[26]. Tamu Tak Diundang

Halo, apa kabar? 😅

Seminggu lebih nggak update cerita ini, ya? Jadi, aku jatuh sakit lagi. Biasa, batuk berkepanjangan yang susah banget aku sembuhin kalo udah kecapekan dan stres. 😌

Happy reading. Semoga part ini sedikit menghibur.

Jangan lupa vote dan komentar yang ramai. Terima kasih. 🤗🥰


====🏖🏖🏖====


Ekspresi Mas pas bertanya-tanya  arti kata rabi dalam bahasa Indonesia itu apa, sih? Bingung. Kalian yang orang Jawa, kasih tau dia artinya gih! 😆



"Tin! Tina!" Perempuan bertubuh kurus kering itu menggapai-gapai seraya memanggil gadis yang tengah sibuk di kantin. Napasnya terengah karena berlarian dari gedung kantor, melewati parkiran yang cukup luas, hingga ke kantin.

"Opo to, Mbak? Masih jam setengah tujuh pagi. Gosah ngajakin gibah!" Tina menyikut cekalan Mbak Nunung di lengan kanannya.

Gadis itu sedang menata tiga puluh kotak snack ke dalam kardus besar. Ada jadwal memandu rombongan wisata ibu-ibu ke Borobudur hari ini. Tina datang lebih pagi dari yang lain, ikut menyiapkan kelengkapan wisata termasuk camilan selama perjalanan bersama Mamat.

"Ck, penting ini! Kamu pasti kaget kalau tahu kabar terbaru." Mbak Nunung melirik ke segala penjuru. Dilihatnya Mamat masih tenang menumpuk bungkus-bungkus camilan tak terpakai. "Semalam aku ke rumah lagi Agus, Tin. Mau mastiin nitipin Desi biar bisa kerja di sini. Kasihan ngelamar sana-sini belum ada kabar."

Tina menipiskan bibir tak minat. Gadis itu paham betul bahwa posisinya kenaikan jenjang kariernya sedang dipertaruhkan kalau Desi masuk.

"Terus istrinya Agus cerita banyak soal Pak Tama. Tahu nggak, Tin, dia sebelum ke sini itu belum lama gagal menikah. Calonnya dihamilin laki-laki lain, Tin! Haduh, haduuuh ...." Mbak Nunung mengusap-usap dadanya. Seolah sedang menunjukkan betapa ia turut prihatin dan bisa merasakan sakit.

Tina masih diam saja. Gadis dengan kacamata berbingkai lebar itu bahkan sengaja mengeraskan suara ketika menghitung jumlah kardus snack. Namun, ia mengaduh begitu perempuan paruh baya bergincu merah merona itu merenggut lengannya lagi.

"Aku paham sekarang kenapa bisa Pak Tama cepet banget terima Icha. Bisa jadi Icha yang menawarkan diri deket-deket Pak Tama duluan. Mereka sama-sama cari pelarian. Padahal, Tin, kata orang bijak itu, jangan memilih pasangan saat hati sedang tidak baik-baik saja. Bisa salah pilih!" Mbak Nunung duduk di kursi, meraih sebungkus pastel yang belum sempat Tina masukkan.

"Lho, Mbak, itu buat rombongan! Kok, dimakan?!" Tina menggeram kesal. "Aku ngitungnya pas tadi!"

Mbak Nunung batal membuka bungkus plastik makanan itu. Meletakkan kembali ke meja. "Nggak disisain to? Biasanya, kan, aku ajarin nyempil-nyempil keuangan biar ada lebihan makanan to?"

"Ya, lebih, tapi bukan sekarang juga makannya. Takut entar di jalan ada kekurangan gimana coba? Kebutuhan rombongan itu paling utama. Kita yang mimpin wisata terakhir!" tegas Tina.

"Heleh, biasanya juga pas, nggak kurang. Malah dibuang-buang." Perempuan itu masih melirik pastel berisi ayam di meja seraya menelan ludah. Ia berdeham kemudian. "Terus menurutmu piye soal ceritaku tadi? Bisa jadi nggak, sih, Pak Tama nggak bakal lama sama si Icha?"

