32. Menguji Kesabaran

Hai, hai, hai!
Selamat malam. 🥰

Maafkan baru publis semalam. Jadi, tadi aku baru sampai rumah jam 9 malam. Baru pulang dari Kang Servis laptop, tapi nyatanya itu benda masih nggak mau nyala. 🥲

Ya sudah, akhirnya aku pulang dengan segelas es kopi aja. Laptop nggak jadi kubawa pulang. 😭

Happy reading, ya, Gais. Jangan lupa vote dan komentar. Terima kasih. 🤗

====🏖🏖🏖====


Masih tetap sama! Harta, tahta, Marisa! Meski nggak tahu kapan Marisa jatuh cinta! 🤭

====🏖🏖🏖====

"Pokoknya aku nggak mau tahu. Kamu urus acaranya sampai kelar. Cariin leader pengganti buat Marisa." Tama mengetukkan ujung pena sedikit lebih keras ke atas secarik kertas.

Di ruangan bernuansa cokelat tua itu hanya ada ia dan Siska. Sementara Tama uring-uringan dengan kegusarannya, perempuan berpipi tembam itu justru menghela napas panjang.

"Aku udah bilang dari awal, ide ajak Marisa balik kerja cuma buat urus acara ini tuh ide buruk. Mas, sih, nggak percaya." Siska menarik secarik kertas di hadapan Tama. Ada coretan tangan laki-laki itu di sana. Isinya rolling tugas.

"Aku nggak nyangka di acara penting kayak gini Rama bisa bersikap senekat itu." Tama mengembuskan napas kasar seraya membanting punggung ke sandaran kursi berlapis kain beledu cokelat gelap.

"Om Bas udah kasih jalan untuk kalian berdua buat nempatin vila di Jimbaran bukan semata-mata bikin kamu kerja melulu, lho. Om mau kalian bisa tenang sampai acara resepsi terlaksana tanpa gangguan. Udahlah, lepasin aja biro wisata kecil ini. Balik lagi ke kerjaan semula dan bawa Marisa pergi jauh-jauh dari masa lalunya. Repot amat." Asisten Baskoro itu mengedik enteng.

Tama mengalihkan pandangan dari jendela ruang kerja kembali pada sepupunya itu. Ia tampak terdiam sejenak, bersambut dua alis Siska yang terangkat, menunggu laki-laki itu–yang baru saja tiba di rumah keluarga setengah jam lalu–bicara.

"Aku punya adik perempuan dua dan satu sepupu perempuan. Meski kerap bertengkar, hubungan darah nggak akan semudah itu lebur. Mau gimanapun, Riana tetap adik kandung Risa. Mereka saudara. Di dunia ini, Risa cuma punya Riana sebagai satu-satunya saudara. Sebenci apa pun, mereka tetap saudara." Tama menegakkan tubuh lelahnya seraya melipat dua tangan di atas meja kayu jati berplitur mengilap. "Kelak kalau aku udah nggak ada, dengan siapa Risa bisa berkeluh kesah kalau bukan dengan saudaranya, sementara teman atau sahabat terdekatnya kelak juga akan sibuk dengan keluarganya sendiri?"

Siska menipiskan bibir sembari mengangkat dua tangan pertanda menyerah. "Hm, oke, oke … pikiran khas anak sulung emang beda, ya. Selalu berusaha bikin keluarga tetap akur dan penuh kasih sayang.Katanya kakak-adik itu ibarat cabang pohon, meski beda, akar mereka tetap sama. Gitu, kan, Mas, yang mau kamu omongin?” ocehnya tanpa jeda. Lalu, perempuan berblazer hijau tua itu tertawa kecil.

Tama berdecak pelan seraya menyugar rambut dengan jemari. "Buru dah urus kerjaan. Kasih breafing sama tim di penginapan. Aku ada urusan lain habis ini."

"Halah, halah, urusan lain apaan? Paling urusan pengantin baru!" Siska tergelak-gelak sembari menyandang tas ke bahu kiri. "Besok balik ke penginapan. Risa tetep diajak biar nggak begitu kelihatan mengganggu pikiran kepo rombongan kenapa tiba-tiba ada leader lenyap begitu saja, Mas."

"Hm, makasih, Sis. Entar aku bilangin Papa buat naikin gaji kamu, deh, kalau kerjanya serba bisa gini." Kali ini Tama terkikik menahan tawa.

