[21]. Pengganggu

Halo, halo! Nggak jadi publish malam-malam. Sekarang aja mumpung anak aku yang bontot lagi tidur. 🤭

Apa kabar dua hari nggak ketemu Mas Tama? Jantung masih aman?


Oke, mari lanjut! Happy reading. Jangan lupa vote dan 200 komentarnya. 😘

====🏖🏖🏖====




"Icha itu anaknya tegar, Mas. Nggak nangisan. Wong waktu bapak sama ibunya meninggal, dia juga cuma diem sambil gendongin Riana yang nangis terus."

Perempuan berkacamata itu masih melanjutkan cerita sambil mengaduk seduhan kopi. Tama sempat menghela napas panjang, lamat-lamat aroma kopi dan susu terhidu. Laki-laki itu tengah duduk di kursi tinggi dapur. Niatnya membuat kopi sendiri gagal, sebab Bude Sri yang ternyata belum terlelap pada pukul 12 malam keluar kamar--sekadar mengambil segelas air putih mulanya. Melihat Tama yang sibuk membuka bungkus kopi instan membuatnya cekatan mengambil alih.

"Sampai saat ini, Bude masih harus meraba-raba kalau mau tahu gimana kondisi Icha. Semoga sama kamu dia lebih terbuka. Bude seneng sekarang Icha punya teman berbagi." Perempuan berdaster hijau tua itu menggeser kopi ke hadapan Tama. Ia mendongak, mengulas senyum sejenak sebelum beralih mengambil gelas kosong di sisi rak piring.

Tama sama mengulas senyum, lalu menggumamkan kata terima kasih. Meski sebenarnya laki-laki berkaus merah hati itu sedikit tak setuju dengan pendapat Bude Sri bahwa Risa bukan tipe perempuan nangisan alias cengeng, ia tetap tak berani bicara banyak. Sebab yang Tama tahu, Risa-nya teramat cengeng sejak di awal pertemuan mereka di Bali. Kedua bahu Tama berani bersaksi--kalau bisa bicara--karena di bahunya, entah sudah berapa kali perempuan itu menangis. Iya, kan?

"Mau camilan juga? Ada kue kering di lemari atau apel di kulkas, mau?" Bude Sri menawarkan sebelum berlalu.

"Nggak, Bude. Ini cukup. Saya bawa ke kamar, ya?"

Perempuan tua itu mengangguk dan berlalu membawa segelas air putihnya. Tama mendesah panjang, meraih sendok kecil di atas tatakan, mengaduk kopi sekali lagi sebelum beranjak ke kamar.

Ia dan Risa memang belum tidur. Sibuk membicarakan banyak hal setelah penawaran sejak kemarin malam berhasil menemukan kesepakatan. Kesepakatan yang membuat perempuan itu setengah mengeluh karena harus mandi tengah malam. Tama bahkan sempat terbahak ketika mendengar Risa beralasan, "Aku nggak bawa hairdryer, Mas. Nggak lucu kalau pagi-pagi pas sarapan bareng Bude rambut aku basah karena harus keramas dulu!"

Gara-gara acara mandi tengah malam, perempuan itu berlanjut mengeluh kedinginan. Itu sebab Tama mengalah tengah malam pergi ke dapur demi membuatkan minuman hangat. Meski sebelum beranjak ke dapur Risa sempat memukul punggungnya dengan bantal sebab ia berceletuk, "Di apartemenku ada hairdryer, berarti boleh kapan aja, Sa?"

"Ya, nggak gitu juga konsepnya! Sesuaikan sama situasi dan kondisilah, Mas!"

Berdebat dengan perempuan itu memang menyenangkan, lucu, dan menggemaskan. Laki-laki yang berjalan melewati lorong menuju ruang tengah sembari membawa secangkir kopi itu mengulum senyum mengingat debat kusir bersama Risa.

Tepat ketika Tama sampai di ruang tengah, ia berpapasan dengan Rama yang baru saja masuk dari pintu samping. Ada sebungkus rokok dan korek api di genggaman suami Riana. Mungkin laki-laki itu tak bisa tidur, menyendiri di teras samping sembari menghabiskan berbatang-batang nikotin.

