[24]. Kenangan yang Menjerat Langkah
Hai, selamat menjelang tengah malam! 😆
Maafkan baru update. Padahal niatnya aku mau publish setiap Senin, Rabu dan Sabtu. Tapi susah juga atur waktunya. 🥲
Tak apalah, ya, yang penting lanjut dan aku usahain seminggu 3 kali up.
Jangan lupa semangatin pakai vote dan ramaikan komentar.
Terima kasih dan happy reading. 😘
====🏖🏖🏖====
Perempuan berjumper kuning itu melambai pada dua orang yang baru saja berlalu menggunakan taksi. Tina tampak antusias mengulurkan tangan ke luar jendela.
"Makasih traktiran hari ini, Mbak!" seru Mamat.
Mereka pergi, meninggalkan senyap di depan sebuah lobi tower apartemen. Risa menatap mobil hitam yang membawa dua rekannya menjauh. Hari ini menyenangkan. Tina dan Mamat mengajaknya makan di warung steak langganan mereka. Biasanya, setiap habis gajian, Risa, Tina, dan Mamat, menyempatkan diri mangkir di warung steak daerah Jakal. Menghabiskan dua porsi steak di atas hot plate yang menguarkan aroma saus lada hitam, dan seporsi spageti untuk dihabiskan berdua dengan Tina.
Sepulang dari sana, ia akan membawa seporsi steak daging ayam berlumur saus lada hitam dan kentang goreng kesukaan Riana. Itu dulu. Lalu kenapa ia tadi refleks memesan satu porsi steak dan dibawa pulang begini?
Risa mengangkat kantung berisi sekotak steak di tangan kanan. Andai Tina tak berkata, "Romantis amat bawain pulang buat suami." Mungkin Risa tak akan sadar kalau ia baru saja refleks teringat adiknya sampai memesan makanan kesukaan Riana untuk dibawa pulang.
Demi menghindari cecaran lebih jauh, ia hanya menanggapi celotehan Tina dengan senyum simpul. Sekarang, perempuan itu hanya menatapi makanan dalam kotak itu dengan perasaan yang entah. Seperti ada ruang di hatinya yang tiba-tiba terasa senyap, kosong, dan kehilangan. Ia merindukan Riana. Mau bagaimanapun, hubungan darah selalu menjadikannya alasan tak sanggup menuai benci yang mendarah daging. Namun, memaafkan di atas kecewa yang menyelimuti sulit ia lakukan.
Risa menghela napas panjang. Ia ayunkan kaki berbalut sneakers putihnya masuk ke area lobi. Ada senyum ramah dari resepsionis yang menyapa dan ia hanya mampu membalas dengan anggukan singkat dan senyum pula. Dalam langkah pelan di atas lantai marmer itu, suara-suara ceria itu terngiang-ngiang.
"Mbak, ih, tauuu aja aku lagi laper! Seharian sibuk nugas di kampus sampe lupa makan!"
Lalu, gadis itu menyongsong steak bagiannya ke meja makan. Tanpa banyak bicara lagi, ia menusul kentang dan melahapnya bersama potongan daging ayam yang krispi di luar dan juicy di dalam.
Risa hanya tertawa ringan melihat cara makan adiknya yang sesekali menggoyang potongan daging pada garpu di tangan. Ketika ia mendekat dengan segelas air putih, Riana memaksa menyuapkan bagiannya pada mulut sang kakak.
"Kenyang, Ri!" protes Risa sambil mengunyah dan tetap menelan kemudian.
"Mbak kurusan. Harus banyak makan. Pak Agus nggak pernah batasin jatah makan di kantor, kan? Oh ya, tadi aku cobain bikin kue pake resep baru. Ada di toples kabinet. Mbak cobain, deh. Kalau enak, ke depan aku punya mimpi buka toko kue besar. Biar Mbak nggak perlu resah lagi."
Begitu seterusnya. Dalam langkah pelan melewati lorong menuju unit usai pintu lift yang membawanya terbuka, suara-suara ceria Riana menusuk-nusuk gendang telinga. Membawa kenangan yang sulit ditepis, sekaligus membawa sakit yang terus berdenyut-denyut nyeri di dada.