"Gosah lebaaayy! Om Bas tahu kinerjaku. Nggak bakalan dia asal naikin gaji kalau cuma ngurusin anak sulungnya yang doyan bertingkah mentang-mentang punya kuasa!"

Tawa laki-laki itu pun pecah. Siapa pun tahu, meski putra sulung Baskoro punya banyak gagasan dan pandai menjalin relasi, Tama kerap menyalahgunakan wewenang papanya. Seperti saat ia meminta bantuan untuk diizinkan pindah ke Jogja demi mengejar Marisa misalnya. Tanpa Baskoro yang membantu mencarikan informasi ke sana kemari, anak sulung yang kata Pita manja itu mungkin tak sampai di titik ini–mendapatkan Marisa.

Siska berlalu meninggalkan kediaman keluarga Baskoro di Denpasar malam itu. Kembali ke penginapan, meninggalkan Pratama dan istrinya. 

Rumah itu tak jauh dari pusat kota. Berhias taman hijau asri dengan gazebo beratap jerami. Tama keluar dari ruang kerjanya. Ada tiga kamar dan ia selalu menempati kamar dengan bangunan terpisah–yang terhubung langsung dengan taman dan kolam renang–setiap kali Tama pulang ke Denpasar.

Langkah kaki berbalut sneakers putih itu menapaki jalanan setapak menuju kamar. Ia meninggalkan Risa di sana selama bicara dengan Siska. Senyum Tama tampak begitu dari pintu kaca–dengan tirai putih bersih tersingkap–Risa terlihat sedang duduk di tepi ranjang. Perempuan itu sibuk menunduk, mengamati pergelangan tangannya, kemudian mengaduk-aduk kotak P3K.

"Mencari sesuatu?" Tama bertanya seraya menutup pintu dan tirai rapat-rapat.

"Iya, kali aja ada obat penghilang lebam." Risa menyahut tanpa menoleh. Ia sempat menyelipkan rambut hitam legamnya ke balik telinga.

Wajah perempuan itu terlihat lebih segar. Seharian ini mereka sibuk berkeliling Kuta, Bali, bersama rombongan. Sambil sesekali mengikuti games keakraban tim dan keluarga besar perusahaan. Mereka pulang dengan muka kusut dan lelah. Bukan hanya lelah sehabis kegiatan, tapi juga lelah menghindari konflik dengan Rama dan Riana. Tentu saja sesekali ada bumbu-bumbu selingan pedas dari Nyonya Sanjaya. Belum lagi perkara Desi yang masih banyak merajuk terang-terangan di depan Marisa. Gadis itu menolak mendapat pengarahan darinya saat berkeliling Kuta, memilih mengekor pada Randi.

"Belum ketemu?" Tama mendekat setelah mencuci tangan dan melonggarkan kerah kemeja dengan melepas tiga kancing teratas. "Masih ada, kok. Aku biasa nyimpen di sini. Jaga-jaga kalau Meta sama Bara luka." Ia menyingkap setumpuk kain kasa dalam bungkusan plastik.

Hening beberapa saat. Tama sibuk memeriksa pergelangan tangan berbilur biru yang kurus itu. "Kalau sakit bilang," katanya sembari mengoles salep bening pada luka Marisa.

Perempuan itu menggeleng sembari meringis kecil. 

"Maaf, gara-gara aku terlambat, kamu jadi terluka begini. Lain kali langsung teriak kalau Rama deketin kamu." Tama menutup kembali salep, meletakkannya di atas kasur begitu saja.

"Bukan salah kamu. Aku udah bilang, jangan pernah masuk ke pusara masalahku. Aku nggak suka kalau Mas sampai berantem dan terluka gara-gara Rama."

"Tapi aku nggak suka dia gangguin kamu, Sa." Laki-laki itu berkeras menunjukkan ketidaksukaannya dengan menatap tegas ke dalam iris hitam Marisa.

Risa mengangguk-angguk mengerti. "Aku janji bilang kamu kalau dia ganggu aku lagi." Bibir tipisnya mengulas senyum.

Tama hanya bergumam tak jelas, lalu mengacak puncak kepala perempuan itu.

"Nggak apa aku nginep di sini? Aku lagi kerja, lho."

