[5]. Yang Bimbang dan Menimbang

Halo, apa kabar? Selamat hari Senin. ^_^

Gimana, kurang cepet update-nya, ya? Mayan cepetlah, ya, daripada berbulan-bulan baru up lagi!  Wkwkwkwk.

Happy reading! Semoga suka sama part ini. Spesial ada manis-manisnya. :D

Isi semangatku dulu pake vote dan komentar yang banyak, yok!

Terima kasih. :*

====***====

Sesekali kepala perempuan yang baru saja sampai di area pelataran kantor itu masih terasa berdenyut-denyut tak keruan. Mual dan muntah sepertinya sudah menjadi langganan sejak Risa mulai mengenal pengar usai mabuk semalaman. Subuh tadi bahkan ia berhasil bolak-balik ke toilet hanya untuk memuntahkan isi perut.

Sayangnya, pagi ini Risa harus merelakan merebah malas-malasan sebab masih ada pekerjaan yang menanti di kantor.

Perempuan berblus hijau mint dan rok pensil hitam itu menghela napas panjang. Ia sedikit lega ketika langkahnya sudah menjejak lantai keramik ruang berdinding kaca. Risa mengempaskan diri pada kursi dalam kubikel putih miliknya.

Bukan Tina yang ia cari pertama kali begitu duduk tenang di kantor agen. Iris hitam miliknya spontan menatap lurus pada ruangan yang berada tepat di depan kubikelnya. Kosong.

Apa laki-laki itu baik-baik saja? Jam berapa dia pergi dari kontrakan semalam?

Risa menggigit bibir. Ia bergeming cukup lama memandangi ruangan yang tampak lengang itu.

"Pagi, Mbak Cha!" Suara Tina menyapa.

Lama Risa hanya termangu tak menyahut, ia berjengit ketika bahu kirinya ditepuk sekali.

"Pagi, Mbak Cha!" ulangnya.

Yang disapa tersenyum kaku. "Pagi."

"Maaf, ya, semalam aku nggak jadi nginep tempat Mbak Cha. Ada acara dadakan. Semalam aku telpon Mbak, lho. Tapi nggak diangkat, aku pikir udah tidur." Tina menatap lawan bicara penuh penyesalan.

Dan Marisa lagi-lagi hanya tersenyum kaku. "Y-ya ... semalam ... aku ... udah tidur," sahutnya patah-patah. Lalu ekor matanya menatap ke arah ruangan sang atasan yang tak kunjung berpenghuni.

"Kalau gitu, entar habis pulang kerja, aku langsung ikut Mbak Cha ke kontrakan aja gimana?"

"Ha-hah?" Entah untuk apa Risa kaget dan terserang panik. Padahal ia yakin tak ada jejak Pratama Baskoro yang tertinggal kecuali jaketnya di sofa. "Jangan, deh! Aku mau ke rumah Bude nanti."

Bibir Tina mengerucut lucu. "Yakin nggak mau ditemani malam ini? Nggak kesepian lagi sendirian di kontrakan?"

"Eng-nggak, kok! Udah mulai terbiasa, Tin. Semalam aku juga nyenyak tidur sampai kamu telpon aja nggak denger."

Gadis di sisi Risa itu menipiskan bibir dengan pundak terkulai lesu. "Oke. Tapi ...." Tina menoleh. Tatapan menyelidiknya membuat Risa semakin khawatir.

"Y-ya?"

"Kok, Mbak Cha kayak kurang tidur, ya? Pucet gitu mukanya."

Risa mengibaskan tangan kanan, tertawa patah-patah. "Ah, masa! Aku salah make up aja kali ini," kilahnya.

"Rapat, yuk!"

Selamat! Ajakan rapat dari Mbak Nunung yang baru keluar dari ruangannya membuat Risa gegas mengemas alat tulis dan buku agenda. "Meeting pagi ini, Tin. Ayok, buruan ke lantai dua!"

**

Ternyata, Pratama Baskoro bukan laki-laki biasa. Risa yakin semalam pria itu ikut meneguk bir bersamanya. Tapi pagi ini Tama sudah datang lebih pagi darinya dan duduk tenang di ruang rapat lantai dua.

Satu jam pembahasan agenda study tour milik klien beranggotakan siswa-siswa SMA itu sama sekali tak terganggu meski semalam Risa yakin Tama sempat mabuk. Iya, mabuk dan bersenang-senang ... sedikit. Atau ... dirinya saja yang mabuk berat dan Tama sekadar duduk di sampingnya?

