[15]. Yang Tak Punya Apa-Apa

Halo, apa kabar? Semoga sehat selalu. Aamiin.

Seperti yang aku janjikan, part 15 bakalan tayang di Wattpad setelah selesai lebaran. Maafkan baru posting ke sini hari ini, kemarin fokus lanjutin part berikutnya biar ide nggak bubar. 🤭

Happy reading buat yang baru banget mau baca.

Warning 21+. Tolong hati-hati.

Buat yang kemarin udah dukung aku selalu di KaryaKarsa, terima kasih sekali atas dukungan dan cara kalian menghargai tulisan-tulisanku. Aku doakan kalian sehat selalu dan lancar rezekinya, ya. Aamiin. 🥰🤗

====🏖🏖🏖====



Bude Sri:
Adikmu besok mau wisuda, Cha.

Bude Sri:

Bude sama Pakde mau datang ke acara. Dia berhasil. IPK-nya bagus. Cumlaude. Tugasmu tunai sudah, Cha.

Bude Sri:
Kamu jangan sedih lagi, ya, Nduk. Pulang ke rumah Bude kalau kesepian.

Bude Sri:
Jangan terlalu lelah. Istirahat kalau capek.

**

Perempuan itu baru bangun pada pukul sepuluh siang. Sedikit terharu mendengar kabar dari keluarganya di Jogja. Namun, sedih itu meronta mengingat nasib Riana. Bagaimana jika Rama nekat menceraikannya? Nyatanya, melihat rumah tangganya yang berantakan sama saja menyakitkannya.

Risa sempat menangis lagi dan lagi. Ia selalu kebingungan dengan keadaan yang harus diterima. Antara menolong hatinya sendiri dari rasa sakit atau menegarkan Riana yang mungkin juga sama terlukanya. Ia mau egois, tapi nyatanya, egois pun sama menyakiti sisi hatinya. Kakak mana yang tega melihat adik kandungnya terpuruk.

Risa tahu, Riana sebenarnya gadis yang teramat manis dan baik. Ia hanya kesepian. Risa tak sanggup menggantikan posisi kedua orang tuanya. Kasih sayang Ibu dan perhatian Bapak, tak sanggup ia berikan jika hampir setiap hari disibukkan dengan bekerja. Sayangnya, ada Rama yang masuk di antara keduanya. Risa memberikan kepercayaan pada laki-laki yang salah.

Bude Sri sudah sering memperingatkannya, "Mbok kalian berdua di sini saja kenapa to? Sungguh, Bude sama Pakde ndak keberatan mengurus kalian. Biarin adikmu di sini jadi ada yang ngawasin selama kamu kerja. Nggak sendiri terus di kontrakan. Dia masih SMP, butuh perhatian khusus."

Sayangnya, saat itu Risa pikir usia 13 tahun tidak apa bila Riana sendiri saja saat ia bekerja. Siapa yang tahu kalau nyatanya, Riana juga butuh teman meski kelihatannya, gadis itu sangat mandiri dan hampir tak pernah mengeluh. Dan kekosongan-kekosongan itu, diisi oleh perhatian-perhatian Rama.

Rama yang siap antar-jemput. Rama yang siap menungguinya sampai Risa pulang pada pukul sembilan malam. Rama yang pandai membuatkan aneka makan malam yang enak saat Risa tak kunjung pulang dari bekerja.

Lama kelamaan, setelah merenungi banyak hal, perempuan yang tengah berdiri di bawah kucuran air shower itu menyadari. Bahwa apa yang terjadi, bukan sekadar salah Riana seorang. Baik Risa maupun Riana, hanya kurang kuat dalam mengisi kerumpangan keluarga sejak Bapak dan Ibu pergi.

Risa tergugu lagi. Menghapus lelehan di kedua pipi yang bercampur dengan air dingin. Adiknya yang manis, pintar, dan seharusnya bisa melanjutkan pendidikan dan karier yang baik, sudah rusak. Dan butuh waktu yang panjang untuk memperbaiki segalanya.