Perempuan itu berhenti tepat di depan pintu unit apartemennya, menempelkan cardlock pada kotak sensor. Bunyi bib sekali terdengar begitu pengunci terbuka. Ia masuk, membiarkan ruangan tetap gelap dengan tak menyalakan lampu utama. Diletakkannya steak di atas meja bar pantry. Hanya ada sorot senja dari jendela kaca ruang santai yang berhadapan langsung dengan pantry.
Ada desah berat ketika ia melempar pandangan ke arah jendela kaca besar itu. Sekali lagi ia tundukkan pandangan pada bungkusan di atas meja bar hadapannya. Risa meletakkan tas selempangnya pada stool bar tanpa mengalihkan tatap pada sebungkus steak yang mendingin. Beberapa detik setelahnya, suara Riana kembali terngiang.
"Aku cuma punya Mbak Cha di dunia ini. Aku nggak bisa tanpa Mbak. Apa pun yang terjadi, kita akan tetap sama-sama."
Getar di bahu Risa kembali hadir. Tangisnya kembali pecah, menemani senja yang terus menyorotkan sinar keemasan. Ia membungkam mulut, menahan tangis kencangnya. Tubuh ramping itu berbalik, membelakangi meja bar, lalu luruh, duduk di pojok pantry sembari memeluk pilu kedua lutut. Kalimat menyakitkan yang lain kembali melintas.
"Maaf, aku ... sedang mengandung anak dari Mas Rama. Tolong lepaskan Mas Rama untukku."
Dengan kondisi yang seperti itu, mana bisa mereka sama-sama lagi? Mana bisa ia sanggup tersenyum di tengah luka yang terus menganga dan berdarah-darah? Sialnya, meski ia sudah memilih mengalah dan berserah dengan semua kenyataan, rasanya terlalu pahit. Sulit sekali ia terima, bahkan untuk berdamai saja susah.
**
Pukul sembilan malam, BMW biru metalik itu baru terparkir apik di lantai basement. Tama mengusap tengkuk, memijatnya beberapa kali karena pegal seharian di kantor. Ribut. Itu yang terjadi sejak rapat sore tadi.
Mbak Nunung bersitegang tak mau dikantorkan meski Pak Agus pun sebenarnya setuju. Wanita tua itu masih betah berwisata dan katanya masih sanggup bekerja di lapangan. Lantas apa guna pengakuannya itu kalau selama di lapangan Tina yang pontang-panting sendiri dan ia hanya duduk manis di dalam bus lalu ikut jalan-jalan ria?
Perempuan itu marah tentu saja. Menuding Tama pilih kasih dan terlalu melindungi Risa. Padahal jelas-jelas tak ada kaitannya. Toh Risa sudah resign dan bukan ia pula yang meminta Mbak Nunung untuk dikantorkan.
"Siapa tahu dia punya dendam sama saya, Pak. Terus ngerayu Bapak buat mengalihtugaskan saya."
Lalu, apa untungnya Risa melakukan itu kalau pada akhirnya ia saja resign?
Tama melenguh sebal teringat rapat berujung debat sengit sore tadi. Ia meraih jaket di kursi samping kemudi. Sejak bekerja di agen wisata, ia mulai tak mengenal pakaian formal semacam jas dan dasi. Siapa pula yang betah menggunakan pakaian formal seperti itu kalau kerjaannya wara-wiri di kantor agen wisata kecil. Bergumul dengan panas saat ada masalah di parkiran armada bus. Belum lagi kalau ada masalah di lapangan saat leader melaporkan hal mendesak seperti saat kejadian Mbak Nunung meninggalkan beberapa rombongan di toilet rest area misalkan. Yang penting pakaian rapi, itu sudah cukup.
Meski bisa saja meminta bawahannya untuk terjun mewakilinya, Tama tak ingin melakukannya. Belum ada orang yang bisa ia percaya sepenuhnya di agen wisata kecil ini, kecuali Risa dan Tina. Yang tua-tua malah banyak masalah seperti Mbak Nunung.
Berbeda sekali saat ia harus menemui rekan bisnis keluarga di Denpasar atau Jakarta. Menemui investor di jamuan makan malam usai rapat sudah pasti memaksa Tama harus berpakaian formal. Apa sebaiknya ia kembali saja ke Denpasar? Mengajak Risa pindah? Terlalu buru-burukah?
