[12]. Calon Mantu

Hai, selamat pagi!
Udah sahur tadi? Selamat berpuasa buat yang menjalankannya, ya. 🥰🤗

Vote dulu jangan lupa. Tebar kembang api sama petasan biar makin ramai. Tebar cinta biar romansa pasangan telat puber di lapak ini makin membara juga boleh. 😂

Happy reading. Semoga part ini menghibur. 🤗

====🏖🏖🏖====


Meja itu dipesan khusus pihak agen untuk makan malam owner, direktur, dan tamu yang kata Tina penting. Dari kejauhan, Risa bisa melihat Tama sesekali melontarkan obrolan pada sosok pria berkacamata yang mungkin usianya hampir mendekati kepala enam.

Sialnya, meski Risa masih sibuk wara-wiri mengarahkan rombongan wisata untuk mengantre prasmanan makan malam, dua bola matanya teramat sensitif ketika melihat perempuan sintal yang seharian ini mengekori sang direktur. Ia belum sempat bertanya, atau lebih tepat bisa dibilang menahan diri untuk tak bertanya. Mungkin saja rekan kerja. Tapi dilihat dari cara Tama yang sesekali tertawa dan mengobrol santai dengan si perempuan sintal--tunggu!

Risa menggeleng cepat. Perempuan sintal? Kenapa ia terus menyebutnya demikian? Dan ketika menyadari kemolekan gadis di sisi Tama, Risa mendadak mengamati tubuhnya sendiri. Terlalu kurus. Saking kurusnya, di punggung tangan bisa terlihat gurat ungu pembuluh darah. Dua pipinya bahkan tak cukup dibilang menggemaskan untuk dicubit.

Hais! Kenapa jadi membandingkan diri sendiri dengan gadis itu, sih?! Risa menggerutu dalam hati. Ia berdecak kemudian dan berusaha kembali fokus memperhatikan rombongan. Jatah makan malam untuk para tour leader ada di waktu terakhir setelah semua rombongan sudah bisa dipastikan makan dan tak kekurangan makanan.

Pengecualian untuk Mbak Nunung dan anak gadisnya yang diajak serta. Perempuan tua dan putrinya itu jelas turut bergabung dengan Pak Agus. Alasannya, masih saudara. Mbak Nunung masih sepupu dengan sang owner dan katanya, dulu suami perempuan itu ikut serta membangun bisnis agen wisata milik Pak Agus.

"Mbak, ada teh hangat nggak, ya?" Seorang guru yang baru saja menghampiri meminta bantuan.

Risa mengangguk cepat. "Di ujung sana, Bu. Bersebelahan sama kopi kalau mau. Mau saya ambilkan?"

Perempuan berjilbab itu mengangguk berhias senyum. "Boleh. Empat, ya, Mbak. Tolong ke meja di dekat teras sana, ya?"

Risa mengangguk. Ia cepat melangkah, meminjamkan nampan pada pelayan yang berlalu-lalang di area aula yang sudah diubah menjadi ruang makan prasmanan. Bukan hotel berbintang empat apalagi lima. Hanya penginapan kecil yang biasa disewa oleh rombongan wisata.

Meja minuman berada lebih dekat dengan meja berbentuk lingkaran di mana tamu penting dan sang owner duduk bersama Tama untuk makan malam. Ketika Risa tengah sibuk mengisi empat cangkir kertas dengan teh hangat, lamat-lamat obrolan mereka terdengar.

"Ini anak saya. Namanya Desi. Udah wisuda tiga bulan lalu. Pak Bas punya anak lanang, saya ada anak gadis. Mau besanan?" Mbak Nunung tertawa-tawa, sementara si Desi tersenyum malu-malu.

Cari muka! Risa menggeram dalam hati.

Mendengar lontaran ajakan berbesan, tamu penting itu tertawa saja. "Saya, sih, terserah anak saja, Bu. Udah nggak pernah main jodoh-jodohin lagi. Asal anak cocok dan seneng aja, restu pasti saya kasih."