**

Laki-laki itu kembali ke vila pada pukul tujuh malam. Tubuhnya serasa remuk redam akhir-akhir ini. Bekerja di dua tempat yang berbeda, menangani hal-hal yang berbeda pula. Pekerjaannya di Bali tak bisa ditinggalkan begitu saja, pun dengan perusahaan Pak Agus yang masih ia tata kembali. Papanya terus menelepon perkara pembangunan resort dan spa di Jimbaran, sesekali memintanya datang menyambut tamu yang berminat jadi investor. Dan hari ini, kepalanya serasa mau pecah mengurus kekacauan rombongan wisata yang Mbak Nunung pimpin.

Ada beberapa rombongan yang tertinggal di rest area. Keteledoran yang sungguh keterlaluan. Memangnya sewaktu istirahat dan akan kembali naik bus, perempuan itu tidak mengecek semua penumpang dulu? Tama menggerutu dalam hati.

Rating agen wisatanya jadi taruhan. Kalau sampai klien memberikan rating rendah pada aplikasi penyedia jasa traveling, sudah pasti publik akan ragu menggunakan jasa perusahan tour and travel milik Pak Agus lagi. Tama meminta bus segera putar balik. Ia pun mendadak emosi dan marah-marah melalui telepon.

Seharian ini rasanya kacau. Pikirannya ruwet dan hampir tak bisa memisahkan antara profesionalitas kerja dengan urusan pribadi. Bayangan perseteruan dengan mantan kekasih Risa terus berkelebat. Laki-laki itu masih di Bali dan Tama sedikit khawatir Rama menghubungi Risa lagi dan memaksanya bertemu, lalu Risa meninggalkan vila tanpa pamit.

Namun, semua kegelisahannya seharian sirna begitu tepat di depan pintu utama ia menemukan sneakers putih itu masih bertengger di rak sepatu. Ada dua kotak pie susu yang tergeletak di meja pantry dan segelas cokelat panas yang masih hangat, tersisa setengah. Mengundang lapar.

Tama cepat-cepat ke kamar di lantai dua, bersegera mandi, dan mengganti pakaiannya yang lusuh. Ia bahkan lupa menyisir rambut setelah mandi, membiarkan rambut setengah basahnya begitu saja. Laki-laki yang telah mengganti pakaian semula dengan kemeja longgar dan celana kain berwarna putih senada itu bersegera kembali turun. Sejak semalam, ia membiarkan Risa menempati kamar di lantai bawah.

Kamar dengan ukuran yang cukup luas serta terhubung dengan kolam pribadi melalui pintu kaca. Ada batu-batu pualam di tepi dinding dan jacuzzi serta shower yang mengalirkan air hangat.

Tama mengetuk pintu sekali. Ia berinisiatif membukanya saat tak ada sahutan suara sekali pun dari dalam kamar. Ranjang berseprai putih bersih itu sudah rapi. Penghuni kamar mungkin tak lagi betah bergelung di balik selimut seharian karena ditinggalkan seharian ini.

Namun, ketika manik kelam Tama menemukan siluet tubuh ramping melalui sinar temaram dari kolam di samping kamar, ia tersenyum tipis. Langkahnya ringan menghampiri, melongokkan kepala setelah menggeser sedikit pintu kaca itu.

"Mbak, katanya mau pulang? Kok, malah berenang?" guraunya. Lelah dan kerumitan pikirannya lebur entah ke mana.

Perempuan yang duduk di tepi kolam dengan dua kaki masuk ke air itu menoleh. Ia tersenyum tipis lalu kembali menatap ke arah riak-riak air yang dihasilkan dari ayunan kedua kaki perlahan.

"Udah baikan, Sa?" Laki-laki itu ikut duduk di tepi kolam, membiarkan setengah dari celana panjangnya basah. Ia sempat mengusap puncak kepala perempuan di sisi, sebab yang ditanya hanya mengangguk pelan seraya mengembuskan napas.

"Udah ketemu rombongan yang ketinggalan bus, Mas? Akhirnya gimana?" tanyanya cemas.

"Udah. Aku minta bus putar balik sambil aku nyusulin ke sana."

"Buat?"

"Emosi doang bentar ke Mbak Nunung. Nggak puas cuma marah lewat telepon." Ia tertawa kecil, berusaha menunjukkan bahwa semua keadaan berhasil diatasi dan Risa tak perlu risau.

