[30]. Menghadapinya Bersama

Hai, halo, apa kabar? 😍

Semoga sehat-sehat selalu, ya. 🥰

Maafkan aku hiatus sebulan. Lagi banyak hal yang harus aku prioritaskan dahulu di kehidupan nyataku.

Alhamdulillah anakku udah sehat, meski kemarin nyusul anak kedua juga sakit. Tapi alhamdulillah udah sehat-sehat semua. Semoga sehat seterusnya. Aamiin.

Btw, aku ada nulis hidden part #29, nih. Kalian bisa mampir baca di KaryaKarsa.


Buat yang sudah dukung aku di KaryaKarsa, terima kasih banyak, ya. Aku doakan rezeki kalian lancar dan sehat selalu.

Aamiin. 🥰🤗

Happy reading!

====🏖🏖🏖====


Grup Darurat Keluarga Baskoro


Pitaloka:

Pitaloka:
Sejak pawangnya ngambek nggak mau dititipin anak, ini bocah aku gembol ke mana-mana. 😌


Amara:

Amara:
Aku kapan hari mampir ke Jogja. Mbak Risa mau aja, kok, jalan sama Bara. Dia nggak keberatan. 😌

Pitaloka:
Curang, ih! 😭

Pitaloka:
Gimana ceritanya Mas kasih izin Mbak Risa direpotin Bara? 😭

Amara:

Amara:
Tiga hari yang lalu, aku ikut Mama ajakin Mas sama Mbak Risa fitting baju. Bara malah nempel-nempel mereka berdua mulu. Terus Mbak Risa ngajakin Bara jalan-jalan.

Pitaloka:
Terus, Mbak Mara pergi kencan sama Mas Fandi? 😑


Amara:
Iyalah, aku nginep di dekat Prambanan. Tempatnya enak, dinner juga asyik karena gak ada gangguan. Bara baru diantar balik ke hotel pas aku udah kelar kencan. 😌

Pitaloka:
😭😭😭😭

Pitaloka:
Mama, kok, nggak ajak-ajak aku ke Jogja?! @Ndoro Agung


Ndoro Agung:
Waktu itu kamu sama Meta pas lagi ada acara ke luar negeri nemenin Dimas, kan? 🙄

Pitaloka:
Oh, iya. 😢

**

Akan ada uji coba perjalanan Jogja - Denpasar menggunakan sleeper bus baru. Sebagai ajang uji coba itu, diadakan acara gathering untuk karyawan beserta keluarga. Tak terkecuali istri direktur tentu saja.

Risa tergabung dalam acara tersebut atas izin Tama, meski laki-laki itu tahu keluarga Sanjaya akan turut serta. Sebab Sanjaya dan Agus masih satu keluarga. Dua keluarga yang saling menjalin bisnis dan kadang bersitegang. Agus yang lebih terkesan santai sedangkan Sanjaya yang terkesan angkuh dan berkuasa.

"Kalau bukan karena uang suamiku dan suami Nunung, usahamu bukan apa-apa to, Gus?"

Kalimat yang sering Nyonya Sanjaya lontarkan ketika menyambangi kantor dengan alasan mengecek kondisi Rama sekaligus mengintimidasi kekasihnya dulu--Marisa.

Risa terdiam menatap daftar anggota gathering dari keluarga Sanjaya. Ia tampak menggigit bibir seraya mengetuk-ngetuk pena di atas meja. Sinar keemasan masih menerangi kubikelnya meski waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sementara Randi dan Diyah sibuk masih semangat bekerja, Tina melenguh lelah.

Satu sleeper bus mampu menampung dua puluh orang dan tiga armada akan diberangkatkan lusa. Itu artinya akan ada enam puluh orang yang ikut. Tina dan Randi harus mengelompokkan rombongan berdasarkan jenis kelamin sebelum melakukan pembagian kamar di penginapan nanti. Dan Diyah selalu membuat kekacauan karena kekurangtelitiannya.

"Sasmita itu nama cowok! Ini tuh ponakan Nyonya Sanjaya tau! Bacanya Sasmito!" Tina sempat mengomelinya.

Keributan yang sontak mengundang gelak tawa Risa tentu saja, sebelum menemukan nama perempuan di bawah nama Rama Agung Sanjaya.

"Rama dan Riana ikutan, Tin?" tanyanya.

"Ck, yo, jelaslah, Mbak! Mereka ikut atas rekomendasi Nyonya Sanjaya tentu saja. Kenapa emang? Harusnya nggak ikut, yo? Bikin opo jenenge, Di? Riweuh ceunah?" Tina berusaha menirukan logat Sunda.

Diyah tergelak-gelak. "Inggih, Mbak Tin." Ia membalas dengan bahasa Jawa super halus.