Dan sepanjang berjalannya rapat, hampir tak ada satu hal pun yang mampir ke otak perempuan itu, kecuali fokus perhatiannya pada sang atasan. Lalu, ketika semua peserta rapat satu per satu bangkit dan meninggalkan ruangan, Risa ikut bangkit.

Tak ada sapa atau bahkan perhatian khusus yang ditunjukkan Tama padanya. Ada sedikit rasa kecewa yang merambat di dada. Maksudnya, masa, sih, peristiwa semalam sama sekali tak mengganggu pikiran laki-laki itu? Apa cuma Risa saja yang berlebihan? Apa Tama hanya sedang mengerjainya saja dan sedang melakukan misi balas dendam ditinggal tanpa kejelasan? Apa cuma karena kasihan melihat betapa menyedihkannya Risa yang menangis sendirian di teras kontrakan?

Tanpa sadar, Risa berdecak kesal. Ia hampir mengumpati dirinya dengan sebutan perempuan bodoh, kalau saja Mamat--laki-laki berpeci dari arah kantin--tak memintanya kembali ke lantai dua.

"Kata Pak Tama, Mbak Cha disuruh ke ruang rapat lagi." Pria yang membawa nampan berisi sup hangat dan segelas jus tomat itu menyampaikan pesan. "Mari, Mbak! Sekalian saya mau antar ini ke Pak Tama."

"Saya, Pak?" Risa menunjuk wajahnya sendiri. Ia sempat menoleh ke arah Tina.

Tina mengedik. "Jadwal yang Mbak Cha bikin ada yang salah kali."

Mendengar dugaan Tina, mendadak nyali perempuan itu jadi ciut. Ia menelan ludah susah payah. Namun, tak urung Risa mengikuti langkah Mamat menaiki tangga menuju lantai dua.

Ruangan tampak lengang. Tak ada siapa pun kecuali Tama yang tengah duduk dan fokus mencoreti kertas berisi pembagian tugas selama perjalanan wisata. Kening pria itu berkerut samar. Kadang-kadang ada desis jengkel sebelum ia mencoret data dengan tinta merah.

"Bapak manggil saya?" Risa bertanya setelah beberapa detik ia berdiri kaku di ambang pintu ruangan.

Suara mangkuk dan gelas yang diturunkan Mamat ke meja menghiasi suasana saat itu. Ia berlalu usai mengangguk singkat pada Risa dan Tama. Laki-laki yang tengah memegang pena itu sempat tersenyum sekilas pada Mamat, tapi rautnya berubah keruh lagi ketika bertemu pandang dengan Risa.

"Makan," pinta Tama tanpa menatap lawan bicara.

"Saya, Pak?" Telunjuk Risa menunjuk wajahnya sendiri. "Saya ... udah sarapan di kontrakan tadi. Silakan Bapak makan saja. Saya bersedia me--"

"Kamu, Risa. Aku masih kenyang."

Hening sejenak. Risa jadi canggung mendengar sapaan aku-kamu yang atasannya lontarkan.

"Di sini cuma kita berdua, berhenti berbicara formal seperti itu."

Itu berkas sama pulpen disisihin dulu bisa nggak, sih? Masa ngomong nggak mau liatin ke sini! Marisa mulai protes dalam hati.

"Ini di kantor. Laki-laki yang semalam jelas beda dengan yang saya temui sekarang." Jengkel karena Tama tak kunjung fokus padanya, perempuan itu mulai berbicara dengan nada sedikit tak ramah menjurus ke arah ketus.

Pena di tangan kanan Tama mulai berhenti bergerak. Sepertinya pria itu menyadari kekesalan perempuan yang mulai menatapnya tak suka. Ia bangkit dari kursi, berjalan meninggalkan meja rapat. Tanpa berkata apa-apa lagi, Tama menyeret pelan lengan Risa, kemudian mendudukkannya tepat di hadapan sup beraroma ayam dan potongan jahe.

"Aku nggak mau bicara serius sama orang yang lagi nahan lapar. Pasti nggak akan nemu solusi kecuali jengkel karena kelaparan. Silakan makan, aku tungguin." Laki-laki itu melipat dua tangan di dada dan menyandarkan sebagian tubuh ke sisi meja.

Risa menatap sengit dari ekor matanya. "Ya ... gimana aku nggak jengkel, kamunya datang terus ngilang tanpa pamit!"

"Ya, gitu rasanya ditinggalin tanpa pamit pas habis tidur bareng! Enak?"

Spontan bibir berlipstik warna pastel itu mengatup rapat. Ya, ia pernah meninggalkan laki-laki ini tanpa kejelasan sebelumnya. Sebagai wujud permohonan maaf, kepala berambut tergerai hampir menyentuh punggung Risa tertunduk dalam dan ia berucap, "Maaf ...."

