Haiiii! Terima kasih buat 500 vote dalam sehari dan 200 komentarnya. 😍😍
Ternyata pada nggak sabar mau kondangan, ya? 😆
Oke, mari kita saksikan akad mereka dulu. Kondangannya entar pas Ndoro Agung udah nyiapin WO yang pas. 🤭
Ayok, ledakin komentar dulu biar ramai!
💣💣💣💣💣💣💣💣
Happy reading. Jangan lupa vote, ya, biar aku semangat nulis terus. 😘
====🏖🏖🏖====
"Saya terima nikah dan kawinnya, Marisa Yanuar ...."
Suara tegas laki-laki di sisinya terdengar samar dalam diri yang terus bergelut dengan perasaan tak keruan. Walau siang tadi ia merasa yakin ingin segera menikah, tiba-tiba saja ragu mulai hadir kembali saat tengah duduk berdampingan di depan meja akad. Kadang ia bisa ragu seperti ini setiap kali bertemu muka dengan masa lalunya. Tapi kadang mendadak tak rela saat Tama bergerak menjauh tanpa kata, atau bahkan hanya sekadar mendiamkannya seperti saat memandu wisata di Bali saat yang lalu. Ia juga bisa kesal saat perempuan lain mencoba menerobos masuk ke dalam hidup Tama seperti Desi.
Namun, malam ini, gamang itu terus datang bertubi-tubi, menggerogoti lagi keyakinan perempuan yang tengah duduk cemas di depan meja akad. Bukan sehari dua hari ia memikirkan keputusanya menerima ajakan menikah putra sulung Baskoro. Berhari-hari.
Risa sadar diri, ia bukan apa-apa disandingkan dengan Tama. Laki-laki yang sedang duduk bersimpuh di sisinya punya segalanya. Harta, tahta, dan dikelilingi keluarga hangat serta penuh kasih sayang. Sementara Risa tak punya apa-apa dan tak bisa menjanjikan apa-apa di tengah hatinya yang tengah remuk redam karena pengkhianatan. Ia hanya punya dirinya, tubuhnya. Dan jika itu bisa menjadi jaminan laki-laki itu bahagia memiliki perempuan merana sepertinya, akan Risa berikan. Jika hanya itu yang bisa membuat Tama tak berpaling, Risa pun rela berserah.
Terkesan murahan, tapi sungguh perempuan yang kali ini tertunduk dengan dua tangan mengepal berkeringat dingin itu, tak punya pilihan. Sebab hanya dengan cara ini ia bisa melarikan diri dari kejaran masa lalu dan menyelamatkan rumah tangga adiknya.
Semua sudah jelas. Jelas sekali saat pagi tadi--sebelum berangkat ke kantor menyerahkan surat pengunduran diri--Risa nekat mendatangi Riana yang sudah bersiap pergi entah ke mana sendirian. Mungkin ke arah kampus.
Meski hujan rintik masih turun, ia menunggu di dekat gardu. Memperhatikan rumah berpilar besar itu dengan saksama. Menunggu perempuan berlesung pipi yang manis itu keluar membawa payung kuning kesayangannya.
Langkahnya terhenti ketika Risa muncul dari sebalik gardu kawasan perumahan. Kelopak matanya melebar, terkejut menyadari sosok perempuan ber-jumper putih yang penutup kepalanya mulai kuyu karena basah.
Tanpa kata, Riana paham bahwa sang kakak ingin mengajak bicara. Sebab akhir-akhir ini, Risa lebih banyak lari dan tak mau bersua meski hanya sebentar saja.
"Katakan yang sebenarnya terjadi. Aku siap menerima apa pun kebenarannya," ujar perempuan bertudung jaket lembap karena basah. Ia sempat menurunkan penutup kepala itu, menggenggam cangkir kopi hangat di meja. Ajakan mangkir di kafe terdekat ia terima demi bicara.
Gadis berbandana merah itu tertunduk dalam. Bibir merahnya bergetar, sepertinya ragu berkata-kata. Namun, pada akhirnya, ia mengaku, "Maaf, tapi aku nggak punya pilihan."
Ada sakit yang mencekik leher dan menekan ulu hati. Sang kakak terdiam cukup lama, masih belum mengerti dan tak habis pikir dengan jalan pikiran Riana. "Dari sekian banyak laki-laki di dunia ini, kenapa harus Rama? Kenapa harus dia?" Risa menuntut penjelasan lebih.
Dua tangan Riana mengepal di atas meja, masih bungkam, tak mau bersuara.
"Aku nggak akan tanya berapa dan siapa saja laki-laki yang pernah berhubungan denganmu, Ri. Itu hakmu. Kamu berhak atas tubuhmu sendiri, itu benar. Dan aku nggak berhak mengatur semua tentangmu, juga aku terima. Tapi kenapa harus Rama?" Riak-riak di pelupuk mata kembali tampak. Ia mendongak, menatap apa saja di langit-langit kafe bergaya industrial itu, untuk menahan sesak dan tangis yang siap tumpah. Risa menghela napas panjang.