Namun, perempuan itu tetap saja menunjukkan raut tak enak hati. "Maaf, ya. Harusnya aku tetap di sana. Mbak Nunung emang nggak bisa mimpin sendirian, Mas. Makanya selalu ada Tina yang ngekorin."

"Mbak Nunung emang harusnya nggak terjun ke lapangan lagi, kan? Mau aku kantorin aja kalau Pak Agus setuju. Lagian terlalu banyak buntut kalau dia jadi pemandu. Anaknya aja dibawa, besok cucu sama mantunya dibawa sekalian kali."

Gerutuan yang spontan membuat Risa tertawa kecil meski hanya sebentar, lalu murung lagi. Suasana hening sejenak. Hanya ada suara gemercik air yang mereka buat karena ayunan kaki dan binatang malam lain pun turt meramaikan.

"Mas ...."

"Hmm?"

"Kamu ... masih ... mau menikahiku?"

Pertanyaan itu membuat gerakan kaki keduanya berhenti. Sepasang mata kelam Tama menatap iris hitam Risa yang terlihat sayu, mungkin lelah menangis. Perempuan itu mendesah panjang sebentar kemudian membuang pandangan kembali ke arah permukaan air jernih di hadapan.

"Mungkin ini akan terkesan memanfaatkanmu, tapi ... aku sedang berada di ambang kebingungan dan butuh perlindungan. Kalau memang kamu masih mau menghabiskan sisa hidupmu denganku ... nikahi aku. Besok. Setelah kita kembali ke Jogja, Mas bisa datang ke rumah Bude untuk melamarku."

Dua tangan Risa mengepal di atas pangkuan. Ada resah yang tergambar begitu saja lewat tatap kosong matanya yang tertunduk dalam. Tama masih saja bungkam, memikirkan segala risiko melalui pernyataan yang Risa terangkan secara gamblang. Perempuan ini tak sepenuhnya ingin cepat menikah. Ia hanya sedang tak tahu arah harus ke mana. Merasa berada di ujung tanduk. Mau terus bersama adiknya dan bertahan dengan status single-nya, akan ada Rama yang terus mengintai. Pergi, Rama semakin gencar mengejar, dan nekat menceraikan Riana. Hanya ada satu jalan untuk menghentikan semua.

Risa harus menikah dan hanya Tama satu-satunya orang yang bisa ia percaya. Sebab pada mulanya, memang Tama sendiri yang membukakan pintu untuk Risa membangun rumah tangga, meski tanpa cinta pada awalnya.

"Tapi aku nggak punya apa-apa, Mas. Aku bukan siapa-siapa dan kamu punya segalanya. Aku cuma gadis biasa, tak berayah dan ibu. Harta tak punya. Jabatan dan prestasi, juga nggak ada. Aku bukan gadis yang pintar di sekolah dulu. Harus berjuang mati-matian kalau mau dapat nilai A. Nggak bisa ngajarin matematika yang bener kalau punya anak nanti." Perempuan itu tertawa sumbang sembari sibuk menghapus pipinya yang kembali sembap karena air mata.

Ia menoleh lagi, menatap pada laki-laki yang masih terus terdiam tanpa reaksi. "Aku ... hanya punya diriku sendiri."

Mendengar perempuan di sisinya merendahkan diri sendiri, Tama justru berdecak kesal. Ia melempar pandangan ke lain arah. "Aku lapar sama emosi. Mau makan kamu aja bisa nggak?"

Kelopak basah perempuan itu mengerjap. Kemudian satu tinju kepalan tangan ringkihnya menghantam lengan Tama pelan. Yang dipukul saja tak bergerak sedikit pun. Tama justru meraih telapak dingin Risa dan menggenggamnya hangat. Bunyi kecipak air terdengar saat laki-laki itu turun ke dalam kolam. Ia melepas pegangan tangan dan sedikit menjauh, kemudian mengulurkan tangannya lagi.

"Kita sibuk kerja seminggu ini. Kamu nggak kangen sama aku, Sa?"

Risa terdiam sejenak. Sepertinya ia ragu menerima uluran tangan Tama atau mungkin sedikit malas ikut terjun dan membiarkan bajunya basah kuyup.

