[14]. Menurunkan Penumpang Gelap
Hai, selamat pagi. 🥰
By the way, terima kasih vote sama komentarnya. Sehari langsung tembus 400. 🤭
Aku cepetin, deh, up-nya. Gosha nunggu buka. Ini hawt-nya masih aman, kok. 😆
Happy reading!
Jangan lupa gedor terus pake vote dan komentar biar aku nggak lupa segera update. 🤭
Terima kasih. 🥰🤗
====🏖🏖🏖====
Perempuan itu masih tertidur. Mungkin kelelahan semalaman menangis dan menyimpan beban sendiri. Ia memilih bungkam dan memaksa minta pulang. Ia juga berjanji akan segera mengirimkan surat pengunduran diri segera sebagai wujud ketidakprofesionalannya selama bekerja.
Namun, Tama tak semudah itu melepas Risa sampai di bandara dan membiarkannya pulang sendiri pada malam hari. Laki-laki yang sempat hampir putus asa berusaha meyakinkan semua akan baik-baik saja bersamanya, pada akhirnya mengambil jalan tengah. Ia meminta Tina mengemasi barang-barang Risa di penginapan, lalu membawanya pulang ke Denpasar. Besok pagi, Tama berjanji akan mengantarkannya pulang ke Jogja. Laki-laki itu juga menjamin di vila keluarganya aman. Tak akan ada siapa pun yang tahu keberadaan Risa, dan Tina pun bersedia bungkam ketika rekan yang lain mempertanyaan keberadaannya.
Tama menghela napas panjang seraya menggenggam jemari tangan di atas permukaan selimut itu perlahan. "Udah aku bilang, kalau terlalu sakit ditanggung sendiri, kita coba menanggungnya sama-sama. Susah, ya, kasih sedikit aja kepercayaan ke orang lain? Ke aku?" gumamnya.
Dan gumaman itu tak bersambut. Risa masih bergeming dalam tidur. Pada akhirnya, ajakan Tama untuk mencoba menanggung semua sama-sama selalu diambang ketidakjelasan, sebab perempuan itu masih saja menutup diri. Tak pernah mau berusaha membuka lembaran baru. Jalan di tempat, mengumpulkan puing-puing luka, dan menelannya sendiri.
Tama beranjak ke luar kamar dan menutup pintu perlahan. Ada desah kecewa ketika ia bersandar sejenak di permukaan pintu yang sudah tertutup rapat. Namun, laki-laki itu sungguh masih ingin berusaha bersabar. Toh ia tahu persis bagaimana proses melewati semua perkara patah hati. Tidak mudah.
Tama hampir beranjak ke pantry, mencari ponsel untuk menghubungi Tina. Barangkali pagi ini ada kendala sebelum rombongan benar-benar berangkat kembali menuju Jogja melalui Pelabuhan Gilimanuk. Namun, saat ia menemukan gadget yang tergeletak di meja bar, keningnya mendadak berkerut samar memperhatikan panel notifikasi. Siska--asisten kepercayaan Baskoro yang bertugas mengekor Tama--mengiriminya foto-foto sesi sarapan sebelum penutupan.
Ibu jari Tama bergerak cepat menggulir layar, memperhatikan foto satu per satu. Sampai akhirnya ia menemukan sosok itu duduk di sebelah Mbak Nunung dan Desi. Laki-laki itu tampak sedang menyesap kopi bersama rekan leader yang lain. Mengetahui sosok itu, Tama mulai menemukan benang merah tentang alasan Risa yang mendesaknya minta segera pulang dan berkata lelah.
Lalu, dugaan itu diperkuat dengan pesan dari Mamat yang menyambangi ponselnya dua detik kemudian.
Mamat:
Semalam ada driver yang nggak sengaja liat Mbak Cha dan Mas Rama berantem di parkiran, Pak.
Membacanya, Tama gegas meraih jaket di sandaran sofa dan kunci mobil di nakas ruang tengah.
"Brengsek!" umpatnya setengah bergumam dengan geligi bergemeletuk geram.
**
"Terus kamu mau ninggalin aku gitu, Tin? Mau nemenin Diyah?" Mbak Nunung tampak tak terima.
Bus belum berangkat, masih menunggu rombongan yang sibuk menghabiskan sarapan. Sementara para leader sibuk melakukan rolling tugas sebab ketidakhadiran Risa jelas membuat bus satu mengalami kekosongan leader. Mamat tak mungkin dibiarkan sendiri sebab ia baru pertama kali ini ikut.
"Mbak Nunung, kan, udah puluhan tahun kerja jadi tour leader. Bisa dan paham cara kerjanya, kan? Biarkan Randi gantiin Mbak Cha. Aku nemenin Diyah yang baru training juga. Apa Mbak Nunung mau sama Diyah?" Tina menjelaskan seraya mengemasi barang, hendak membawanya masuk ke dalam bus.