Langkah Rama terhenti sejenak, tapi Tama merasa tak perlu ikut terbengong di tengah ruangan yang senyap itu. Ia memilih tetap melangkah ke depan kamar, mengetuk beberapa kali daun pintu sebelum Risa menyahut, dan memutar anak kunci.

Dari ujung mata, Tama tahu Rama sempat membuang muka dan mendengkus kesal.

**

Secangkir kopi sudah habis. Laki-laki yang sejak tadi menemaninya mengobrol ini itu bahkan sudah mendengkur halus. Namun, pada pukul dua pagi, kelopak matanya masih saja terbuka lebar. Meski peluk hangat di pinggang masih teras hangat, tatap kosong Risa tetap tertuju ke arah dinding kamar sebelah.

Mereka juga sudah tidurkah? Lelapkah? Tenangkah? Atau sama gusar dan menatap ke dinding kamar sebelah?

Ide memenuhi keinginan Bude menginap sungguh buruk. Risa mendesah pelan, berusaha berbalik, balas memeluk, mencari kenyamanan dalam dekap laki-laki di sisinya. Barang kali kenyamanan itu bisa membawanya lelap meski sekejap. Hingga beberapa saat kemudian, Risa gusar sendiri karena merasa waktu berjalan terlalu lambat. Suara detik jam dinding di kamar saja seperti sedang mentertawakannya terus menerus.

Merasa perlu menetralisir pikirannya yang tak keruan, ia menyingkap selimut. Bangkit dan menurunkan dua kaki ke lantai sembari mengusap wajah kasar. Mungkin segelas air dingin bisa mendinginkan kepalanya yang mulai berpikir tidak-tidak. Diraihnya kemeja kusut Tama yang teronggok di tepi ranjang. Ia kenakan untuk menutupi tubuh berbalut kaus longgar tipisnya. Tak ada rencana menginap hingga Risa terpaksa mengenakan baju lamanya yang dulu tersimpan di lemari kamar ini. Sementara Tama terselamatkan karena laki-laki itu hampir setiap hari siap sedia baju ganti di mobil sejak .... Risa mengingat-ingat. Oh, sejak sang direktur gemar menyambangi kontrakannya. Perempuan itu mencebik rusuh, mengulurkan satu tangannya untuk mengusap rambut berantakan Tama pelan-pelan.

Langkah jenjang perempuan yang mengenakan celana panjang bermotif batik itu menuju dapur. Ia sempat menutup pintu kamar lagi perlahan, berharap tak mengganggu tidur Tama yang terlihat lelap.

Dapur memang tak jauh dari kamarnya. Hanya melewati ruang tengah yang diisi kursi sudut dari kayu jati dan televisi layar datar di atas bufet, serta hiasan wayang kulit yang tergantung sepanjang dinding di lorong menuju dapur. Lampu utama mati, hanya ada sorot lampu tempel di dinding dekat pintu kamar.

Risa mengembuskan napas kasar. Satu tangannya hampir membuka pintu kulkas. Namun, urung ketika dua lengan itu mengurungnya. Ia berjingkat dan berbalik. Ada dingin yang menyergap punggung ketika pintu kulkas berbahan metal itu tersentuh. Namun, hangat napas seseorang di hadapannya begitu kontras.

"Belum bisa tidur nyenyak?" Senyum sinis Rama tercetak jelas di bibirnya.

Risa semakin merapatkan diri ke kulkas. Satu tangannya menggapai-gapai ke sisi, mencari celah bergerak menjauh, sedangkan tangan satunya bergerak merapatkan kemeja di bagian dada. Degup di dada teramat mengganggu. Gelenyar darah memacu lebih cepat, membawa efek panas, dan remang di tubuh saat laki-laki bertelanjang dada itu semakin merunduk.

"Oh, apa karena masih teringat malam pernikahan adikmu, Cha? Kamu ... yang setengah telanjang cukup seksi malam itu," bisiknya diiringi tawa lirih.

Dan ketika tangan yang terus menggapai ke arah samping menemukan pisau buah di atas tumpukan apel di meja dekat lemari pendingin, dengan tangan gemetar Risa menodong. "Jangan mendekat!"

Dua tangan Rama segera terangkat dan berjalan mundur selangkah untuk menjauh. "Wow, aku suka kamu yang begini," gumamnya berhias senyum tipis nan sinis. "Tapi ngomong-ngomomg, malam itu seharusnya bisa semakin panas kalau saja adikmu tak mengetuk pintu, kan?"

