[2]. Jangan Kabur!

Hai, apa kabar?

Masih semangat nungguin Mas Tama ngejar Mbak Cha? 🥳

Happy reading!

Vote dulu sama kirim 💞💞💞 buat Mas Tama dan Mbak Cha, dong. 🤭

===🏖🏖🏖===




Icha's Daily Planner:




**

"Bakalan ada pergantian direktur. Do you know, Mbak Cha?"

Suara Tina--gadis berambut ikal--membuyarkan konsentrasi Marisa. "Masa? Kok, tiba-tiba gini?"

Gadis berbehel itu meringis seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Kemarin aku lupa kasih tahu Mbak Cha waktu telpon tanya ada kejadian apa aja di kantor selama cuti."

Marisa memutar bola mata dan menggeram kesal. "Udah aku bilang apa-apa jangan dadakan, Tina ...."

"Pagi ...." Sapaan serupa gumaman itu melintas di depan meja Marisa dan Tina yang bersebelahan.

Pria berkemeja kotak-kotak berpadu jins biru tua itu baru saja tiba. Mendengar sapaan itu, Tina menggangguk berhias senyum tipis. Sementara Marisa hanya membalasnya dengan embusan napas tak kentara.

Ia duduk di kubikel paling ujung--yang entah kapan dipindah, tapi Marisa merasa beruntung. Dengan begitu, ia tak perlu repot-repot merasa tak nyaman dan mendadak canggung duduk bersebelahan dengan suami Mariana.

"Suka kesel kalau inget dia masih di sini. Harusnya dia yang minggat, Mbak. Bukannya Mbak Cha!" bisik Tina seraya melirik sinis ke arah meja di mana pria itu berada.

"Ck, nggak usah ngomong ngawur! Urusan pribadi nggak boleh dibawa sampe kantor, Tin." Marisa menghindari pembicaraan dengan menyibukkan diri menatap layar komputer di hadapan.

Ia sibuk membuat jadwal wisata klien. Semua pekerjaan harus selesai setidaknya sampai jatah tiga kali menjadi tour leader selama bulan ini terpenuhi. Marisa ingin beristirahat. Berhenti bekerja sampai lupa waktu. Ia ingin bersantai dan mulai mewujudkan mimpi-mimpinya sendiri. Tak lagi memikirkan orang lain.

"Kalau Mbak Cha resign, aku pasti bakal kesepian di sini. Entar nggak ada yang ngomelin aku tiap hari. Mbak nggak kangen ngomelin aku?" Tina kembali membujuk dengan suara berbisik.

"Heleh, emang kamu kalau diomelin mau denger? Diomelin juga paling dimasukin telinga kanan, terus keluar telinga kiri."

"Mbak Cha ...."

"Hm?" Marisa hanya berdeham seraya membenarkan letak kacamata bacanya di pangkal hidung.

Namun, beberapa detik ia tunggu, gadis bertubuh mungil di sisinya tak bersuara. Gadis berisi ini hanya baru tenang ketika ada sesuatu yang mengejutkan, menonton drama Korea, dan pria tampan lewat. Kali ini, mungkin yang ketiga mungkin benar. Sebab ketika Marisa menoleh ke padanya, Tina tampak sedang terpana dengan tatapan berbinar cerah dan dua tangan yang saling meremas di depan dada karena gemas.

Tina menatap ke arah sekat kaca antara lorong dan ruang kerja. Pak Agus--direktur tempat Marisa dan Tina bekerja--tampak berjalan santai dengan setelan jas cokelat tuanya. Bukan laki-laki berperut tambun itu yang menjadi tatap mata Tina tampak terhipnotis. Lagi pula, direktur mereka yang sudah memimpin selama lima tahun ini tak setampan itu.

Tepat di sisi pria itu, sosok itu berjalan dengan satu tangan tersimpan di saku celana slim fit hitam senada dengan jas yang dikenakan. Sesekali, laki-laki itu--yang mungkin usianya sekitar tiga puluhan--tersenyum tipis ketika Pak Agus tertawa kencang dengan lelucon yang ia buat sendiri.

Dua kelopak mata Marisa mengerjap. Ia seperti sedang merasa dejavu pada tatap dan senyum pria itu. "Kayak pernah liat," gumamnya.

Lalu, ketika manik Marisa menatap tali biru dalam genggaman tangan kanan pria yang sedang berjalan bersisian dengan Pak Agus, ia spontan membelalak. "Ya, Tuhan!"

