[23]. Menunda

Hai, apa kabar? Semoga sehat selalu. 🥰🤗

Gimana yang kemarin udah mampir ke lapak Tama di KK? Kurang? Mau nambah? 😆

Vote dulu yang gercep, biar aku semangat lanjutin cerita ini terus.

Btw, komentar di dua part terakhir, kok, sepi, sih? 😭

Ayok, bantu ramaikan komentar. Yang banyaaaak  kirim petasan sama bomnya. 😍

Happy reading dan terima kasih banyak-banyak. 🥰🤗

====🏖🏖🏖====


Air keran itu masih dibiarkan mengalir di atas wastafel, sementara perempuan itu masih bergeming menatap kosong pada sebotol air mineral dan satu strip obat. Bukan kesalahan kalau Tama meminta setia dan tak menginginkannya pergi kelak. Pun caranya mengikat Risa lebih erat, juga bukan sebuah kesalahan.

Tak akan ada yang menertawakan kalau ia mengandung bayi dari keturunan Baskoro. Bukan aib. Justru akan ada sambutan meriah dari keluarga besar. Tapi Risa ... masih belum siap. Belum siap segalanya, pun belum siap menjadi ibu dalam kondisinya saat ini.

Risa tak mau orang-orang memandang kasihan padanya. Pun ia benci pada tatap kasihan keluarga dan rekan-rekannya. Hal yang paling tidak disukai ketika Bude Sri menatapnya dengan raut nelangsa dan iba.

Bisik tetangga yang berkata, "Icha mujur, habis dikhianati, sekarang dapat direktur. Anak orang kaya dan terpandang. Tapi, apa kalian pada nggak curiga? Jangan-jangan saking sakit hatinya, dia asal terima lamaran. Cari pelarian? Balas dendam?"

"Bisa jadi karena umur dan telanjur dilangkahin adiknya to? Icha, kan, nggak lagi muda. Umur udah tiga puluh. Itulah, kalau udah pacaran jangan kelamaan. Mending langsung nikah aja dulu. Kelamaan jadi hambar, malah tergoda adiknya yang lebih muda!"

"Betul. Akhirnya asal terima lamaran orang. Yang penting mapan, tampan, dan dari keluarga terpandang. Urusan cinta, belakangan. Lagian menikah, kan, nggak melulu soal cinta. Sing penting akeh duite, ya, Buk, ya?"

Mereka tertawa-tawa.

Kesemua obrolan ibu-ibu di sekitar rumah Bude Sri, yang kadang tak sengaja Risa dengar saat acara lamaran dan akad kemarin. Lalu, tudingan Rama kembali terngiang-ngiang di telinga.

"Kamu lagi cari pelarian atau memang murahan? Berapa banyak yang laki-laki kaya itu kasih ke kamu, hah?"

Perempuan itu menggigit bibir sedikit kencang. Menyembunyikan gamang dengan berlama-lama di dalam kamar mandi. Ia menyisir rambut berantakannya dengan jemari. Kemudian, dengan sangat terpaksa dan kata maaf berkali-kali dalam hati, Risa membuka strip postinor. Ia tergesa menenggak sebutir pil kontrasepsi darurat itu dengan beberapa teguk air mineral dalam botol.

Ketika apa yang dilakukan usai, perempuan itu menatap wajah putus asa sekaligus bersalahnya di depan cermin. Ada riak bening di pelupuk yang menari-nari. Siap berjatuhan ke pipi. Namun, ia segera menghapusnya cepat-cepat.

**

"Kamu nggak apa di sini sendirian? Aku bisa minta Tina ke sini buat temenin kamu selama aku kerja. Biar aku cari ganti posisi Tina di kantor." Laki-laki itu berkata usai menelan kunyahan potongan daging ayam berbentuk dadu dan wortel.

Kening perempuan yang tengah membereskan piring kotor di atas kitchen sink itu berkerut samar. "Aku bukan Desi yang harus dititipin ke banyak orang, ya, Mas," tuturnya disusul tawa kecil.

Tama menyambut tawa isrtrinya dengan senyum tipis. Ia sempat meraih segelas air putih di sisi kanan mangkuk sup ayamnya yang sudah kosong. "Aku takut kamu bosan sendirian di sini."

