37. Perempuan dan Bola Lampu
Hai, kangen update cerita ini di Wattpad!
Apa kabar hari ini? Sehat selalu buat kalian yang masih setia stay di sini nunggu Mas Tama sama Mbak Cha balik. 🤗🥰
Happy reading!
Eh, eh, vote dulu boleh, nggak?
Terima kasih. 😁🙏
====🏖🏖🏖====
====🏖🏖🏖====
Kereta eksekutif itu berjalan pelan, meninggalkan kota Jogja. Tama bisa melihat perlahan-lahan keramaian itu tertinggal jauh, menyisakan senyap di dada, dan derit gerbong kereta yang berjalan. Sesekali penumpang lain berlalu-lalang, mungkin menuju kafe di gerbong makan, mengantar anak mereka ke toilet, atau sekadar kebingungan mencari tempat duduk, dan ribut sebentar sampai kondektur datang lalu menyatakan nomor tempat duduk yang benar sesuai tiket.
Entah untuk apa Tuhan hari ini mempertemukan Tama dengan orang-orang dari masa lalunya. Dua orang itu nyatanya duduk tak jauh dari bangku yang Tama tempati. Tepat di depan, selisih satu kursi. Mereka sempat saling menyapa untuk kedua kali setelah pertemuan di kafe siang tadi. Setelah itu, tak ada sapa lagi. Sibuk dengan dunia masing-masing, tapi sesekali Tama bisa mendengar tawa kecil Alika ketika bergurau dengan suaminya.
Tawa itu mengundang senyum. Senyum kelegaan bahwa perempuan itu baik-baik saja bersama laki-laki pilihannya sekarang. Namun, Tama sempat terpikir, rasa-rasanya mengenaskan sekali bertemu mereka di saat rumah tangganya sendiri tak tahu mau dibawa ke mana. Masih tak tentu arah, meski sebelum berangkat ke stasiun, Rima sempat menelepon dan berkabar bahwa undangan dan souvenir pernikahan akan segera dipesan.
"Mama udah itung semua jumlah tamu yang bakalan datang. Semua udah beres. Konsepnya garden party, ya, Mas. Kira-kira mau diselenggarakan minggu terakhir bulan depan, di Denpasar. Kamu pastiin nggak ada jadwal kerjaan, ya. Risa juga dijaga kondisi kesehatannya."
Begitu cerewetnya perempuan itu melalui telepon. Namun, Tama tak sampai hati berkabar, "Mama, aku sama Risa lagi nggak baik-baik aja. Bisa nggak, bahas resepsinya entaran aja?"
Sayang, kalimat itu hanya berakhir di dalam benak. Sebab Tama bersegera menggigit ujung lidah agar tak keceplosan. Cukup Baskoro saja yang tahu. Ia yakin papanya akan menyampaikan perkara itu dengan cara yang lebih bijak daripada dirinya.
Tama menghela napas panjang bertepatan dengan laki-laki yang duduk di kursi depan lewat. Ia berlalu, meninggalkan istrinya sambil berkata, "Titip Alika bentar. Bilang gue ke kafe kalau dia kebangun, ya, Ko?"
"Dipersilakan, Tuan."
Sahutan itu mendapat pelototan mata tajam suami Alika sejenak. Tama tersenyum tipis saat mereka bertemu pandang. Lima menit laki-laki itu tak kembali dan Tama memilih mengikuti nalurinya untuk ikut bergabung sekadar minum kopi.
Ia memesan segelas kopi lalu duduk di kursi yang berseberangan dengan Raga. Keduanya terdiam beberapa saat. Tama yang sibuk menikmati kopi hitamnya sembari menilik apa-apa di luar jendela, sementara Raga sibuk mengaduk mi seduh seraya fokus mengetik di atas papan layar ponselnya.
Laki-laki itu merangsekkan kembali ponsel ke saku jaket, mengaduk mi yang mulai mengembang sedikit cepat. Gerakan mengaduk itu terhenti, ia mendongak dan berdeham. Menyadarkan Tama yang ternyata melamun sejak tadi.
"Sendiri aja?" tanyanya telak.
Tama mengangguk dan menyesap sedikit minuman hangatnya. "Gue boleh liat-liat perkebunan lo? Minggu-minggu ini?"
"Janganlah, gue nggak mampu gantiin jas lo yang harganya berjuta-juta kalau kotor kena tanah apa nyangkut di taneman nanti," sindirnya.
Dan Tama tertawa kecil menanggapi sindirian itu. "Ya, nggak segitunya juga. Lo … masih dendam sama gue?" Manik kelam Tama menelisik tajam.
Tak ada jawaban mengenai pertanyaan itu. Raga hanya mengeluarkan selembar kartu nama dan selembar brosur yang sudah terlipat menjadi empat bagian. "Datang aja kalau mau. Buat investasi kalau tertarik, bukan buat bicarain masa lalu."
