[19]. Marry Me Soon!
Hai, apa kabar? 😍
Liburan lebaran udah usai. Udah siap rajin ikutin lapak ini update terus nggak nih? 🥰
Coba kasih suara dulu di lapak komentar, siap apa belum?
By the way, ada yang kangen obrolan Keluarga Baskoro? Ternyata banyak yang ngefans sama keluarganya Tama, lho, ini. 🤭
Aku pikir masih kebawa benci sejak di cerita Sang Perawan. 😅
Oke, happy reading.
Terima kasih dan vote jangan lupa. 😘
====🏖🏖🏖====
Laki-laki itu baru saja menanggalkan kemeja, menggantinya dengan kaus. Bekerja di lapangan ternyata tak seenak bekerja di ruangan ber-AC yang dingin, tenang, dan nyaman. Bolak-balik ke garasi di halaman belakang, memastikan tiga armada sleeper bus baru yang rencananya digunakan untuk mengembangkan sayap perusahaan. Tak hanya mengelola bus pariwisita, Tama dan Baskoro menjanjikan mengembangkan usaha Agus ke bisnis perjalanan antarkota dan antarprovinsi. Tiga sleeper bus yang baru datang akan melayani perjalanan dari Jogja ke Denpasar.
Agus senang tentu saja ketika tahu Baskoro bersedia berinvestasi padanya. Pun Tama bukan tipe orang yang suka berleha-leha di atas uluran tangan orang tua. Meski mulanya memang memijak di kantor agen ini karena mengejar Marisa, ia tak lantas bisa duduk tenang tanpa melakukan apa pun. Setiap pekerjaan yang dilakoni harus ada usaha dan totalitas.
Namun, terkadang, sebagai putra sulung satu-satunya dan masih tergolong manusia biasa, Tama bisa mengeluh sendirian. "Kerjaan kapan kelarnya, sih? Perasaan baru kelar satu, yang lain datang lagi."
Ia mendesah panjang, melempar tubuh ke kursi berporos. Laki-laki itu baru ingin memejam sejenak sambil duduk bersandar sebelum kembali ke garasi. Namun, tatap matanya terhenti pada amplop cokelat di sisi kanan meja, tepat di atas tumpukan map. Entah kapan surat itu ada di sana, yang jelas Tama tampak sedikit merasa tak enak hati pada pihak kantor. Rama mengundurkan diri. Entah untuk alasan apa, yang jelas ia mencium ada aroma serangan balik atas insiden perseteruan pribadi dengannya.
Namun, Agus sempat menenangkannya. "Nggak apa-apa, Mas. Santai saja. Saya mengerti. Toh Rama memang sejak dulu tak seharusnya di sini."
Terus harusnya di mana memang?
Satu kalimat tanya yang muncul di benak Tama. Namun, ia sedang tak ingin mengorek apa pun tentang mantan kekasih Marisa. Rasanya terlalu mengganggu kesenangannya berdekatan dengan Risa kalau harus dikorek sekarang.
Tama menghela napas panjang dan bangkit lagi. Langkahnya terayun ke garasi belakang. Melewati lorong di antara ruang dengan jajaran kubikel milik karyawan kantor. Ia tersenyum tipis saat bertemu pandang dengan gadis berbehel di dekat meja kerja Risa. Tina tampak mengangguk canggung.
Sahabat baik kekasihnya itu cukup bisa diandalkan. Ia tetap tutup mulut meski Tama sering mendengar kasak-kusuk karyawan lain bertanya mengenai perseteruan dengan Rama. Tina hanya menjawab, "Nggak semua kehidupan pribadi Mbak Cha dan Mas Rama aku tahu. Nggak usah kepo. Kerja aja yang bener ayok!"
Tama lega mendengar jawaban Tina.
"Pak!"