Sementara Tama terus menatapnya tanpa berkedip, yang ditatap masih saja diam dan tertunduk bingung. Risa hanya duduk seraya memainkan sendok di sisi piring, mengaduk-aduk sup tak jelas, lalu berdeham sesekali.

"Heran, dikasih laki-laki bertanggung jawab malah minta dibuayain. Untung buaya yang ini cuma mau main sama satu betina." Tama bergumam sendiri.

Gumaman yang sontak membuat Risa mau mendongak dan kembali menunjukkan raut marah. "Ya, nggak gitu, Mas! Kan, semalam aku udah bilang, let's try to having a relationship!"

Mata dengan cekungan tegas itu menatap tajam seketika. "Relasi yang gimana? Nggak ada solusi buat hubungan nggak sehat macam itu kecuali menikah. Memangnya mau ngulang sampe berapa kali yang kayak di Bali itu kalau kita hanya menjalin sebuah hubungan nggak jelas kayak pacaran? Jawaban aku tetap nggak bisa. Menguntungkan juga nggak, mupuk dosa baru iya." Tama memelankan suara pada kalimat terakhir.

Risa mengembuskan napas perlahan. Ia resah. "Aku ... butuh waktu."

Laki-laki itu memejam sembari menghela napas panjang, berusaha menambah sabar yang mungkin kalau bisa seluas lautan. "Berapa lama?" tanyanya pada akhirnya.

Risa menimbang-nimbang. Bola matanya bergerak-gerak tak tentu arah. "Mungkin sebulan, dua bulan, atau sampai aku siap buat menikah ... sama kamu."

Keduanya terdiam, beberapa detik hanya diisi dengan saling menatap pada kelamnya iris mata masing-masing. Sampai akhirnya laki-laki berjas hitam itu memilih menyudahi aksi bergeming dengan melekatkan satu tangan ke pipi Risa seraya berkata lirih, "Terserah apa maumu. Yang penting jangan lari."

Dan saat itu, mungkin kinerja alkohol dalam diri keduanya masih bisa bekerja dengan baik. Sampai-sampai, baik Risa maupun Tama saling mengabaikan keadaan bahwa mereka masih ada di ruang rapat yang sepi. Tama memilih membungkuk semakin dalam dan tangan Risa memilih bergerak posesif menelusur pada lengan kekar pria itu, berakhir pada sebuah rangkulan di leher. Keduanya menulikan diri pada derap langkah di anak tangga. Mereka juga memilih membutakan diri pada bayang-bayang samar seseorang yang hampir mencapai pintu ruang rapat.

Risa terlena. Pun ia tak keberatan, ketika lengan kekar laki-laki itu merengkuh, dan membuat sang puan mengalah berdiri di antara dua kaki jenjang yang mengapit tubuh rampingnya.

"Damn it! I can't stop being crazy about you!" erang Tama frustrasi.

Dan Risa hanya tersenyum tipis di sela kesibukannya menerima kecupan-kecupan ringan lain dari laki-laki yang tengah menggilainya. Godaan itu teramat besar, sulit ia sangkal. Tama benar, tidak ada cara lain yang bisa menghentikan hubungan tak sehat ini kecuali sebuah ikatan pernikahan. Agar mereka tak perlu lagi was-was dan merasa berdosa.

Namun, sekelumit pikiran itu kerap mengganggu. Risa takut ia hanya sedang cari pelarian atas segala putus asa yang sedang merungkup. Buktinya, saat perempuan itu sadar ada seseorang yang tak sengaja menatap keduanya dengan rahang mengetat dan tatap tak suka di sebalik celah pintu sedikit terbuka itu, Risa justru mengeratkan pelukan. Memilih melesakkan diri pada pagutan panas demi memuaskan ego, ketika merasakan euforia kemenangan melihat wajah itu semakin mengeras dan menjauh dari ambang pintu. Mungkinkah masa lalunya cemburu?

**

(13-03-2023)

====***====

Eits, ada yang ngintipin mereka tuh! Siapa tuuu? Kok, panas, ya? :v

Btw, Tama pendendam amat, ya? Pake ngerjain ditinggal balik pas Risa udah mau pasrah-pasrahnya buat menggantungkan hidup? :'D

Ada yang penasaran momen mereka kalau lagi mabuk berdua kayak apa nggak, sih?

Makasih buat yang selalu mampir baca dan semangatin aku nulis terus, ya. Semoga kalian sehat selalu di mana pun kalian berada. Aamiin. :))

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top