"Trust me. You'll be fine with me. Aku nggak butuh harta kamu karena aku udah berkecukupan. Aku juga nggak butuh jabatan apalagi nilai A pelajaran matematikamu. Aku cuma butuh kamu." Lagi. Laki-laki itu semakin mendekatkan uluran tangan.

Ketika Risa perlahan menampakkan senyum simpul dan semu merah di kedua pipi, Tama yakin malam ini semua penantian dan gelisahnya akan berakhir. Dua detik berikutnya, riak di permukaan kolam itu semakin berhamburan. Ada dingin yang menggigit kulit hingga tulang, tapi gelenyar hangat itu menjalar saat jarak di antara keduanya merapat.

Dan laki-laki itu selalu tak bisa menahan diri pada bibir ranum perempuan yang sebulan ini hampir memenuhi pikirannya.

"Aku ... kangen kamu," bisik Tama. Tatapan laki-laki itu meredup, mengunci pandangan pada bibir merah jambu perempuan yang bergeming seolah sedang dalam masa penantian.

Hanya dalam satu kali tundukan, kecupan dalam itu tersampaikan. Manis. Teramat manis untuk dilupakan dan diakhiri sampai di sini. Jadi, ia lebih memilih mendorong perlahan tubuh dalam dekapan, merapat ke dinding kolam, dan mengurung tubuh ramping itu di antara dua lengan.

"Let's get married! Aku mau kamu dan semua yang ada dalam diri kamu, tanpa terkecuali."

**

Kalimat terakhir itu membius. Menarik untuk diselami seberapa jauh keyakinan mereka menjalaninya ke depan.

Bibir merah sang puan masih merekahkan senyum. Dua tangannya bergelayut memasrahkan diri pada bahu laki-laki yang merengkuh erat pinggangnya.

"Aku ... mau kamu," ulangnya lagi dengan suara berbisik.

Bisik menggelitik yang kemudian menelusur dan menghidu aroma manis miliknya. Lalu meninggalkan jejak basah di sekujur ceruk.

"Mas ...." Peringatan pertama, yang selalu gagal sebab mungkin suara perempuan yang lebih mirip erangan itu teramat seksi untuk memupus hasrat.

Dan sialnya lagi, Risa pun tak kuasa mengendalikan gejolak di dada. Saat pria itu menenggelamkan wajah sekali lagi di ceruk lehernya, ia justru menengadah. Jemarinya turut naik, menyisip pada sela rambut legam laki-laki yang semakin berkelana jauh mencari kenyamanan dan kepuasan. Telapak hangat di bawah sana ikut naik, meraba hangat di balik gaun yang menari-nari di dalam air.

Tama menggeram kesal, berusaha menahan diri saat ujung jarinya menyentuh tepi kain hitam berenda milik perempuan itu. Tapi ia kalah dengan renjana yang kian membara dan menyiksa.

Sekali lagi, bisikan itu menggoda, "Aku mau kamu, Sa."

Dan Risa tahu ke mana mereka akan berlabuh saat kalimat itu diucapkan berulang dari bibir basah laki-laki itu padanya. Pada renjana yang membawa hangat meski hawa dingin malam semakin pekat. Pada desah tertahan saat sentuhan itu bergerilya hingga ke lembah basah terdalam. Pada peluh yang berbaur di kulit basah yang mengilap karena cahaya temaram malam.

Mungkin setelah ini akan ada sesi perpindahan ke jacuzzi. Membiarkan bibir yang sempat berpagut itu menggemakan desah nama masing-masing di dinding-dinding batu pualam dan keramik cokelat. Kemudian berakhir pada kain-kain di atas ranjang yang beringsut kusut.

Malam panjang itu terulang. Melenakan. Teramat menggebu karena rindu. Dan teramat candu ketika beradu tanpa kenal kata lesu. Mereka selalu kalah pada apa-apa yang berkaitan dengan gelora di dada dan ... bercinta.

**

(03-05-2023)

====🏖🏖🏖====

Ingat, ya, selalu hati-hati ketika di deskripsi cerita ada warning 21+.

Terima kasih buat yang selalu bijak memilih bacaan sesuai umur.

Sehat selalu. 🤗🥰


====🏖🏖🏖====

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top