[6]. Hari Pertama

Hai, hai, hai! 🥳

Kangen Mas Tama sama Mbak Cha nggak nih?

Vote dan komen yang ramai dong, biar aku semangat update terus. 🥳

Btw, ada yang masih galau antara mau
pangil Pak apa Mas, nih! 😂

Mbak Cha masih malu-malu dan canggung mungkin, ya. 🤭

Happy reading, Besti. 🥳

====🏖🏖🏖====





Hari masih terlalu sore ketika perempuan itu pulang dan menapak di depan pintu pagar kontrakan satu kamar. Ada dua pohon pucuk merah di sisi kanan dekat pagar pembatas setinggi pinggang antara rumah-rumah lain. Derit pintu pagar besi terdengar ketika Risa mendorongnya setelah pengait kunci ditarik.

Ia menghela napas panjang sebelum kembali membungkuk, meraih dua tas keresek belanjaan yang dibeli sepulang kerja. Kulkas masih kosong sejak perempuan berambut tergerai rapi itu pindah. Hanya ada beberapa kaleng bir, sisa semalam yang entah bersisa berapa, Risa belum mengeceknya lagi.

Sebenarnya, Tama bersedia mengantarnya pulang. Namun, beberapa laporan dari pihak driver agen tentang persiapan armada bus yang akan digunakan tiga hari lagi membuat pria itu kembali sibuk. Dan Risa sukarela pulang sendiri meski mulanya Tama keberatan.

Lalu, ide di kepala tercetus tiba-tiba ketika masih duduk tenang di dalam angkutan umum Trans Jogja. Risa gegas berpindah jalur menuju supermarket di kawasan Malioboro, mengisi troli dengan aneka sayur, buah, dan daging segar. Termasuk aneka bumbu dapur yang nyatanya sangat dibutuhkan saat ia memang berniat memasak makanan rumahan untuk dirinya sendiri dan ... Tama.

Eh, Mas Tama suka makanan rumahan biasa apa makanan orang kaya yang ribet-ribet, ya? Setidaknya pikiran itu sempat membuat Marisa ragu menatap bahan-bahan sayur bening dan ayam ungkep untuk sediaan di kulkas.

Setidaknya sekotak makan ungkep ayam bisa memudahkan Mas Tama menyiapkan makanan sendiri, kan? Eh, dia tinggal sendiri apa sama siapa? Jangan-jangan ada ART sepuluh di rumahnya!

Ya, ampun! Kamu bahkan nggak tahu di mana Mas Tama tinggal Risa! Kalian baru jadian tadi pagi di kantor!

Detik itu, Risa sadar terlalu banyak hal yang belum ia tahu tentang pria yang pernah dua kali tidur bersamanya.

Konyol! Perempuan itu mengumpat mengingat segala obrolan berisik pikirannya sendiri sejak tadi. Bahkan saat ia sudah mengenakan celemek dan sibuk mengaduk beberapa potong ayam berlumur bumbu kuning, obrolan berisik tentang rasa penasarannya dengan sosok Pratama Baskoro terus terngiang.

"Eh, berisik, ya! Otak sama hati bisa diem bentar nggak? Aku lagi masak. Entar aku telpon tanya dia tinggal di mana. Diem!" Marisa menggerutu sendiri sembari mengetuk bibir panci dengan spatula kayu.

Sepanci kecil sayur bening bayam dan jagung, lengkap dengan lauk ayam selesai dimasak hampir mendekati senja. Perempuan dengan rambut tercepol berantakan itu gegas melepas celemek di dada, lalu pergi mandi. Ia sempat menilik ponsel sejenak bersamaan dengan melepas jajaran kancing blus dengan tangan kiri. Jemari lentik itu lincah mengetik.

Marisa:
Udah sampai rumah? Kalau udah, share lokasi ya, Mas!