Langkah jenjang Tama ketika keluar gedung terhenti begitu mendengar suara Mbak Nunung. Perempuan kurus kering berbalut blazer merah menyala itu tampak berlari kecil sembari menggandeng tangan Desi. Gadis yang katanya baru lulus sarjana dalam gandengan Mbak Nunung terlihat berbeda. Ia mengubah gaya rambut, berpotongan segi dengan cat ombre merah muda. Terlihat lebih berani dengan kaus corp T putih yang memperlihatkan sebelah bahu dan sedikit perut ratanya.
Tama yang menoleh karena dipanggil spontan lekas membuang muka dan berdeham. "Ya, Mbak?" tanyanya tanpa senyum, sementara anak gadis Mbak Nunung sebentar-sebentar menahan senyum malu-malu.
"Titip Desi sebentar. Saya mau bilang ke kantin pesen teh manis buat para driver baru."
Tama mengerjap, bersiap menolak sebab Desi jelas bukan anak TK yang harus dikawal ke mana-mana. Lagi pula siapa Desi harus ia ekori ke mana pun pergi? Namun, baru saja laki-laki berkaus putih itu menarik napas sebelum mengatakan apa-apa, Mbak Nunung cepat berlalu tanpa menoleh.
"Mbak, tinggal kirim WA ke Mamat bisa, kan?!" seru Tama memaksa.
Sayang, perempuan itu tetap melenggang pergi. Tama berdecak pelan, bergumam tak jelas kemudian. Ia mengalihkan pandangan ke arah gadis yang masih saja tersenyum malu.
"Kita mau ke mana, Mas?" tanyanya.
Tama tertawa patah-patah, terkesan kaku. "Saya mau kerja. Kamu silakan kalau mau keliling parkiran bus atau putar-putar di dalam gedung kantor juga boleh."
Senyum di bibir penuh Desi menghilang, mendadak berubah menjadi cebikan singkat. Agaknya gadis itu terlihat kecewa. Mendengar penolakan halus Tama, beruntung gadis Mbak Nunung tak lekas memaksa mengekor. Ia menyentakkan langkah ke arah bangku panjang. Duduk sendiri sembari menelisik driver yang wara-wiri mengecek armada bus baru.
"Serius Mbak Cha jadi resign?" Suara Randi terdengar ketika ia turun dari salah satu sleeper bus diikuti seorang perempuan.
Perempuan itu sempat menyelipkan helaian rambut ke balik telinga, turun hati-hati dari dalam bus. Mungkin baru sampai dan spontan takjub mengikuti Randi dan yang lain melihat-lihat.
"Iya, mau fokus jadi freelancer aja, sih. Kayaknya udah cukup main-main bareng kalian di sini," sahutnya diikuti tawa ringan.
Suara tawa kecilnya refleks membuat senyum Tama mengembang. Perempuan itu selalu memesona di tempat kerja. Membuat laki-laki itu menahan langkah demi mengamati pergerakannya.
"Es kopinya, Mbak Cha!" Mamat berjalan mendekat, mengangsurkan satu gelas kopi susu dingin.
Melihat Mamat yang sudah wara-wiri, Tama berdecak seraya menoleh ke arah bangku di mana Desi duduk. Mbak Nunung mau bikin skenario sendirikah?
"Bener, kan, dia cantik?"
Tama menoleh ke arah sumber suara. Risa sudah berdiri di hadapannya. Laki-laki itu berkacak pinggang dengan kening berkerut. "Mau jawaban jujur apa bohong nih?"
Perempuan yang mengenakan kemeja putih sebagai outer itu mengulum senyum. Ada jejak basah minuman di bibirnya. Tampak menggoda jika Tama terus terfokus di sana.
Risa berdeham. "Bisa bicara secara personal, Pak? Saya ada perlu mengantarkan surat."
Tama memutar bola matanya. Sedikit risi dengan sapaan itu lagi. "Ayo, masuk! Kita bicara di dalam."
Laki-laki itu tak tahu malu meraih gelas kopi dari genggaman Risa sambil lalu. Kemudian menyesapnya beberapa kali tanpa permisi. "Manis," gumamnya.