"Bener, Pak. Wong zaman sekarang anak muda udah pada pinter cari jodoh sendiri." Pak Agus ikut menyela.

"Tapi serius ini, Pak Bas. Desi masih perawan single. Anaknya rada kuper, tapi di sekolah sampai bangku kuliah selalu bagus nilainya."

Hubungannya nilai bagus sama besanan apa dah?

Lagi, seolah memiliki dendam kesumat karena selalu saja di tempat kerja dirinya kerap menjadi sasaran dijadikan leader paling diberi tugas segunung, Risa mengumpat dalam hati.

"Mbak, siniin nampannya. Biar aku, Mamat, Diyah, sama Randi, yang urus makan dan minum rombongan. Mbak Cha makan dulu aja." Gadis berambut sebahu itu tiba-tiba menyerobot nampan dari tangan Risa.

"Lah, Tin, aku makannya kayak biasa aja. Bareng kalian entar. Yang penting rombongan du--"

"Heleh, ribet, Mbak! Entar aku sama Mamat kena semprot! Udah sana makan!" Tina berlalu cepat.

"Eh, Tina! Kena semprot siapa?!" Gigi Risa bergemeletuk geram. Selama bekerja, ia mulai tak nyaman diistimewakan. Belum lagi Mamat yang sering mengekor. Sekarang ditambah Tina?

Perempuan itu spontan menghadap ke meja VIP. Menatap sang direktur yang tengah menusuk sepotong daging ayam. Ditatap sedemikian intens, laki-laki itu sama refleks balas menatap. Sayangnya, Tama hanya mengedikkan dua alis dan lanjut menyantap makan malam sambil sesekali menyahuti pertanyaan siapa saja yang ada di sekitarnya.

Mau tak mau, Risa berjalan mengambil piring dan mangkuk kecil. Ada sayur asem, ayam goreng, dan makanan khas Jawa lain. Tangan perempuan itu menyendok sedikit nasi, lalu menuang sayur asem ke dalam mangkuk. Ia baru saja meletakkan sendok sayur ke tempatnya kembali saat satu mangkuk dari uluran tangan itu menyongsong di hadapan Risa.

"Mau juga," pintanya.

Risa mendongak. Ia mengerjap sejenak kemudian menyerahkan sendok sayur ke tangan kanan Tama. Laki-laki itu sempat meneliti wadah sayur sebelum mengambil isinya.

"Daging sapinya dikit amat. Besok bikinin yang kayak gini, tapi yang banyak dagingnya, ya, Sa?" pintanya dengan raut tanpa rasa bersalah.

Marah itu tiba-tiba saja hilang entah ke mana. Mendadak merasa lucu. Laki-laki di sisinya ini, ke mana-mana tiap makan yang dicari tidak jauh dari makanan berkuah sederhana seperti sayur bening dan sayur asem.

"Minggu depan." Risa menjawab singkat.

"Di ... apartemenku gimana?"

Keduanya terdiam beberapa jenak. Tak ada kata, hanya saling pandang. Sampai akhirnya Risa sendiri yang mengalah mengakhiri sesi keheningan dalam tatap itu dengan menunduk canggung.

"Lagi kerja, ih!" Risa melirik sekilas seraya sibuk mengambil sendok.

"Nggak mau jawab aku anggap mau," putus Tama sepihak sambil lalu membawa mangkuk berisi sayur asemnya.

Dan Risa, hanya bisa berdecak pelan. Kekasihnya itu bisa berubah jadi otoriter kalau sudah ada maunya.

**

Pembahasan berbesan dan calon mantu masih berlanjut ketika tamu penting itu sudah hendak pulang. Mbak Nunung masih ngotot mempromosikan anaknya dan Desi--gadis bergigi gingsul itu--masih tebar pesona dengan gaya malu-malu.