Randi menghela dan mengembuskan napas panjang. Ia melongokkan kepala dari kubikelnya. Sedari tadi ia sibuk menunggu konfirmasi tentang reservasi penginapan untuk acara gathering. "Emang kenapa, Mbak Cha? Masih suka gegana ketemu mantan?"

Risa berdecak sembari mengibaskan tangan kanan yang memegang pena. "Buukkaaan! Tapi Riana kondisinya kayak nggak memungkinkan kalau harus menempuh perjalanan darat selama itu, Ran."

"Kenapa memang? Kandungannya bermasalah, Mbak?" Diyah mendekatkan kursi ke sisi Risa.

"Heleh, kayak ndak tahu Nyonya Sanjaya kek opo, Mbak! Pak Tama waktu rapat kemarin juga sempat menegur, tapi dia ngotot pake bawa-bawa surat dokter segala. Katanya kandungan Riana udah empat bulan dan aman buat perjalanan." Tina bercerita sembari bangkit dari kursi. Yang membuat gelak tawa kembali riuh terdengar adalah, ketika gadis itu dengan repot-repotnya mau berdiri, menengadahkan muka seraya menirukan gaya bicara Nyonya Sanjaya.

Risa menggeleng-gelengkan kepala, terheran sembari mengembuskan napas lelah dan menghapus jejak air di sudut mata saking terpingkalnya. "Mirip, Tin, mirriiiip banget!"

**

Laki-laki yang masih duduk di balik meja kerjanya tersenyum samar setiap kali gelak tawa di luar ruangan terdengar. Ia sama sekali tak terganggu meski kantor terkesan berisik. Setiap tawa renyah perempuan itu terdengar, Tama justru menikmati.

Tatap fokusnya pada rentetan jadwal kegiatan gathering terhenti ketika ketukan pelan sebanyak tiga kali itu terdengar. Senyum Tama mengembang saat tahu perempuan itu masuk usai menutup pintu.

"Ada yang mau dibicarakan, Mbak Cha? Udah bersedia terima tawaran saya beberapa hari lalu? Saya bisa belikan setelan yang serasi sama si Ungu Tua itu," kelakar Tama seraya mengempaskan punggung ke sandaran kursi berporosnya.

"Ck, lagi kerja sempat-sempatnya mikirin pakaian berenda ungu tua!" Risa berdesis gemas. Perempuan yang mengenakan blus putih lengan panjang itu menarik kursi perlahan untuk duduk.

"Oh, bukan mau bicarain itu? Udah malam padahal, bentar lagi juga jam lembur habis, kita bisa pulang sama-sama, Mbak. Mampir beli dulu juga boleh entar." Masih berusaha membujuk.

Risa menggeram sebal. Tama memang tipe lelaki yang susah diabaikan. Apa pun yang ia minta, kalau belum dituruti, ia akan terus membujuk sampai dapat. "Oke, terserah. Nanti kamu pilih sendiri bentukannya mau kayak apa, Mas, terserah. Yang penting ini aku mau tanya ini dulu nih." Perempuan itu meletakkan daftar nama peserta gathering.

Laki-laki yang sempat menunjukkan wajah berseri-seri karena gembira itu menegakkan tubuh kembali. Ia mengamati ke mana arah jari telunjuk kurus istrinya menunjuk.

"Mas yakin mau kasih izin Riana gabung? Dia lagi hamil empat bulan, Mas. Sebelumnya, Riana sempat masuk rumah sakit karena kandungan lemah. Kalau sampai terjadi apa-apa di jalan, aku takut keluarga Sanjaya nuntut kantor terutama kamu sebagai atasan."

Tama menghela napas panjang. "Aku juga udah berusaha mencegah. Tapi Nyonya Sanjaya berkeras. Seharusnya Rama tahu dan nggak bolehin Riana ikutan, kan? Tapi kalau suaminya aja diem aja nggak ada gertakan sama sekali, gimana aku mau mengatasi mertuanya Riana? Lagi pula semua kendali ada di tangan Pak Agus."

Risa menggigit bibir, gelisah. "Kamu nggak bisa mencegah, ya?"

"Bisa, asal Pak Agus dan Rama mau gabung di pihakku buat nyadarin otak bebal Nyonya Sanjaya itu. Sebab aku bukan satu-satunya orang yang berkuasa di kantor ini, Sa. Beda perkara kalau aku sedang bekerja di perusahaan sendiri."

Perempuan di seberang meja Tama terdiam, menatap kosong pada lembaran kertas berstaples di meja. "Iya, sih ...."

"Atau ... kamu bisa bujuk Riana untuk nggak usah ikut aja gimana?" Tama memberikan solusi.

Risa mengembuskan napas gusar sembari menengadahkan kepala. "Mas, kamu tahu Riana nggak mungkin dengerin kata-kataku. Dia pasti lebih nurut sama mertuanya dan aku nggak bisa ikut campur urusan rumah tangganya, yang ada Riana selalu salah paham."