Ketika pesan itu terkirim, dada perempuan itu sempat berdesir. Tanpa sadar, bibir tipisnya mengulas senyum. Ada gebu yang ia rasa meski sekilas, mengantarkan hangat bergelenyar hingga dua pipi bersemu merah.

**

Keluarga "Cemara" Baskoro


Pitaloka:
Mas!

Pratama:
Hm?


Pitaloka:

Pitaloka:
Akhirnya aku tahu siapa pemilik kemeja cewek di lantai pantry Mas Tama. 🤣


Pratama:
Dapat foto dari mana, Pit?


Pitaloka:
Cieee, yang udah mulai mup on! 😚

Amara:
Aku yang minta foto ke kenalan Mas Fandi. Kapan hari rekan Mas Fandi ada yang liburan keliling Jogja. Katanya Marisa yang jadi pemandu.

Pratama:
Oh.


Pitaloka:
Oh doang? 😒

Amara:
Hati-hatilah, Mas. Udah cukup pengalaman main-main sama cewek yang masa lalunya belum kelar.

Pitaloka:
Udah telanjur nabung, Mbak Mara, ih! 🤐

Ndoro Agung:
Pita, ngomongnya dijaga, ya. Masmu punya privasi. Nggak sopan yang kayak gitu dibicarain di grup.

Pitaloka:
Siap, Ndoro Agung Mama. 🤫

Pratama:
Udah dulu. Mau mandi.


Pitaloka:
Kerja yang bener. Jangan mepetin teroooss.

Ndoro Agung:
Pitaaaa!

Kekasih Ndoro Agung:
Papa baca, ya. Kapan-kapan temenin Papa mancing, Mas. Ada yang mau Papa omongin juga sama kamu.

Amara:
Nah, kan! Bakalan ada interogasi kedua yang dibawakan oleh Kekasih Ndoro Agung Mama langsung. 🤪

**

Tama menghela napas panjang. Keluarganya memang tipe-tipe keluarga berisik. Apalagi bila sudah ada Pitaloka dan Amara. Dua adiknya itu mungkin sedang balas dendam. Semasa mereka belum menikah, si Sulung dari pasangan Rima dan Baskoro memang terkenal over penjagaan dengan dua adik perempuannya.

Bukan karena berlebihan, Tama hanya terlalu sayang. Lagi pula, siapa yang rela adik perempuannya dipermainkan laki-laki yang tak bertanggung jawab di luaran sana? Tama bukan tipe-tipe kakak yang bisa tinggal diam melihat Mara dan Pita berhubungan dengan laki-laki sembarangan.

Dan sekarang, sejak kejadian kegagalan pernikahannya bersama Alika, Mara dan Pita mengambil alih segalanya. Bahkan selama di Bali, keduanya kerap berkunjung membawa serta suami dan anaknya.

Pita bilang, "Biar Mas nggak banyak ngalamun sendirian. Jadi aku bawa Meta ke sini. Ajakin dia keliling Bali gih!"

Alasan. Sengaja banget bawa anak ke sini biar ada yang jagain terus dianya pacaran lagi sama papanya Meta!

Jadilah setiap liburan sekolah, Tama beralih pekerjaan jadi pengasuh dadakan keponakan-keponakannya. Meski tak dimungkiri, terkadang menyibukkan diri dengan mereka lumayan menyenangkan, dan bisa menghilangkan penat dari rutinitas pekerjaan di kantor yang melelahkan. Toh anak Pita dan Mara bukan tipe keponakan yang manja. Jajan es krim dan lepas saja di playground sudah asyik sendiri.

Sayangnya, untuk kali ini mungkin Tama sedikit risi saat dua adiknya mulai mengibarkan bendera peringatan bahaya. Pita mendukung, tapi sejatinya sudah pasti di belakang ia saling bicara dengan Mara.

"Jangan main-main sama cewek yang masa lalunya belum selesai. Hati-hati, Mas!"