Kali ini Risa bisa melihat dan mendengar dengan jelas. Sebab ia turut serta bergabung ketika Pak Agus memperkenalkannya pada Pak Bas sebagai leader andalan di agen wisatanya. Saat sang tamu agung itu berpamitan menuju tempat parkir, Mbak Nunung dan anak gadisnya berhenti mengekor.

Namun, sebagai wujud rasa hormat sebagai karyawan, Risa turut mengantar ke halaman parkir bersama Pak Agus. Mereka bertiga berjalan pelan sambil sesekali bertukar obrolan, melewati jajaran pohon palem berselimut kain khas Bali bermotif kotak hitam dan putih.

"Dekat sama Tama, ya? Maaf kalau dia anaknya suka maksa, ya?" Pak Bas tertawa kecil.

"Eh?" Risa yang berjalan di sisi kirinya, sontak sedikit terkejut mendengar laki-laki berkacamata dengan uban yang hampir memenuhi rambut tuanya berkata demikian. Pak Agus malah terbahak mendengarnya.

"Nggak, Pak. Pak Tama direktur yang sangat baik dan perhatian dengan semua karyawannya," sahut Risa berhias senyum tipis meski otak di kepala mulai dipenuhi banyak tanya.

"Nanti kalau kamu jadi resign dari agen, Pak Bas katanya mau kasih job desk baru buat kamu, lho, Cha." Pak Agus tertawa lagi. Perut gendutnya bergerak-gerak saat tawa itu tersembur begitu saja.

Risa menjadi satu-satunya orang yang kebingungan dan tak nyambung.

Sampai di dekat mobil hitam di tempat parkir yang sedikit temaram, seorang sopir keluar dari sisi kemudi, membukakan pintu untuk tuannya. Pak Bas sempat berbalik sejenak, memperhatikan Risa yang berdiri dengan dua tangan saling bertaut di depan perut.

Laki-laki paruh baya itu menghela napas dan tersenyum simpul sebentar sebelum berkata, "Job desk jadi calon mantu. Gimana? Mau, ya?"

"Tuh, kan, bener itu, lho, Cha!" Pak Agus kembali menimpali.

Risa tersenyum-senyum saja, bingung mau menjawab apa. Sepertinya Pak Bas dan Pak Agus diam-diam membicarakannya di belakang.

"Ngomong-ngomong, kopinya enak. Kapan hari boleh saya dibuatkan lagi, ya?" Pujian lagi.

"Terima kasih, saya tersanjung, Pak." Hanya kalimat itu yang bisa Risa sampaikan.

Obrolan ketiganya terhenti saat laki-laki itu berlarian menghampiri. "Mau pulang sekarang? Titip salam buat Meta, ya? Pita sama Meta udah sampai, kan?"

"Iya. Jangan lupa acara di Denpasar besok, Mas." Laki-laki itu mengingatkan sebelum masuk ke mobil.

"Hati-hati nyetirnya, Bli." Tama berpesan usai menepuk pundak sang sopir sekali.

"Siap, Tuan!"

Melihatnya, Risa semakin bingung. Sepertinya Pak Bas dan sopirnya dekat dengan kekasih sekaligus atasannya.

"Pulang dulu, ya, Nak Risa, Pak Agus." Suara dalam itu kembali berpamitan setelah menurunkan kaca mobil.

Pak Agus melambai, Risa mengangguk berhias senyum ramah, dan Tama hanya mengangguk santai seraya menjejalkan dua tangan ke saku jaketnya. Mobil itu berlalu, meninggalkan mereka yang masih berdiri di area parkir.

"Saya masuk dulu, ya, Mas. Nanti kalau mau pulang, hati-hati di jalan. Perkara kerjaan, biar anak-anak leader yang urus." Pak Agus mengakhiri perjumpaan. Laki-laki pemilik usaha perjalanan wisata itu menepuk pundak Tama sebelum berlalu.