Tama menggeleng. "Kamu bukan karyawan tetap biro lagi. Anggap aja lagi ikut wisata sebagai istri direktur."

"Kamu, ya, nggak berubah. Selalu aja sengaja pakai kuasa kamu buat ngatur segalanya." Sindiran telak itu tersampaikan meski masih berhias senyum tipis.

Laki-laki itu hanya menanggapinya dengan gumaman tak jelas lagi. Ia merebah malas di atas selimut tebal berwarna putih bersih, sementara Risa merapikan kotak obat. Perempuan berpiama ungu muda itu ikut merebah. Sempat membalas mengacak kasar rambut legam Tama sebelum bergelung meringkuk di sisi.

Keduanya terpejam bersama. Tama belum mengantuk. Pikirannya terlalu bercabang ke mana-mana. Ada rasa khawatir meski Risa sudah berulang kali meyakinkannya, bahwa perempuan itu tak akan beranjak dari biduk rumah tangga yang baru mereka bangun.

Demi meyakinkan dirinya sendiri lagi, Tama bergerak mendekat. Ia berbaring miring, melipat dua tangan di dada, lalu mendaratkan kecup singkat di bibir perempuan itu, memaksa Risa kembali membuka mata.

"Kamu … nggak keberatan kalau kita nggak ikut balik ke Jogja sama rombongan?" Laki-laki itu mendekat lagi, mencium dengan gerakan kilat. "Tinggal di sini?" Terdiam, kemudian mengecup lagi. "Atau pindah ke Jimbaran, mungkin? Ada vila yang kosong di sana. Setidaknya sampai resepsi pernikahan kita terlaksana nanti."

Tubuh Risa berguncang menahan tawa kecil. "Stop!" Ia mendorong dada laki-laki yang semakin intens mendaratkan sentuhan lain. "Aku nggak bisa jawab kalau kamu bikin sibuk begini."

"Hm, sengaja. Biar nggak usah dijawab dan aku simpulin iya aja." Tama menyurukkan diri ke bahu istrinya, bergerak manja untuk merapatkan diri.

Ketenangan itu kembali datang. Sepertinya, tak perlu ada yang dirisaukan saat Risa bisa semudah ini ia genggam. Memeluknya, merasakan keberadaan perempuan itu di dekatnya.

"Seriously, aku nggak keberatan. Aku ikut apa maumu selama kamu nggak minta aku pergi."

Sulit sekali. Sulit sekali membuat perempuan yang kini merangkulkan dua lengan padanya untuk mengaku cinta. "Sa …."

"Hmm?" Ia hanya bergumam menyahut panggilan itu.

"Aku … nggak bawa. Tapi sepertinya … aku mau kamu. Malam ini."

Tubuh perempuan yang mendekap laki-laki di sisinya berubah kaku. Ia melonggarkan peluk. "Memangnya, kita pernah ribut meski lupa nggak pake?"

Senyum tipis di bibir Tama mengembang manis. Sepertinya, Risa tak lagi keberatan dan mau menerima segala rencana masa depan untuk kehidupan rumah tangga mereka. Ia gembira dan tak lagi perlu risau kalau ia ingin menambah satu atau dua kehidupan baru di antara mereka.

Sayangnya, itu baru spekulasi. Inginnya Tama, perempuan itu berkata, "Ayo, kita bahagia! Berdua. Punya anak, satu atau dua. Lalu kita bahagia bertiga atau berempat. Di rumah kita."

Meski malam itu ranjang keduanya kembali panas. Selimut berubah kusut dan tubuh lagi-lagi berpeluh demi menggenggam sama-sama renjana yang meluap-luap. Kalimat itu tak kunjung Tama dengar dari bibir perempuan yang selalu memanggilnya ketika desah di ruang kamar temaram itu saling bersambut.

Lagi-lagi, Tama harus bersabar. Tapi sampai kapan?

**

(26-07-2023)

====🏖🏖🏖====

Yang belum vote jangan lupa vote.

Jangan lupa doakan aku kuat nabung biar bisa beli laptop atau hape baru yang lebih nyaman buat nulis. 🤗🥰

Part 33 segera menyusul dan tayang duluan di KK, ya. Doakan bisa cepet publish.

Terima kasih. 🤗

====🏖🏖🏖====

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top