Tama meraih sodoran brosur dan kartu nama itu. Ia mengangguk-angguk. "Untuk masa lalu yang udah lewat, gue … minta maaf."
Raga menggeleng-geleng. "Nggak perlu minta maaf. Gue sama Alika yang salah. Tapi terima kasih atas kesediaan lo melepas Alika. Ngomong-ngomong, kapan resepsi pernikahannya?"
"Resepsi pernikahan gue?" Tama menunjuk dirinya sendiri, memastikan kalau-kalau ia salah mengerti.
Raga mengangguk. "Alika ribut mau nyiapin hadiah kalau lo kasih undangan nanti."
"Enggak tahu jadi apa batal resepsinya."
"Ada masalah?" tanya Raga tanpa menatap lawan bicara. Ia sibuk menyesap kopi kemudian.
"Entahlah. Kadang gue nggak ngerti gimana caranya memperjuangkan perempuan. Takut salah kayak yang udah-udah." Tama tersenyum miris.
Raga menarik napas dalam, mungkin ikut prihatin. "Lo tahu bola lampu?"
"Kenapa dengan bola lampu?"
"Jangan digenggam terlalu erat. Pecah malah lo sendiri yang luka." Raga mengedik tak acuh usai mengatakan perandaian yang membuat kening Tama berkerut bingung.
Tama mengembuskan napas pelan, membiarkan laki-laki itu berlalu ke counter dan memesan satu mi seduh lagi, mungkin untuk Alika. Lalu, lagi-lagi setelah laki-laki di depannya berlalu membawa mi seduh dan minumannya ke gerbong penumpang, Tama kembali melamun. Alih-alih membiarkan dirinya terus melamun seperti orang bodoh ia gegas ikut beranjak. Namun, seorang prami memanggil dan memberikan segelas mi seduh.
"Dari orang yang tadi ngobrol sama Bapak," katanya.
Tama menerimanya dengan gerakan ragu. Ia berdecak heran begitu prami kembali ke balik counter pemesanan makanan. "Ini kenapa gue selalu kalah cepet kalau soal traktiran gini, ya?" keluhnya bingung.
Laki-laki itu menuju gerbongnya lagi, duduk setelah meletakkan paper cup mi dan kopi pada meja kecil dekat jendela. Baru beberapa detik punggungnya bersandar, ponsel di saku kemejanya bergetar. Ada seseorang memasukkan nomor ponselnya ke dalam semua grup.
Grup apa ini? Grup Bahasin Alga Green?
Tama meletakkan kembali mi seduh dan cup kopi ke meja. Merogoh brosur dari saku kemeja dan membukanya. "Alga Green. Alga. Alika-Raga?"
Laki-laki itu mendesis lalu terkikik geli. Cinta memang kadang bikin dua manusia jadi kelewat absurd dan lebay. Nama berdua aja dibawa-bawa ke nama perusahaan.
Oh, tapi tunggu! Hal absurd apa yang pernah Tama lakukan dengan Marisa selama menjalin hubungan? Tama yakin tidak ada.
Namun, sisi lain hatinya memukul telak dengan bisikan, "Heh, lo pikir kepergok tidur sama Marisa di kamar vila bukan hal yang absurd dan menggelikan begitu? Atau tengah malam lari-lari ke minimarket cuma buat urusan beli karet sialan yang ujung-ujungnya juga sering kelupaan pake?"
Tama berdecak kesal dengan semua pikiran-pikiran yang justru membuatnya … rindu? Padahal baru tadi sore ia bertekad menjeda sejenak dengan pamit ke Jakarta tanpa membawa serta perempuan itu.
Ia berjalan meninggalkan gerbong makan, duduk kembali kursinya, menatap sinar keemasan yang berubah menggelap ditelan malam melalui jendela. Mau sampai kapan ia diam begini? Bahkan pesan singkat istrinya sengaja dibiarkan tanpa balasan.
**
Rabu
Marisa:
Hati-hati di jalan.
Marisa:
I'll miss you.
Marisa:
Mas, aku tidur di rumah nemenin Riana.
Kemarin
Marisa:
Mas marah, ya?
Marisa:
Aku ada salah? Kenapa?
Hari ini
Marisa:
Mas, aku boleh ikut Siska ke Jakarta? Aku mau kita bicara. Penting.
Marisa:
Jangan begini lagi.
Marisa:
Maaf.
**
(25-08-2023)
====🏖🏖🏖====
Nggak terasa udah tanggal 25 aja ini. Ternyata aku lama nggak update cerita ini juga, ya?! 😂
Bentar lagi ending ini. Habis ini kalian mau baca cerita baruku yang lain nggak? Mau cerita tentang apa aku masih bingung. 🤭
Terima kasih udah mampir baca, ya. Jangan lupa vote dan komentar. 🤗🥰
====🏖🏖🏖====
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top