Sementara Risa masih terbengong-bengong memikirkan hubungan antara Tama, ia resign, dijadikan calon mantu, dan ... kopi.

"Kopi? Pak Bas? Bas? Basko ... Baskoro?!" Kelopak berbulu mata itu membelalak seketika diikuti tubuh ramping Risa yang menegang. "Baskoro? Pratama Baskoro?! Itu tadi papa kamu, Mas?!"

Laki-laki yang direnggut lenggan jaketnya berkedip keheranan. "Lah, iya, Yang. Aku belum bilang emang?" Mulai lagi. Selama wisata, di sela-sela kesibukan, ketika hanya berdiri berdua sedekat ini, Tama hampir terbiasa menyapa dengan kata Sayang.

"Ya, ampun, Mas! Kamu nggak ada bilang apa-apa sejak kemarin!" Perempuan di sisi Tama itu memberengut jengkel. "Duh, aku tadi ada salah sikap nggak, ya? Salah ngomong nggak, ya? Mana aku belum mandi sore." Risa meratap nelangsa, memperhatikan tubuhnya sendiri yang pakaiannya mulai kusut. Pertemuan pertama dengan orang tua sang pacar sungguh memalukan.

"Masih cantik." Tama mengacak puncak kepala perempuan itu sedikit gemas.

Risa memicing garang. "Jangan begini lagi kalau mau ngenalin aku ke keluarga kamu, Mas. Entar dikira aku nggak menghargai niat baik mereka buat kenal lebih dekat. Dekil gini, astaga ...."

"Nggak ada niat ajakin tadi. Papa yang tiba-tiba mau nyamper ke sini. Katanya mau jalin kerja sama juga sama Pak Agus." Tama kemudian diam, menatapi Risa yang masih menyesali penampilannya.

"Ck, dahlah, aku balik kerja!" Wajah tertekuk perempuan itu ditunjukkan terang-terangan. Ia lantas berlalu, meninggalkan Tama yang mulai gelisah diabaikan. Pacarnya mulai berani menunjukkan emosi kehidupan secara terang-terangan yang mungkin bisa saja membuat laki-laki itu uring-uringan. Sebab ternyata marahnya perempuan terkadang sulit ditafsirkan.

"Sa, kok, jadi ngambek, sih?!"

**

Pratama:
Sa

Pratama:
Aku pulang dulu, ya.


Marisa:
Hm.


Pratama:
Kenapa, sih? Masih marah?

Pratama:
Sa?

Pratama:
Sayang

Pratama:
Risa


Marisa:
Iya, Mas. Iya! Ati-ati di jalan. Aku lagi kerja, jangan dipanggil-panggil terus. 😩

Pratama:
Ikut pulang ke Denpasar, mau?

Pratama:
Kok, lama jawab?

Pratama:
Aku anggap mau.

Marisa:
Maaas! 😣

Marisa:
Aku belum siap kalau harus ketemu keluargamu sekarang. Bukannya nggak mau, tapi butuh waktu.

Pratama:
Hm ...


**

Dan pesan itu berujung membuat laki-laki yang akhirnya pulang tanpa pamit itu kembali resah. Pikirannya berkelana tak keruan.

Sebenarnya, Risa serius buat diajak hidup bersama ke depannya nggak, sih? Apa masih mau main-main aja?

**

(06-04-2023)

====🏖🏖🏖====

Coba tebak, Mbak Cha ini sebenernya emang belum bisa move on dari mantan, apa lagi mulai merasa insecure bersanding sama Tama? Jawab di komentar, deh. Biar ramai. 😁


Btw, ini kenapa aku kangen mereka lagi berduaan aja, ya? 😆


Jangan lupa yang belum vote, tekan bintangnya, ya. Komentar next atau lanjut juga biar aku keinget terus buat update lagi. 🤭


Terima kasih. 🥰🤗


====🏖🏖🏖====

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top