Dan keduanya berjalan bersisian sambil tertawa kecil, melewati Desi yang semakin menekuk wajah karena kesal diabaikan.
**
Laki-laki itu masih duduk tenang di kursi. Membaca surat pengunduran diri perempuan yang menunggu di kursi seberang meja kerja.
"Kamu yakin akan melepas pekerjaanmu setelah mendedikasikan diri di perusahaan ini selama sepuluh tahun, Mbak?" Tama melipat surat, meletakkannya ke meja, dan memfokuskan tatap pada Risa.
Perempuan itu mengangguk pasti. "Pekerjaan saya setelah ini jauh lebih penting, Pak."
"Pekerjaan baru?" Tama mengernyit.
Risa menarik napas dalam sebelum menjelaskan, "Saya menerima tawaran jadi istri putra Pak Baskoro, Pak. Pekerjaan ini lebih sulit dan nggak bisa ditawar. Harus fokus. Fokus mengurus rumah tangga. Fokus masak makanan rumahan karena suami saya suka makan di rumah. Fokus ngikutin dia ke mana pun pergi karena saya nggak mau dia punya alasan buat jadi laki-laki nggak setia, dan mendadak khilaf liat perempuan cantik lain. Gimana, Pak?"
Laki-laki itu membuang pandangan ke arah luar melalui jendela kaca ruang kerjanya. Senyum di bibir tipisnya tertahan. "Gemes! Akad entar malam boleh nggak, sih?"
Lagi, mereka tertawa bersamaan. Namun, kali ini laki-laki itu lekas bangkit memutari sisi meja. Merungkup wajah hangat perempuan itu dengan dua telapak tangan.
"Aku setuju sama saran mama kamu. Marry me soon! Malam ini?" Tatap iris kelam Risa menuntut kepastian.
"Yang semalam masih boleh nawar?" Tama mengusap sudut bibir Risa. Urung menjawab tuntutannya, seperti sengaja membuat kekasihnya gusar.
Perempuan itu mendengkus sebal. Ia meluruhkan tangkupan dua tangan laki-laki yang pandangannya mulai meredup. "Akad dulu, Mas! Kamu udah janji, ya!"
Risa buru-buru bangkit, meninggalkan Tama yang berharap keinginannya mencecap manis berdua.
"Sa!"
Risa menghentikan langkah tepat di ambang pintu. Bukan karena panggilan itu, melainkan sosok gadis yang sedang berjalan dari arah lorong kantor menghampiri ke arah ruangan sang direktur. Melihatnya, ada sejumput keyakinan yang memaksa perempuan itu berbalik menghampiri Tama lagi.
"Aku berubah pikiran," pungkasnya sebelum mengalungkan dua lengan ke leher laki-laki yang tengah menyandarkan sebagian tubuh ke sisi meja.
Tama tersenyum penuh kemenangan. Keduanya saling merapatkan jarak. Tepat ketika suara langkah itu semakin mendekat, keduanya bertahan pada kecup-kecup singkat dan ringan di bibir. Dan Risa memberanikan diri menekan lebih dalam pada satu sesapan candu itu, ketika gadis itu sudah sampai di ambang pintu.
Gadis itu mendadak pucat pasi dan berjalan mundur. Harapan Risa, gadis itu tak lagi berharap lebih dengan Pratama Baskoro. Tidak ada yang boleh merenggut laki-laki ini darinya. Ia kesal setiap kali Mbak Nunung memaksakkan kehendak mendekatkan anak gadisnya dengan keluarga Tama. Ia tak suka laki-laki dalam rengkuhannya tergoda bilang perempuan selain dirinya cantik.
"Jangan berpaling. Aku mau kamu ...," bisik Risa tak lagi malu.
**
Keluarga "Cemara" Baskoro
Ndoro Agung:
Masih stay di Jogja, kan, semuanya?