Lagi. Jantungnya berdebar-debar tak keruan. Ingatan tentang malam penuh peluh dan gelenyar panas itu berkelebatan bersamaan gerak panik mencari tempat persembunyian. Kolong meja rasanya terlalu mencolok kalau dipaksakan sebagai tempat melarikan diri. Pura-pura sibuk pun terlalu kentara di ruang selonggar ini.

Marisa mulai belingsatan bak cacing ke panasan. Semakin tak keruan ketika manik kelam yang pernah melucuti setiap jengkal tubuhnya di bawah temaran sinar lampu tidur itu tepat mengunci penglihatan ketika menemukan Marisa.

"Kabur!" gumam Marisa cepat. Ia bangkit tak melihat kanan kiri.

Wanita yang tiba-tiba kalang kabut itu berdiri tepat ketika seorang penjaga kantin membawa nampan berisi cangkir-cangkit kopi dan teh mendekat ke mejanya‐-agenda rutin tiap pagi di kantor selalu ada minuman hangat di meja.

"Aduh, biyung! Tumpah!" pekik pria tua berpeci dengan seragam biru tua itu.

Marisa sigap mengangkat dua tangan ke udara, menunduk, lalu meratapi kemeja putihnya yang basah di bagian pundak dan dada. Sialnya, pakaian yang basah itu tak cukup mampu menutup dalaman berenda di baliknya.

"Ya, ampun, Mbak Cha!" Tina memekik kaget.

**

Gadis itu duduk gelisah sembari merapatkan jas hitam milik Tama di bagian dada. Ia belum bersuara, hanya sesekali menggigit bibir tanpa mau bersusah payah menatap keberadaan Tama.

Keduanya duduk di meja kantin paling pojok. Bukan tempat mewah. Sebab nyatanya, kantor agen perjalanan wisata ini bukan perusahaan besar seperti dalam bayangan Tama sebelumnya. Sebagian besar klien yang menggunakan jasa agen tempat Marisa bekerja adalah orang-orang dari kalangan menengah. Lebih sering bekerja sama dengan sekolah-sekolah untuk mengurus studi wisata. Sesekali saja ada klien dari kedinasan yang secara pribadi ingin pergi tour ke Bali, Singapura, Thailan, atau Malaysia.

Lupakan perkara kondisi kantor tempat gadis di hadapan Tama bekerja. Tak penting. Toh niatan laki-laki itu jauh-jauh mengambil alih jabatan direktur agen travel di Jogja ini bukan untuk benar-benar mau menetap di sini. Ia mau gadis di hadapannya. Marisa Yanuar. Si Tour Leader paling dibanggakan atasan dan paling bisa diandalkan. Katanya.

Tama menghela napas panjang. Bersamaan dengan embusan napas selanjutnya, ia mendorong kartu identitas Marisa. "Jatuh di dekat sofa. Dan ini ...." Tama meraih paper bag di kursi kosong sebelahnya dan meletakkannya di atas meja. "Tertinggal di lantai pantry. Kamu bawa kabur kemeja saya pagi itu."

Wajah gadis itu mendadak memerah. Ia menunduk kemudian menyembunyikan diri di atas lipatan kedua tangan. "Bapak ... bisa lupakan saja kejadian malam itu?" katanya setelah kembali mengangkat wajah putus asa bercampur malu.

Dua alis Tama terangkat. "Melupakan?"

Marisa mengangguk-angguk dan Tama berdecak frustrasi.

"Saya stres seminggu penuh nyariin kamu di seluruh penjuru Seminyak, Bali. Tiap malam selalu kebangun karena kejadian malam itu selalu kebawa mimpi dan bikin saya susah tidur lagi. Kerjaan saya jadi berantakan karena kurang tidur. Jauh-jauh sampai ke sini dan kamu cuma bilang ... lupakan?" Rahang Tama mengeras. Ada tatap tak terima dengan keputusan sepihak dari Marisa sementara ia belum mengatakan apa pun.

"Memangnya harus gimana lagi? Saya nggak akan memberatkan langkah Bapak. Lupakan saja, anggap nggak pernah kejadian. Saya tetap dengan hidup saya dan Bapak dengan hidup Bapak. Saya ...."

"Gimana bisa kamu seenteng itu bilang lupakan?" Tama memotong pembicaraan.

"Ya, memangnya ada jalan lain? Udah telanjur ...." Marisa menatap nelangsa.

