35. Merenungkan Masa Lalu

Hai, hai, hai, apa kabar hari ini? 😁

Btw, aku minta vote dulu boleh, ya?

Terima kasih. 🥰🤗

Happy reading!

====🏖🏖🏖====

Harta, tahta ....

Masih MARISSAAAA ...! 🤣

====🏖🏖🏖====


"Namanya Yudanta." Perempuan di atas ranjang pasien itu mengusap kasar pipi basahnya.

Satu jam mereka bungkam tanpa suara. Risa setia menunggui. Berulang kali ia berusaha menghubungi suami Riana. Namun, hasilnya nihil. Laki-laki itu seperti hilang ditelan bumi sepulang dari Bali, begitu pengakuan Riana.

"Siapa Yudanta? Dia laki-laki? Kamu nggak pernah cerita punya teman lawan jenis selama kuliah, Ri." Risa menanggapi seraya mengeluarkan sekantong buah, meletakkannya di atas nampan buah pada nakas sisi ranjang.

"Dia ... ayah dari anak yang telah gugur," akunya kemudian. Lalu, bahu Riana bergetar hebat. Ia tergugu, menangis sejadinya.

Sementara satu pengakuan itu membuat sekujur tulang perempuan yang masih berdiri di dekat nakas itu seperti melemas. Dadanya bergemuruh panas. Inginnya marah, berteriak di depan Riana yang masih saja terisak-isak keras.

"Aku putus asa. Aku marah sama Mbak Icha. Kesal dan jengkel setengah mati. Aku yang mengaku cinta dahulu sama Mas Rama. Mbak janji nggak akan pernah terima Mas Rama. Tapi Mbak Icha berkhianat."

Lidah di balik geligi Risa terasa kelu. Bukan ia tak ingat, kenangan itu sejatinya masih terukir jelas di benak. Bagaimana hubungan ketiganya terjalin dan bagaimana bisa Rama justru lebih memilih menyatakan cinta pada sang kakak. Mereka seumuran.

"Riana? Bilang suka sama aku?" Rama sontak membelalak terkejut berujung gelak tawa yang tak kunjung berhenti. "Nggaklah, kita beda delapan tahun kalau kamu lupa, Cha. Dia masih SMP. Kamu mau aku macarin Riana?"

Risa hanya mengacungkan tinjunya saat itu. Mengancam kalau-kalau Rama berani memacari adiknya yang masih duduk di bangku SMP kelas 3. Sementara keduanya sudah bekerja di kantor biro wisata milik Pak Agus.

Risa pikir itu hanya sebuah lelucon. Cinta monyet yang tak akan pernah berlanjut hingga Riana mendewasa. Namun, siapa sangka kedekatan Rama dan Riana malah memupuk cinta itu semakin subur di tengah kesibukan Risa bekerja.

"Aku marah setiap kali nggak sengaja liat Mbak bercumbu sama Mas Rama. Cuma Yudanta yang ngertiin aku. Tapi pada akhirnya, dia pergi saat aku belum sempat bilang kalau aku hamil. Dan aku ... memanfaatkan keadaan untuk menutupi segalanya. Maaf ...."

Saat itu, kepala Risa mulai berdenyut-denyut tak keruan. Ia teramat pusing mencerna semua pengakuan Riana. Tak menyangka Riana bisa seberani itu tidur dengan teman laki-laki tanpa status apa pun. Anggaplah Riana bodoh, tapi menelisik dari sebab musabah, Risa tak mampu mencela sang adik. Ia justru merasa menjadi sumbu permasalahan yang kemudian bercabang ke mana-mana. Tak mampu menjadi kakak yang baik. Tak becus menjadi panutan ketika dengan tololnya, kadang menerima perhatian-perhatian dan curahan kasih sayang Rama sama laki-laki itu datang ke rumah.

Dan saat itu, tak ada kata yang bisa Risa ucapkan. Lidahnya teramat kaku, hingga akhirnya dua lengan perempuan itu terulur, meraih tubuh gemetar Riana, dan mendekapnya erat.

"Maaf, Ri. Maaf ...."

**

Perempuan itu keluar dari kamar pasien. Duduk di kursi tunggu lorong rumah sakit. Mata sembapnya masih menyisakan kesedihan. Pun hatinya masih tak keruan. Ia sudah menghubungi suaminya agar segera menyusul ke rumah sakit sejak setengah jam lalu.

Ketika Riana sudah terlelap tidur, Risa memilih menunggu suaminya di bangku lorong rumah sakit. Sesekali ia menengok pada pintu berjendela kaca, melihat keadaan adiknya.

Rama tak kunjung datang meski sudah puluhan pesan terkirim untuk laki-laki itu.

Desah napas lelah itu kembali muncul bersamaan kerisauan hati. Harus bagaimana selanjutnya kalau begini akhir ceritanya?