Risa mengacungkan satu telunjuk, menggerakkan ke kiri dan kanan. "Nggak. Justru aku sesekali suka sendirian begini. Aku udah biasa kerja, bawa rombongan wisata ramai-ramai. Jadi, kadang aku kangen juga menyendiri."

Laki-laki berkaus putih itu mengangguk-angguk paham. "Kamu nggak ada rencana kerja lagi, Sa? Atau buka usaha sendiri misal?"

Risa terdiam sejenak setelah mengelap tangan basahnya pada kain di meja. Ia menggeleng. "Sementara ini aku boleh di rumah aja nggak, sih? Masih ada tabungan di rekening juga. Aku pikirin kerja lagi entar kalau--aduh!"

Perempuan itu memejam sembari mendesis marah, ketika suaminya meraih wallet organizer di meja bar--yang entah berisi apa--lalu memukulkan benda itu pelan ke keningnya.

"Buat kamu. Kamu nggak harus susah-susah mikirin kebutuhan pribadi kamu dan rumah tangga kita, karena itu semua jadi tanggung jawabku sekarang," terang Tama seraya mengangkat kembali air minumnya yang tersisa separuh.

Risa menarik kursi, duduk di sisi Tama. Ia tampak meneliti isi dompet. Ada beberapa kartu di sana, termasuk kartu debit dan kredit. Namun, telunjuk lentik yang menelusur kartu-kartu itu terhenti pada kartu keanggotaan klinik dokter kandungan.

"Ini ... kamu daftarinnya kapan?" Risa bertanya ragu.

"Oh, itu Mama yang daftarin, sih. Bisa pakai itu entar kalau kita mau periksa atau program kehamilan, kan? Mama bikinin itu setelah kita lamaran kemarin. Tapi kalau kamu nggak cocok sama doker pilihan Mama, kita bisa cari ganti yang lain, kok." Tama berkata terus terang.

Ada binar bahagia di manik kelam laki-laki itu saat membicarakannya. Binar yang kemudian membuat hati Risa mencelus tak berdaya dan semakin bersalah. Seharusnya ia bicara lebih dulu untuk memutuskan hal sepenting ini dengan suaminya, kan?

"Aku siap-siap ke kantor dulu." Tama bangkit dari kursi. Ia hampir melangkah begitu saja ketika Risa tiba-tiba mencekal ujung kausnya.

"Mas, bisa bicara sebentar?" pintanya dengan suara parau.

"Ya?" Laki-laki itu berbalik, menghadap perempuan yang masih duduk pada stool bar pantry.

Risa menghela napas panjang sebentar. "Aku ... maksudku, kita bisa menunda ... punya anak, nggak?" tanyanya hati-hati.

Raut bahagia itu meredup, berubah dengan tatapan datar tak mengerti.

"Bukannya aku nggak mau punya anak, Mas. Aku hanya mau ... menundanya untuk ... menikmati kebersamaan kita berdua saja dulu?" Risa bergerak-gerak gelisah. "Pelan-pelan saja, mungkin?" tawarnya sekali lagi.

Meski pada mulanya Tama terdiam dan hanya menatap dengan sejuta tanya, pada akhirnya ia mengangguk. Membuat Risa sedikit lebih lega.

"Aku siap-siap dulu, Sa. Maaf ... untuk yang semalam," pungkasnya sambil melepas cengkeraman tangan Risa pada ujung kaus, meremas lembut telapak itu sekali.

Meski ada senyum tipis di bibir suaminya, Risa justru merasakan ada luka dan kecewa dari tatap Tama. Perempuan itu belum sempat membalas remasan tangannya. Tama melepas begitu saja tanpa menunggu reaksi apa-apa dari Risa. Ia berlalu ke kamar.

Risa menatap punggung suaminya lekat-lekat. Lagi, kata maaf terucap berulang-ulang. Sebab ia tahu, laki-laki itu pasti akan kecewa ketika menemukan bungkus pil di laci kamar mandi yang isinya sisa sebutir.

**

"Palingan mereka dekat cuma sebentar. Soalnya, Tin, aku liat Icha itu belum ada rasa sama Pak Tama. Mungkin saja, kan, cuma pelarian?"

