33. Alasan Masih Menunggu

Haiiii, selamat hari Minggu! 🥳

Ketemu sama Mas dan Mbak lagi di cerita Suddenly. Sesuai janji, part 33 aku publish Minggu malam.

Kasih vote dulu biar aku semangat sampai ending. 😍

Sudah vote?

Terima kasih. 🤗

Happy reading, Besti. 🥰

====🏖🏖🏖====

Harta, tahta, Marisa! Meski harus menunggu lama, oke ajaaa!

😆

====🏖🏖🏖====


"Penting gitu?"

Tama mengangguk sedikit ragu tanpa menatap ke arah adik perempuan yang duduk di sisinya. Fokus pandangan laki-laki berkemeja sedikit kusut itu tertuju pada gadis cilik berkuncir dua–Meta. Gadis itu melompat-lompat di atas karpet warna-warni, sesekali merosot melalui papan seluncur, atau menenggelamkan diri ke dalam kolam bola plastik beraneka warna.

"Mbak Risa udah bilang mau ikut ke mana Mas pergi, bersedia menjadi istri yang nurut apa kata suami, mau diapain aja di atas kas–" Kalimat Pita terhenti oleh jejalan sesobek roti isi cokelat. Perempuan yang hari ini meluangkan waktu bersama kakaknya itu menggeram kesal dengan mulut penuh. Ia menarik selembar tisu dari saku tas ransel, mengelap sisa cokelat di sudut bibir.

"Ember bocornya tolong ditambal, deh. Kebiasaan banget. Di tempat umum ini." Tama berdecak jengkel. Laki-laki itu meraih sisa minuman dingin yang tergeletak di antara keduanya.

Mereka sengaja pergi ke zona bermain di kawasan mal Ambarukmo. Membiarkan Meta bersenang-senang di playground, sementara keduanya saling bercerita di area luar bermain anak sembari mengawasi bocah cilik itu.

"Heleh, cuma bilang kasur doang!" gumam Pita seraya mengibas rambut bercat ombre.

Tama memelotot. Bodohnya ia mengajak si Ember Bocor untuk menjadi teman cerita di tempat umum begini. 

"Menurut aku, dengan Mbak Risa bilang begitu, itu udah cukup buat jadi perwakilan kalau dia mulai cinta. Nggak perlu ada deklarasi lagi udah bisa ditebak. Mas ngerti nggak, sih, cewek tuh kadang rumit? Mau bilang soal A aja bisa ke Z dulu baru ke A." Pita mengembuskan napas prihatin.

"Ya … dulu Alika juga mau aja diajak ke mana aku pergi. Menerima perjodohan. Aku pikir dengan dia bersedia menerima ke depan aku dan keluarga yang atur, dia juga bisa cinta. Nyatanya?" Dua alis tebal Tama menukik. Ada perasaan risi saat ia harus membahas masa lalu kembali.

Perempuan berkaus salem itu mengacungkan telunjuk tangan kanan, menggerak-gerakkannya ke kanan dan kiri, pertanda tak setuju. "Dalam hal ini, tolong pahami bahwa Mbak Risa bukan Alika. Kasus yang melatarbelakangi dua wanita ini menerima Mas itu jelas beda. Dan lagi, aku pikir Mbak Risa tuh bukan tipe perempuan yang perasa, yang dikit-dikit nggak enakan. Kalaulah dia nggak enakan, kabur dulu dia pas kalian berdua kepergok di vila!"

Lagi. Tama mendelik berujung menoyor kepala adik kurang ajarnya. Namun, Pita hanya terkikik-kikik geli sambil menutup botol minum Meta.

"Beda sama Alika yang terlalu mikirin perasaan orang lain, nggak enakan, iya-iya aja mau dibawa ke mana hubungan kalian. Mbak Risa nggak gitu, kan? Buktinya, dia juga alot pas diajak nikah awalnya padahal kalian, kan … udah … itu. Dia punya pendirian dan nggak asal iya-iya aja."

