[18]. Fakta yang Terungkap Perlahan
Halo, maafkan baru up. Aku belum sembuh total pileknya ini. Mana anakku yang kecil nyusul sakit pula. Kemarin demam selama 3 hari. Doakan kami segera pulih, ya. 🥰🤗
Vote dulu boleh banget, lho. Makasih buat ledakan komentarnya.
Sampai gosong nih karena diledakin. 🤣
Btw, udah ada yang mulai ngata-ngatain Mbak Cha murahan, nih. 😌
Gimana menurut kalian?
Happy reading. Semoga suka. Seperti biasa, tolong baca jangan skip-skip biar tahu perkembangan karakternya. Selalu ada hukum sebab-akibat dalam sebuah peristiwa. 😁
====🏖🏖🏖====
Riana:
Mbak, mulai hari ini aku tinggal di rumah orang tua Mas Rama. Kunci rumah aku titipkan ke tetangga.
**
Tina:
Mbak, gosip bocor hari ini.
Tina:
Aku denger dari driver bus 1 waktu ke Bali.
Tina:
Pak Tama sama Mas Rama berantem katanya. Uh, aku sih dukung kalo Pak Tama bikin bonyok mantanmu iku, Mbak! 😡
**
Hujan masih turun rintik-rintik di luar sejak semalam. Jendela kaca pantry itu pun tampak basah dan berembun. Sesekali tetes bening mengalir turun dan Risa lekat memandangi beberapa titik-titik air yang turun dari sisi kaca, sembari menunggu panci air panas berdengung nyaring.
Dua tangan perempuan yang mengenakan kemeja longgar pria--yang menutupi hingga pertengahan pahanya--mengembuskan napas pelan.
Riana meninggalkan rumah bersama Rama dan memilih tinggal dengan orang tua. Mungkinkah tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi meski saat akad keduanya, tak satu pun keluarga Rama yang datang?
Risa tersenyum getir. Masa lalu. Ia tak mau berandai-andai. Toh sejak awal, hubungannya dengan Rama memang tak ada restu. Rama yang nekat mempertahankan hubungan sampai memilih pergi dari rumahnya. Andai dulu ajakan menikah dengan Rama secepatnya ia terima, apakah Riana akan tetap masuk dalam hubungan mereka?
Risa menggeleng cepat. Tak boleh berandai-andai!
Dengung panci menginterupsi. Tangan kanannya cepat mengambil sarung tangan, menuang air panas dalam tumbler berisi kopi, gula, dan krimer. Perempuan berambut terikat berantakan itu mengaduk seduhan kopi. Ia beralih sejenak pada piring kotor sisa sarapan, meletakkannya ke kitchen sink.
"Aku pulang, ya? Kamu nggak apa di kontrakan sendirian? Aku bisa minta orang buat pindahin barang-barang kamu ke apartemen biar entar malam mulai tinggal di sana." Laki-laki berambut setengah basah itu baru keluar dari kamar. Sehabis mandi. Semalam tak mau pulang meski Risa sudah berkeras meminta agar segera pergi.
"Akad dulu baru kamu boleh bawa pulang aku, Mas," protesnya.
Tama hanya bergumam tak jelas. Ia melongok ke arah jendela. "Masih hujan," katanya berhias desah napas singkat. Ia gegas mengambil kunci mobil yang terselip di antara tumpukan bantal sofa. Meja kaca terlalu berantakan. Ada sisa pop corn, dua cup es krim, dan dua kaleng bir. Risa belum sempat membereskannya mengingat saat terbangun, ia cepat-cepat membuat sarapan.
Melihat kondisi ruangan itu, Tama berinisiatif meletakkan kembali kunci BMW birunya ke sofa. Tangannya cekatan menumpuk cup kosong es krim dan pop corn, kemudian membawa serta kaleng bir ke pantry. Laki-laki itu sibuk membuang ke keranjang sampah. Sementara Marisa melamun lagi dengan tatap kosong.
Laki-laki itu mendekat sejenak, mengurung tubuh ramping Risa di antara dua lengan. Melihat pemandangan kaca jendela berubah menjadi wajah Tama, ia mengerjap singkat.
"Are you okay?" tanya Tama dengan tatap penuh selidik.
"Ha-hah? Udah mau berangkat sekarang, Mas?" perempuan itu segera mengalihkan perhatian. Ia cepat-cepat meraih tangan kanan Tama dan memberikan tumbler kopi padanya. "Aku ke kantor siang ini."
Kening Tama mengernyit. "Mau barengan aja? Aku tungguin kalau mau bareng, Sa."
Risa mengibaskan tangan kanan. Ia berlalu ke ruang santai, mengambilkan kunci mobil usai menata bantal sofa. "Entar kamu kesiangan. Lagian karyawan sekantor bakalan ribut lagi kalau liat kita bareng melulu. Aku belum siap ngadepin Mbak Nunung sejak kejadian di Bali itu." Perempuan itu mencebik.
Tama mengangguk paham. "Oke, kalau emang hari ini kamu udah merasa baikan buat balik kerja, silakan berangkat."