Pitaloka:
Siap, Ndoro! Baru pulang dari Gembira Loka sama keluarga Mbak Mara.
Amara:
Kenapa memang?
Kekasih Ndoro Agung:
Nanti malam, Mas mau akad dulu katanya.
Pitaloka:
Masku yang ini jadi akad duluan?
Pitaloka:
Pitaloka:
Ini tuh bukan karena investasinya berhasil terus mendadak kebelet akad, kan, Mas? @Pratama
Pitaloka:
Mas? 🤨
Amara:
Yaah, adikku yang gemar kepo sejagat raya! Kenapa foto itu dishare ke sini, sih?! 😡
Pitaloka:
Lah, kenapa emang? Ganteng gitu, kok. 🙄
Amara:
Itu foto pas beli bunga buat Alika tauuuu! Aku yang nemenin Mas beli ke toko bunga waktu itu! 😩
Pitaloka:
Duh, maaf, Mas. Pita nggak tau. 😢
Amara:
Jantung aman, kan, Mas? @Pratama
Pratama:
Hmm
Pitaloka:
Maap, ya, Mas? Dimaapin gak nih? 😢
Amara:
😒😒😒
Ndoro Agung:
Nggak usah ribut! Buruan balik ke hotel, temenin Mama beli maskawin! 😤
Pitaloka:
Siap, laksanakan, Ndoro!
Amara:
👍👍👍
Pitaloka:
Tapi serius nanya sama Mas Tama. @Pratama
Pitaloka:
Ini tiba-tiba gini bukan karena Mbak Risa lagi positif, kan? 😬
Pratama:
Positif
Ndoro Agung:
Mas! Yang bener?! 😡
Pratama:
Jadi calon mantu Mama sama Papa.
Kekasih Ndoro Agung:
Hadeeh...
Kekasih Ndoro Agung:
Kapan ada waktu mancing berdua lagi, Mas? Bawain Papa kopi yang enak itu lagi, ya?
Pratama:
Siap, Pa.
Pitaloka:
Jadi penasaran kalo mereka berdua mancing dapatnya ikan apa solusi kehidupan? 🤔
Pratama:
Dua-duanya, lah!
Amara:
Pita! Fotonya hapus! Kasihan Mas Tama entar nggak bisa tidur!
Pratama:
Nggak usah juga gak apa.
Pitaloka:
Serius?
Amara:
Serius?!
Ndoro Agung:
Hapus! Mama jadi keinget yang dulu-dulu. 🥲
Pratama:
Aku antar Risa balik kontrakan dulu.
Ndoro Agung:
Langsung pulang! 😡
Ndoro Agung:
Mas?
Ndoro Agung:
Mas?!
Ndoro Agung:
Segera kabarin Mama kalau udah sampe apartemen! 😡
Pratama:
Masih di tempat Risa. Bentar lagi balik.
Ndoro Agung:
Sekarang!
Pitaloka:
Jadi makin curiga. 🙄
Ndoro Agung:
Mas, udah satu jam, ya! Bentar lagi magrib banyak setan lewat! 😭
Pitaloka:
Makin curiga. 🙄
Pratama:
Udah sampe apartemen.
Pratama:
Sama Risa.
Ndoro Agung:
Lah, kok, dibawa?! 😨
Pratama:
Biar gak bolak-balik jemput. Entar langsung ke rumah Bude Sri, kan?
Ndoro Agung:
Oke. Jangan macem-macem.
Pitaloka:
Tetep aja aku makin curiga. 😳
Ndoro Agung:
Pittaaa! 😫
**
(26-04-2023)
====🏖🏖🏖====
Gimana? Episode selanjutnya malam akad, ya? 😆
Yang setuju ledakin komen dululah, ya. Seperti biasa, 200 komentar dan 400 vote, aku bakal up cepat. 🤭
Terima kasih. Sehat selalu, ya. 🤗🥰
====🏖🏖🏖====
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top