"Dahlah, nggak usah dibahas lagi. Makin ngelantur pembahasannya." Laki-laki itu memutus obrolan. Ia memilih menyingsingkan lengan kemeja hingga siku, berniat menyusul Meta bermain. "Jam berapa Dimas jemput?"

"Setengah jam lagi dia selesai ketemu klien," sahut Pita seraya menilik arloji di pergelangan tangan kiri.

"Oke." Tama berlalu meninggalkan adiknya.

Setidaknya, ada Pita yang diajak menumpahkan segala tekanan dalam pikiran sedikit cukup membantu menenangkannya. Meski kadang susah sekali mengendalikan cara bicara Pita yang blak-blakan. Namun, ketika Tama merenungkan segala omongan sang adik, sepertinya ada benarnya juga.

Marisa bukan Alika. Pun Tama tak bisa menjadikan kisah masa lalu sebagai tolak ukur hubungannya dengan Marisa.

Perasaannya sedikit ringan. Keruwetan yang semula membuat ia sering hilang konsentrasi bekerja setelah kembali ke Jogja–karena urusan di biro belum selesai dan berniat pamit sebelum menyerahkan jabatan pada direktur penggantinya yang baru–sedikit terurai.

Baru dua hari ini mereka kembali ke Jogja. Risa masih mengantarnya sampai depan unit apartemen saat hendak pergi bekerja. Risa juga masih menyambutnya dengan peluk saat Tama kembali pulang. Bahkan selama dua hari ini, setiap malam mereka tak pernah alpa dalam hal mengacak-acak selimut dan seprai. Meski saat Risa terlelap dulu, Tama selalu kepikiran.

Andai Pita tak melulu mengingatkannya, mungkin bisa saja mengganggu hubungan mereka. Dan hari ini, kebetulan adiknya itu ada acara menemani suaminya menemui klien. Semua anak perempuan di keluarga Baskoro memang begitu. Selalu dididik ikut ke mana pun suami pergi dalam mencari nafkah. Bukan tak menaruh percaya, hanya berusaha menciptakan kedamaian. Sebab satu keluarga yang saling berdekatan pasti lebih menciptakan ketenangan.

Dengan alasan bosan menunggu Dimas menemui klien dan ia harus berdiam diri di apartemen berdua saja dengan Meta, mereka pun bertemu. Toh sejatinya, Tama rindu dengan gadis cilik itu.

Meski akhir-akhir ini semakin jarang pergi bermain bersama sang keponakan kesayangannya, Meta tetap sama. Bocah itu cukup atraktif dan tak pernah sungkan melompat dalam gendongan pamannya walau sudah berusia empat tahun.

"Katanya, Uncle sama Onty mau kasih Meta adik bayi. Kapan?" Meta mulai berceloteh sambil mencocol kentang goreng ke dalam saus tomat. Mereka sudah beralih ke food court.

Tama memutar bola matanya. "Siapa yang ngajarin kamu bilang begitu? Mama kamu?"

Perempuan berwajah oval itu memperlihatkan geligi putihnya, lalu mengacungkan dua jari.  "Seriusan bukan aku yang ngajarin."

"Jangan lama-lama, Uncle. Aku tahun depan mau sekolah. Entar nggak ada yang jagain adik bayi gimana?" Meta kembali berceloteh, kali ini sambil mengunyah. Bibir merahnya manyun, menunjukkan aksi merajuk di waktu dan tempat yang salah.

Lagi pula kenapa bocah ini tidak ribut minta adik bayi ke mamanya yang cerewet aja, sih?

Sejak lontaran pertanyaan itu dan Tama selalu mengalihkan pembicaraan, Meta malah makin gencar meminta. Bahkan di hari berikutnya, ketika sang paman baru bangun di pagi buta dan bersiap mandi, gadis itu mulai berani meminjam ponsel mamanya, mengirimkan pesan suara yang berbunyi, "Uncle, aku mau adik bayi perempuan yang lucu."