"Bukankah Mbak Icha udah dapat pengganti Mas Rama yang lebih baik? Kata Bude, Mas Tama tampan, mapan, punya jabatan, pantas bersanding denganmu yang selalu diagungkan banyak orang?"
"Ini bukan tentang siapa pengganti Rama! Ini tentang hubungan kita sebagai saudara sedarah! Tentang siapa laki-laki yang kamu pilih untuk menutupi kesalahanmu, Ri!" Risa menekan suara, tak ingin mencuri perhatian orang-orang yang berlalu-lalang.
Riana mendongak. "Sekali lagi ... maaf, Mbak. Aku ... nggak punya pilihan. Aku mohon, cepatlah menikah. Aku ... nggak mau kehilangan Mas Rama." Tatapnya berubah sayu. Ada genangan titik bening di sudut mata yang mulai mengilat basah. "Aku takut, Mbak. Maaf ...."
Risa membuang muka seraya mengembuskan napas gusar. Ia menyusut hidung sejenak dan gegas menghapus sudut matanya yang basah. "Tega kamu, Ri."
Ia bangkit segera. Meninggalkan minuman hitam pekat yang masih mengepulkan uap hangat. Meninggalkan adiknya yang tergugu sendiri penuh permohonan. Semua memang sudah tak bisa diselamatkan. Harga diri adiknya, pun harga dirinya sebagai kakak yang gagal menggantikan posisi kedua orang tua yang telah tiada. Ya, ia telah gagal dalam segala hal.
**
Perempuan di sisinya melamun lagi dan Tama berusaha menyentuhkan telapak tangan ke atas punggung tangannya. Sentuhan itu sontak membuat Risa berjingkat, menoleh sejenak, dan memberi seulas senyum kaku. Perempuan itu sempat mengerjap begitu seruan kata sah terdengar dari hadirin di balai-balai bergaya joglo milik Pakde Yatno dan Bude Sri. Ia bahkan terlihat linglung saat Tama menyematkan cincin perkawinan mereka di jari manis tangan kanannya.
Belum ada pesta pernikahan yang mewah. Hanya akad sederhana yang dihadiri keluarga dan tetangga. Meski Tama terus resah dan takut Risa-nya tiba-tiba berubah pikiran--sebab sejak duduk di depan meja akad, perempuan itu terus terlihat diam tanpa kata, seperti sedang menyimpan gelisah sendiri--semua melegakan setelah hubungan keduanya resmi menikah.
"Kamu sakit?" bisik Tama usai berkeliling menyalami keluarga dan semua tamu.
Lagi, kelopak berbulu mata lentik itu mengerjap. "Nggak, kok. Cuma agak capek sama kedinginan aja. Seharian ini mendung, ya? Terik bentar pas siang di kantor tadi, terus mendung lagi." Risa mendadak menilik ke arah luar.
Memang benar. Seharian ini mendung. "Mau aku ambilin minum?" Tama menawarkan diri.
Risa menggeleng. "Malam ini nggak apa tidur di sini? Bude minta kita tidur di sini dulu tadi." Ia mengalihkan pembicaraan lagi.
"Nggak masalah. Aku di mana aja bisa sejak kerja di agen wisata. Di mobil sama bus aja bisa tidur. Asal ...," laki-laki berjas putih itu menjeda kalimatnya, "ada kamu."
Risa spontan berpaling, menyembunyikan dua pipi memerahnya sembari berujar, "Nggak mempan!" Namun, tak urung ia mengulum senyum dan segera menjauhkan tubuh Tama dengan mendorong lengan kirinya ke kanan. "Jauh-jauh sana! Tukang tawar!"
Tama tergelak. "Kamu sendiri yang berubah pikiran, lho, Sa."
Obrolan keduanya terjeda. Rima mendekat, membawakan dua gelas teh hangat. Perempuan bergaun putih tanpa lengan di sisi Tama itu segera menerima uluran minuman hangat dari ibu mertuanya.
"Minum dulu, Sa. Kamu dari tadi Mama liat tegang banget, lho. Kalau capek bilang, ya?" Perempuan berkebaya modern warna salem itu menatap cemas.
"Mama kepikiran omongan Pita yang di grup keluarga?" Tama menyela.
Rima sontak mendelik ke arah putranya. "Ya, gimana nggak kepikiran?! Kamu seharian nempel melulu ke Risa!"
Laki-laki itu hanya meringis, sementara Risa menatap bingung.
"Pita ngomongin apa memang?" tanyanya setelah Rima berlalu ke arah Baskoro.
"Hah?" Tama menoleh, menyesap sekali teh manis hangatnya sebelum memfokuskan atensi kembali setelah mendengar sang ibu marah-marah dengan suara pelan, tapi matanya mendelik-delik.
Untung bola mata indah Ndoro Agung nggak copot! Kurang ajar sekali gumaman batin putra sulung Rima. Tapi Tama yakin Pita dan Mara akan tertawa terpingkal-pingkal kalau mendengar gumaman batinnya ini.
"Pita ada ngomongin apa?" Risa mengulang pertanyaan.
