31. Yang Masih Berusaha Mengusik
Halo, selamat malam! 🤗
Ketemu lagi sama Mas Tama, sesuai janjiku, Senin malam. 😁
Buat yang udah dukung aku di KaryaKarsa untuk part ini, terima kasih banyak, ya.
Makasih juga buat yang masih setia menunggu di Wattpad. Kasih vote dan komentar. 🥰
Semoga masih setia selalu meski slow up.
Happy reading!
====🏖🏖🏖====
Kasih semangat pakai vote dulu buat Mas yang makin sayang sama Mbak Cha! 🥳
====🏖🏖🏖====
Semua masih terkendali meski selama perjalanan tatap sinis Nyonya Sanjaya terkadang terlihat jelas. Perempuan bertubuh subur itu tak segan melancarkan tudingan miring di depan keluarga, berniat sekali mempermalukan Risa.
Seperti saat tiga armada bus berhenti di sebuah rumah makan kawasan Ngawi. Rombongan turun dipandu oleh setiap leader setelah mendapat kupon untuk ditukar dengan jatah makan siang. Sebagai pemimpin tour, Risa terbiasa mendahulukan rombongan wisata menikmati makanan dan kudapan yang ada. Ia tak keberatan wara-wiri mengambilkan apa pun yang dibutuhkan peserta, atau sekadar mencarikan obat di kotak P3K ketika ada yang mabuk.
"Ini, lho, leader kesayangan Agus, Ibu-Ibu! Si Icha, kakaknya Riana, istrinya Rama. Cekatan, kan? Hebat banget, lho, dia." Nyonya Sanjaya berceletuk sembari beramah tamah, menggamitkan dua tangan ke lengan Risa.
Risa yang tengah menyerahkan minyak kayu putih pada seorang perempuan, masih keluarga Sanjaya, menahan jengit kaget. Ia tersenyum kaku seraya melirik Riana yang tengah menyendok sesuap nasi berkuah soto di seberang Nyonya Sanjaya, bersebelahan dengan Rama. Bukan kaget karena takut. Perempuan itu jelas takut terjadi buntut keributan di antara Rama, ibunya, dan Riana.
"Saking primanya pelayanan dia membawa rombongan tour ke mana-mana, direktur barunya sampai kepincut!" Nyonya Sanjaya tertawa renyah, tubuh gempalnya bergoyang-goyang. "Punya jampi-jampi apa kamu, Cha?"
Terlihat seperti bercanda, tapi dari nadanya terdengar ada maksud terselubung merendahkan Marisa.
"Cantik gini, kok, Jeng! Nggak kalah sama Riana. Yo, panteslah kalau laki-laki mudah jatuh cinta!" sahut perempuan berblus merah yang baru saja mengembalikan minyak kayu putih, setelah menuang sedikit ke telapak tangan, lalu membalut ke sisi leher.
"Oh, iya! Cantiklah! Tapi pasti yang namanya perempuan punya cara buat menaklukkan pria to? Apalagi laki-laki tampan, mapan, dan kaya raya? Tumpakane wae … BMW." Lagi. Serangan berikutnya dari Nyonya Sanjaya. Perempuan itu tersenyum dibuat-buat, melirik sinis.
Tepat saat ia hampir meluncurkan serangan lagi, sendok dan garpu dari tangan Rama sengaja dibanting sedikit keras. Riana berjingkat. Laki-laki berkemeja biru tua itu berdesis, "Ibu …."
Suasana mendadak tegang. Tatap Rama berubah tajam ke arah ibunya. Sementara saudara-saudara yang duduk kursi melingkari meja panjang itu mulai tertarik memperhatikan dan sesekali saling tatap, ingin tahu.
Risa menelan ludah. Ia sempat kebingungan seraya menatap Riana yang justru tertunduk takut. Adiknya itu pasti sudah ditekan habis-habisan oleh ibu mertuanya, agar tak turut campur ketika sedang berseteru dengan Rama.
"Maaf, Ibu, saya ada perlu sebentar sama istri saya. Silakan menikmati hidangan. Semoga terkesan dengan pelayanan kami. Permisi." Tangan laki-laki yang baru saja datang segera merangkul Risa, membawanya berlalu begitu saja setelah melempar senyum ramah.
Risa yang semula gugup menghela napas lega. Ia berjalan dalam gandengan Tama untuk menjauh dari meja keluarga Sanjaya. "Mas, ih, dari tadi ke mana?" tanyanya sambil sesekali menengok ke belakang, mengamati keadaan yang baru saja ia tinggalkan.
"Ngobrol bentar sama Pak Agus di luar tadi. Kenapa? Kangen? Perasaan beda bus doang, Yang, bukan beda alam." Tama terkikik geli.