Sebelum laki-laki yang membenarkan kerah pakaian itu berlalu, Risa sempat mencekal lengan kanannya. "Mas berantem sama Rama waktu di Bali?"
Tatap laki-laki itu berubah tegas. "Siapa yang bilang?"
"Mas, please, jangan begitu lagi. Biarin masa laluku jadi urusanku. Aku nggak mau kamu kebawa-bawa masalah antara aku, Rama, sama Riana." Risa merapatkan jarak, merenggut sisi kemeja laki-laki itu seraya menatap penuh permohonan.
"Kalau kamu merasa terganggu, aku nggak bisa diem aja, kan?"
"I'm fine. Aku pasti bilang kalau butuh bantuan kamu. Tapi tolong jangan buang-buang tenaga cuma buat bersitegang sama dia. Capek." Suara Risa melirih seketika.
Dan pada akhirnya Tama hanya mengangguk sembari mengembuskan napas panjang. "Aku berangkat. Sampai ketemu di kantor." Ia merunduk, meninggalkan satu lekatan di kening perempuan itu.
Ketika tundukannya semakin dalam, Risa cepat-cepat mengangkat tangan, menghalangi bibir laki-laki yang siap menjelajah singkat sepagi ini. "Kamu udah janji semalam. Nggak ada bibir mangkir sembarangan sebelum sah," celetuknya mengingatkan.
Sebuah peringatan yang sontak membuat Tama mendesah panjang seraya membuang pandangan ke lain arah. Lalu, sempat-sempatnya ia sandarkan kening ke bahu Risa yang masih menahan tawa kecil. Laki-laki itu seperti tengah merajuk dan menggeram frustrasi demi menahan diri.
**
Gerimis tipis masih enggan berhenti turun. Risa terpaksa mengenakan penutup kepala jaket untuk keluar. Sekadar berbelanja keperluan ke minimarket di depan jalan sana. Ia mengedik singkat, menahan dingin yang menyergap.
Namun, langkah kaki berbalut sandal japit merah muda itu terhenti di pertengahan halaman. Ia berjalan mundur dua langkah begitu menyadari kehadiran sosok di ambang pintu pagar. Pagar memang belum Risa kunci, hanya ditutup tanpa mengaitkan pengunci.
Laki-laki itu terdiam beberapa saat, mengamati pergerakan Risa yang mendadak ragu melangkah ke depan. "Icha," sapanya.
Tubuh kurus Risa berjengit kaget. Ia berbalik segera dan berlalu cepat kembali ke rumah. Tangan perempuan berjumper kuning itu tergesa merangsek ke dalam saku, mencari kunci pintu. Sesekali menoleh ke belakang, berharap laki-laki berambut setengah basah karena gerimis itu pergi dan tak usah menghampiri.
Sayangnya, siapa saja tahu, Rama Agung Sanjaya adalah laki-laki keras kepala. Bahkan orang tuanya saja tak kuasa mengatasi watak kepala batu Rama yang keterlaluan. Laki-laki itu bergerak cepat mendorong pintu pagar. Ia melangkah lebar, menaiki satu undakan teras.
Risa semakin gencar memutar anak kunci. Namun, Rama cepat mencekal lengan perempuan yang spontan merapat ke daun pintu, lalu mengibas cekalannya.
"Apa lagi?!" gertak Risa keras.
Rama membuang muka. Wajah laki-laki itu tampak lebih bersih dari sebelumnya. Rambut berpotongan segi itu terlihat lebih rapi dengan poni lebih pendek. "Aku minta maaf atas perlakuanku yang kemarin di Bali."
"Sudah? Silakan pulang," usir Risa sambil berbalik mendorong daun pintu.
"Cha, dengarkan aku dulu!" Rama menyentak lengan kanan Risa.
"Apa yang harus aku dengarkan darimu, hah? Rencana konyol kabur berdua dan meninggalkan Riana beserta anak kalian?!" Emosinya membeludak seketika. Nada bicara refleks naik satu oktaf lebih tinggi. Ada urat wajah yang tampak di pelipis. Nyatanya, menahan amarah du depan Rama selalu saja gagal
"Tentang kamu dan Pratama!" pekik Rama keras.
Risa tersentak. Ia menelan ludah susah payah, melirik laki-laki itu dengan mata memerah siap menumpahkan tangis.
"Kamu yakin akan melanjutkan hubunganmu dengan Pratama? Kamu kenal siapa dia? Masa lalunya?" Rama mencecar.
"Masa lalu Mas Tama urusannya, bukan urusanku." Kali ini perempuan itu berani membalas dengan tatapan sengit.
"Dia belum lama ini gagal menikah, Cha. Kamu dan dia masih dalam situasi rentan untuk menjalin hubungan serius seperti pernikahan. Seyakin apa kamu dengannya nggak akan berpaling? Kamu yakin kalian menikah bukan karena sedang sama-sama cari pelarian?"
"Lalu, karena itu kamu merasa berhak menghalangi pernikahan kami?" Risa mengibaskan cekalan tangan Rama di lengannya.