Risa tertunduk, menatap kosong pada buku-buku jari di pangkuan. Lagi, air matanya menetes, menitik pada punggung tangan dan membasahi rok pensil cokelat susu yang dikenakan. Saat itu, ada suara langkah yang melambat ketika mendekat. Perempuan itu mendongak, menemukan laki-laki berkemeja flanel dan celana jins biru berhenti tepat di dekatnya.

Lama mereka hanya bertatapan. Tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, sampai akhirnya Risa kembali menunduk.

"Aku yang salah. Aku yang nggak bisa menjadi kakak yang baik," keluh Risa di sela isak tangis pelan.

Laki-laki itu masih berdiri tepat di depan perempuan yang duduk menunduk. Kemudian ia duduk bersila di hadapannya, perlahan meraih dua telapak di pangkuan itu dengan pergerakan sedikit ragu. "Nggak papa. Kamu tetap yang terbaik untuk Riana."

Perkataan Rama terjeda. Laki-laki yang menggenggam lembut jemari Risa itu membiarkan tangis pelan mereda dahulu. "Setelah aku merenungkannya sendiri dulu beberapa hari ini, sejujurnya, aku pun punya andil besar dalam kekacauan yang terjadi. Aku sempat kebingungan sendiri, nggak bisa bedain perasaan nyamanku di dekat kamu ... dan Riana. Maaf. Dan aku ... melepasmu."

"Meski sebenarnya, aku mau tetap memilihmu," lanjut Rama.

Manik hitam perempuan itu justru semakin berkabut. Isaknya berubah tangis kencang tertahan. Rama mengakui kesalahan dan melepasnya. Tapi kenapa semuanya berakhir dengan sepelik ini?

Ia terus menangis sampai akhirnya Rama memberanikan diri meraih perempuan itu untuk bersandar padanya. "Aku menyayangimu, Cha. Juga Riana ... sebagai keluarga. Keluarga yang nggak pernah bisa aku temukan dalam keluargaku sendiri. Aku menyayangimu."

Sayangnya, semua perkataan itu hanyalah sebuah akhir. Tak ada yang bisa menyelesaikan semua kecuali Rama pergi dari lingkar persaudaraan antara Risa dan Riana. Laki-laki itu mengalah tak akan memilih siapa pun. Bahkan malam itu, di depan mata Risa, Rama menceraikan Riana yang sesungguhnya masih terpukul dengan kehilangan bayi dalam rahimnya. Mungkin sakit hati. Sakit hati dan kecewa dengan segala pengakuan Riana yang sebelumnya sudah pernah ia duga, tapi Rama sendiri ragu sebab malam itu ia mabuk berat.

**

"Aku menyayangimu, Cha."

Kalimat itu mengganggu pendengaran laki-laki yang masih saja berdiri di lorong rumah sakit. Ia melihat bagaimana perempuan itu tersedu dan bersandar pada laki-laki lain. Ada gemuruh panas di dada. Ada gemeletuk geram di antara geligi yang mengetat kuat. Tapi yang sejatinya ia rasakan malam itu adalah cemburu yang begitu menyiksa.

Saking cemburunya, laki-laki itu sama sekali tak minat mendekat untuk meluruskan segalanya. Ia berbalik, pergi begitu saja. Ia bahkan mengabaikan Tina yang hampir menyapa saat berpapasan.

Seharusnya ia kembali, menarik paksa istrinya pulang. Tapi entah mengapa rasa kecewa itu telanjur memantapkan segala langkah untuk menjauh. Menjauh agar otaknya bisa diajak berpikir jernih dahulu agar hal-hal yang membuat emosi meledak tak ikut memperkeruh keadaan. Ia tak mau menyesal seperti yang sudah-sudah.

"Mas mau berjanji sesuatu padaku?"

"Apa?"

"Jangan marah-marah lagi. Belajarlah mengendalikan diri saat amarah mengganggu. Amarahmu menakutkan bagi setiap perempuan." 

Kalimat perempuan dari masa lalunya terngiang. Kalimat itu muncul berhias senyum tulus kala itu.

Tama mencengkeram setir mobil hingga buku jari memutih. Nyatanya, menahan amarah sungguh menyesakkan.

**

(09-08-2023)

====🏖🏖🏖====

Jadi gimana? Ternyata yang jatuh cinta duluan Riana, Gaes. Dan Risa tahu adiknya suka sejak lama sebenarnya. Yaah, salah lagi si Marisa, ya? Apa gimana? 🤭

Buat Mas Tama, semoga dia nggak salah paham. 🤭

Makasih atas dukungan vote dan komentarnya, ya. Makasih juga doanya.  Aku udah mulai sehat dua hari ini. Sehat-sehat selalu buat kalian, ya. 🤗🥰

See you on next part! 😁🙏

====🏖🏖🏖====

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top