"Tapi saya nggak bisa lupa begitu aja, Risa. Gimana saya bisa hidup dengan tenang tanpa beban?

"Ya, nggak usah jadi beban. Kita sama-sama lupakan. Saya janji nggak bakal minta pertanggungjawaban. Lagi pula saya ...," Marisa menjeda kalimat dengan pandangan mengedar lalu menunduk dan memelankan suara, "nggak hamil."

Ia menghela napas lega sembari kembali menyandarkan punggung ke kursi. Agaknya perempuan itu berpikir masalah selesai ketika sudah berhasil memberikan kabar itu pada Tama.

Tama mengembuskan napas kasar. Ia mencondongkan tubuh ke depan, menatap dalam pada iris hitam Marisa yang mendadak menciut. "I'm the only one who's ever slept with you."

Marisa tertunduk lagi, menggigit bibir, dan tubuhnya bergerak-gerak resah.

"You're virgin, aren't you?"

Telak. Sebab yang pertama sudah pasti akan sulit dilupakan begitu saja. Terbukti, detik berikutnya, dua pipi wanita itu mendadak bersemu merah, dan menghindari tatap menyelidik Tama.

Tama mendesah lelah. Rasanya, baru kali ini ia memulai lagi bicara serius dengan perempuan sejak memutuskan untuk fokus kembali pada pekerjaan. Ia mengetuk-ngetukkan jari telunjuk kanan di atas meja putih itu. Dua cangkir kopi di hadapan keduanya bahkan sudah hampir mendingin dan mereka belum memutuskan apa pun sejak tadi. Jadi, Tama memilih mengambil alih untuk memutuskan perkara yang hampir sepuluh hari ini membuatnya resah sebab desah dan bisik perempuan itu selalu terngiamg di telinga setiap malam.

"Karena saya laki-laki yang bertanggung jawab, jadi kita menikah saja bulan depan," putusnya sepihak.

Dan lagi-lagi tubuh langsing Marisa bergerak-gerak gelisah. "Lho, nggak bisa gitu, Pak," geramnya mulai mengeluarkan aksi protes.

"Kenapa nggak bisa? Dibikin simpel aja kenapa, sih? Jangan bikin saya uring-uringan lagi dengan kabur tanpa penjelasan. Berhenti panggil saya dengan sebutan Bapak, risi dengernya." Tama sama keras kepalanya.

"Menikah itu bukan perkara gara-gara nggak sengaja tidur bersama terus nikah. Saya nggak mau ...."

"Kamu nggak mau menikah dengan saya?" sergah Tama cepat.

Marisa memejam, menggeleng pusing, dan memijit pangkal hidung bangirnya. "Saya mau menikah dengan Bapak kalau ada cinta di antara kita. Bukan karena Bapak merasa terbebani dan merasa bersalah lalu terpaksa menikahi saya. Jangan begitu!"

"Kalau begitu kita kasih cinta. Saya mau cinta dari kamu."

"Ha-hah?" Satu tangan perempuan yang semula memegangi kelepak jas Tama rapat-rapat di dadanya mendadak terlepas. Ia mendongak dengan dua kelopak mata membelalak.

Sialnya, strap dan cup pakaian dalam berwarna hitam Marisa mengganggu konsentrasi Tama. Lagi, malam ini pasti susah tidur. Salahkan saja Marisa!

**

(21-01-2023)



===🏖🏖🏖===

Salah Marisa! Tuh, kata Mas Tama salah Mbak Cha! 🤣

Vote jangan lupa. Komen yang ramai biar aku semangat up lagi. Komen kalian kadang bikin aku semangat buat lanjut nulis, Gaes. 😘

Komen next doang sama kirim emot cinta buat Mas Tama dan Mbak Cha juga bikin aku bahagia, lho.  😍

Terima kasih, ya. 🤗🥰

Maafkan baru update. Aku sibuk urusin naskah non-fiksi yang mau terbit.

Kali aja ada yang berminat belajar nulis fiksi. Bolehlah colek aku via WA, ya. 🤭

Yang nungguin mau peluk Mas Raga yang ngambek gegara Tama dipanggil mas-mes-mas-mes, sabar. Hari Minggu aku beresin buat setoran ke penerbit. Doakan semoga cepet naik cetak tanpa banyak revisi, ya. Aamiin. 🤗🥰

Sekali lagi terima kasih. 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top