Suara kasak-kusuk Mbak Nunung terdengar. Tama bisa mendengar perempuan itu berbicara dengan intonasi menggebu meski ada deru mesin-mesin armada bus yang sedang dipanaskan. Laki-laki itu baru saja dari arah kantin, membawa secangkir kopi karena kantuk melanda di jam dua siang. Meski bisa saja ia minta Mamat untuk mengantar ke ruangannya, Tama memilih melakukannya sendiri. Bukan karena ia sedang tak mau merepotkan Mamat, laki-laki itu hanya sedang ingin membuang rasa gusarnya seharian ini.

Gusar karena menemukan bungkus obat berupa pil di laci kamae mandi dan isinya tersisa satu.

Mungkin mendengar cerita-cerita lucu Mamat bisa menghiburnya meski sejenak saja.

Sayang, sekembalinya dari kantin, slentingan Mbak Nunung malah semakin mengganggu pikiran.

"Mbak nggak ada cerita lain, selain gibahin orang? Lagian aku bisa liat Mbak Cha lebih  bahagia waktu sama Pak Tama, kok. Pak Tama juga kelihatan sayang dan perhatian sama Mbak Cha. Mbak Nunung nggak usah mengada-ada!" Tina menolak keras tudingan perempuan berusia lebih daei empat puluh tahun itu.

"Heleh, apa kamu nggak liat dari sorot mata Icha pas tatap muka sama Rama?!"

Tina menggebrakkan pena pada laporan wisata di atas pangkuannya. "Ora urus, Mbak! Ini tugas laporan Mbak Nunung udah kelar aku cek! Letakin ke meja Pak Tama sendiri. Aku juga sibuk!"

Gadis dengan setelan kemeja bergaris biru dan celana jins hitam itu bangkit. Namun, Tama yang sejak tadi bersandar di dinding dekat lorong masuk kantor itu segera mendekat. "Tin!" panggilnya.

Wajah Mbak Nunung mendadak pias ketika menemukan sosok Tama di sana. Namun, ia segera mengulas senyum di bibir bergincu merahnya. "Eh, Pak Tama! Tadi Desi ke sini, tapi lagi keluar sebentar mau beli bunga buat diletakin di ruangan Pak Tama."

Tina mendengkus pelan seraya membuang muka. Muak. Sementara Tama yang semula fokus pada gadis itu segera menoleh dan memberikan atensi jengkel ke arah perempuan tua yang baru bangkit dari bangku panjang area parkiran.

"Saya nggak tanya," sergahnya singkat. Tampak memukul telak Mbak Nunung sampai wajah piasnya kembali. "Tin, ke ruangan saya sebentar sama Mamat, ya?"

Belum mau menyerah Mbak Nunung menyentuh sanggul kecilnya dan bergerak menata perlahan rambut yang lolos dari ikatan, lalu berdeham. "Pak Tama suka wangi bunga apa? Biar saya telpon Desi untuk belikan yang sesuai kesukaan Pak Tama."

Tama mengembuskan napas jengkel alih-alih menanggapi anggukan Tina. "Saya nggak suka bunga!" desisnya marah.

Mbak Nunung menutup rapat bibirnya. Ia tersenyum canggung dengan wajah merah padam. Entah karena malu atau marah, Tama tak peduli.

"Tuh, ditolak mentah-mentah, kan? Makanya gosah terlalu percaya diri, Mbak!" Tina sama menggertak.

Meski Tama sudah berlalu menjauh, ia masih bisa mendengar suara marah gadis itu.

**

Tina:
Mbak!

Tina:
Aku sama Mamat nungguin Mbak Cha di lobi.

Tina:
Buruan turun, deh! Kita jalan-jalan. 😍

**

(08-05-2023)

====🏖🏖🏖====

Mulai dah kalau udah masuk konflik begini jadinya. Manisnya berasa ilang nggak, sih? 😭


Kudu kuat baca sampai mereka menemukan bahagia, ya? 😢


Jangan lupa vote dan komentar. Sampai jumpa di part 24. 🤗


Terima kasih. 🥰

====🏖🏖🏖====

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top