Tina membanting kardus snack kosong ke meja sembari memejam jengkel. "Mbak, jadi orang tuh mbok jangan suka berpikiran jelek gitu. Kalaupun mereka berdua sama-sama sedang berusaha sembuh dari sakit hati, memang kenapa? Berdoa yang baik-baik untuk orang lain tuh nggak ada salahnya, lho. Malah bagus! Daripada gibahin mereka dan sok tahu!"

Mbak Nunung mencebik tak setuju. "Kasihan Pak Tama, lah! Dia tuh laki-laki baik, mapan, dari keluarga terpandang. Moso dapatnya ...," Ia melayangkan ke segala penjuru, "Icah. Adiknya aja kegatelan. Jangan-jangan Icha sam--"

"Astagfirullah, Mbak! Nyebut! Mbak Nunung ada masalah apa, sih, sama Mbak Cha? Dia perempuan baik-baik, Mbak! Sembarangan aja kalau ngomong!"

"Heleh, daripada sama Icha, ya, mending sama Desi, anak--"

"Mereka wes rabi, Mbak! Wes nikah! Gosah ngarep anakmu dekat sama Pak Tama, kecuali kalau memang anakmu ki kamu bolehin jadi pengganggu rumah tangga orang!" Tina terengah. Gadis itu tak tahan lagi dengan segala tudingan seniornya di kantor. Siapa saja boleh dan berhak tak suka pada seseorang, tapi memfitnah dan menghasut teman yang lain agar menuai benci, jelas sudah tidak benar.

Keduanya bertatapan. Tina dengan tatapan jengkel penuh amarah sampai dadanya naik turun karena menahan dongkol. Sementara Mbak Nunung membelalak tak percaya.

"Aku sibuk, Mbak. Sebentar lagi berangkat jemput rombongan. Mbak silakan bertahan di sini kalau mau minum kopi." Tina tergesa mengangkat kardus besar berisi kotak-kotak kertas berisi camilan. Ia berlalu sambil mengentak kesal.

"Makanya, Mbak, jangan nyebelin jadi orang. Enak to disemprot Tina?" Mamat mencebik ke arah Mbak Nunung.

Perempuan itu berdeham, mengatur rona wajah sebelum bangkit dan kembali ke kantor. Namun, ia berbalik dan menatap Mamat. Pemuda itu mengernyit, menunggu Mbak Nunung berkata-kata lagi.

"Beneran Pak Tama sama Icha wes rabi, Mat? Kapan?" tanyanya kepo.

Mamat mengedik. "Kok, tanya saya, mana tahu. Tuh, Pak Tama baru sampai. Tanya aja sendiri." Ia menunjuk ke arah parkiran.

BMW biru itu baru saja memasuki area parkiran khusus yang lebih teduh. Melihatnya Mbak Nunung tergopoh.

"Duh, si Desi masih di ruangan Pak Tama kayaknya. Tadi aku suruh beres-beres ruang direktur sama letakin bunga di sana. Wegah aku! Ndak mau anakku jadi pelakor!" Seperti setengah cemas, ia berlarian.

Mamat menutup mulut, menahan tawa ketika wanita dengan rok span panjang itu sempat terseok. Hak sepatunya terselip di lubang beton penutup drainase di lahan tempat parkir. Saking gugupnya, ia meninggalkan saja sepatu itu, berlari dengan satu kaki tanpa alas.

**

Laki-laki yang baru saja menjejakkan kaki di lorong kantor itu menilik jam di pergelangan tangan kiri. Langkahnya akhir-akhir ini terasa ringan, banyak tersenyum, dan hampir tak pernah lagi mencoreti laporan buatan karyawannya.

Paling sadis hanya berkata, "Ketik ulang laporannya. Saya tunggu besok pagi."

Bagaimana ia tak sebahagia itu kalau beberapa hari ini--setelah menikah--ada perempuan yang selalu bersamanya. Malam-malamnya selalu menyenangkan. Sarapan tak lagi sendiri. Ada yang mengantarnya sampai depan pintu unit apartemen untuk pergi bekerja. Ada yang sesekali bertanya melalui pesan kapan pulang, membuat Tama selalu dibutuhkan.

Tapi satu hal yang membuat laki-laki itu kadang bisa tersenyum-senyum sendiri meski sedang termenung sendiri adalah, cara Risa cemburu dan mencemaskan suaminya saat berada jauh dari jangkauan.

Risa:
Liat ke sini!