Tama tersenyum tipis. "Oh, itu ...." Ia menduduk, mendekat ke telinga sang puan sebelum sempat-sempatnya mencuri satu ciuman singkat ke bahu terbuka istrinya. Tak begitu kentara sebab Risa masih berada di dekat dinding dan Tama membelakangi orang-orang yang tengah sibuk mengobrol dan menikmati hidangan makan malam. Lalu ia berbisik, "Mereka curiga kamu positif duluan."
Risa hampir berjengit ketika merasakan satu kecupan singkat di bahunya. Namun, kata positif menahan tubuh dan pikirannya untuk mencerna maksud lebih dalam. "Positif?"
"Yaa ... itu. Memang positif yang gimana lagi yang berkaitan sama dua orang yang aktif dan produktif di atas ranjang?" Santai, laki-laki itu menggeser kursi ke dekat Risa, kemudian duduk takzim menikmati teh.
Sampai akhirnya, mungkin tiga detik kemudian, tubuh Risa menegang dan satu tangan bebasnya cepat melayangkan tamparan ke punggung Tama. "Mas, ih! Masa, sih?! Yang bener?! Memang kamu seterus terang itu sama hubungan kita di depan keluarga?!"
"Lah, emang mau bilang apa lagi pas kita keciduk di vila? Main ular tangga semalaman? Main catur? Atau main lompat tali di atas kasur?" Tama mengeratkan pegangan pada gelas, takut tumpah setelah pukulan telapak Risa mendarat ke punggungnya. "Sakit, Yang. Pelan-pelan aja bisa nggak, sih? Simpan energi sebelum ngajak perang," gumamnya dengan raut gusar.
"Astaga, malu ...." Risa memberengut. Tak menyangka kekasihnya seterus terang dan seterbuka itu dengan keluarga terutama pada ibunya.
Tama tersenyum tipis. Ia mengulurkan telapak tangan, mendaratkan usapan hangat ke puncak kepala perempuan bergaun putih yang panjangnya mencapai bawah lutut. Malam ini, walaupun Tama melihat sorot kegamangan Risa di tatap matanya, ia bisa melihat perempuan itu tetap menawan. Cantik. Entah bagaimana Pita dan Mara mendandani pengantin wanitanya malam ini.
Tak sempat fitting baju. Gaun yang Risa pakai adalah gaun yang kata Pita dibeli dari pengusaha bridal salon kenalan Dimas--suaminya--sore tadi. Mara juga cukup cekatan menemani Risa dirias tipis, mengarahkan konsep sederhana yang terkesan dadakan. Meski demikian, semuanya terlihat sempurna. Sempurna sebab Marisa tetap cantik dengan make up natural dan apa adanya.
"Nggak usah dipikirin. Yang penting Mama suka sama kamu. Dia siap menerima kamu apa adanya buat jadi menantu. Itu aja udah cukup, kan?" Tama memindahkan gelas teh ke tangan Risa. "Minum, Sa. Aku tahu kamu sedang nggak baik-baik aja. Nanti kita bicara. Berdua."
Perempuan itu tercenung sejenak, menatap suami dan gelas hangat yang berpindah ke genggamannya secara bergantian. Sampai akhirnya, Risa pasrah dan tersenyum meminta permakluman. "Terima kasih," gumamnya lirih.
Tama mengangguk berhias senyum. Ia menghela napas panjang seraya bersandar pada punggung kursi. Manik kelamnya menelisik seisi teras. Lalu, ketika tatap tegas laki-laki itu menemukan sosok Rama, ia tertetegun sejenak.
Laki-laki dari masa lalu istrinya itu tampak sedang terdiam. Meski Riana ada di sisi, tatap lekat Rama tak lantas berpaling dari perempuan di sisi Tama. Saking lekatnya, Tama merasa risi dan tak suka. Apa yang dilihat lekat laki-laki itu jelas bukan haknya lagi dan Tama merasa terganggu. Sangat terganggu.
Kemudian, panggilan Bude Sri menyelamatkannya dari rasa gusar. "Ayo, kalian berdua kalau capek, boleh istirahat dulu di kamar. Bude udah siapin kamarnya. Icha, ajak suamimu istirahat, Nduk!"
**
(28-04-2023)
====🏖🏖🏖====
Nah, udah mulai mau nanjak dari sini, ya, konfliknya. Bakalan ada singgungan dan gesekan keras di antara rumah tangga Risa-Tama dan Riana-Rama. Tolong pegangan, takut jatuh pas nanjak. 😆
Ah, apa pun, yang penting mereka berdua udah sah!
Mau dikasih yang manis dan hawt dulu nggak nih, sebelum nanjak? Kali aja kalian mau diajakin berhalu gimana Mas Tama yang maksa ajakin bulan madu padahal resepsi aja belum. 🤣
Kalau banyak yang mau, entar aku bikinin abis satu part lagi setelah ini, ya. Harap bersabar. 🤭
Jangan lupa vote. Terima kasih. 😘
====🏖🏖🏖====
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top