"Nah, itu tahu!" Senyum tipis itu tergambar di bibir tipis laki-laki berambut hitam pekat itu. "Semua tergantung dari keputusan kepala rumah tangga mereka. Dari pihak kantor agen sudah kasih warning keras mengenai bahaya perjalanan darat menggunakan bus selama itu untuk ibu hamil yang rentan keguguran. Tapi Nyonya Sanjaya berkeras menunjukkan menantunya sehat, membawa berkas dari dokter kandungan yang terkait."

Tama bangkit dari kursi. Ia duduk bersimpuh seraya menggenggam tangan di pangkuan Risa. "Semoga mereka baik-baik saja, Sa. Kita hanya bisa mendoakan mereka yang terbaik. Mengenai segala perkara di dalamnya, biarkan adikmu dan suaminya yang melewati sendiri. Semakin sering kamu berusaha melindungi Riana, dia justru semakin memusuhimu, bukan begitu?" Tama mengusap lengan perempuan di hadapannya sejenak sebelum kembali bicara, "Ini acara terakhirku di kantor. Setelah sleeper bus bisa dipastikan berjalan baik dengan segala agenda dan management kantor, mari, kita pulang ke Denpasar atau Jakarta. Ke mana pun. Bersamaku."

"Tapi Riana ...."

"Kita akan membantunya kalau memang dia meminta," potong Tama cepat.

Cemas itu tergambar jelas di kedua manik Risa. Tapi Tama sudah mempertimbangkannya masak-masak bersama kedua orang tuanya. Sebab selama ini, yang Tama pahami, Riana selalu berusaha mengusir keduanya dari kehidupan rumah tangganya. Meminta Tama segera membawa pergi Risa jauh-jauh. Pun segala penolakan bantuan dari Risa--yang Rima ceritakan tempo hari usai pertemuan dengan Nyonya Sanjaya dan Riana di supermarket--membuat laki-laki itu mengerti bagaimana harus bersikap.

Semakin keras usaha Risa berdamai dengan Riana, mendekatinya lagi sebagai sosok kakak yang melindungi, kesalahpahaman itu justru semakin tersulut. Riana semakin ketakutan dan tak menyukai keberadaan sang kakak di lingkup edar rumah tangganya.

"Jangan cemas. Kita atasi semuanya sama-sama." Laki-laki itu memeluknya erat, berusaha meredam gelisah dan kekhawatiran.

**

Grup Keluarga "Cemara" Baskoro

Pitaloka:
Mas Tama 😔

Pratama:
???


Pitaloka:
Masih marah, ya? Maapin kek, Mas. 😔


Pratama:
Ma, dokter kandungan yang Mama rekomendasiin di Denpasar bagus, kan? @Ndoro Agung


Ndoro Agung:
Baguslah, Mas! Dulu waktu Mama hamil Mara pas di Denpasar juga konsultasinya ke situ. Dokternya ramah. Kenapa? Risa positif? 😍

Amara:
Duh, gaunnya takut keburu nggak muat! Mas coba cek, deh, nambah gede nggak tuh Mbak Risa?

Pratama:
Belum tau. @Ndoro Agung

Pratama:
Apanya nambah gede? Belum juga cek. @Amara

Ndoro Agung:
Kalau gitu jangan ikut acara gathering, Mas. Takutnya Risa kecapekan, lho!

Pratama:
Baru mau program, Ma. Besok habis gathering aku mau ajak Risa menetap di Denpasar rencananya.

Amara:
Ooh, kirain. 😬

Ndoro Agung:
Ya udah, pokoknya ke dokter yang udah Mama rekomendasiin aja. Bagus, kok!

Pratama:
Oke.


Pitaloka:
Mas! Aku, kok, dicuekin?! Nggak dimaafin nih?! 😭😭


Pratama:
Sorry, malam ini juga sibuk perang aku tuh, Pit. Mau ngabisin stok hadiah dari Mara. @Pitaloka


Pitaloka:
😒😒😒

**

(19-07-2023)

====🏖🏖🏖====

Yang penasaran sama cerita si Ungu Tua bisa baca hidden part #29 di KaryaKarsa, ya. Clue kenapa Tama berani ambil keputusan mau ajak Risa program punya anak dan tinggal di Denpasar juga ada di sana.

Terima kasih atas dukungannya. Jangan lupa vote dan komentar yang ramai selalu kurindukan. 🤗🥰

Doakan part berikutnya up cepet, ya. Laptop aku masih di Kang Servis lagi soalnya. Ngetik via hape butuh waktu yang tepat juga. 🤭

Terima kasih banyak-banyak. Kangen kalian selalu. 🤗

====🏖🏖🏖====

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top