Risa:

Risa:
Kalau Desi lewat, kamu liatin foto itu aja!

Tama:
Itu foto kapan?


Risa:
Waktu liburan di Bali sendirian dan berujung ketemu kamu. Kenapa?

Tama:
Jangan pakai baju itu lagi kecuali lagi sama aku.


Risa:
🙄🙄

Risa:
Itu aja aku pake cuma sekali di hari kedua ketemu Mas kayaknya, deh.

Tama:
Oh, pantes malam itu aku nggak sengaja khilaf. Mungkin karena salah gaunnya.


Risa:
Khilaf, ya, khilaf aja, Mas. Gosah nyalahin gaun segala. 😒

Tama:
Haha


Laki-laki itu mengunci layar ponsel sembari menahan senyum usai saling berbalas pesan. Langkahnya terhenti begitu melihat Mbak Nunung menyeret putrinya dari dalam ruangan sang direktur.

"Apa, sih, Bu?! Ibu bilang aku harus sering setor muka di depan Mas Tama, kan?!" Desi menyentak cekalan tangan ibunya di lengan kanan.

Mata perempuan itu memelotot, menatap tajam, lalu menggeram, "Wonge wis rabi! Ojo macem-macem!"

Kelopak gadis berkaus ketat dipadu blazer merah itu mengerjap. "Ra-rabi? Karo sopo?"

Namun, Mbak Nunung tegas menyeret ia kembali menjauh. "Mengko wae tak critani!"

"Ck, Ibu ki nggak nggenah! Tenan beritane?!" Desi bersikeras.

Saking fokusnya bertengkar, mereka tak sadar Tama mulai mendekat ke ruangannya. Ia berdeham sekali sebelum angkat bicara, "Ada masalah?"

Tubuh dua perempuan itu menegang lalu menoleh dan menatap atasan mereka dengan ekspresi kikuk.

"Eh, Pak Tama! Pagi, Pak! Ma-maaf, ini anak saya tadi habis menenami tamu." Mbak Nunung menjulurkan kepala, menilik ruangan Tama. "Ada tamu. Di dalam. Mau menemui Pak Tama."

Sementara ibunya menjelaskan terbata-bata, Desi menatap laki-laki itu dengan raut nelangsa kemudian. Ada riak air di pelupuk matanya yang sama sekali Tama tak mengerti. Mungkin sehabis bertengkar dengan ibunya, atau ....

Tama melirik ke arah lengan kanan gadis itu. Tangan Desi tampak mengusap-usap bagian lengannya sendiri sambil meratap.

Habis dicubit, ya?

Mata laki-laki berjas putih tulang itu juga sempat turun, menemukan satu kaki telanjang Mbak Nunung yang entah ke mana sepatunya diletakkan. Keningnya mengernyit bingung.

"Silakan masuk, Pak. Kami permisi ...." Mbak Nunung berlalu diikuti putrinya yang berpamitan dengan sekali anggukan.

Dan sebelum Tama masuk, keributan ibu dan anak itu masih bisa ia dengar.

"Tenan Mas Tama wes rabi?" Gadis itu merengek lagi. "Sama Mbak Icha bukan?"

Rabi itu apa, sih? Menikah bukan, ya?

Tama menghela napas lalu mengedik tak peduli. Laki-laki bertubuh jangkung itu kembali mengayun langkah, melewati ambang pintu. Namun, begitu ia masuk sepenuhnya dan menyadari sosok yang serang berdiri di sisi meja kerjanya, Tama tertegun sejenak.

Ada seseorang yang tengah menunggu di sana. Ia menyandarkan sebagian tubuh ke tepi meja, memainkan papan bertuliskan nama Pratama Baskoro yang terbuat dari akrilik. Laki-laki itu meluruskan posisi papan nama sebelum ia melipat dua tangan di depan dada. Ia tersenyum sinis dengan tatap pongah dan menyapa, "Hai ...."

**

(24-05-2023)

====🏖🏖🏖====


Jeng, jeng, jeng! Siapakah yang datang? 😅

Vote sama komen dulu yang ramai, ya. Biar aku semangat update lagi meski sambil batuk-batuk gini. 😌

Sampai jumpa di next part. Doain aku cepet sembuh ya, Gaes. Terima kasih. 🤗😘


====🏖🏖🏖====

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top