"Aku ngerti nggak berhak, tapi kamu tetap harus memikirkan semua itu." Rama mendesah panjang seraya menegakkan tubuh, menatap Risa yang mulai bimbang. "Pikirkan itu baik-baik, Cha."
"Aku sudah memikirkannya. Aku tetap akan menikah dengannya. Kamu boleh pulang."
"Aku nggak peduli kita akan kembali seperti semula atau nggak, yang penting aku sudah mengatakana semuanya. Dan aku nggak peduli kamu mau kembali ke aku atau nggak, aku akan tetap menceraikan Riana," tegas Rama kemudian.
Dua tangan Risa mengepal erat di samping badan. Ia berpaling sejenak demi menghapus lelehan bening yang segera tumpah. "Kenapa?" tanyanya dengan suara parau.
"Karena aku nggak bisa cinta sama dia, Cha. Dan aku--maaf--meragukan siapa ayah bayi dalam kandungan Riana."
Risa mendongak lalu mendorong dada laki-laki itu penuh tekanan amarah. "Brengsek! Maksudmu apa?!"
"Aku tahu siapa Riana, Cha! Aku bahkan lebih mengenal daripada kamu, kakak kandungnya! Aku tahu bagaimana pergaulan dia selama kamu nggak ada!" Rama berkeras.
Mendengar pengakuan itu, sontak kebimbangan dan kebingungan kembali menggerogoti hatinya.
"Kenapa? Mulai ragu?" Rama tersenyum sinis. "Tanyakan, Cha. Cari tahu gimana adikmu yang kamu elu-elukan manis itu."
Riak-riak di pelupuk semakin tampak. Air mata itu menganaksungai ke pipi hingga dagu.
"Cari tahu kebenarannya, Cha. Setelah itu baru kamu boleh menghakimiku," tantang Rama sekali lagi.
Punggung tangan perempuan itu cepat menghapus air matanya lagi. "Lalu kenapa kamu mau menikahinya, hah? Karena kamu juga ikut menidurinya?" Risa mendesak, senyum getir itu terukir begitu saja. Perih kembali merajai hati di atas lukanya yang belum lama kering.
"Aku mabuk malam itu, Cha! Mabuk setelah pertengkaran kita dan Riana yang datang menemuiku malam itu! Mengerti sekarang? Maaf atas kelalaianku, tapi kamu perlu tahu juga kebenaran ini." Rama merengkuh dua lengan Risa yang merapuh seketika mendengar pengakuan itu.
Namun, tak ada kata yang bisa ia ungkapkan di saat gamang kecuali memintanya pergi dan membiarkannya sendiri. "Pergi. Aku nggak butuh semua pengakuanmu itu. Tolong pergi, " pintanya.
"Cha ...."
"Pergi, Ram! Pergi!" Risa membentak. Tanpa menunggu lama lagi, perempuan itu berbalik masuk ke rumah.
Rama hampir menghalanginya dengan menahan daun pintu agar tak segera menutup. Namun, Risa nekat mendorongnya lebih kuat. Pintu itu berdebum keras dan ia cepat mengunci rapat-rapat.
"Please, Cha. Aku tahu kamu kecewa, tapi aku nggak ada pilihan untuk saat ini kecuali menikahi Riana. Aku akan menyelesaikan semuanya seger, sampai kamu yakin bahwa aku masih tetap Rama yang dulu." Suara Rama terdengar samar di balik pintu.
Risa bersandar, tubuh rapuh itu mendadak merosot ke lantai lalu tergugu di balik lipatan kedua tangan di atas lutut. "Pergi, Ram. Sampai kapan pun kamu akan tetap sama! Kamu adalah suami adikku!"
"Cha, please .... Aku nggak bisa tanpa kamu. Maaf untuk semuanya. Tolong maafkan semuanya. Aku janji akan mengawali semuanya dengan benar."
Perempuan itu tak menyahut. Ia hanya terisak-isak sembari memukul-mukul dadanya yang mendadak nyeri. Haruskah ia percaya dengan Rama? Tapi untuk apa? Toh pada intinya, Rama tetap berkhianat padanya. Laki-laki itu pun mengakui kedekatannya bersama Riana, bukan? Dan Rama tetap bermain-main dan menikmati kebersamaan itu, bukan?
**
(18-04-2023)
====🏖🏖🏖====
Perlahan-lahan faktanya mulai terungkap nih? Kira-kira siapa sebenarnya yang berkhianat? Rama, Riana, atau keduanya?
Kalau bagiku tetap keduanya, ya. Nggak seharus, sih, mereja menjalain kedekatan di atas hubungan Rama dan Icha yang emang rentan.
Btw, ada yang penasaran Mas Tama sama Risa ngapain aja nggak, sih, semalam tuh? 😆
Mas Tama kuat nggak nahannya, ya? 😆
Mau baca nggak? Kalau iya, aku bikinin hidden part khusus peristiwa semalam yang bikin Ndoro Agung cemas tingkat dewa. 😌
Ledakin komentar sampai 200. Kalau ada 200 aku up lagi. 🤭
Terima kasih sudah menunggu. Vote jangan lupa. 🥰🤗
====🏖🏖🏖====
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top