Laki-laki itu hampir sampai di depan pintu elevator lantai dasar ketika sosok itu muncul. Ia mengenakan pakaian baby doll putih dan legging biru tua. Perempuan itu tampak sibuk memasukkan kunci kendaraan ke dalam tas selempang di bahu kiri sambil berjalan. Kemudian, langkah perempuan yang tengah hamil muda itu terhenti begitu menemukan Tama di depan pintu lift.
Kening Tama berkerut samar ketika mereka bertemu pandang. Namun, senyum simpul dan anggukan kecil itu membuat laki-laki itu mendesah pelan. Akan ada apa lagi dari masa lalu istrinya yang akan menguji?
**
Tama menatap sodoran kunci dan sebuah map yang baru saja dikeluarkan Riana dari dalam tas. Mereka baru duduk selama--mungkin--dua menit setelah secangkir teh dan espresso tersaji di meja. Tama pikir, perempuan yang kini menatap sendu pada apa yang telah ia sodorkan akan menemui istrinya. Namun, ajakan bicara sebentar membuat laki-laki itu mengajak adik iparnya ke kafe dekat area lobi.
"Apa ini?" tanya Tama dengan kerut samar di kening.
Riana mendongak. Ia tersenyum tipis sebelum berkata, "Punya Mbak Icha. Sertifikat rumah sama kuncinya. Aku udah bilang mulai tinggal di rumah orang tua Mas Rama. Tapi Mbak sama sekali nggak ada respons. Jadi, aku pikir Mas bisa bantu kasih ini ke Mbak."
Tama mengembuskan napas pelan. "Ada lagi?"
Gelengan lemah itu Riana tunjukkan. "Sampaikan salamku untuk Mbak Icha."
Dan Tama merasa tak perlu berlama-lama duduk bersama perempuan itu. "Oke. Akan aku sampaikan. Mau menemui Mbak? Aku bisa minta dia turun ke sini."
Riana gegas mengibaskan dua tangan di depan dada dan menggeleng cepat. "Aku langsung pulang. Mbak nggak akan senang ketemu aku. Terima kasih tehnya."
Istri Rama itu buru-buru bangkit. Ia mengangguk singkat sebelum berbalik pergi. Namun, langkahnya terhenti. Riana kembali menghadap pada Tama yang sama bangkit. Perempuan itu perlu sedikit mendongak untuk menatap suami sang kakak dengan penuh permohonan.
"Mas bisa ... tolong segera bawa pergi Mbak Icha dari sini? Sejauh mungkin, dari jangkauan Mas Rama."
Tama bergeming beberapa detik. Tatapnya tak lantas mengendur. Ada ketegasan dari sorot kelam laki-laki itu. "Kalaupun aku membawa pergi Mbak jauh dari sini, aku pastiin kami pergi karena kemauan kami tanpa beban. Bukan karena siapa pun. Hati-hati di jalan, Ri. Lain kali, jangan pergi menemuiku atau Mbak sendiri malam-malam begini. Hati-hati di jalan."
Tama meraih map dan kunci di meja. Ia berlalu mendahului perempuan yang berdiri kaku mendengar jawaban laki-laki itu. Mungkin sedikit kejam karena Tama tak lantas mengiakan permintaan adik iparnya. Tapi ia tahu apa yang terbaik untuk Risa, tanpa harus diusir-usir begini. Mengesalkan sekali rasanya.
**
Risa:
Mas, ini hadiah dari keluarga Mas di Jakarta boleh aku buka semua?
Pratama:
Boleh.
Pratama:
Semenit lagi sampai apartemen.
Risa:
Mas! Jangan masuk kamar dulu!
Pratama:
Hah? Kenapa memang?
Risa:
Lagi cobain hadiah dari Tina.
Pratama:
Apa memang? Aku udah di depan pintu kamar nih!
Risa:
Jangan masuk! Tunggu bentar! 😫
(11-05-2023)
====🏖🏖🏖====
Kok, aku kangen nulis adegan manis Tama sama Risa berdua aja, ya? Padahal baru aja mau mulai nanjak. 🤣
Part selanjutnya aku kasih di WP yang manis dan agresip. 🤣
Nggak aku kunci di KK. Tapi kasih komentar ratusan dulu, dong. Aku janji up di WP kalau komentar balik ratusan lagi kayak dulu buat part selanjutnya. 🤭
Jangan lupa vote sama komentar, ya. Terima kasih. 🥰🤗
====🏖🏖🏖====
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top