"Halah, wegah aku karo Diyah!" Perempuan kurus kering itu menolak keras.
"Ya udah, makanya, tolong kooperatif dikit, Mbak. Keadaan memang meminta kita buat saling mengisi kekosongan." Tina membanting tas berisi pakaiannya ke kursi di teras penginapan.
Agaknya gadis itu mulai kesal. Sebab ia tahu persis kalau perempuan itu hanya mau enaknya saja. Menjadi asisten Mbak Nunung selama perjalanan, sama saja bekerja sendirian. Sementara perempuan yang katanya sudah berumur dan berpengalaman itu hanya mau mendata rombongan setiap masuk bus. Selebihnya, Tina yang harus wara-wiri mengerjakan kesemuanya.
"Tina." Laki-laki itu menyapa.
Melihatnya, gadis berambut sebahu itu mendadak melengos seraya menggeram sebal. "Opo, Mas?" tanyanya tak acuh.
"Icha, kok, nggak ada? Dia nggak ikut pulang bareng rombongan?"
"Lah, iyo! Mantanmu itu, Ram, nggak profesional blas! Gara-gara dia semalam ngilang dan nggak balik lagi, aku jadi repot gini!" Mbak Nunung menimbali. Dua kakinya melangkah keras karena marah dan tak terima. Ia berlalu begitu saja tanpa banyak memaksa lagi.
"Kok, tanya aku? Mbak Cha mau pulang sama siapa itu terserah dialah. Mas Rama ngapain nyusul ke sini? Bukannya karyawan kantor nggak ada yang ikut, ya?" Tina menyindir sembari melirik sinis.
"Kamu tinggal jawab ke mana Icha pergi. Nggak usah banyak tanya," sergah Rama berang.
Laki-laki itu mendesis dengan gigi bergemeletuk menahan emosi. Tina menoleh sejenak, menatap Rama yang terlihat tak seperti biasanya. Laki-laki itu berantakan. Dagu dan pipinya mulai ditumbuhi bulu-bulu halus yang tak rapi. Rambut hitam legamnya bahkan tak tersisir seperti biasanya. Tina bisa melihat ada keputusasaan melalui mata Rama yang terlihat sayu dengan cekungan dalam dan sepertinya kurang tidur.
"Jangan cari Mbak Cha lagi, Mas. Kasihan Mbak Cha, udah terlalu banyak sakit hati." Kali ini Tina berusaha bicara dengan nada sedikit lebih tenang, berharap mantan kekasih sahabatnya itu segera mengerti.
Namun, yang diberi petuah justru semakin menatapnya tak suka. "Kamu nggak ngerti, Tin. Nggak usah ikut campur."
Setelah berkata dengan nada penuh ancaman, Rama berlalu. Dan Tina hanya bisa menghela napas panjang melihatnya.
**
Laki-laki itu turun tergesa dari sedan hitam milik Baskoro. Ia sempat membanting pintu sedikit keras sebelum berjalan dengan langkah lebar. Namun, langkah jenjangnya terhenti begitu dari posisinya berada, manik kelamnya menemukan Rama yang naik ke bus satu di mana seharusnya Risa berada.
Tama bergerak cepat, mendekat ke arah bus, dan naik lewat pintu belakang. Sopir bus yang menyadari kedatangannya mengangguk sekilas dan membiarkan laki-laki itu naik. Kendaraan itu masih kosong. Rombongan belum ada yang naik. Keadaan itu Tama manfaatkan segera.
Tatap keduanya bertemu di tengah lorong antara jajaran tempat duduk. Rama berhenti melangkah, sementara Tama terus bergerak maju. Tangan kanannya sigap mendorong bahu kiri sang penumpang gelap. Membuat Rama terus berjalan mundur.
"Ada apa nih?" protes Rama mulai tak nyaman ketika ia harus terpaksa turun lagi.
"Datang ke sini bisa sendiri. Pulang sendiri, bisa?" Tama menatap tegas.
"Saya nggak akan pulang sebelum ketemu Icha."
"Nggak ada," tolaknya.
Rama mendecak sembari membuang pandangan. "Anda nggak berhak larang Icha buat ketemu siapa pun."
"Berhak. Siapa pun yang ada di lingkup kehidupan saya, berhak saya lindungi dari pecundang macam kamu. So, just go!"
Lama keduanya saling melempar tatap sengit, Tama mengakhirinya dengan berlalu dahulu. Ia berniat memastikan pada semua leader dan driver untuk melarang siapa pun yang tak tercatat di data rombongan naik. Namun, baru satu langkah, Rama mencekal merenggut lengan kiri jaketnya.
Tama refleks berbalik cepat, melayangkan satu kepalan tangan kanan, tepat ke tulang pipi kiri laki-laki itu.
Tubuh kurus Rama terpelanting. Ia tersungkur ke atas aspal.