Ia bahkan ingat bagaimana Mara memperingatinya secara langsung sebelum kepindahannya ke Jogja.

Tama melempar ponsel ke atas ranjang. Tubuhnya penat, tapi belum berniat membersihkan diri. Ia baru melepas arloji dari pergelangan tangan kiri saat layar ponsel kembali berkedip. Dua alis tebal laki-laki itu berkerut bingung.

"Ini tuh lagi berusaha overprotective sampai harus share lokasi segala apa gimana, sih?" gumamnya heran.

Nyatanya, memulai hubungan tanpa aba-aba perkenalan dan penjajakan senormalnya orang berpacaran itu rasanya sedikit canggung dan membingungkan.

**

Perempuan bersweter cokelat tua itu duduk tenang di kursi lobi. Seperti dugaannya, kekasih dadakan Marisa ternyata bukan orang biasa. Seharusnya Risa tak perlu terkejut ketika pria itu mengirimkan lokasi tempat di mana ia tinggal. Toh sejak awal pertemuan mereka di Bali, dari jam tangan yang Tama kenakan saja sudah terlihat dari mana pria  itu berasal. Dari wangi parfum mahalnya yang menebarkan aroma kayu-kayuan yang manis saja, Risa bisa memperkirakan berapa nilai materi yang harus dikeluarkan untuk berpenampilan saja.

Di sini, di sebuah apartmemen elit dekat dengan kawasan jantung kota Jogja, ia menunggu. Tak bisa seenaknya menaiki lift menuju unit apartemen Tama sebab hanya orang yang memiliki kartu akses saja yang bisa keluar-masuk.

"Udah lama, Sa?"

Sapa itu membuat perempuan yang tengah duduk tertunduk mengamati dua kotak makan dalam paper bag di pangkuan mendongak. Ia tersenyum tipis, menggeleng cepat sebab memang baru sekitar mungkin dua atau tiga menit menunggu.

Laki-laki itu tampak lebih segar dari penampilan terakhir yang Risa lihat. Lebih santai dengan kaus abu-abu misty dan celana jins hitam. Ada aroma woody yang manis menguar ketika ia duduk di sisi perempuan itu.

"Kamu nggak bilang mau ke sini. Mau masuk atau ...." Perkataan Tama terjeda.

Keduanya bertatapan sedikit canggung, tapi Marisa mengangguk-angguk pelan sambil berkata, "Kalau Mas ngizinin dan nggak keberatan aku masuk, boleh ... sih ...."

Laki-laki yang semula bergeming itu mengangguk dan mendahuluinya berdiri. Mereka berjalan bersisian menuju lift. Hening menyelimuti ketika baik Risa maupun Tama berdiri bersisian dan bersandar pada dinding lift yang dingin. Elevator yang mengantarkan mereka naik terasa berjalan lambat setelah Tama menempelkan kartu akses pada kotak sensor di sisi lift.

Kemudian, dalam keheningan, satu kalimat pernyataan dari bibir merah laki-laki di sisi Risa itu membuatnya malah semakin gugup entah untuk apa.

"Aku ... tinggal sendiri dan nggak ada siapa-siapa di dalam unit apartemenku."

"Ha-hah?" Marisa mendongak, menyambut tatapan Tama yang meredup.

Lalu ia bisa merasakan tubuhnya yang meremang ketika telapak hangat Tama meraih tangan bebas Risa dan menggenggamnya erat untuk keluar dari lift.

**

(18-03-2023)

====🏖🏖🏖====


Cieee, ada yang penasaran dan nggak sabar lanjut! 🤣

Ngapain hayo, habis keluar dari lift? 🤣

Lanjut nggak nih? Mau cepet apa minggu depan aja?

Kasih semangat pake komentar yang banyak dan vote dulu, dong. Aku semangat update kalau lapaknya Mas Tama ramai. 🤭

Terima kasih atas dukungannya. 🥰

====🏖🏖🏖====



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top