"Ck, jangan ngomong gitu, ah! Bawa-bawa beda alam segala, bikin takut! Mas udah janji kita profesional di tempat kerja, lho!" Risa berdecak kesal. Namun, ia menurut ketika Tama mengajaknya duduk di kursi paling pojok dan jauh dari rombongan.
Alasan profesional membuat keduanya sengaja berpisah saat bekerja. Tama ada di bus satu bersama keluarga Pak Agus, ada Randi sebagai leader. Sementara Risa ada di bus dua sebagai leader bersama Desi yang mengekor, tapi gadis itu sibuk menyurukkan diri pada ibunya. Masih tak terima dan patah hati, kata Tina begitu.
Sementara Tina dan Diyah ada di bus tiga, memimpin rombongan keluarga Nyonya Sanjaya. Risa sengaja tak memunculkan diri di rombongan yang Tina pimpin. Tadi pun ia baru sadar kalau Nyonya Sanjaya sengaja sekali memanggil Risa, diminta mencarikan minyak kayu putih. Sengaja agar aksinya menekan kembali terlaksana.
Dendam. Perempuan tua itu masih saja tak terima anak semata wayangnya pernah menjalin kasih dengan Marisa, berujung putus, tapi menikahi Mariana.
"Opo bedane, Ram?! Koe putus karo Icha, malah entuk Riana! Ibuk ndak setuju kamu kawin sama anak keluarga Yanuar. Ra sudi! Bukan kalangan kita!" Itu perkataan menyakitkan Nyonya Sanjaya saat Risa datang membawa Riana ke rumahnya, meminta pertanggungjawaban atas kehamilan Riana. Menyakitkan. Bahkan telinga Risa masih saja berdenging, menyalurkan sakit ke dada setiap mengingat caci maki itu.
Hanya karena Yanuar dan Sumiyati–orang tua Marisa dan Mariana–pernah bekerja sebagai sopir dan ART keluarga Sanjaya, haram jadah bagi Nyonya Sanjaya membiarkan Rama menikahi putri mereka.
"Ngalamun! Buruan makan, aku temenin." Tama menyikut lengan istrinya yang sedari tadi sudah duduk di kursi, menunggu suaminya yang pamit sebentar mengambil sesuatu. Siapa sangka laki-laki ini ternyata mengambilkan makan dan minum untuk mereka berdua.
Dua kelopak berbulu mata lentik itu mengerjap, menatap semangkuk nasi rawon di hadapan dengan segelas teh manis. "Lho, Mas nggak makan bareng Pak Agus?"
Laki-laki di sisi Risa menggeleng seraya menyuap potongan danging berkuah cokelat pekat. "Ada Siska yang gantiin. Diyah gantiin kamu jagain rombongan."
"Emang Diyah udah bisa dilepas sendiri?" Satu alis Risa terangkat.
"Bisalah! Belajar. Masa mau ngekor senior melulu. Urusan vlogger yang meliput, ada di bus satu bareng Randi. Aman karena nggak mungkin Diyah bikin kekacauan di bus satu."
Tama sibuk mengunyah, tak tengok kanan kiri, sontak membuat Risa tersenyum tipis. "Baru kali ini aku diambilin makan begini kayaknya, deh. Biasanya sarapan nggak bakal jalan kalau nggak disiapin ini itu. Makan malam juga pake manja."
"Bayar, dong!"
"Pamrih!" Risa mendengkus, melirik ke arah suaminya sambil mengunyah makanan. "Nawar, boleh? Mas juga suka nawar, lho, tiap malam."
"Nggak bisa. Kamu janji pakai yang Ungu Tua pas sampai di rumah Denpasar nanti."
Risa tergelak. "Males, ah! Mau ke toilet dulu!"
Tama mengangguk-angguk, sibuk makan. Sementar Risa gegas ke toilet karena hampir semua rombongan selesai makan dan bus akan segera berangkat. Ia selalu menyempatkan diri ke kamar mandi, sebab selama perjalanan tak mungkin ia seenaknya menghentikan bus untuk mencari toilet sekadar buang hajat.
Perempuan itu menghela napas lega begitu keluar dari bilik. Namun, langkahnya menuju wastafel terhenti begitu melihat sosok perempuan berbadan dua tengah berdiri mencuci tangan. Pelan, langkah Risa terayun mendekat. Ia memutar keran, membasuh kedua tangan.
"Kapan Mbak sama Mas Tama pindah? Aku udah minta Mas Tama ajak Mbak pergi. Biar kita urus rumah tangga masing-masing." Riana menarik selembar tisu dari dispenser yang tertempel di dinding sisi kanan wastafel. Pergerakannya mengeringkan tangan sedikit tergesa. Ada gusar yang tergambar di raut wajah pucatnya.
Risa menatap lekat bayangan wajah ayu sang adik di cermin. "Aku nggak ngerti kenapa bisa kamu menekanku dan Mas Tama sebegitunya. Aku pikir aku dan Mas Tama udah cukup tahu diri, nggak pernah meladeni kerusuhan suamimu itu."