"Untuk segala pengkhianatan kejimu kepada Risa selama tiga tahun lamanya," gertak Tama dengan dua tangan masih mengepal erat. Ia membungkuk, lalu mencengkeram kerah kemeja flanel Rama. "Dan ini, untuk rasa kecewa Risa karena sepuluh tahun lamanya berjuang sendiri, lalu kamu hancurkan dengan menitipkan benih di rahim adik kandungnya."
Lagi, satu pukulan keras itu mendarat di perut. Rama mengerang. Ia kembali menyurukkan diri ke aspal tepat di roda armada bus.
Tak ada yang melihat aksi keras itu kecuali para sopir yang sudah bersiap di sisi kemudi. Namun, mereka tak ada yang berani mendekat. Tama meminta semua sopir untuk turun. Dengan napas terengah menahan gelegak emosi ia memerintah, "Pastikan dia tidak naik ke bus mana pun. Kalau memaksa, turunkan saja di Gilimanuk nanti."
"Siap, Pak!"
Kesepakatan antara sang atasan dan para driver sontak membuat Rama mengumpat, "Sial!"
**
Grup Darurat Keluarga Baskoro
Kekasih Ndoro Agung telah menambahkan @Pitaloka.
Kekasih Ndoro Agung telah menambahkan @Amara.
Kekasih Ndoro Agung telah menambahkan @Ndoro Agung.
Kekasih Ndoro Agung:
Pita, tolong mulai sekarang kalau di grup jaga omongan. Jangan kebiasaan ceplas-ceplos ngomongin masmu.
Kekasih Ndoro Agung:
Mara juga. Nggak usah terlalu ikut campur sama pilihan Mas Tama.
Kekasih Ndoro Agung:
Mama juga, tolong jangan desak dia terus. Udah cukup, ya, Tama jadi banyak menutup diri tentang kehidupannya dari kita sejak kegagalan pernikahannya sama Alika.
Pitaloka:
Siap, @Kekasih Ndoro Agung. Maafkan kelancangan hamba. 😩
Amara:
Mara cuma nggak mau Mas Tama terluka, Pa. 😢
Ndoro Agung:
Mama cuma takut anak kita hamilin anak gadis orang, Papa, ah!
Kekasih Ndoro Agung:
Justru itu! Kali ini hubungan Tama sama Risa itu rentan. Ngerti, kan, maksud Papa?
Ndoro Agung:
☹
Pitaloka:
Iya, Pa. Rentan emang. Takutnya karena didesak-desak, terus Mas Tama nekat.
Amara:
Ya udah, daripada kebobolan mending pisahin aja dari sekarang gimana?
Ndoro Agung:
Heh! Nggak bertanggung jawab namanya! @Amara
Pitaloka:
Iya, nih, Mbak Mara! Mas Tama-ku bukan tipe laki sepecundang itu, ya! Dia harus berani bertanggung jawab! 😠
Amara:
Marisa-nya aja nggak mau segera nikah, kok. Buat apa dipaksakan?
Kekasih Ndoro Agung:
Cukup. Biarin Mas Tama yang mengambil keputusan sendiri. Kalaupun nanti kita dapat pahitnya, terima dengan lapang.
Ndoro Agung:
Pahit? Maksudnya?
Pitaloka:
Kebobolan, Mah. Investasinya berhasil. 🤐
Ndoro Agung:
Pitaaaa!! Kamu kalo ngomong suka ngelantur, tapi ada benernya juga!! 😫
Ndoro Agung:
Ayo, Pah! Kita lamarin segera ke Jogja. Ini Siska ngabarin katanya Mas bawa pulang Risa ke vila di Denpasar, lho. Minggu depan ke Jogja gimana?
Pitaloka:
Tuh, kan! Nekat itu Mas Tama! Nekat udah! Lamar, dah, lamar. Pita siap bawa rombongan. Ya, kan, Mbak Mara? @Amara ☺
Amara:
😒😒😒
Kekasih Ndoro Agung:
Hm
*
*
(09-04-2023)
====🏖🏖🏖====
Gimana? Ada yang hawt? Hawt banget pasti tuh emosi si Rama. Mendidih. 🤣🤣
Besok up malam, ya. Nganu soalnya. Apa aku kunci dulu babnya, ya? Posting habis lebaran aja yang hawt dan manis itu di WP-nya gimana? (Langsung digedor lapak komentar pake bom pasti ini biar cepet up.) 🤣
Nih, aku spil dikit!
Uwooh, makannya bikin kasur berantakan pasti tuh! Seminggu nggak makan soalnya, ya, Mas? 🤣
Ledakin komentar sama vote dulu, dong, biar membara semangat update-nya.
💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥💥
Sampai ketemu habis lebaran, eh, habis buka puasa besok maksudnya! 🤣
Terima kasih, ya. 🥰🤗
====🏖🏖🏖====
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top