"Beruntung aku masih punya pikiran waras dan nggak ikut gila seperti kalian!" Risa masih menodongkan mata pisau ke arah Rama.

"Ya, tentu! Itu sebab kamu langsung melarikan diri ke Bali selama tujuh hari." Laki-laki itu masih bicara dengan nada penuh penekanan. Risa bisa melihat kilat sakit hati di matanya. Ada marah yang tergambar melalui matanya yang memerah seperti menahan tangis. "Kenapa? Sakit hati atau cari pelarian sejenak? Malam pernikahanku dan Riana buktinya, Cha. Kamu mencintaiku. Atau lebih tepatnya, kita masih sama-sama saling mencintai. Jadi, kenapa harus kamu melakukan balas dendam segila ini, hah? Menikah dengan laki-laki lain? Masuk ke kamar berdua dengan laki-laki lain di depan mataku? Apa lagi? Apa lagi rencanamu untuk menghukumku?"

Risa bergerak-gerak gelisah, tapi benda tajam yang berkilau karena terpaan sinar lampu itu masih ia acungkan dengan tangannya yang berkeringat dingin. "Nggak ada balas dendam. Aku cuma mau kamu berhenti. Berhenti mencari dan memintaku kembali. Icha yang kamu kenal ... sudah mati."

Rama tertawa getir. "Pendusta ...," cibirnya.

"Ini kenyataan!" Tanpa sadar, perempuan itu menahan pekikan kencangnya dengan mengetatkan geligi. "Kamu sudah menikah, pun sebaliknya, aku juga sudah menjadi istri sah laki-laki lain. Jadi berhenti berpikiran konyol untuk membujukku kembali. Kita sudah berakhir ...."

Tangan kanan Risa yang mengacungkan pisau buah itu luruh ke samping badan. Bahunya terkulai lemah, merapuh dengan tatap meredup memandangi laki-laki yang masih berkeras hati memintanya kembali. "Let me go. Please .... Biarkan aku mencari kebahagiaanku sendiri."

"Cha ...," panggilnya dengan suara lemah penuh permohonan.

Risa menggeleng keras dengan tatapan tegas. Perempuan itu gegas meletakkan pisau kembali ke meja dan berjalan cepat meninggalkan Rama. Dalam cahaya remang, kakinya mantap melangkah menjauh dengan dua tangan saling bertautan dan sesekali mencari keberadaan cincin pernikahan yang tersemat di jari manis.

Jangan berpaling! Kamu nggak harus mengkhianati janji pernikahan untuk kembali bahagia! Batinnya terus meyakinkan diri.

Namun, langkahnya terhenti begitu ia sampai di ruang tengah. Ia menemukan Riana-nya yang manis. Berdiri cemas di depan pintu kamar mereka yang bersebelahan. Riana menggigit bibir, mata bulatnya kembali mengilatkan titik-titik bening, menahan tangis. Mungkin ia tak sengaja menguping pembicaraan.

Sayangnya, Risa sudah terlalu enggan bicara banyak lagi. Ia berniat tetap berlalu, meraih kenop pintu kamar, tapi berdiam sejenak. "Suamimu di dapur. Aku nggak peduli dengan semua kemauannya. Nggak ada urusan," pungkasnya seraya membenarkan sisi kemeja Tama yang ia kenakan. Kalaupun Riana cemburu dan berpikir yang tidak-tidak, perempuan itu tak peduli.

Risa memutar kenop, masuk ke kamar sembari membanting daun pintu sedikit keras.

**

(01-05-2023)

====🏖🏖🏖====

Wah, ada apa di malam pernikahan Rama dan Riana dulu? Adakah Rama saking putus asanya sampai mau melakukan tindak asusila ke kakak iparnya? 😱

Dari awal, kan, emang si Rama udah agak-agak gimana gelagatnya, ya? Jadi gosah kaget. 😳

Habis ini, mau ke KK bentar, nggak? Intip-intip hidden part lagi? 🤭

Kasih vote 400 sama 200 komentar dulu, dong, biar aku punya bensin buat ledakin semangat nulis part selanjutnya. 😍

Terima kasih. Semoga rezeki kalian lancar dan sehat selalu. Aamiin. 🤗🥰

====🏖🏖🏖====

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top