"Tapi keberadaan Mbak yang masih dekat bikin Mas Rama terus berharap dan hampir setiap hari dia bilang mau pisah, Mbak!" Riana menoleh. Ada riak air di pelupuk matanya.
"Kalau begitu lepaskan saja laki-laki yang nggak bertanggung jawab itu. Kamu nggak perlu takut aku mengambilnya lagi. Aku nggak butuh." Risa mencipratkan sisa air di atas wastafel. Jengkel. Ia berlalu mendahului Riana keluar dari area toilet.
Langkahnya tergesa melalui lorong. Sampai akhirnya perempuan itu memekik terkejut begitu seseorang mengejar dan mencekal lengannya lalu merapatkan tubuh Risa ke dinding berlapis keramik putih yang dingin.
"Jangan dengerin perkataan ibuku, Cha. Maaf."
Risa berkeras mengibaskan cekalan kencang Rama. "Aku tahu dan kamu nggak perlu khawatir aku tersinggung. Lepas!"
"Ayo, kita pergi, Cha! Sesampainya nanti di Ketapang, kita bisa pergi sama-sama. Aku nggak mau lagi ada tekanan dari siapa pun termasuk Ibu."
"Jangan gila kamu, Ram! Aku nggak bisa!" Lagi. Perempuan yang terdesak itu berusaha mengibaskan genggaman erat tangan Rama di pergelangan tangan kanannya.
Rasa perih dan panas di pergelangan mulai terasa ketika Risa semakin memberontak.
"Kenapa?! Kita pernah janji buat sama-sama terus meski Ibu menentang, kan?!" Laki-laki itu masih saja memaksa.
"Aku udah bersuami! Jangan macam-macam!"
"Aku nggak takut sama Pratama!"
"Lepas!"
"Nggak sebelum kamu kasih jawaban pasti!" Rama semakin mengentak kuat.
Perempuan yang terus meronta itu membeliak semakin marah. "Kita sudah berakhir sejak kamu memilih tidur dengan Riana."
"Aku bisa jelasin semuanya! Anak itu bukan anakku, Cha!"
Sedetik setelah mengatakan hal yang kerap membuat Risa bertanya-tanya, perempuan itu memekik melihat Rama tersungkur.
"Nggak ada yang perlu dijelasin, Brengsek!"
Sebelum Tama kembali merangsek dan menghantam apa saja dalam diri suami Riana, Risa cepat-cepat merangkulnya.
"Ya, Tuhan! Mas Rama!" Perempuan yang baru saja keluar dari toilet gegas menghampiri suaminya yang terduduk di lantai. Memeriksa wajah Rama. Riana meringis ngeri begitu menemukan lebam kebiruan di pipi kiri laki-laki itu.
Susana sedikit mencair ketika seorang petugas kebersihan datang, disusul beberapa pengunjung lain yang mungkin ingin menggunakan toilet. Sempat ada tatap penasaran dari berpasang-pasang mata yang baru berdatangan. Terutama tertuju ada dua laki-laki yang masih pasang urat di wajah.
"Kita pergi, Mas. Nggak usah ribut di sini. Kita bisa bicara nanti di Denpasar. Oke?" Risa memohon seraya menepuk dada laki-laki dalam rangkulannya agar lebih berlapang dada untuk mundur sejenak.
Terlalu rumit kalau harus menyelesaikan semua perkara di tempat umum begini. Terlebih akan ada pihak keluarga Sanjaya yang akan turut campur. Namun, Tama masih saja bergeming seraya menatap sengit ke arah Rama yang masih sama berapi-api dan tak terima. Dua laki-laki itu terengah karena marah.
"Maas, please! Ayo, kita kembali ke bus! Aku bisa tukar tempat sama Randi biar bisa sama kamu. Oke? I'm safe with you."
Malam itu, perjalanan yang semula Risa pikir akan aman terkendali berubah mencemaskan. Tama yang berubah over protektif menyulitkan pergerakannya selama bekerja. Siska sempat kelimpungan mencarikan leader pengganti begitu sampai di Denpasar. Sebab nyatanya, Rama masih berusaha mengajak ribut dengan meminta pindah bus. Alasannya, bus tiga kurang nyaman untuk ibu hamil.
**
(24-07-2023)
====🏖🏖🏖====
Wah, Rama masih aja belum move on! 😅
Oke, makasih buat yang udah baca sampai part ini. Jangan lupa vote.
Yang mau mampir ke akun KaryaKarsa Anjar Lembayung, di sana Suddenly udah sampai part 32. Boleh banget kalau mau baca lebih cepat.
Mau nunggu dan bersabar di Wattpad juga boleh. Part 32 alu publish di Wattpad hari Rabu malam, ya.
Terima kasih. Sehat selalu. See on part 32 pada hari Rabu malam. 🤗🥳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top