Dan pesan suara itu dihiasi backsound suara gelak tawa Pita. Tebakan Tama tepat. Sudah pasti pelaku pengajar aksi minta adik bayi adalah Pitaloka Baskoro, si Ember Bocor yang rese.

**

Perempuan itu tergelak-gelak mendengar pesan suara keponakan suaminya. Mereka baru saja akan berniat mengistirahatkan diri pada pukul sepuluh malam. Namun, Tama sama sekali belum mengantuk, hingga ia iseng memperdengarkan pesan suara dari Meta pagi tadi.

"Keluarga kamu tuh … lucu dan seru," tanggap Risa.

"Nggak ada lucunya. Dari Mara, Pita, Mama, bahkan Papa, kerjaannya suka kepo. Cuma kalau Papa suka banyak pura-pura nggak mau tahu, tapi tetep aja diem-diem suka cari informasi. Bahkan aku tahu semua tentang kamu dari Papa."

"Oh, ya?" Risa mengembuskan napas pelan seraya menjadikan satu lengannya menjadi bantal sementara ia berbaring miring. "Semua tentang aku, kamu tahu?"

Tama mengangguk mulanya, tapi menggeleng kemudian. "Ada satu yang nggak bisa aku tahu tentang kamu."

Dua alis Risa terangkat, berusaha membuka matanya lebih lebar karena mungkin perempuan berkimono putih tulang itu mulai mengantuk. Namun, ia masih kuasa untuk bertanya, "Apa?"

"Hati kamu?" Tama mengulurkan satu tangan, merangkumkan telapak hangatnya ke belakang leher perempuan itu.

Ada senyum tipis dari bibir tanpa pulasan lipstik perempuan itu saat Tama menariknya perlahan untuk mendekat.

"Kalau aku mau meminta kamu mengabulkan permintaan Meta, kamu mau mengusahakannya bersamaku, Sa?"

Tama tak lantas menunggu jawaban. Sebab ia sedang berusaha meyakini apa yang Pita katakan adalah benar adanya. Seharusnya tak butuh lagi ia menunggu Risa mengiyakan dan mengaku cinta. Sebab hampir setiap malam panas mereka, keduanya benar-benar melupakan hadiah dari Amara.

Namun, lagi-lagi kecewa itu muncul. Bercokol kuat di pikirannya ketika paginya, lagi-lagi ia masih menemukan levonorgestrel di nakas kamar. Jadi, apa Tama perlu menjelaskan lagi kepada Pita perihal kenapa ia masih saja meragu tentang kesungguhan Marisa untuk membina rumah tangga? Bukankan usia kepala tiga sudah cukup dikatakan matang dan siap untuk menjalani kehidupan pernikahan dan punya anak? Barang dua atau satu saja?

**

(30-07-2023)

====🏖🏖🏖====


Hayo, mendadak kesel sama Risa pasti ini?

Tapi, eh, tapi ... coba kalian tengok di akun KaryaKarsa aku. Ada hidden part #33 yang hanya tayang di sana. Tapi hati-hati, hanya khusus pembaca 18+. Maaf, ya. 🙏🙇‍♀️

Aku bakal selalu ingetin berulang kali soal bijak memilih bacaan sesuai umur. Dari awal aku juga udah selalu ingetin kalau cerita ini mengandung konten dewasa, ya. Semoga bahasanya masih bisa diterima dan nggak terlalu vulgar. 🙏🙇‍♀️

Kalian bakal menemukan sedikit titik terang di sana. Buat yang selalu dukung aku di KaryaKarsa, terima kasih banyak. 🥰🤗

Tolong tinggalkan komentar yang ramai di sini. Aku publish lagi di Wattpad kalau udah ada 100 komentar, ah. Bisa, ya? 🤭

Terima kasih. 🤗

====🏖🏖🏖====

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top