya, Risa memilih menyerah menyandarkan kepala ke bahu kokoh Tama.

"Tadi jadi mancingnya sama papa kamu, Mas? Nggak sendirian, kan?"

Tama mengangguk dalam diam. Rasa-rasanya terlalu rugi kalau hanya melekatkan dagu saja. Jadi ia memilih menghidu dalam-dalam aroma manis vanila di ceruk leher perempuan yang entah sejak kapan justru memilih menelengkan kepala secara berlawanan. Membiarkan saja bibir lelaki yang masih memeluk menjelajah.

Dan satu kecupan dalam itu mengakhiri aksinya mencari kenyamanan lebih jauh. Tama bergeming beberapa detik sebelum berkata, "Kamu nggak ada rencana buat mengistirahatkan diri dari kesibukan kerja, ya? Bersenang-senang buat kebahagiaan kamu misalnya?"

Risa tersenyum samar seraya menepuk-nepuk pelan punggung tangan Tama yang masih melingkar di pinggangnya. "Rencananya gitu. Aku mau berhenti bekerja terus menerus demi uang dan mulai menikmati hidup. Capek."

Capek. Satu kata yang terucap bersamaan embusan napas lelah.

"Sakit juga rasanya sepuluh tahun banting tulang buat bertahan hidup, tapi ... pada akhirnya ternyata aku cuma berjuang buat hal-hal yang malah berbalik menyakiti diriku sendiri."

Tama merenggangkan pelukan, memutar bahu perempuan yang tiba-tiba berubah sendu. Ia mengurung tubuh Risa di antara dua tangan yang menumpu di sisi meja. "Kalau terlalu sakit menanggung sendiri, kenapa nggak kita coba buat menanggungnya sama-sama?" katanya  lirih.

Lagi-lagi, Risa tersenyum. Namun, tak lantas menjawab permintaan Tama. Ia hanya mengulurkan tangan dan melekatkan telapak di pipi laki-laki yang tengah menatapnya instens.

Tama menyambut, sedikit menolehkan kepala demi mengecup telapak tangan yang melekat di wajahnya seraya memejam. Ketika tatap kedua matanya bertemu, desir itu kembali hadir. Mengentak-ngentak jantung dan darah panas bergelenyar memacu renjana.

Tama merapatkan diri, membuang jarak di antara keduanya lagi. Ia memastikan tak akan ada penolakan, mempertemukan ujung hidung bangirnya dengan hidung mancung perempuan yang kemudian menutup mata. Ada napas yang menderu panas di antara mereka.

"Aku pulang ke Jakarta besok. Takut kangen, boleh nggak malam ini cari sesuatu ke minimarket biar kita nggak uring-uringan lagi kalau malam ini ...." Tama semakin mendesak tubuh langsing di hadapan, semakin merapat ke sisi meja. "Aku mau kamu," sambungnya dengan suara berbisik, setengah menggoda.

Semua hasrat dalam benak bersambut ketika tangan yang semula merungkup wajah tegas itu beralih melingkar ke leher jenjang Tama. Mungkin sama-sama tak kuat menahan diri dari rasa yang kian meletup tak terkendali. Dalam resah, perempuan itu berbisik, "Go. I'm waiting to have fun tonight."

Satu kalimat jawaban itu secara refleks membuat Tama mengerjap sebentar lalu berlarian mencari kunci mobil. Takut perempuan yang tengah berdiri sembari menggigit bibir karena gelisah itu berubah pikiran.

**

(22-03-2023)

====🏖🏖🏖====

Tuh, mereka berdua berulah sebelum waktunya lagi. 😪

Udah dibilang, having sex sebelum menikah itu bahaya karena candu. Nggak ada yang bisa menghentikan semua perkara itu kecuali cepat-cepat menikah. Mas Tama udah berusaha belajar dari kasus Alika dan Raga. Pun Risa sebenarnya juga harusnya belajar dari kisah Rama dan Riana. Apa, ya, nggak takut ada yang bocor terus kebablasan? 😒

Semoga mereka sadar sebelum kejadian, ya. Mas Tama juga makin gencar ngajakin halalin hubungan biar nggak gitu-gitu melulu. Tolong didoakan, ya, Gaes, biar author-nya nggak oleng ngurusin duo karakter yang mengalami telat masa puber ini. 🥲

Eh, vote jangan lupa, tolong, ya. 🥰

Btw, aku mau survei, berapa banyak yang punya aplikasi Fizzo? Silakan komen di sini. Aku mau cari uang jajan buat lebaran dan jenguk para ponakan ke Jogja di Fizzo, tapi ragu takutnya pada nggak mau baca di sana meski gratis. Kan, sayang naskahnya kalau nggak ada yang baca. 🤭

Terima kasih atas dukungannya. Semoga kalian sehat selalu. Aamiin. 🥰🤗

====🏖🏖🏖====

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top